Sunday, November 2, 2014

KEKERASAN DALAM ISLAM



KEKERASAN DALAM ISLAM

Suatu kritik oleh Cornelis van Vallenhoven bahwa hukum adat Islamlah  yang seharusnya berlaku terhadap orang yang ber KTP Islam, kritik van Vallenhoven ini diperkuat oleh Christian Snouk Hurgronye dengan teori reseptienya. Teori Snouk Hurgronye ini mempengaruhi politik hukum Belanda, sehingga masyarakat Indonesia menjauhi hukum Islam, salah satunya adalah kewarisan dan berdasarkan Staatsblat 1937 No. 116 jo Staatsblat No. 610 pengadilan agama (priesterraad) tidak dibolehkan memutuskan masalah waris. Setelah Indonesia merdeka pada tahun limapuluhan Hazairin dalam bukunya Tujuh Serangkai Tentang Hukum yang dikutip oleh Ichtijanto, membantah terori receptie yang disebutnya teori iblis.
Dengan demikian, sejauh mana perkembangan hukum kewarisan Islam di Indonesia?
Sebelum Masa Pemerintahan Belanda
Telah banyak kerajaan Islam di Nusantara seperti kerjaan Pasai, Demak, Cirbon, Buton dan Ternate yang memberlakukan hukum Islam. Paham yang dianut (legal sistem) pada umumnya bermazhab Syafi’i. Kerjaan tersebut telah menerapkan norma-norma hukum Islam dan masyarakat memberlakukannya. Pemberlakukan hukum Islam oleh kerajaan Islam tersebut tidak parsial. Sesuai dengan terori penerima otoritas hukum Islam yang dijelaskan oleh Gibb dalam bukunya The Modern Trends in Islam yang dikutip A. Rahmat Rosyadi dan M. Rais Ahmad, bahwa orang-orang Islam menaati hukum Islam karena diperintahkan oleh Allah dan Rasul-Nyai. Oleh karena itu, apabila mereka telah menerima Islam sebagai agamanya, maka mereka akan menerima otoritas hukum Islam terhadap dirinya. Bagi orang Islam, hukum Islam adalah kehendak dan tatan Allah dan tradisi rasul.[2] Demikian pula teori krido, atau teopri syahadat yaitu teori yang mengharuskan pelaksanaan hukum Islam oleh mereka yang telah mengucapkan dua kalimah syahadat sebgai konsekuesi logis dari pengucapan kredonya[3].
Dilihat dari sudut penetaan hukum Islam, melaksanakan syari’at Islam yang dilengkapi dengan institusi-institusi keagamaan, seperti pengadilan agama merupakan fardu kifayah (kewajiban sosial). Karenanya, pada kerajaan-kerajaan dan kesultanan-kesultanan tersebut selalu membentuk badan-badan peradilan untuk memeriksa, mengadili, dan memutuskan perkara berdasarkan hukum acara peradilan Islam (mukhasamat). Hal ini merupakan salah satu pendekatan syariat Islam. Dari sinilah, kerajaan dan kesultanan itu menerapkan hukum waris … sebagai hukum yang hidup (living law) di masyarakat sekaligus menjadi budaya hukum Indonesia pada masanya.[4] Selanjutnya dikatakan bahwa Pengadilan Agama dimasa kerjaan dan kesultanan pada waktu itu sudah menunjukkan keberhasilannya dalam menyelesaikan perkara kewarisan …orang-orang Islam. [5]
Menurut Syaukani biasanya pemberlakuan hukum Islam pada kerjaan-kerjaan Islam itu sangat bergantung pada mazhab yang dianut oleh para Sultan[6]. Selnjutnya dikatakan walaupun pemberlakuan Islam berdasarkan pada mazahb yang dianut oleh para Sultan, tetapi hukum Islam telah mengubah pola pemikiran dan cara pandang kesadaran masyarakat Indonesia sehingga menjadikannya sebagai adat dan perilaku keseharian.[7]
Misalnya masyarakat Aceh menyatakan, hukum Islam adalah adatnya, adatnya adalah hukum Islam. Di Minangkabau berlaku kaidah, adat bersendikan syarak; syarak bersendikan kitabullah. Demikian juga di Pulau Jawa, pengaruhnya sangat kuat sehingga Alqur’an, As-Sunnah, ijma’, dan qiyas telah dijadikan ukuran kebenaran ilmiah dan pedoman perilaku. Kerajaan dan kesultanan Islam saat itu telah berhasil mempengaruhi kebeeragamaan masyarakat Indonesia untuk menjalankan syariat Islam.
Masa Pemerintahan Belanda (Penjajahan)
Salah satu kebijakan pemerintah Hindia Belanda dalam menyahuti pemikiran dan implimentasi hukum Islam adalah merumuskan dan menformulasikan teori-teori yang berkenaan dengan cita-cita hukum dan adat masyarakat Indonesia. Di antara teori yang dikenal luas adalah:
1); teori receptie in complexu oleh Lodewijke Willwm Christian van den Berg pada tahun 1884 menulis buku dengan nama Muhammadagch recht (Asas-Asas Hukum Islam) menyatakan hukum Islam berlaku bagi orang-orang Islam Indonesia walaupun dengan sedikit penyimpangan-penyimpangan,[8] pendapat van den Berg ini dikenal dengn teori recetio in complexu.
Teori ini merupakan rumusan hasil pergulatan pemikirannya, setelah memperhatikan dan mencermati fakta-fakta hukum yang terjadi pada masyarakat pribumi. Kemudian, van den Berg mengonsepkan Staatsblat 1882 Nomor 152 yang berisi ketentuan bagi rakyat pribumi atau rakyat jajahan berlaku hukum agama di lingkungan hidupnya. Hal ini berarti, bagi rakyat jajahan yang beragama Islam di Indonesia berlaku hukum Islam. Bagi badan-badan peradilan agama, ketika pemerintah Hindia Belanda datang ke Indonesia sudah melaksanakan hukum agama Islam, tetap dilanjutkan dan diakui kewenangan hukumnya.[9]
Pemeritahan Gubenur Daendels, anggapan umum bahwa hukum asli terdiri atas hukum Islam, sedangkan Reffles mengira hukum adat itu tidak lain hukum Islam.[10] karena pandangan Pemerintah Belanda bahwa hukum Islam adalah hukum asli Indonesia, maka ditetapkan Regering Reglemen (Staatsbalat 1884 Nomor 129 di Negeri Belanda jo Staatsblat 1885 Nomor 2 di Indonesia) terutama diatur dalam Pasal 75, Pasal 78 jo Pasal 109 Reglemen teersebut, waktu dikenal dengan Receptio in Complexu.
Subtansi ketiga pasal tersebut adalah setiap sengketa antara orang-orang Indonesia yang beragama Islam diberlakukan hukum Islam. Hukum agama, adat dan ke biasaan itu juga dipakai oleh hakim Eropa pada Pengadilan yang lebih tinggi. Sengketa antara orang Indonesia atau dipersamakan dengan itu dipakai harus tunduk pada keputusan Hakim Agama menurut hukum agama. Demikian bagi orang Arab, Moor dan orang Cina yang dipesamakan dengan orang Indonesiaada baik yang beragama Ismlan maupun bukan beragama Islam diberlakukan dengan hukum yang sama.[11]
Dari ketentuan peraturan dan Undang-udang tersebut, menurut Muhammad Ali Daud (1982 :101) bahwa tanpak dimasa pertama pemerintahan Hindia Belanda, hukum Islam itu diakue eksistensinya sebagai hukum positif yang berlaku bagi orang Indonesia terutama mereka yang beragama Islam, dan perumusan-perumusan, ketentuan-ketentuan itu dalam perundang-undangan ditulis satu nafas dan sejajar dengan hukum adat, bahkan sejak zaman VOC pun keadaan ini telah berlangsung demikain juga, seperti terkenal compendium freijer,[12] dapat juga dikatan hukum adat dapat diberlakukan jika diresepi atau diterima oleh hukum Islam.
Cornelis van Vollenhoven yang dikenal ahli hukum adat Indonesia, dia membagi hukum adat atas 19 persekutuan hukum adat, mengiritik dan menyerang pasal 75, 78 dan 109 RR Staatsblat 1855 No 2 itu, dan van den Berg juga turut dikritik dan diserang atas teori recetio in complexu itu.
2); teori receptie oleh oleh Chritian Snouck Hoergronje, penasehat Pemerintah Hindia Belanda tentang masalah-masalah Isla am dan anak negeri. Memperkuat kritikan van Vollenhomen terhaap teori receptie in complexu Menurut Snouck Horgronje, hukum yang berlaku bagi orang- orang Islam adalah hukum adat mereka masing-masinF. Hukum Islam dapat berlaku apabila telah diresepsi oleh hukum adat. Pendapat Snouck Horgronje ini disebut dengan teori receptie[13] Jadi adatlah menentukan ada tidaknya hukum Islam. (A. Rahmat Rosyadi dan M. Rais Ahmad, 2006 : 74).
Pendapat Snouck Horgronje tersebut merobah pandangan politik hukum Hindia Belanda, perubahan atas Staatsblat 1855 No.2 diganting dengan Indische Staats Regeling (staatsblat 1925 N0. 416) disusul dengan Staatsblat No. 1929 No. 221 dimana nyatakan hukum Islam tidak lagi mempunyai kedudukan yang tersendiri. Hukum Islam baru dianggap berlaku sebagai hukum apabila telah memenuhi dua syarat.
Pertama: Norma Hukum Islam itu harus diterima terlebih dahulu oleh hukum kebiasaan (adapt masyarakat setempat).
Kedua: Kalaupun sudah diterima oleh Hukum Adat, norma dan kaidah Hukum Islam itu juga tidak boleh bertentangan ataupun tidak boleh telah ditentukan lain oleh ketentuan perundang-undangan Hindia Belanda.
Demikian pula lat 1882 No. 152 dimana pengadilan aganma mempunyai kewenagan memeriksa perkara perkawinan dan kewrisan diganti dengan Staatsblat 1937 No. 116, hukum waris dihapus dari kewenangan Pengadilan Agama. Kompensasinya dieuntuk pengadilan tingkat banding di Pulau Jawa dan Madura. Dan Staatsblat 1937 No. 610 tentang Pengadilan Agama dan pengadilan tinggi Agama di Kalimatan Selatan.
Teori receptie berpijak pada asumsi dan pemikiran bahwa jika orang-orang pribumi mempunyai kebudayaan yang sama atau dekat dengan kebudayaan Eropah, maka penjajahan atas Indonesia akan berjalan dengan baik dan tidak akan timbul guncangan-guncangan terhadap kekuasaan pemerintah Hindia Belanda. Oleh karena itu, Pemerintah Hindia Belanda harus mendekati golongan-golongan yang akan menghidupkan hukum adapt dan memberikan dorongan kepada mereka, untuk mendekatkan golongan hukum adapt kepada pemerintah.[14]

          Tindak  kekerasan sering kali kurang memperoleh perhatian publik secara serius karena penderitaan yang dialami korban dianggap tidak sedramatis sebagaimana layaknya anak-anak yang ditelantarkan. Kekerasan seringkali diidentikkan dengan kekerasan kasat mata, seperti kekerasan fisikal dan seksual. Padahal kekerasan yang bersifat psikis dan sosial (struktural) juga membawa dampak buruk dan permanen terhadap anak. Istilah (child abuse) atau perlakuan salah terhadap anak bisa terentang mulai yang bersifat fisik (physical abuse) hingga seksual (sexual abuse), dari yang bermatra psikis (mental abuse) hingga sosial (social abuse) yang berdimensi kekerasan struktural. Perlindungan anak diatur secara khusus (lex specialis)
sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Perlindungan Anak No 23 Tahun 2002, berbeda dengan tindak pidana  pada umumnya. Mengacu pada permasalahan tersebut, objek kajian dalam penelitian ini  adalah Undang-Undang No 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.

         Nah  perlindungan hukum bagi anak korban kekerasan agar mendapatkan perlindungan hukum yangmemadai, pendekatan yang digunakan pendekatan normatif yuridis, sedangkan metode yang dipakai metode analisa induktif, melihat pengertian kekerasan anak dalam kasus ini berbeda dengan kekerasan
pada umumnya Lahirnya UU No 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak yang disetujui DPR RI tanggal 23 September 2002, memberi perlindungan hukum terhadap anak secara yuridis. Pokok bahasan pada penulisan ini adalah: bagaimana
pandangan serta sanksi pidana terhadap pelaku kekerasan anak, menurut hukum Islam dan UU No 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak?.Dari pembahasan yang telah penulis lakukan, dapat diambil kesimpulan bahwa:

1.Hukum Islam memandang tindakan kekerasan anak sebagai tindakan yang tidak
dibenarkan dalam Islam, serta dikategorikan sebagai tindak pidana yang berakibat
dapat dipidana dengan sanksi hukum. Berdasarkan pad a hukum ta’zir. Yang ketentuan putusan hukumannya diserahkan kepada kebi
jaksanaan pihak penguasa atau hakim.

2.UU No 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak meman
dang tindakan kekerasan anak sebagai tindakan pelanggaran hukum yang beraki
bat dapat dipidana dengan sanksi hukum sebagaimana diatur dalam UU No 23 Tahu
n 2002 tentang Perlindungan Anak lebih khususnya dalam Pasal 80.

Banyak ayat2 Qur’an yang memerlukan penjelasan yang jelas. “Bunuh kafir di mana pun kau menemukanya.” (2:191) “Perangi mereka, sampai tidak ada fitnah lagi dan ketaatan adalah semata-mata bagi Allâh saja.” (2:193)
Bagaimana para Muslim menerangkan ayat2 ini? Bukankah ayat2 ini, dan ayat2 serupa lainnya dalam Qur’an, yang bertanggung jawab atas terjadinya kekerasan di dalam dunia Islam? Kebanyakan agama, termasuk Kristen, punya sejarah masa lalu yang penuh kekerasan. Tapi Islam adalah satu2nya agama yang mengajarkan tindakan kekerasan dalam buku sucinya. Mengapa? Ini adalah pertanyaan sah yang membutuhkan jawaban.
——————–
Kalimat-kalimat di atas adalah sebuah pertanyaan yang terselip dalam bab 7 buku kacangan yang menghina Nabi Muhammad SAW, karangan Ali Sina yang mengaku pernah beragama Islam.

Jim Ball seorang penyiar radio di Sidney menulis: “Ali Sina adalah murtadin Iran yang memelopori website faithfreedom.org. Bersama-sama dengan murtadin2 lainnya seperti Ibn Warraq, Sina adalah ujung tombak gerakan murtadin pertama dalam sejarah Islam. Hal ini dimungkinkan terjadi dalam sepuluh sampai lima belas tahun terakhir karena imigrasi Muslim ke tanah Barat dan perkembangan teknologi internet…. Tidak berlebihan untuk mengatakan jika orang2 seperti Ali Sina, Ibn Warraq dan Wafa Sultan selamat dari ancaman mati bagi yang meninggalkan Islam, maka Islam tidak akan tampak sama lagi.”
——————-
Sebagai orang awam saat saya membaca atau mendengar ada ayat Al-Quran bermakna “Bunuh kafir di mana pun kau menemukanya.” (2:191) spontan saya akan menanyakan dalam hati “apa konteksnya?”. Perkara membunuh bukan perkara kecil, ini masalah menghilangkan nyawa seseorang, masalah mencabut hak hidup yang diberikan Tuhan kepada Makhluk dan sekarang dikenal sebagai Hak Asasi.
Saya paham bahwa sebagian ayat Al-Quran adalah sebuah dasar hukum, namun sebuah dasar hukum akan menjadi cacat jika tidak memiliki landasan dan tujuan, ini akan menyalahi tujuan dari hukum itu sendiri.
Karena saya bukan orang yang cukup terpelajar mengenai Al-Quran, maka tidak ada jalan lain kecuali membuka Al-Quran dan membaca ayat tersebut.
Dan di Al-Quranlah saya menemukan jawaban.
(2:190). Dan perangilah di jalan Allah orang-orang yang memerangi kamu, (tetapi) janganlah kamu melampaui batas, karena sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas.
(2:191). Dan bunuhlah mereka di mana saja kamu jumpai mereka, dan usirlah mereka dari tempat mereka telah mengusir kamu (Mekah); dan fitnah itu lebih besar bahayanya dari pembunuhan, dan janganlah kamu memerangi mereka di Masjidil Haram, kecuali jika mereka memerangi kamu di tempat itu. Jika mereka memerangi kamu (di tempat itu), maka bunuhlah mereka. Demikanlah balasan bagi orang-orang kafir.
(2:192). Kemudian jika mereka berhenti (dari memusuhi kamu), maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.
[2.190] And fight in the way of Allah with those who fight with you, and do not exceed the limits, surely Allah does not love those who exceed the limits.
[2.191] And kill them wherever you find them, and drive them out from whence they drove you out, and persecution is severer than slaughter, and do not fight with them at the Sacred Mosque until they fight with you in it, but if they do fight you, then slay them; such is the recompense of the unbelievers.
[2.192] But if they desist, then surely Allah is Forgiving, Merciful.
Saya kira jika saja Ali Sina itu pernah membaca Al-Quran, bukan hanya mengutip potongan-potongan ayat hingga kehilangan konteksnya, maka ia tidak akan bertanya-tanya mengapa ada ayat seperti ini dalam Al-Quran.
Kita bisa melihat bahwa semangat perang pada 2 ayat di atas adalah semangat “membela diri”.
- “perangilah di jalan Allah” orang-orang yang memerangi kamu. (Al-Quran belum menggunakan istilah “kafir” di sini sebagaimana Ali Sina sebutkan)
- bunuhlah mereka di mana saja kamu jumpai mereka.
- usirlah mereka dari tempat mereka telah mengusir kamu.
- dan janganlah kamu memerangi mereka di Masjidil Haram, kecuali jika mereka memerangi kamu di tempat itu.
- Jika mereka memerangi kamu (di tempat itu), maka bunuhlah mereka. (Barulah Al-Quran kemudian menggunakan istilah “kafir” di bagian akhir ayat)
Terjawab sudah pertanyaan saya mengenai konteks ayat tersebut.
Saya kira tidak perlu lagi dijelaskan mengenai hukum sebab-akibat.
Namun mengenai kata “bunuhlah” ini tampaknya perlu diperjelas, agar orang semacam Ali Sina ini dapat informasi yang lebih seimbang mengenai potongan-potongan ayat yang entah dia kutip dari mana.
Dalam situasi perang fisik dimanapun dan karena apapun, kata “membunuh atau dibunuh” bukan sebuah idiom yang ganjil, dan kita tentu paham senjata dalam peperangan itu digunakan untuk apa. Namun jika meneliti ayat-ayat di atas, ada rambu-rambu yang kiranya perlu pula diperhatikan, dan jika kita hilangkan memang akan menampilkan sebuah semangat barbar dan kekejaman. Sebuah image yang sengaja ingin ditampilkan oleh Ali Sina.
Rambu-rambu itu adalah:
- janganlah kamu melampaui batas, karena sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas;
- jika mereka berhenti (dari memusuhi kamu), maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.
- and do not exceed the limits, surely Allah does not love those who exceed the limits.
- But if they desist, then surely Allah is Forgiving, Merciful.
Pertanyaan Ali Sina akan lebih obyektif jika yang ditanyakan adalah sampai sejauhmana batasan-batasan itu. Itu sebuah pertanyaan yang perlu referensi lain untuk menjawabnya, dan karena Ali Sina tidak menanyakan itu saya pun tidak perlu menjawabnya. Jika saja Ali Sina pernah membaca Al-Quran, mungkin dia akan menanyakan hal itu.
Makna ayat “jika mereka berhenti (dari menyerang kamu), maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”. Adalah sebuah isyarat halus yang cukup mudah untuk dipahami. Bahwa jika mereka berhenti menyerang, maka sifat pengampun dan penyayang adalah sebuah misi penutup dari akhir peperangan itu. Ini semua tercakup dalam ayat sebelumnya, yaitu “perangilah di jalan Allah”, jadi bukan hanya perang defensif semata, yang jika sipenyerang sudah berhenti menyerang maka terjadi pembalasan dendam dengan menyerang balik secara agresif.
———-
Mari ke ayat selanjutnya.
(2:193). Dan perangilah mereka itu, sehingga tidak ada fitnah lagi dan ketaatan itu hanya semata-mata untuk Allah. Jika mereka berhenti (dari memusuhi kamu), maka tidak ada permusuhan (lagi), kecuali terhadap orang-orang yang zalim.
[2.193] And fight with them until there is no persecution, and religion should be only for Allah, but if they desist, then there should be no hostility except against the oppressors.
Kenapa Ali Sina memotong ayat itu sehingga hanya menjadi:
“Perangi mereka, sampai tidak ada fitnah lagi dan ketaatan adalah semata-mata bagi Allah saja.” (2:193)
Padahal potongan ayat selanjutnya sangat penting, dan akan menjawab pertanyaan saya tentang konteks ayat tersebut.
Potongan ayat yang dibuang oleh Ali Sina itu berbunyi:
“… Jika mereka berhenti (dari memusuhi kamu), maka tidak ada permusuhan (lagi), kecuali terhadap orang-orang yang zalim”
“… but if they desist, then there should be no hostility except against the oppressors”.
————————————
Makna lain yang saya tangkap dari ayat ini:
” Dan perangilah mereka itu, sehingga tidak ada fitnah lagi”
Terserah Ali Sina ingin mengartikan apa kata “Fitnah”, namun sudah jelas bahwa perang ini memiliki tujuan, bukan hanya sekadar ingin memuaskan nafsu bunuh membunuh yang absurd.
“….dan ketaatan itu hanya semata-mata untuk Allah”
Ini akidah dasar Umat Islam, ketaatan, agama, religion itu hanya kepada Allah, bukan kepada komandan perang, presiden atau siapapun. Jika diawal disinggung perintah “perangilah di jalan Allah” maka perang itu sendiri merupakan ketaatan, memiliki nilai lebih, yaitu ibadah, yang melandasi upaya untuk “membela diri”. Jadi jika perang sudah usai, entah karena “Fitnah” telah lenyap, atau karena musuh berhenti menyerang, maka perintah lain yang tidak sejiwa dengan perintah Allah pada ayat-ayat ini menjadi “tidak bernilai ibadah” lagi. Entah itu perintah untuk terus melakukan serangan dari komandan perang demi hasrat menang atau ingin menjajah dlsb, atau perintah lainnya.
Jika “….dan ketaatan itu hanya semata-mata untuk Allah” diartikan bahwa perang itu harus dilakukan hingga hanya tinggal ada satu agama, yaitu Islam, maka pemahaman seperti itu adalah pemahaman yang ganjil, dan tidak nyambung dan bertolak belakang dengan kelanjutan ayat yang berbunyi “Jika mereka berhenti (dari memusuhi kamu), maka tidak ada permusuhan (lagi), kecuali terhadap orang-orang yang zalim”
Kelanjutan ayat ini, yaitu “Jika mereka berhenti (dari memusuhi kamu), maka tidak ada permusuhan (lagi), kecuali terhadap orang-orang yang zalim” menjadi penutup yang sangat manis.
Sebuah kalimat pasif, yang justru menjelaskan dari mana permusuhan itu datang dan menjelaskan, bahwa orang-orang Zalim dikecualikan dari ketentuan ini.
Kenapa Ali Sina tidak melihat ada pembedaan istilah di sini.
Jika di akhir ayat 2:191 menggunakan istilah “kafir” maka di sini menggunakan istilah “Zalim”. Saya kira jika Ali Sina pernah beragama Islam, maka dia tahu apa beda makna istilah “Kafir” dan “Zalim”.
———————————–
Kebanyakan agama, termasuk Kristen, punya sejarah masa lalu yang penuh kekerasan. Tapi Islam adalah satu2nya agama yang mengajarkan tindakan kekerasan dalam buku sucinya. Mengapa? Ini adalah pertanyaan sah yang membutuhkan jawaban.
———————————–
Sekarang sudah jelas konteks ayat-ayat tersebut, menurut saya disana tidak diajarkan tindak kekerasan. Jika membela diri (sekalipun dengan membunuh dalam peperangan) dikategorikan sebagai kekerasan (dalam pengertian sebuah tindakan yang salah menurut Ali Sina) maka saya justru mempertanyakan standard keadilan seperti apa yang Ali Sina tawarkan.
Mengenai pernyataan bahwa Islam adalah satu2nya agama yang mengajarkan kekerasan dalam buku sucinya, sudah saya jelaskan bahwa yang di maksud sebagai “kekerasan” oleh Ali Sina ini adalah dalam rangka membela diri akibat diserang dan diperangi, dan saya tidak pernah mempelajari kitab suci agama lain, sehingga saya tidak dapat mengetahui apakah disana di ajarkan kekerasan, atau apalah.
Kontradiksi lainnya adalah jika benar pernyataan Ali Sina bahwa Al-Quran satu-satunya yang mengajarkan “kekerasan” (yang terbukti sebagai aksi membela diri), maka apa yang di ajarkan buku-buku suci agama lain saat umat mereka diserang dan diperangi???
Jika membela diri dipandang sebagai kekerasan, maka arti dari kontradiksi itu justru diluar nalar, apakah kita akan menyerahkan diri kita begitu saja untuk dibunuh oleh pihak-pihak yang menyerang dan memerangi kita??? Itukah yang diajarkan buku-buku suci agama lain???
Sukurlah Islam tidak mengajarkan umatnya untuk menyerang tanpa alasan, jika tidak, mungkin sudah lama tak ada lagi agama lain dimuka bumi ini selain Islam. Karena ternyata umat selain Islam tidak diajarkan membela diri saat diperangi, karena membela diri akibat diserang dan diperangi adalah sebuah “kekerasan”.


No comments:

Post a Comment

Komentar Facebook