Saturday, January 4, 2014

ISTRI DURHAHAKA...HANTU KEKERASAN Isteri terhadap suami



HANTU KEKERASAN
Isteri terhadap suami

        Istri  memeberikan ramuan penunduk suami, juga kekerasan.  Teman membunuh teman, penulis rasakan di kator tempat penulis bekerja. Bagi pegawai yang honornya tergantung proyek, jika tidak diikutkan dalam satu proyek, berarti kekerasan, bahkan pembunuhan. Pembunuhan karakter, sengaja dilakukan teman yang rakus,  untuk memborong suatu pendapatan tambahana gaji. Membiarkan teman yang lain tidak mendapatkan honor apapun…Jarang hal ini, diketahui oarang sebagai tindak kekerasan.

       Istilah ‘kekerasan’ menjadi salah satu kata yang lazim dipergunakan untuk menjelaskan beberapa persoalan yang terkait dengan perlakuan atau tindakan yang dipandang tidak menyenangkan, tidak manusiawi, bertantangan dengan norma/nilai tertentu atau hukum, atau sesuatu yang bertentangan dengan kehendak diri kita. Kata ini kemudian mendapat predikat atau dikaitkan dengan kata lain untuk menjelaskan persoalan-persoalan perlakuan atau tindakan di atas pada konteks tertentu, seperti kekerasan politik, kekerasan ekonomi, kekerasan budaya, kekerasan struktural, kekerasan Negara, kekerasan dalam rumah tangga, kekerasan terhadap perempuan, kekerasan terhadap anak, dan seterusnya. Dan dalam setiap terminologi baru tersebut, kemudian terkonstruksi teori, konsep, hukum atau bahkan doktrin atas apa yang dimaksud dengan ‘kekerasan’

       Istri  yang memberi suaminya makanan misteri yang terbuat dari darah haid menstuasi dan mani, air seni, cirik brandang, nasi angau entah apa lagi, ramuan penuntuk takluk suami, merupakan kekersan yang keras, jahat luar biasa, tapi UU di Indonesia sulit memasukkannya sebagai tindak kekerasan, karena sulit dibuktikan..
Tulisan ini bermaksud untuk menelusuri ‘riwayat dan pemaknaan’ kekerasan yang sejauh ini berkembang di banyak bidang, sekaligus mengajukan interpretasi yang dipandang tepat berdasarkan cara berfikir logis dan sesuai dengan refleksi dan kajian penulis.
Interpretasi Makna (Bahasa)
Dalam bahasa Inggris, Cambridge Advanced Learner’s Dictionary mengartikan kata ‘kekerasan’ sebagai:
  1. Violence (noun), yang berarti, “1. actions or words which are intended to hurt people; 2. Extreme force;
  2. Violation (adj),yang berarti, “1. using force to hurt or attack; 2. describes a situation or event in which people are hurt or killed; 3). Sudden and powerful;” dan
  3. Violation (noun) yang diartikan, “an actions that breaks or acts against something, especially law, agreement, principle, or something that should be treated with respect.
Dalam pengertian bahasa Inggris di atas, makna ‘kekerasan’ ditekankan pada ‘tindakan’ (action), keputusan/kebijakan/aturan (act) dan ‘ucapan’ (word) disertai pengerahan ‘kekuasaan’ (force) yang ‘bertentangan dengan sesuatu (against something) [yang dimaksudkan menyakiti/membunuh, yang ekstrim, yang bertentang dengan hukum, perjanjian, prinsip atau sesuatu yang harus diperlakukan dengan hormat].
Selanjutnya Merriam-webster Dictionary mendefenisikan ‘kekerasan’ (violence, noun) sebagai:
  1. 1.      a: exertion of physical force so as to injure or abuse (as in warfare effecting illegal entry into a house) b: an instance of violent treatment or procedure; 
  2. 2.      injury by or as if by distortion, infringement, or profanation :outrage
  3. 3.      a: intense, turbulent, or furious and often destructive action or force <the violence of the storm>b: vehement feeling or expression :fervor; also: an instance of such action or feeling c: a clashing or jarring quality :discordance
  4. undue alteration (as of wording or sense in editing a text)]
Defenisi ini menjelaskan penggunaan kata ‘kekerasan’ pada peristiwa seperti ‘penggunaan kekuatan fisik untuk melukai (injure) atau menyakiti (abuse)’, ‘contoh perlakukan atau prosedur yang kejam (violence treatment or procedure)’, ‘kekejaman (outrage) yang melukai lantaran adanya penyimpangan/pemutar-balikan (distortion), pelanggaran (infringement) atau penajisan (profanation)’, ‘pengerahan kekuatan (force) yang sangat hebat (intense), bergolak (turbulent), penuh kemarahan (furious), dan seringkali merusak (destructive)’, ‘ungkapan atau perasaan yang sangat bergairah (fervor)’, ‘pertentangan (discordance)’, dan ‘perubahan yang tidak pantas (undue alteration).
Secara lebih ringkas Oxford Dictionaries mengartikan kekerasan (violence, noun) sebagai:
  1. 1.       behaviour involving physical force intended to hurt, damage, or kill someone or something;
  1. (sebagai istilah Hukum) the unlawful exercise of physical force or intimidation by the exhibition of such force; dan
  2. Strength of emotion or of a destructive natural force.efenisi ini menggarisbawahi ‘kekerasan’ sebagai prilaku (behaviour) yang melibatkan kekuatan fisik (physical force) dengan tujuan ‘melukai, merusak atau membunuh seseorang atau sesuatu’ serta menekankannya sebagai “’pemunculan kekuatan di atas dalam rupa tindakan yang tidak sah (unlawful exercise), penggunaan kekuatan fisik (physical force) serta intimidasi (intimidation)’.
           Sementara dalam Kamus Bahasa Indonesia, kata ‘kekerasan (kata benda) diartikan sebagai, “(1) perihal (yg bersifat, berciri) keras; (2) perbuatan seseorang atau kelompok orang yg menyebabkan cedera atau matinya orang lain atau menyebabkan kerusakan fisik atau barang orang lain; (3) paksaan. Dalam konteks perlakuan dan tindakan, bahasa Indonesia memaknai kekerasan sebagai ‘perbuatan’ yang menyebabkan ‘cedera’ atau ‘mati’nya ‘orang lain’, atau kerusakan ‘fisik’ dan ‘barang’, serta menyebut kata ‘paksaan’ sebagai padanannya.
            Menurut penulis, pemaknaan dalam bahasa Indonesia belumlah defenitif secara etimologis bila dibandingkan dengan bahasa Inggris, lantaran tidak kuatnya akar sejarah dalam kata ‘kekerasan’. Sementara kata ‘violence’ –yang menurut Merriam-webster Dictionary telah digunakan pada abad 14 M, memiliki konteks sejarah yang lebih kuat. Kata ‘violence[/vaɪ(ə)ləns/] berasal dari bahasa Latin, violentus/violentia, yang berasal dari kata atau vīs yang berarti kekuasaan atau berkuasa. Violence dimaknai sebagai ekspresi fisik maupun verbal yang mencerminkan tindakan agresi dan penyerangan terhadap kebebasan atau martabat seseorang, oleh perorangan atau kelompok, yang didasarkan pada ‘kewenangan’. Artinya, violence (kekerasan) adalah penggunaan kewenangan tanpa keabsahan atau tindakan sewenang-wenang.

Interpretasi Teoritis
Relasi Antar Individu
Ada banyak teori yang dikembangan untuk menjelaskan latar belakang prilaku kekerasan di masyarakat. Analisa-analisa tentang kekerasan terbentang, mulai dari yang bersifat makro (perang, pemerintahan, represi) hingga yang bersifat mikro, yang terjadi antar individu.  Upaya mendefenisikan kekerasan juga dilakukan berdasarkan relasi-relasi antar individu yang kompleks seperti gender dan seksualitas. Sana Loue menjelaskan beberapa teori dalam konteks ini, yaitu:
  1. Teori Budaya Kekerasan (Culture of Violence Theory): yang terjadi pada masyarakat plural. Beberapa sub-kultur membangun norma yang membolehkan penggunaan kekerasan fisikal lebih besar ketimbang kultur dominan. Kekerasan semacam ini semakin sering terjadi pada masyarakat-yang-penuh-kekerasan ketimbang masyarakat-yang-damai. Relasi-tidak setara yang mendukung dominasi patriarkhi dalam keluarga dan menggunakan kekerasan untuk memperkuat dominasi patriarkhi adalah contohnya. Teori ini juga melahirkan teori lain yang menyatakan bahwa pornografi dan tayangan kekerasan di televisi bisa memperkuat ‘budaya kekerasan’ terhadap perempuan.

  1. Teori Ekologis (Ecological Theory), yang berusaha menghubungkan kekerasan dalam keluarga dengan lingkungan sosial yang lebih luas. Ini termasuk budaya, jaringan sosial keluarga [baik yang formal maupun informal], situasi dan kondisi keluarga terdekat, serta sejarah keluarga. Kerangka semacam ini memberikan dasar bagi teori resiko kekerasan domestik berdasarkan kriteria tertentu.

  1. Teori Evolusioner (Evolutionary Theory); teori ini mengajukan fakta bahwa masyarakat telah berubah dari yang cenderung simpel menjadi lebih kompleks; bentuk keluarga menjadi lebih kecil dan inti [ayah-ibu-anak], serta relasi sosial cenderung lebih terstruktur dan –karenanya menjadi—ambigu. Perubahan ini terjadi akibat perbedaan model pola asuh. Sebagai contoh, dalam keluarga yang sangat ketat, ke-tidakindependen-an selalu diwariskan kepada anak dan bahkan tumbuh kepercayaan bahwa hukuman fisik diperlukan untuk memastikan kepatuhan. Teori ini menyatakan bahwa kepatuhan sangat penting bagi seseorang dalam struktur hirarki tertinggi, terutama ketika aktivitas individu-individu [dibawahnya] dilakukan di masyarakat formal yang bertemu di luar rumah.
  2. Teori Feminis (Feminist Theory): terdiri dari banyak pandangan tentang kekerasan domestik. M Beograd dalam bukunya Feminist Perspectives in Wife Abuse mengidentifikasi empat ketegangan yang umum terjadi, yaitu: 1). Sebagai kelas dominan, laki-laki memiliki akses berbeda terhadap materi dan sumber daya simbolis sementara perempuan dianggap sekunder dan inferior [lebih rendah]; 2). Kekerasan pasangan intim dapat diprediksi terjadi dan merupakan dimensi umum ‘kehidupan normal keluarga’; 3). Pengalaman perempuan seringkali dianggap ‘tidak penting’ karena dominasi laki-laki mempengaruhi seluruh aspek kehidupan; dan 4). Perspektif feminis didedikasikan untuk mengadvokasi perempuan.
  3. Perspektif Bio-psiko-sosial (Biopsychosocial Perspective): teori ini berpretensi menggabungkan faktor biologis (level hormon testorteron, kecanduan alkohol), faktor sosial (stres dalam hubungan sosial, kualitas hubungan, pemasukan keuangan, tingkat hubungan sosial) dan faktor psikologis (tendensi anti-sosial, permusuhan, egosentrisme, kebutuhan akan kepuasan dan perhatian) dalam penyebab kekerasan.
  4. Teori Pertukaran (Exchange Theory): teori ini menggambarkan bahwa orang-orang saling melukai atau melakukan perbuatan buruk karena ini merupakan jalan untuk mencapai tujuan tertentu dan keuntungan yang sesuai dengan apa yang mereka lakukan. Seorang suami yang mengalami kecaman sosial dan tekanan cenderung untuk menggunakan kekerasan sebagai cara mengontrol lingkungannya.
  5. Teori Investasi (Investment Theory): teori ini mengajukan alasan komitmen untuk sebuah hubungan, termasuk tengelam dalam kepuasan hubungan, fungsi negatif dari perasaan lain, serta sejumlah hal lain merupakan investasi. Investasi semacam ini dapat berupa emosional, sosial dan finansial [termasuk berbentuk kekerasan].
  6. Teori Sumberdaya (Resource Theory): teori ini menekankan bahwa pengambil keputusan dalam keluarga memperoleh nilai dari ‘sumberdaya’ yang dibawa oleh setiap orang dalam hubungan. Sumberdaya [yang kemudian diberusaha diperoleh dengan mengesahkan kekerasan] dapat berupa finansial, sosial dan organisasional.
  7. Teori Pembelajaran Sosial (Social Learning Theory): menurut teori ini, kekerasan dalam keluarga disebabkan oleh faktor situasional dan kontekstual. Faktor Kontekstual misalnya berupa karakteristik individu/pasangan, stres, kekerasan dalam keluarga atau kepribadian yang agresif. Sedangkan faktor situasional dapat berupa bentuk substansi kekerasan dan kesulitan keuangan. Teori ini juga memperluas faktor-faktor ini sebagai pengaruh pertumbuhan anak yang dikombinasikan dengan faktor eksternal.
  8. Teori Kekuasaan Perkawinan (Marital Power Theory): teori ini membagi kekuasaan menjadi tiga bidang: dasar kekuasaan, proses kekuasaan dan akibat kekuasaan. Dasar kekuasaan terdiri dari aset dan sumberdaya yang memberikan basis bagi dominasi salah satu dari pasangan terhadap yang lainnya. Proses kekuasaan berupa teknik interaksi yang digunakan seseorang untuk mengusai pengontrolan, seperti negosiasi, ketegasan, dan pemecahan masalah. Akibat kekuasaan merujuk pada siapa yang sebenarnya mengambil keputusan. Menurut teori ini, pasangan yang tidak memiliki kekuasaan cenderung mengalami kekerasan.

  1. Teori Ikatan Traumatis (Traumatic Bonding Theory): teori ini menjelaskan mengapa seorang perempuan tetap memilih bersama laki-laki yang telah menganiayanya. Ada dua ciri yang digambarkan: 1). Adanya ketidakseimbangan kekuasaan dalam sebuah hubungan, dimana pelaku kekerasan mempersepsikan dirinya dominan atas yang lainnya, dan 2). Sifat kekerasan yang berulang-ulang. Individu yang lemah dalam sebuah hubungan perlahan menjadi tergantung pada yang dominan.  Jeda antar tindak kekerasan adalah waktu dimana gambaran positif dari cinta dan kasih sayang dibangun untuk melegitimasi hubungan. Teori Sindrom Stockholm mengajukan pengalaman yang variatif dalam kasus semacam ini: korban kekerasan yang bersemangat untuk berterimakasih atas sedikit kebaikan yang diberikan pelaku, korban merasionalisasi tindak kekerasan, korban memendam/mengabaikan kemarahannya, korban merasakan kebutuhan untuk ‘memasuki kepala pelaku’ ketimbang untuk mengetahui bagaimana cara menolong dirinya, korban seringkali melihat ‘dunia’ dari sudut pandang pelaku, serta korban menunjukkan tanda-tanda stres paska-trauma.
 Perspektif World Health Organization
Kekerasan diartikan oleh Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) sebagai penggunaan kekuatan fisik atau kekuasaan secara sengaja, yang mengancam atau mengenai diri sendiri, orang lain, atau kelompok atau komunitas, yang mengakibatkan atau berpotensi mengakibatkan cidera, kematian, gangguan psikologis, gangguan perkembangan atau kerugian (the intentional use of physical force or power, threatened or actual, against oneself, another person, or against a group or community, that either results in or has a high likelihood of resulting in injury, death, psychological harm, maldevelopment or deprivation).
Dimasukkannya kata ‘kekuasaan’ (power) yang ditambakan pada frasa ‘penggunaan kekuatan fisik’ (use of physical force) meluaskan sifat perbuatan kekerasan dan memperluas pengertian yang selama ini konvensional, sehingga dapat memasukkan perbuatan kekerasan sebagai efek dari relasi kekuasaan, termasuk pengancaman dan intimidasi. Penggunaan ‘kekuasaan’ juga dimaksudkan untuk memasukkan pelalaian/pengabaian atau pembiaran (neglect or acts of omnision), sebagai tambahan atas kekerasan yang paling dominan berupa tindakan sengaja (acts of commission). Dengan demikian, ‘penggunaan kekuatan fisik atau kekuasaan’ harus dipahami juga memasukkan pelalaian/pengabaian dan segala bentuk perlakuan fisikal, seksual dan psikologikal, termasuk bunuh diri dan penganiayaan diri lainnya. Defenisi ini juga meliputi tingkat dampak yang lebih luas berupa gangguan psikologis, gangguan perkembangan atau kerugian materil..

No comments:

Post a Comment

Komentar Facebook