Sunday, November 16, 2014

BERUJUNG PADA KEKERASAN FISIK TERHADAP ANAK MANJA



KEKERASAN FISIK TERHADAP
ANAK MANJA

m.rakib lpmp  riau indonesia 2014
KEKERASAN FISIK.
 
Kekerasan fisik kerap kali tidak ada batas jelas antara menyiksa dan mendisiplinkan.

Kasus: Yani (30 th) sering menghukum‘kenakalan; anaknya yang bersusia 5 tahun. Bentuk kenakalan itu antara lain, menuang sabun di kamar mandi, tak mau makan, mengotori jemuran dan menganggu adik. “Kalau nakalnya di kamar mandi, ya saya pukul pakai gayung. Kalau tak mau makan, saya pukul pakai sendok atau piring. Kalau menggangu adiknya, saya pukul pakai maiannya.” Menurut Yani, anak harus dihukum supaya jera dan tidak mengulangi perbuatan yang dilarang. Yani tak ingin disalhkan suami karena tak mampu mendidik anak.

Dampak fisik: Memar, luka, patah tulang terutama di daerah rusuk dan gangguan-gangguan di bagian tubuh lain seperti kepala, perut, pinggul, kelak di usia selanjutnya.

Dampak emosi:
  • Merasa terancam, tertekan, gelisah dan cemas.
  • Membangun pemahaman bahwa memukul dibenarkan untuk memberi disiplin. Di usia dewasa, anak akan menggunakan pendekatana kekerasan untuk mendisiplinkan anak.
Orang tua diharapkan:
  • Konsultasi pada psikologi untuk latihan mengelola emosi, menggali masalah suami siteri yang tidak selesai dan mempelajarai perkembangan anak.
  • Ajak anak ke dokter untuk memeriksakan kondisi fisik.
  • Pahami perkembangan anak. Di usia 5 hingag 8 tahun, anak sedang berada pad atahap ingin menunjukkan kemampuan, mereka ingin berekreasi. Tidak semua tindakan anak merupakan kenakalan, mereka tidak tahu bahwa tingkah lakunya salah atau kurang tepat.
Bantuan untuk anak:
  • Pemeriksaan psikologis oleh psikolog untuk mengetahui gangguan emosi yang dialaminya dan mendapat terapi yang sesuai.
  • Tumbuhkan kemabli rasa percaya diri anak. Terimalah apa yang mereka lakukan dengan tidak lupa memberitahu tindakan apa yang seharusnya dilakukan.
  • Bila orang tua bukan pelaku kekerasan, yakinkan anak bahwa ia sangat dicintai.
Baca juga:
Ipat, anak manja yang kering jiwanya. Pinjam uang ke sana ke mari. Dulu dimnja, masih remaja, tapi kini sudah bekeluarga. Uang yang diperlukan lebih banyak lagi. Keterampilan apa yang dapat diandalkan. Rumah di kampung sudah terjual. Jiwa konsumtif terus mendera. Ondeh Pat…..pat..Wahai ananda Pat..tegakkan kepala..
Wahai Ananda Tegakkan Kepala,
Orang Teraniaya Wajib Kau Bela
Melawan Yang Batil Janganlah Kau Jera
Musuh Yang Datang Jangan Kau Kira
          Pangkat, kedudukan, dan wanita dapat membuat seeorang berperilaku tidak jujur. Hal ini ditunjukkan oleh sikap dan perilaku para warga yang membawa tubuh rajawali untuk membuktikan kepada raja bahwa merekalah yang telah menaklukkan rajawali itu agar diangkat menjadi keluarga atau menantu raja. Padahal sebenarnya, bukan mereka yang telah menaklukkan rajawali itu. Akibatnya, mereka pun menjadi malu setelah sang Raja mengetahui bahwa penakluk rajawali itu adalah seorang pemuda pengembara, bukan mereka. Dikatakan dalam tunjuk ajar Melayu:
Karena Tak Jujur, Hidup Hancur
Karena Tak Jujur, Aib Bertabur
Karena Tak Jujur, Hilanglah Mujur
Karena Tak Jujur, Badan Terkubur
Karena Tak Jujur  anak Bini Kebulur
Karena Tak Jujur, Muka Berlumpur
Karena Tak Jujur, Penat Berjemur
Karena Tak Jujur, Kepala Bertelur
(Samsuni/sas/87/07-08)
Sumber:
  • Isi cerita diadaptasi dari Muthalib, H. Abdul. 1999. Cerita Rakyat dari Sulawesi Selatan. Jakarta: Grasindo.
  • Anonim. “Sulawesi Selatan”, (http://id.wikipedia.org/wiki/Sulawesi_Selatan, diakses tanggal 15 Juli 2008.
  • Effendy, Tenas. 2006. Tunjuk Ajar Melayu. Yogyakarta: Balai Kajian dan Pengembangan Budaya Melayu bekerja sama dengan AdiCita Karya Nusa.
 “Anak Manja” atau “Hantu Lapar”
Ada tulisan amat menarik dari curhat sesorang di internet, tapi sayang beliau tidak menyebutkan namanya, katanya begini: Mungkin banyak sekali cerita atau kejadian mengenai konflik antara orang tua dan anak, dari film atau sinetron, bahkan di dunia nyata. Saya ingin bercerita mengenai beberapa kisah konflik orang tua dan anak. Pada awalnya saya hendak memberi judul "Anak vs Orang Tua" pada tulisan ini. Akan tetapi, sepertinya terlalu ekstrem. Seakan-akan anak dan orang tua adalah musuh. Bagaimana pun juga mereka adalah orang tua dan anak, tak seharusnya bermusuhan. Okay, kisah ini bukan kisah mengenai saya, tetapi saya cukup mengetahui situasinya. Saya adalah orang luar dan saya mengambil sudut pandang si anak. Berhubung saya belum menjadi orang tua, jadi saya lebih mudah memahami perasaan si anak. Saya tidak mengetahui secara detail kisahnya, mungkin saya juga akan sedikit lebih mendramatisasi kisah ini.

Kisah dimulai dengan sepasang suami istri yang sudah menikah sekitar lima tahun (tepatnya saya tidak tahu, saya hanya mengira-ngira saja). Sekian lama menikah, mereka belum juga dikaruniai anak. Akhirnya mereka memutuskan untuk mengangkat anak. Anak tersebut perempuan dan masih memiliki hubungan darah dengan sang istri, yaitu keponakan sang istri, anak dari kakak sang istri.

Mereka berdua bahagia dengan kehadiran anak tersebut, terutama sang suami. Sang suami sangat memanjakan anak tersebut, semua keinginannya dipenuhi, sehingga anak tersebut menjadi anak yang manja. Setelah anak tersebut menginjak usia 9 tahun (saya juga hanya mengira-ngira), sang istri akhirnya hamil dan kemudian melahirkan anak laki-laki. Walaupun mereka sudah memiliki anak kandung, tetapi mereka tetap menyayangi anak angkat mereka.

Anak angkat mereka yang sudah lama jadi anak tunggal mungkin agak merasa mendapatkan saingan. Kadang ia bersikap egois dan tidak mau mengalah kepada adiknya. O iya, mereka tinggal di kampung halaman sang istri dan lebih dekat dengan keluarga sang istri. Keluarga besar sang istri sering berkumpul pada saat acara-acara besar seperti hari raya idul fitri. Saat keluarga besar berkumpul, sang anak angkat cenderung antisosial dan tidak bergaul dengan sepupu-sepupunya.

Ternyata setahun kemudian, sang istri melahirkan anak laki-laki lagi. Pada awalnya mereka merupakan keluarga bahagia. Namun, beberapa tahun kemudian sang suami ternyata selingkuh. Sang istri harus merawat anak-anaknya yang masih kecil sendirian karena sang suami jarang ada di rumah, yang lebih menyedihkan lagi nafkah dari sang suami berkurang, atau hampir tidak ada. Lebih parahnya lagi, sang suami mulai menjual harta istrinya tanpa sepengetahuan sang istri. Sang istri kadang harus mencari tambahan uang untuk membiayai anak-anak mereka. Beberapa kali ia mencoba membuka usaha, tetapi selalu kandas.

Keluarga sang istri tidak bisa membantu banyak, tetapi berusaha untuk menghibur dan mendukung sang istri. Keluarga sang istri kini sangat membenci sang suami dan menyalahkan si anak angkat karena tidak membantu ibunya. Saat ini sang anak angkat sudah berusia 16 tahun. Yeah, seharusnya dia berbakti kepada ibunya, walaupun bukan ibu kandung. Selama ini ibunya selalu merawat dan menyayanginya.

Seperti yang saya katakan sebelumnya, saya akan mengambil sudut pandang sebagai sang anak. Selama sembilan tahun dia menjadi anak tunggal, selalu dimanjakan oleh orang tuanya. Apakah salah dia karena dia menjadi anak manja dan egois? Dia baru berusia 16 tahun, saat konflik menimpa keluarganya dia berusia lebih muda lagi. Menurut saya hal ini sangat berat untuk ditanggung oleh remaja putri berusia 16 tahun. Yeah, tau lah ya ABG kayak gimana. Saat teman-teman sebayanya menikmati hidup, dia menanggung sesuatu beban di pikirannya. Pasti kita sering mendengar kisah mengenai anak yang keluarganya berantakan. Tidak sedikit anak yang mengalami hal demikian terjerumus ke dalam hal-hal negatif (ga perlu saya sebutin lah ya). Udah untung tuh anak ga terjerumus ke dalam hal-hal yang negatif. Kenapa sih si anak dipersalahkan? Dia memang tidak dipersalahkan atas kehancuran keluarganya, tetapi dia dituntut untuk meringankan beban ibunya. Memang tidak salah sih, memang sudah seharusnya sang anak berbakti. Namun, apakah kita juga tidak bisa memahami perasaannya? Dalam hal ini bukan hanya sang ibu yang menjadi korban dan satu-satunya yang harus dikasihani. Saya pikir mental sang anak sekarang pasti sudah terganggu. Si anak juga harus dikasihani dan diperhatikan. Oh come on, she's just a teenage girl with this kind of situation.

Akhirya penulis itu menyatakan “Maaf, di akhir-akhir saya sedikit emosional. Wkwkwkwk...
Musuh jiwa mendorong dan mengobarkan jiwa dengan nafsu keinginan untuk dipuaskan dengan menyodorkan keyakinan palsu bahwa hanya dengan dipenuhinya keinginan, kebahagiaan akan datang. Seperti halnya seorang “Anak Manja” yang menuntut sesuatu yang diinginkan untuk dipenuhi, dan mendesak dipenuhi sekarang juga, begitulah strategi musuh jiwa. Ia akan menggunakan segala cara supaya keinginannya terpenuhi, misalnya dengan meluapkan amarah, mengancam atau memberi tekanan. Kalau Anda sebagai orang tua memenuhi setiap permintaan si “Anak Manja”, maka Anda sedang merusak dirinya dan justru tidak membuatnya bahagia. Si “Anak Manja” dalam diri kita juga seperti “Hantu Lapar”. Ia terus ingin makan, meskipun tidak pernah kenyang. 
Strategi tersebut mudah dipatahkan dengan tidak menuruti kemauannya. Musuh jiwa akan lemah bila dilawan dan kuat bila dibiarkan. Bila kita mulai kasihan, takut atau kehilangan keberanian, maka amarah dan ancaman garang si “Anak Manja” atau “Hantu Lapar” itu menjadi hebat dan tak terhingga. Maka di muka bumi ini tiada binatang yang lebih ganas daripada musuh jiwa dalam mengejar maksud jahat dengan kedurhakaan yang luar biasa. Sebaliknya, bila kita dengan gigih menentang godaan-godaan musuh dan mengadakan perlawanan yang tepat berbalikan, ia menjadi lemah, hilang keberaniannya, lari pergi dengan godaan-godaannya. 
 Strategi sebagai “Kekasih Palsu” atau “Buaya Darat”.
Musuh jiwa mendorong agar orang merahasiakan atau menyembunyikan segala godaan, keraguan, kesia-siaan, maksud dan perbuatan buruk agar orang makin terpuruk. Seorang suami atau isteri yang serong, misalnya, tentu akan merahasiakan hubungan gelapnya dengan kekasihnya yang lain, supaya maksud serongnya tidak diketahui pasanganya yang resmi. 
Karena strategi musuh jiwa adalah menyembunyikan, maka strategi untuk melawannya adalah membuka apa yang disembunyikan. Ignatius Loyola memberikan nasehat agar orang yang mengalami godaan, membukanya di hadapan bapa pengakuan atau orang lain, yang mengenal akan tipu muslihat musuh jiwa. Ia tahu usaha jahat yang dimulai atau dilangsungkannya tak akan berhasil bila tipu dayanya jelas terbuka. 
Orang yang rajin datang kepada bapa pengakuan bisa jadi masih akan lebih banyak lagi jatuh dalam kelemahan bila motif-motif tersembunyi di balik pikiran, perasaan, kata-kata dan perbuatan tubuh tidak diterangi dengan kesadaran. Maka terbuka di hadapan bapa pengakuan bisa menolong tetapi belum akan memutus kekuatan musuh jiwa bila dirinya sendiri tidak mengembangkan kesadaran untuk menerangi bidang-bidang gelap dalam dirinya. 
 Strategi sebagai “Komandan Pasukan Perang
Dalam usaha untuk menundukkan dan merebut apa yang diinginkan, musuh jiwa akan menghitung dan mempelajari titik kelemahan dan kekuatan lawan, baik secara fisik, mental, intelektual, social, dan spiritual. Setelah melakukan persiapan yang memadai, penyerangan barulah dilakukan. Bidang-bidang di mana kita kedapatan paling lemah dan rapuh, itulah yang menjadi sasaran serangan. Saat-saat kita lengah, pada waktu itulah serangan datang. 
Strategi “Komandan Pasukan Perang” ini bisa dipatahkan dengan mengembangkan kesadaran akan titik kelemahan, menyadari godaan, menghindari situasi-situasi yang bisa membuat kita terjatuh, dan tahu bagaimana menghimpun kekuatan. Mengenal kelemahan punya arti tahu mengapa, bagaimana, kapan, dan di mana kelemahan itu bermanifest. Saat godaan datang, kita tahu apakah kita cukup kuat atau sedang lemah. Kalau tahu bahwa kita lemah, kita perlu mundur atau menghindar dari situasi-situasi yang menggoda. Menyepi, bermeditasi, retret, atau melakukan studi untuk lebih mengenal diri akan menolong untuk menghimpun kembali kekuatan jiwa. 
 Strategi sebagai “Malaikat Terang”
Musuh jiwa menyaru sebagai malaikat terang dengan mengikuti suasana jiwa yang saleh dan akhirnya menggiring ke arah maksud sendiri. Ia menyodorkan pikiran-pikiran yang baik-baik dan suci-suci, yang luhur dan mulia, mengikuti jalan pikiran dari jiwa yang baik dan saleh; lalu sedikit demi sedikit menyeret jiwa ke arah tipu muslihat tersembunyi dan maksud-maksud durhaka. 
Strategi “Malaikat Terang” bisa dipatahkan dengan melihat jalan pikiran pada awal, tengah dan akhir. Setiap jalan pikiran yang membawa kepada kualitas jiwa seperti Keseimbangan, Kemurnian, Kedamaian, Kekuatan; Kasih, Kebahagiaan, Keindahan, Kebaikan, Kebenaran pastilah bukan berasal dari musuh jiwa. Sedangkan jalan pikiran yang berakhir pada kebalikannya—kekacauan, kekotoran, konflik, kelemahan; kebencian, kepedihan, keburukan, kejahatan, kepalsuan pastilah datang dari musuh jiwa. Meskipun awalnya baik, tengahnya baik, tetapi bila akhirnya buruk pastilah dari musuh jiwa. 
Strategi #1, #2 dan #3 sering digunakan untuk menyerang jiwa-jiwa yang jatuh dari keburukan yang satu ke keburukan yang lain. Sedangkan strategi #4 sering dipakai untuk menyerang jiwa-jiwa yang berkembang dari kebaikan yang satu ke yang lebih baik lagi. 
Pada orang yang jatuh dari keburukan yang satu ke keburukan yang lain, musuh menyodorkan kesenangan semu atau kenikmatan palsu; seringkali berkaitan dengan kesenangan inderawi. Roh baik memakai cara sebaliknya, menyesakkan hati dengan teguran pada budi.
Pada orang yang meningkat dari taraf yang baik ke yang lebih baik, ciri khas musuh jiwa  menyesakkan dan menghalangi dengan menyodorkan alasan-alasan palsu, kepercayaan keliru atau pikiran keliru, supaya orang tidak maju lebih lanjut. Musuh juga sering menyodorkan kenikmatan palsu, terutama berkaitan dengan hiburan rohani. Ciri khas roh baik ialah memberi kejernihan, semangat dan kekuatan, hiburan, air mata, inspirasi, ketenangan, membuat semuanya mudah, dan menyingkirkan segala rintangan.
Pada orang yang meningkat dari taraf yang baik ke yang lebih baik, roh baik menjamah jiwa dengan halus, lembut dan manis, seperti air meresap masuk spon. Sebaliknya roh jahat menjamah jiwa dengan kasar, keras, kacau, dan meninggalkan kepahitan dan kegetiran, seperti air jatuh di atas batu.
Bila Anda kadang-kadang merasa tidak berdaya berhadapan dengan kelemahan Anda, sesungguhnya perasaan lemah itu sendiri adalah hasil tipuan musuh jiwa. Sesungguhnya hakekat jiwa adalah Kuat. Maka menyadari kelemahan saja tidak cukup; perlu kemudian merealisasikan Kekuatan itu sekarang dan di sini, dari saat ke saat. Ketika “pikiran-terdelusi”, “diri-ilusif”, atau “kesadaran dualistic” berakhir setiap kali disadari, Kekuatan itu timbul dengan sendirinya. Kekuatan yang adalah esensi jiwa atau “batin yang murni, tak-terbatas, tak-terkondisi” ini tak bisa ditundukkan oleh kekuatan apapun dari musuh jiwa.
Kekuatan datang bukan ketika Anda bebas dari kelemahan, tetapi ketika Anda merealisasikan Kekuatan itu sekarang dan dengan Kekuatan itu kelemahan ditransformasikan. (js)

No comments:

Post a Comment

Komentar Facebook