Tuesday, January 14, 2014

Kisas mewujudkan kemaslahatan wali orang yang terbunuh






                        Kisas mewujudkan kemaslahatan wali orang yang terbunuh

          Hak yang di dalamnya tergabung Hak Allah SWT dan Hak Manusia, namun Hak manusia lebih dominan. Misalnya, adalah kisas (pembunuhan) terhadap pembunuh dalam pembunuhan sengaja.[1] Sebagai hak manusia, kisas mewujudkan kemaslahatan wali orang yang terbunuh, menyembuhkan sakit hatinya, serta memadamkan api kemarahan dan dendamnya terhadap pembunuh. Syariat islam memandang aspek ini lebih berat, sehingga hak manusia dianggap lebih dominan dan hak Allah SWT. Oleh karena itu, wali korban sebagai pemilik hak, disamping berhak menuntut kisas, diperkenankan untuk memaafkan pembunuh sehingga hukuman kisas tidak dilaksanakan. Selajutnya mereka dapat berdamai dengan pembayaran diat (tebusan/denda), bahkan hal ini dianjurkan oleh Allah SWT dalam al-Quran:
2:178
“…Maka barang siapa yang mendapatkan pemaafan dari saudaranya, hendaklah (yang memaafkan) mengikuti dengan cara yang baik, dan hendaklah (yang diberi maaf) membayar (diat) kepada yang memberi maaf dengan cara yang baik pula…”[2]

            Ulama berbeda pendapat dalam menentukan mana di antara dua hak itu yang lebih dominan, ketika nas tidak menejelaskannya. Misalnya hukuman terhadap tindak pidana qazf (menuduh orang lain berbuat zina) merupakan hak Allah SWT jika dilihat dari segi kemanfaatan dan kemaslahatan umum yang ada di dalamnya, yaitu memelihara kehormatan manusia pada umumnya dan memberantas kerusakan dan kejahatan dalam masyarakat. Kemudian ditinjau dari segi menolak aib orang yang dituduh berbuat zina dan mengembalikan kehormatannya, maka hukuman itu merupakan hak manusia perseorangan
Menurut ulama Mazhab Hanafi, dalam kasus seperti ini, hak Allah SWT lebih nyata dan dominan. Oleh karena itu, hukumannya tidak dapat digugurkan disebabkan kemaafan yang diberikan oleh yang dituduh, sementara pelaksanaanya berada di tangan pemerintah, yaitu lembaga peradilan. Namun, menurut Mazhab Syafi’i, Mazhab Hanbali, dan satu riwayat dari Imam Malik, dalam kasus qazf ini hak manusia lebih dominan. Oleh karena itu, hukumannya dapat digugurkan oleh pemaafan orang yang dituduh berzina.[3]

                Hak Asasi Manusia. Dalam bahasa Indonesia hak “asasi” dijelaskan sebagai hak yang dasar atau pokok, seperti hak hidup dan hak mendapat perlindungan. Ide hak-hak asasi manusia timbul pada abad ke-17 dan ke-18, sebagai reaksi terhadap keabsolutan raja-raja dan kaum feodal di zaman itu tehadap rakyat yang mereka perintah atau manusia yang mereka pekerjakan sebagai lapisan bawah. Lapisan bawah tidak mempunyai hak-hak. Mereka diperlakukan dengan sewenang-wenang, sebagai budak yang dimiliki. Sebagai reaksi terhadap keadaan yang pincang ini, timbullah gagasan supaya lapisan bawah itu-karena mereka adalah manusia juga diangkat derajatnya dari kedudukan budak menjadi sama dengan lapisan atas. Muncullah ide untuk menegakkan hak-hak asaasi manusia (HAM). Semua manusia sama, tidak ada budak yang dimiliki; semua merdeka dan bersaudara.[4]

           Namun, jauh sebelum abad ke –17 dan ke –18, telah dikenal berbagi aturan yang mengatur tentang hak-hak asasi manusia. Dalam Kode Hukum Hammurabi, Raja Babylonia (abad ke-18 SM), misalnya, ada indikasi yang membenarkan bahwa dalam masyarakat manusia di dunia Barat telah mulai tumbuh kesadaran akan martabat dan harkat dirinya, sehingga Kode Hukum Hammurabi sengaja diundangkan untuk memberantas kecongkakan sebagian manusia atas sesamanya untuk membawa keadilan bagi seluruh masyarakat.

            Dalam hukum ini dijelaskan bahwa hukuman pembalasan sesuai dengan kejahatan yang dilakukan. Kedudukan dan kebebasan kaum wanita diakui sama dengan kaum lelaki. Pihak suami dan istri tidak boleh menggagalkan perkawinan yang sudah dijalaninya atau yang sedang berlangsung. Adapun bagi pelaku zina dikenakan hukuman mati. Seseorang akan dikenakan sanksi pidana apabila ia membangun rumah sedemikian gegabahnya, sehingga runtuh dan menyebabkan orang lain cedera.
               Dalam akar budaya masyarakat Indonesia pun, pengakuan dan penghormatan terhadap hak-hak dan martabat manusia sudah mulai berkembang. Misalnya, dalam masyarakat Jawa kuna telah dikenal istilah “Hak Pepe”, yaitu hak warga desa yang diakui dan dihormati oleh penguasa setempat, seperti hak mengemukakan pendapat, walaupun hak tersebut bertentangan dengan kemauan penguasa. Piagam Madinah juga mengatur tentang hak-hak asasi manusia (HAM). Dalam Piagam ini dijelaskan bahwa umat Islam diikat dengan tali ikatan agama, bukan berdasarkan suku, asal-ususl, ras dan kedudukan sosial (pasal 1). Kaum Yahudi adalah salah satu umat yang peralel, berdampingan dengan kaum mukmin,[5] dan bebas menjalankan agama mereka, seperti halnya kaum muslim (pasal 25). Orang Yahudi juga berhak mendapat pertolongan dan santunan, sepanjang hak-hak kaum muslim tidak terganggu (pasal 16). Sesama muslim tidak boleh saling membunuh (pasal 14). Tidak ada perbedaan di antara suku-suku yang ada mereka sederajat (pasal 26-35).
          Bagi bangsa Indonesia, menurut Nurcholish Madjid, perjuangan menegakkan hak-hak asasi manusia (HAM) adalah kewajiban bersama. Hal ini sesuai dengan tuntutan nilai-nilai falsafah Pancasila. Semua sila dalam falsafah itu melahirkan kewajiban untuk menegakkan hak-hak asasi, khususnya sila “kemanusiaan yang adil dan beradab”. Namun, dalam kenyataannya, kesadaran tentang HAM dikalangan masyarakat luas masih merupakan masalah .
Dalam UUD 1945 juga dijelaskan beberapa prinsip dasar tentang HAM .[6] Pada alinea pertama Pembukaan UUD 1945 misalnya, dinyatakan bahwa kemerdekaan itu adalah hak segala bangsa, dan karenanya segala bentuk penjajahan di atas dunia harus dihapuskan.
           Hak-hak tiap warga negara sama didepan hukum, hak atas pekerjaan dan penghitungan yang layak (pasal 27), hak kemerdekaan berserikat, berkumpul dan mengeluarkan pikiran, baik lisan maupun tulisan (pasal 28), kebebasan dalam beragama (pasal 29), hak mendapatkan pendidikan (pasal 31, dan hak untuk mendapatkan layanan dan perlindungan kesejahteraan sosial (pasal 34) .
Ide hak-hak asasi manusia juga terdapat dalam Islam. hal ini dapat dilihat dalam ajaran tauhid. Tauhid dalam Islam, menurut Harun Nasution, mengandung arti bahwa yang ada hanya satu pencipta bagi alam semesta. Ajaran dasar pertama dalam Islam adalah la ilaha illa Allah (tiada Tuhan selain Allah SWT, tiada Pencipta selain Allah SWT). Seluruh alam dan semua yang ada diatas, dipermukaan, dan di dalam bumi adalah ciptaan Yang Maha Esa. Semuanya; manusia, hewan, tumbuh-tumbuhan dan benda tak bernyawa berasal dari Yang Maha Esa .
            Tujuan hukum pada umumnya adalah menegakkan keadilan berdasarkan kemauan pencipta manusia sehingga terwujud ketertiban dan ketentraman masyarakat.Namun bila tujuan hukum Islam dilihat dari ketetapan hukum yang dibuat oleh Allah dan Nabi Muhammad, baik yang  termuat di dalam Al-Qur’an maupun Al-Hadits, yaitu untuk kebahagiaan hidup manusia didunia dan akhirat kelak, dengan jalan mengambil segala yang bermanfaat dan mencegah  serta menolak segala yang tidak berguna kepada kehidupan manusia. Dengan kata lain tujuan hukum Islam adalah kemaslahatan hidup manusia baik jasmani maupun rohani individu dan masyarakat. Kemaslahatan dimaksud, dirumuskan oleh Abu Ishak Asy-Syathibi dan disepakati oleh ahli hukum Islam lainnya seperti yang telah dikutip oleh H.Hakam Haq,[7] yaitu memelihara agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta. Sedangkan Asas-asas dalam Hukum Pidana Islam.
1.      Azas Legalitas
Asas Lealitas adalah tidakada larangan atau hukuman sebelum adanya undang-undang yang mengaturnya.
Sejak lima belas abad yang lalu Islam sudah menerpkan asas legalitas yaitu sejak zaman nabi Muhammad saw , hal ini disebut dalam :
26:208
“ Kami tidak membinasakan suatu negeripun melainkan sudah ada baginnya yang memberi peringatan” [8]
28:59
              “ Tidak adalah tuhanmu membinasakan, kota-kota sebelum dia mengutus diibukota itu seorang rasul yang membacakan ayat-ayat kami kepada mereka, dan tidak pernah pula kami membinasakan kota-kota kecuali penduduknya dalam keadaan melakukan kedzaliman”. .[9]
              Dua ayat tersebut menjadi azas legalitas yang mana suatu negara atau    kota yang tidak ada yang memperingati atau membacakan ayat-ayat dan tidak ada yang melakukan kedzaliman maka Negara atau kota itu tidak boleh menerapkan hukuman pidana, baik itu hudud,qishas, diyat atau ta’zir.
1.      Asas praduga tak bersalah
Asas yang mendasari bahwa seseorang yang dituduh melakukan kejahatan harus dianggap tidak bersalah,[10] sebelum hakim dengan bukti-bukti yang meyakinkan menyatakan dengan tegas kesalahannya itu.
49:6
Wahai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti, agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebab kakamu menyesal atas perbuatanmu itu.[11]
3.      Asas larangan memindahkan kesalahan kepada orang lain
Asas ini menyatakan bahwa setiap perbuatan m[12]anusia baik itu perbuatan yang baik atau buruk akan mendapatkan balasan yang setimpal.
             Macam-macam jarimah, dalam hukum pidana Islam ada empat macam jenis jarimah:   Jarimah Hudud, adalah jarimah yang hukumannya telah ditentukan dalam nash al-Qur’an atau Sunnah Rasul serta menjadi hak Allah smata .Yang termasuk jarimah ini ialah zina adalah melakukan hubungan persetubuhan diluar ikatan pernikahan yang syah secara syara'. Zina merupakan salah satu dosa besar.
           1)      Penetapan Perbuatan zina
Hukum bagi pelaku zina dapat diterapkan jika yang bersangkutan benar-benar melakukannya. Dalam masalah ini Rasulullah SAW benar-benar berhati-hati dalam mentetapkan hukuman ini. Hukuman tida dijatuhkan sebelum yakin bahwa bahwa orang yang dituduh atau mengaku zina benar-benar melakukanya.
          2)      Beberapa dasar untuk menetapkan suatu perbuatan zina:
                   a. Empat orang saksi yang adil. (QS.An Nisa':15)[13]
                   b.Pengakuan Pelaku.
            Dari Jabir bin abdullah Al-Anshari ra. bahwa seorang laki-laki dari aslam datang kepada Rasulullah SAW., dia menceritakan bahwa dia telah berzina. Pengakuannya ini diucapkan empat kali. Kemudian Rasulullah menyuruh supaya orang itu dirajam, maka ia pun dirajam dan orang itu telah mukhson. Jumhur ulama berpendapat bahwa kehamilan saja belum dapat dijadikan dasar penetapan perbuatan zina.

         3)      had zina dapat dijatuhkan jika pelakunya memenuhi syarat:
         a. Pelakunya sudah baligh dan berakal
         b.Perbautan zina dilakukan atas kemauan sendiri
         c.Pelakunya mengetahu bahwa zina adalah haram
·         Terbukti secara syar'i bahwa ia benar-beanr melakukan zina
          4)      Bentuk had zina
Had untuk zina :
a)         Rajam , yaitu hukuman mati dengan dilempari batu hingga meninggal.
   Artinya: " Apabila laki-laki dan perempuan tua (sudah enikah) berzina maka rajamlah keduanya sampai mati sebagai peringatan dari Allah dan Allah maha perkasa lagi Bijaksana."[14] Yang dimasud Mukhsan adalah orang yang memenuhi syarat syarat sebagai berikut: 1.Merdeka.  2.Baligh  3.Berakal. 4.Pernah bercampur dengan suami/istri dalam perkawinan yang sah.

                 b)      Dera 100 kali dan diasingkan selama 1 tahun. Had ini diberlaku-kan bagi pelaku zina yang belum pernah bercampur dalam perkawinan yang sah. Berdasarkan Q.S. Al-Nur  :  2. dan juga hadist:" Dari zaid bin khalid al Juhaini dia berata: " Saya mendengar Nabi SAW., menyuruh agar orang yang berzina dan dia bukan mukhsan, didera seratus kali dan diasingkan selama satu tahun."[15]
c)      Dera 50 kali dan diasingkan selama 1/2 tahun, yaitu jika pelaku adalah hamba sahaya. Berdasarkan Q.S. An-Nisa' : 25.
4:25
                       Barangsiapa di antara kamu (orang merdeka) yang tidak cukup perbelanjaannya untuk mengawini wanita merdeka lagi beriman, ia boleh mengawini wanita yang beriman, dari budak-budak yang kamu miliki. Allah mengetahui keimananmu; sebahagian kamu adalah dari sebahagian yang lain, karena itu kawinilah mereka dengan seizin tuannya, dan berilah maskawinnya menurut yang patut, sedang merekapun wanita-wanita yang memelihara diri, bukan pezina dan bukan (pula) wanita yang mengambil laki-laki lain sebagai piaraannya; dan apabila mereka telah menjaga diri dengan kawin, kemudian mereka mengerjakan perbuatan yang keji (zina), maka atas mereka separo hukuman dari hukuman wanita-wanita merdeka yang bersuami. (Kebolehan mengawini budak) itu, adalah bagi orang-orang yang takut kepada kemasyakatan menjaga diri (dari perbuatan zina) di antara kamu, dan kesabaran itu lebih baik bagimu. Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.[16]


b.      Menuduh zina (al-Qadaf)
Qadzaf secara bahasa artinya adalah melempar. Dalam istilah fiqh yang dimaksud qadzaf adalah melemparkan tuduhan berzina dengan terang-terangan. Allah SWT berfirman[17]: 
24:23
Artinya:" Sesungghnya orang-orang yang menuduh (berzina) wanita yang baik-baik, yang lengah (dari perbuatan keji) lagi beriman, mereka mendapat laknat di dunia dan akhirat dan bagi mereka azab yang besar."
               Had qadzaf, bagi pelaku yang menuduh seseorang yang beriman berzina, maka diancam dengan hukuman dera 80 kali jika ia merdeka dam 40 kali jika ia hamba sahaya, jika kesaksiannya tidak diterima. Sesuai dengan Q.S. Al- Nur : 4 yang artinya: " Orang-orang yang menuduh wanita yang baik-baik (Muhsonaati) berbuat zina dan mereka tidakmendatangkan empat orang saksi,maka deralah mereka dengan delpn puluh kali dera."dan juga Q.S Al- Nur : 25 ;" Dan apabila mereka(budak) telah kawin dan melakukan zina maka bagi mereka separoh hukuman dari yang diberikan pada wanita-wanita yang merdeka yang sudah bersuami."
          Gugurnya had qadzaf, apabila:
a)      Penuduh dapat membuktikan dengan empat orang saksi bahwa tertuduh      telah benar-benar berzina.
b)      Dengan cara li'an jika tertuduh adalah istri penuduh
c)      Pengakuan dari si tertuduh bahwa tuduhan adalah benar.
d.       Minum (khamr): QS.Al- Maidah: 90
5:90
Artinya: Hai orang-orang yang beriman, Sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah... adalah Termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan. [18]
d.      Pencurian (al-Sariqah)[19]:
5:38
             Pencurian adalah suatu perbuatan mukalaf mengambil harta orang lain secara sembunyi-sembunyi dari tempat penyimpanannya dan mencapai satu nishab dan orang yang mencuri tiak emmpunyai andil kepemilikan terhadap barang tersebut. Dari definisi  itu , dapat dirumuskan bahwa pencurian yang dikenakan pada  sesorang, harus memenuhi unsur-unsur:
1)      Mengambil harta orang lain
2)      Pengambilannya secara sembunyi-sembunyi
3)      Harta itu disimpan di tempat pnyimpanannya.
4)      Pelaku adalah mukallaf
5)      Barang yang dicuri mencapai satu nishab
6)      Pelaku tidak mempunyai andil kepemilikan atas harta yang dicuri
e.       Perampokan (Hirabah)[20]  .       Murtad (al-Riddah): QS.Ali Imran(3): 85 dan QS.Al Baqarah (2) : 217
g.      Albaghyu :  Dalam  QS. Al- Hujurat : 9 dan Hadist

            Jarimah Qisas, adalah jarimah yang hukumannya sama dengan jarimah yang dilakukan. Yang termasuk jarimah ini ialah pembunuhan dengan sengaja dan penganiayaan dengan sengaja yang mengakibatkan terpotongnya atau terlukanya anggota badan. Jarimah Diyat, adalah jarimah yang hukumannya ganti rugi atas penderitaan yang dialami si korban atau keluarganya, yang termasuk jarimah ini ialah pembunuhan tak disengaja yang mengakibatkan terpotongnya atau terlukanya anggota badan.[21]

a.       Pembunuhan sengaja: QS al- Baqarah : 178 dan hadist
2:178
 Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan kepadamu, qishaash, berkenaan dengan orang-orang yang dibunuh; orang merdeka dengan orang merdeka, hamba dengan hamba, dan wanita dengan wanita. Maka Barangsiapa yang mendapat suatu pema’afan dari saudaranya, hendaklah (yang mema’afkan) mengikuti dengan cara yang baik, dan hendaklah (yang diberi maaf) membayar (diat) kepada yang memberi maaf dengan cara yang baik (pula). yang demikian itu adalah suatu keringanan dari Tuhan kamu dan suatu rahmat. Barangsiapa yang melampaui batas sesudah itu, Maka baginya siksa yang sangat pedih.[22]

b.      Pembunuhan semi-sengaja : Hadist
” sesungguhnya diyat kekeliruan dan menyerupai segaja ( pembunuhan dengan cambuk dan tongkat ) adalah seratus ekor onta, diantara empat puluh ekor yang didalam perutnya ada anaknya”.
c.       Pembunuhan tidak sengaja: QS.An Nissa'  : 92 dan Hadist
Q.S.an-Nisa’[4]:92

4:92

Artinya: dan tidak layak bagi seorang mukmin membunuh seorang mukmin (yang lain), kecuali karena tersalah (tidak sengaja), dan Barangsiapa membunuh seorang mukmin karena tersalah (hendaklah) ia memerdekakan seorang hamba sahaya yang beriman serta membayar diat yang diserahkan kepada keluarganya (si terbunuh itu), kecuali jika mereka (keluarga terbunuh) bersedekah. jika ia (si terbunuh) dari kaum (kafir) yang ada Perjanjian (damai) antara mereka dengan kamu, Maka (hendaklah si pembunuh) membayar diat yang diserahkan kepada keluarganya (si terbunuh) serta memerdekakan hamba sahaya yang beriman. Barangsiapa yang tidak memperolehnya, Maka hendaklah ia (si pembunuh) berpuasa dua bulan berturut-turut untuk penerimaan taubat dari pada Allah. dan adalah Allah Maha mengetahui lagi Mahabijaksana.[23] 

1.      Jarimah Ta’zir, adalah jarimah yang tidak dipastikan ketentuannya dalam nash al-Qur’an dan Sunnah Rasul. Jarimah ta’zir ada yang disebutkan dalam nash, tetapi macam hukumannya diserahkan sepenuhnya kepada penguasa untuk menentukan hukuman tersebut.

Jarimah ta’zir ini dibagi menjadi 3, yaitu :
a.       Jarimah hudud atau qishash/diyat yang syubhat atau tidak memenuhi syarat, namun sudah merupakan maksiat. Contohnya, percobaan pencurian, percobaan pembunuhan, pencurian di kalangan keluarga.


                  [1] Adanya kemaslahatan umum dalam  kisas, yaitu memelihara darah, menjaga keamanan, dan memperkecil tindak pidana dan kejahatan, maka kisas merupakan hak Allah SWT.
                   [2] Q.S. al-Baqaarah (2) :178
  [3] Menurut hasil survey yang dilakukan sebuah lembaga di tahun 2008, diperoleh data sekitar 63% remaja mengaku sudah melakukan hubungan seks bebas (berzina) sebelum nikah. Responden survey meliputi remaja SMP dan SMA di 33 provinsi di Indonesia. Tiga tahun sebelumnya (2005), sebuah survey yang diselenggarakan sebuah perusahaan kondom, mengungkapkan data sekitar 40-45% remaja berusia antar 14-24 tahun menyatakan bahwa mereka telah berhubungan seks bebas (berzina) di luar pernikahan. Survey tersebut dilaksanakan di hampir semua kota besar di Indonesia dari Sabang sampai Merauke. (lihat tulisan berjudul Konser Musik, Zina dan Kerusuhan, December …) Bila data survey tersebut reliable dan valid, maka dari dua data di atas menunjukkan adanya kenaikan yang cukup signifikan. Dari 40-45 persen di tahun 2005, menjadi 63% di tahun 2008. Artinya, ada kenaikan sekitar hampir 30 persen dalam jangka waktu ‘hanya’ tiga tahun.
              [4] Abul A’la Al-Maududi, Kejamkah Hukum Islam, (terj.) Gema Insani Press ,(Jakarta :2001) 197
             [5] Ibid, 225
              [6] Munib Muhammad dan Islah Bhrawi,  Islam Dan Hak Asasi Manusia dalam Pandangan Nurkholish Madjid, PT.Gramedia Pustaka Utama, ( Jakarta: 2011) 8
                  [7] Abu A’la Maududi, Op.Cit., 251
                  [8] Q.s. al-Syu’ara 208
                  [9] Q.s. al-Qashash  : 59  
                [10]  Everyone charged with criminal offence shall have the right to be presumed innocent until proved guilty according to law. Setiap orang yang dituduh melakukan kejahatan berhak dianggap tidak bersalah sampai kesalahannya dibuktikan menurut hukum. Asas ini ada dalam Pasal 14 [2] Konvensi Internasional tentang Hak-Hak Sipil & Hak Politik (1966) yang dalam bahasa Inggris dikenal dengan kalimat ”Everyone charged with criminal offence shall have the right to be presumed innocent until proved guilty according to law”.Indonesia-pun mengakui dan memberlakukan Konvensi ini berdasarkan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2005 Tentang Pengesahan International Covenant on Civil and Political Rights [Kovenan Internasional Tentang hak-hak Sipil dan Politik]. Konvensi ini tersebut tidak hanya menegaskan, harus dianggap tidak bersalah sampai dibuktikan berdasarkan undang-undang ; bahkan, tidak menegaskan juga masalah putusan yang memperoleh kekuatan hukum yang tetap, sebagai batas toleransi seseorang dapat dinyatakan bersalah atau (Dinyatakan) bersalah atas dasar putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.
                [11] QS. al-Hujurat (49) : 6
                  [12] “Barangsiapa yang mengerjakan kebaikan seberat dzarrah (biji atom), niscaya dia akan menerima (balasan)nya. Dan barangsiapa yang mengerjakan kejahatan seberat dzarrah (biji atom) pun, niscaya dia akan menerima (balasan)nya.” (QS. Al-Zalzalah [99]:7-8)
                  [13] Dan (terhadap) para wanita yang mengerjakan perbuatan keji, hendaklah ada empat orang saksi diantara kamu (yang menyaksikannya). Kemudian apabila mereka telah memberi persaksian, maka kurunglah mereka (wanita-wanita itu) dalam rumah sampai mereka menemui ajalnya, atau sampai Allah memberi jalan yang lain kepadanya. QS. an-Nisa’ (4) : 15
             [14] HR Ahmad
             [15] HR Bukhari
             [16] QS. al-Nisa’ (4) : 25
            [17] QS. Al-Nur (24) : 23

                [18] Q.S. Al- Maidah (5):90
                  [19] QS.  Al -Maidah (5): 38

                  [20] QS Al-Ma’idah (5) : 33
                  [21] Nurkholish Madjid mempunyai konsep bahwa manusiam adalah alam jagat raya kecil, mikro kosmos, yang menjadi cermis dari alam jagat raya besar.Manusia adalah puncak penciptaan, yaitu khalifah di bumi. Lihat Mohammad Monib dan Islah Bahrawi, Op.Cit.,52
                  [22] Q.S.Al-Baqarah(2): 178, lihat juga QS Al- Isra (17) :33

              [23] Mengenai "ketidak sengajaan" dalam pembunuhan yang tersebut dalam ayat ini, ialah ketidak sengajaan yang disebabkan karena kurang berhati-hati yang sesungguhnya dapat dihindari oleh manusia yang normal. Misalnya apabila seorang akan melepaskan tembakan atau lemparan sesuatu yang dapat menimpa atau membahayakan seseorang, maka ia seharusnya meneliti terlebih dahulu, ada atau tidaknya seseorang yang mungkin dikenai pelurunya tanpa sengaja. Dengan demikian jelaslah, bahwa tidak adanya sikap berhati-hati itulah yang menyebabkan pembunuh itu harus dikenai hukuman seperti tersebut di alas, walaupun ia membunuh tanpa sengaja, agar dia dan orang lain selalu berhati-hati dalam segala pekerjaannya terutama yang berhubungan dengan keamanan jiwa manusia. Adapun diat atau denda yang dikenakan kepada pembunuh, dapat dibayar dengan beberapa macam barang pengganti kerugian, yaitu dengan seratus ekor unta, atau dua ratus ekor sapi, atau dua ribu ekor kambing, atau dua ratus lembar pakaian atau uang seribu dinar atau dua belas ribu dirham. Dalam suatu hadis yang diriwayatkan oleh Abu Daud dari Jabir, dari Rasulullah saw disebutkan sebagai berikut: Artinya: "Bahwasanya Rasulullah saw telah mewajibkan diat itu sebanyak seratus ekor unta kepada orang yang memiliki unta, dan dua ratus ekor sapi kepada yang memiliki sapi dan dua ribu ekor kambing kepada yang memiliki kambing. dan dua ratus perhiasan kepada yang memiliki perhiasan"H.R. Abu Daud.

No comments:

Post a Comment

Komentar Facebook