Sunday, November 2, 2014

UKURAN DEWASA MENURUT IMAM SYAFII



HUKUMAN UNTUK REMAJA
M.RAKIB LPMP RIAU INDONESIA
PELANGGARAN PIDANA ANAK-ANAK DALAM HUKUM PIDANA ISLAM
  1. Kriteria Anak dan Hukuman
    1. Pengertian Anak

Pengertian anak dari segi bahasa adalah keturunan kedua sebagai hasil dari hubungan antara pria dan wanita. Di dalam bahasa Arab terdapat berbagai macam kata yang digunakan untuk arti anak, sekalipun terdapat perbedaan yang positif di dalam pemakaiannya. Kata-kata sinonim ini tidak sepenuhnya sama artinya. Umpamanya “walad” artinya secara umum anak, tetapi dipakai untuk anak yang dilahirkan oleh manusia dan binatang yang bersangkutan.

Idealnya dunia anak adalah dunia istimewa tidak ada kekhawatiran dan tidak ada beban yang harus dipikul pada masa itu. Namun terkadang anak harus menanggung beban seperti orang dewasa karena dianggapnya sebagai miniatur orang dewasa terlebih lagi tidak diperlukan karakteristik dan ciri khasnya mereka yang juga punya keinginan, harapan dan dunia mereka sendiri.
Pengertian anak dalam berbagai disiplin ilmu berbeda-beda dan penulis hanya memaparkan pengertian anak dari segi hukum Islam maupun hukum positif. Hukum Islam telah menetapkan bahwa yang dimaksud dengan anak adalah seorang manusia yang telah mencapai umur tujuh tahun dan belum balligh, sedang menurut kesepakatan para ulama, manusia dianggap balligh apabila mereka telah mencapai usia 15 tahun.

 Kata balligh berasal dari fiil madi balagha, yablughu, bulughan yang berarti sampai, menyampaikan, mendapat, balligh, masak. Pendapat para ahli fiqh mengenai kedudukan anak berbeda-beda menurut masa yang dilaluinya, yaitu:

1. Masa tidak adanya kemampuan berpikir. Masa ini dimulai sejak lahir sampai usia 7 tahun, perbuatan pidana yang dilakukannya tidak dikenai hukuman.
2. Masa kemampuan berpikir lemah. Masa ini dimulai sejak anak berusia 7 tahun sampai usia 15 tahun. Pada masa tersebut mereka dijatuhi pengajaran. Pengajaran ini meskipun sebenarnya hukuman namun tetap dianggap sebagai hukuman mendidik bukan hukuman pidana.
3. Masa kemampuan berpikir penuh. Masa ini dimulai sejak anak mencapai usia kecerdasan yang pada umumnya telah mencapai usia 15 tahun atau 18 tahun. Pada masa ini telah dikenakan pertanggungjawaban pidana atas tindak pidana yang dilakukan. Adapun menurut Sayyid Sabiq, yang dimaksud dengan batas anak adalah apabila ia telah bermimpi dengan kata lain sudah balligh. Salah satu tanda balligh itu adalah telah sampai umur 15 tahun seperti riwayat dari Ibnu Umar.

عر ضت على النبى ص.م. يوم احد واناابن اربع عشرة سنة فلم يجزنى وعرضت عليه يوم الخند ق واناابن خمس عشرة سنة فاجازن.
Menurut Abdul Qadir Audah anak di bawah umur dapat ditentukan bahwa laki-laki itu belum keluar sperma dan bagi perempuan belum haid, ikhtilam dan belum pernah hamil. Menurut jumhur fuqaha berpendapat bahwa kedudukan anak laki-laki dan anak perempuan sama yakni tentang kedewasaannya yaitu keluarnya sperma dan telah haid serta terlihatnya kecerdasan.

 Dari dasar ayat al-Qur’an dan Hadiş serta dari berbagai pendapat tersebut di atas dapat dipahami bahwa kedewasaan menurut islam adalah dengan ikhtilam namun terjadi perselisihan mengenai batas umurnya. Hal ini disebabkan karena adanya perbedaan iklim, suhu, temperamen, dan tabiat seseorang serta lingkungan sekitarnya. Adapun yang menjadi dasar tidak cakapnya seorang anak adalah disandarkan pula pada ketentuan hukum yang terdapat dalam al-Qur’an.

وابتلوااليتامى حتى اذابلغواالنكاح.فان انستم منهم رشدا فادفعوااليهم اموالهم.

Tersebut sebagai berikut حتى اذا بلغوا النكاحPara ahli tafsir menafsirkan lafaz

قال مجاهد يعنى الحلم: قال جمهورمن العلماء البلوغ فىالغلام تارة يكون بلحلوم وهوان يرى فى منامه ماينزل به الما الدافق الذى يكون منه الولد
Sedangkan dalam tafsir Ruh al-Bayan, lafaz حتى اذا بلغوا النكاحhanya ditafsirkan apabila mereka telah sampai umur balligh atau dewasa ditandai dengan mimpi basah yang menyiapkan mereka untuk kawin dan selanjutnya disebut baligh.

Kemudian kapan seorang anak dapat dikatakan telah mencapai dewasa? Untuk menjawab hal ini dapat dilihat dari pendapat Imam Syafi’i, sebagaimana yang telah dikutip oleh Chairuman dan Suhrawardi dalam bukunya hukum perjanjian dan hukun Islam. Imam Syafi’i mengungkapkan apabila telah sempurna umur 15 tahun baik laki-laki maupun perempuan, kecuali bagi laki-laki yang sudah ikhtilam atau perempuan yang sudah haid sebelum mencapai umur 15 tahun maka sudah dianggap dewasa.

Seorang anak laki-laki yang mimpi bersetubuh sehingga mengeluarkan air mani walaupun belum berumur 15 tahun sudah dianggap dewasa adalah disebabkan ketentuan hukum yang terdapat dalam al-Qur’an:
واذابلغ الاطفال منكم الحلم فليستأذنواكمااستأذن الذين منقبلهم.
Seperti halnya dalam hukum jual beli oleh anak yang belum dewasa menurut ulama-ulama Islam adalah berbeda-beda. Tetapi sebagian besar ulama berpendapat bahwa jual beli yang dilakukan oleh anak yang belum dewasa boleh, asalkan ada izin dari wali dan anak tersebut sudah mumayiz (bisa membedakan antara baik dan buruknya sesuatu).
Pada tingkatan pertama, kesepakatan ulama menyatakan bahwa tidak adanya kemampuan menggunakan alam pikirannya, bermula dari anak itu dilahirkan sampai ia berumur 7 tahun.
Dalam tingkatan kedua, kemampuan untuk menggunakan pikirannya akan tetapi masih lemah karena kondisis jiwa yang masih labil. Tingkatan ini bermula dari umur 7 tahun sampai anak tersebut baligh.
Sedangkan untuk tingkatan ketiga, kemampuan dalam mempergunakan alam pikiranya secara sempurna dimulai dari balighnya seorang anak yaitu setelah berumur 15 tahun ( pendapat keumuman ulama fiqih) atau setelah berumur 18 tahun (pendapat Abu Hanifah dan Mashur Malik)
Al-Qur’an memandang tentang anak secara global dapat diformulasikan dengan prinsip: “anak tidak menjadi sebab kesulitan dan kesengsaraan orang tua dan orang tua tidak menjadi penyebab kesulitan dan kesengsaraan anak-anaknya. Sebagaimana firman Allah swt:
...لا تضاروالدة بولدها ولا مولدله بولده.
Ayat di atas dapat dimengerti bahwa antara anak dan orang tua mempunyai hubungan timbal balik saling menguntungkan. Mafhumnya adalah orang tua harus memelihara anak- anaknya dengan baik agar anak dapat tumbuh dan hidup serta tumbuh dengan wajar. Jika anak dapat tumbuh secara wajar baik fisik,jasmani maupun rohaninya niscaya akan menjadi anak baik dan tidak akan menyengsarakan malahan dapat mendo’akan kedua orang tuanya agar selamat dan bahagia di dunia maupun akhirat.
Al-Qur’an secara jelas memberikan gambaran-gambaran tentang keberadaan anak dalam kehidupan, diantaranya:
1. Anak sebagai penyejuk hati, firman Allah SWT:
والذين يقولون ربناهبلنا من ازوجنا وذرياتناقرةاعين واجعلنا للمتقين اماما
2. Anak sebagai perhiasan hidup di dunia,firman Allah SWT:
المال والبنون زينة الحيوة الدنيا....
Ada sebuah riwayat yang diriwayatkan dari Ali bin Abi Ţalib:
المال والبنون حرث الدنيا. والعمل الصالح حرث الاخرة وقد جمعهاالله لا قوام
3. Anak sebagai kabar gembira
يازكرياانانبشرك بغلام اسمه يحى لم نجعل له من قبل سميا.
4. Anak sebagai cobaan
انمااموالكم واولادكم فتنة والله عنده اجرعظيم.
واعلمواانمااموالكم واولا دكم فتنة وان الله عنده اجرعظيم.
Al-Fitnah yaitu cobaan dan ujian, yakni sesuatu yang berat hati untuk melakukan, meninggalkan, menerima, atau menolaknya. Fitnah bisa terjadi pada keyakinan, perkataan, perbuatan dan apa saja. Akan halnya dengan anak-anak memang cinta kita terhadap mereka adalah termasuk hal yang telah Allah SWT titipkan dalam fitrah kita. Oleh karena itu, cinta terhadap anak-anak dapat membawa orang tuanya bersedia untuk mengeluarkan segala yang ada demi anak.
Menurut suatu riwayat dari Abu Said al-Khudri yang diriwayatkan secara marfu’ dari Nabi saw:
المولد ثمرة القلب وانه مجبنة مبخلة محزنة.
Anak itu buah hati, dan sesungguhnya dia adalah penyebab kekecutan hati, kekikiran, dan kesedihan.
Jadi, fitnah yang ditimbulkan oleh anak adalah lebih besar dari pada yang ditimbulkan oleh harta, sehingga orang mau saja mencari harta haram dan mengambil harta orang lain secara batil demi anak.
Maka wajib bagi setiap mukmin untuk memelihara diri dari kedua macam fitnah tersebut. Dari keterulangan dua ayat di atas, menggambarkan betapa pentingnya anak sebagai cobaan dan memerlukan perhatian yang cukup. Sehinga tidak menutup kemungkinan jiwa anak dapat menjadi musuh bagi orang tuanya karena kurangnya pendidikan dari orang tua terutama pendidikan dalam lingkungan keluarga. Firman Allah SWT:
ياايها الذين امنواان من ازواجكم واولادكم عدوالكم فاحذروهم وان تعفوا وتصفحوا وتغفروا فان الله غفوررحيم.
Karena kerap kali terjadi bahwa seseorang berbuat salah terhadap orang lain demi kepentingan isteri atau anak-anaknya, jadi dalam suatu hal, isteri atau anak dapat menjadi musuh. Hendaklah diingat bahwa disini digunakan kata Mim yang artinya hanya kadang-kadang saja seseorang terjerumus dalam jalan kejahatan.
Dari ayat ini dapat ditafsirkan bahwa gara-gara istri dan anaknya, seorang suami akan menjadi binasa, karena keduanya selalu mencela dan mengejeknya, karena kemiskinannya, sehingga ia melaksanakan perbuatan yang jahat (untuk menghilangkannya), hal ini sesuai dengan hadis Nabi saw:
يأتي زمان على امتي يكون فيه هلاك الرجل على يدزوجته وولده يعيرانه بالفقرفيركب مراكب السؤفيهلك.
Al-Qur’an menempatkan anak pada posisi yang sangat penting ini terbukti bahwa ada sebuah ayat yang mengetengahkan anak dengan statemen sumpah, yaitu :
ووالدوماولد.
Allah swt. tidak menggunakan statemen sumpah kecuali untuk hal-hal yang penting dan harus mendapat perhatian. Secara konseptual al-Qur’an menyikapi anak sebagai sosok yang penting dan harus mendapat perhatian yang serius.
2. Pengertian Hukuman
Dalam suatu peraturan hukum pidana baik yang memuat larangan melakukan maupun perintah untuk melakukan sudah semestinya disertai dengan adanya sanksi atau hukuman supaya bentuk larangan maupun perintah itu diakui oleh segenap anggota masyarakat yang bersangkutan. Kemudian bagaimana cara menghukum pelanggar aturan itu tentunya memerlukan aturan lebih lanjut yang merupakan bagian dari suatu sistem hukuman.
Sanksi atau hukuman dalam hukum pidana Islam disebut ‘īqāb (bentuk singularnya sedangkan bentuk pluralnya adalah ‘uqūbah) yang memiliki arti siksaan atau balasan terhadap kejahatan.
Abd. al-Qadir Audah memberikan definisi hukuman sebagai pembalasan atas pelanggaran perintah syara’ yang ditetapkan untuk kemaslahatan masyarakat.
Sedangkan menurut Abu Zahrah, hukuman merupakan siksaan bagi si pelaku kejahatan sebagai balasan baginya dan hukuman itu merupakan suatu ketetapan syara’ di dalam menghilangkan mafsadah, dan menghilangkan mafsadah itu sendiri merupakan kemaslahatan.
Senada dengan yang dikemukakan oleh Abd. al-Qadir Audah tersebut, Ahmad Fathi Bahansi mengemukakan tentang hukuman adalah bahwa hukuman juga merupakan bagian ketetapan dari syar’i sebagai upaya pencegahan terhadap dilakukannya pelanggaran-pelanggaran baik yang berupa melakukan perbuatan yang dilarang maupun melakukan suatu perintah dari syar’i itu, yang dengan upaya pencegahan itu seorang pelaku jarimah tidak lagi melakukan pelanggaran itu atau perbuatan-perbuatan yang pada intinya melanggar aturan. Dalam hal ini hukuman itu lebih bersifat prevensi (pencegahan) khusus yaitu bagi pelaku jarĩmah. Berbeda dengan pemaparan Abd. al-Qadir Audah yang lebih bersifat prevensi umum atau dengan mempertimbangkan kepentingan masyarakat.
Dari beberapa pengertian di atas dapat dikemukakan bahwa hukuman merupakan balasan atas perbuatan pelaku kejahatan yang mengakibatkan orang lain menjadi korban dari perbuatannya, dan ditetapkannya hukuman bertujuan untuk kemaslahatan bersama.
Esensi dari hukuman bagi pelaku suatu jarimah menurut Islam adalah pertama, pencegahan serta balasan (ar-rad ‘u wa al-zajru), dan kedua adalah perbaikan dan pengajaran (al-islah wa at-tahzib). Dengan tujuan tersebut, pelaku jarimah diharapkan tidak mengulangi perbuatan jeleknya. Di samping itu juga merupakan tindakan preventif bagi orang lain untuk tidak melakukan hal yang sama.

B. Perbuatan Anak-anak yang Dianggap Sebagai suatu Pelanggaran
Jarimah (tindak pidana) dalam Islam, jika dilihat dari segi berat ringannya hukuman ada tiga jenis, yaitu hudud, qisas diyat dan ta’zir.
a. Jarimah Hudud
Yaitu perbuatan melanggar hukum yang jenis ancaman dan hukumannya ditentukan oleh nas, yaitu hukuman had (hak Allah). Hukuman had yang dimaksud tidak mempunyai batas terendah dan tertinggi dan tidak bisa dihapuskan oleh perorangan (si korban atau walinya) atau masyarakat yang mewakili (ulil amri).
Para ulama sepakat bahwa yang termasuk kategori dalam jarimah hudud ada tujuh, yaitu: zina, qazf (menuduh zina), pencurian, perampokan atau penyamunan (hirabah), pemberontakan(al-baghy), minum-minuman keras, dan riddah (murtad).
b. Jarimah Qisas Diyat
Yaitu perbuatan yang diancam dengan hukuman qisas dan diyat. Yang termasuk dalam kategori jarimah qisas diyat:
1. pembunuhan sengaja (al-qatl al-amd)
2. pembunuhan semi sengaja (al-qatl sibh al-amd)
3. pembunuhan keliru (al-qatl khata’)
4. penganiayaan sengaja (al-jarh al-amd)
5. penganiayaan salah (al-jarh khata’)
c. Jarimah Ta’zir
Yaitu memberi pelajaran, artinya suatu jarimah yang diancam dengan hukuman ta’zir yaitu hukuman yang selain had dan qisas diyat. Yang termasuk dalam kategori jarimah ta’zir seperti sumpah palsu, saksi palsu, mengicu timbangan, mengingkari janji, menghianati amanat, dan menghina agama.

C. Ketentuan Pemidanaan
Hukuman atas tindakan pidana dibagi dalam empat kelompok yaitu:
1. Hukuman fisik yang meliputi hukuman mati, potong tangan, cambuk, rajam sampai mati,
2. Membatasi kebebasan yang meliputi hukuman penjara atau mengirim si terhukum ke pengasingan.
3. Membayar denda.
4. Peringatan yang diberikan hakim
Adapun secara rinci suatu hukuman yang diterapkan terhadap pelaku jarimah dapat dibedakan menjadi lima kelompok, yaitu:
1. Berdasarkan pertalian satu hukuman dengan hukuman lainnya. Poin ada empat tipologi, yaitu:
a. Hukuman Pokok ( al-‘uqũbah al-asliyah), yaitu hukuman yang telah ditetapkan dan merupakan hokum asal daari suatu jarimah seperti hukuman qişaş dalam pembunuhan, rajam, perzinahan dan potong tangan dalam pencurian.
b. Hukuman Pengganti (al-‘uqũbah al-badaliyah), yaitu hukuman yang mengganti hukuman pokok apabila hukuman pokok tidak dapat dilaksanakan karena alasan syar’i seperti denda dalam hukuman qişaş dan ta’zir sebagai pengganti hukuman had dan qişaş.
c. Hukuman Tambahan (al-‘uqũbah al-taba’iyah), yaitu yang mengikuti hukuman pokok tanpa mengikuti keputusan secara tersendiri. Seperti larangan menerima warisan bagi orang yang melakukan pembunuhan terhadap keluarga dan itu merupakan tambahan dari hukuman qişaş.
d. Hukuman Pelengkap (al-‘uqũbat al-takmiliyah), yaitu hukuman yang mengikuti hukuman pokok dengan syarat ada keputusan tersendiri dari hakim.
2. Berdasarkan kekuasaan hakim dalam menentukan berat ringannya hukuman
a. Hukuman yang hanya mempunyai satu batas. Artinya hukuman itu tidak ada batas tertinggi dan terendahnya. Seperti hukuman had dengan 80 kali cambukan
b. Hukuman yang mempunyai batas tertinggi dan terendah di mana hakim diberi kebebasan untuk memilih hukuman yang sesuai di antara dua batas tersebut. Seperti penjara atau jilid dalam jarimah ta’zir.
3. Berdasarkan besarnya hukuman yang telah ditentukan
a. Hukuman yang telah ditentukan macam dan besarnya, di mana seorang hakim harus melaksanakannya tanpa dikurangi atau ditambah atau diganti dengan hukuman lain.
b. Hukuman yang diserahkan kepada hakim untuk dipilihnya dari sekumpulan hukuman-hukuman yang telah ditetapkan oleh syara’ agar bisa disesuikan dengan keadaan perbuatan dan perbuatannya.
4. Berdasarkan tempat dilakukannya hukuman
a. Hukuman badan, yaitu hukuman yang dikenakan pada anggota badan manusia. Seperti jilid.
b. Hukuman yang dikenakan pada jiwa, seperti hukuman mati.
c. Hukuman yang dikenakan kepada kemerdekaan manusia seperti hukuman penjara atau pengasingan.
d. Hukuman harta, seperti hukuman diyat dan perampasan.
5. Berdasarkan macamnya jarimah serta hukumannya
a. Hukuman had, yaitu hukuman yang ditetapkan atas jarimah-jarimah hudud. Antara lain: jilid 100 kali, pengasingan, rajam. Tiga macam hukuman tersebut ditetapkan bagi jarimah perzinahan. Jilid 80 kali bagi jarimah Qadaf dan peminum khamr, potong tangan bagi jarimah pencurian dan hukuman mati bagi pembunuhan. Hukuman mati dan salib, pemotongan anggota badan, dan pengasingan. Ketiga hukuman tersebut ditetapkan dalam jarimah hirabah. Hukuman mati dan perampasan harta bagi jarimah murtad dan pemberontakan.
b. Hukuman Qişaş-Diyat, yaitu hukuman yang ditetapkan atas jarimah: 1) Qisas, yaitu pelaku jarimah dijatuhi hukuman setimpal bagi perbuatannya. 2) Diyat, yaitu hukuman pokok bagi jarimah pembunuhan dan penganiayaan semi sengaja dan tidak sengaja. 3) Pencabutan hak waris dan menerima wasiat merupakan hukuman tambahan dalam jarimah pembunuhan tidak sengaja.
c. Hukuman Ta’zir, yaitu hukuman yang ditetapkan untuk jarimah-jarimah ta’zir seperti penjara kurungan, pengasingan, ancaman, dan denda.
Maksud pokok hukuman dalam Islam adalah memelihara dan menciptakan kemaslahatan manusia dan menjaga mereka dari hal-hal yang mafsadah. Dengan demikian hukuman yang baik adalah hukuman yang mampu memenuhi ketentuan sebagai berikut:
a. Mampu mencegah seseorang dari perbuatan maksiat (preventif) dan mampu menjerakan setelah terjadinya perbuatan (preventif).
b. Batas tertinggi dan terendah suatu hukuman disesuaikan dengan kebutuhan kemaslahatan masyarakat.
c. Memberikan hukuman bukanlah untuk membalas dendam namun untuk kemaslahatan.
d. Hukuman merupakan upaya terakhir dalam menjaga seseorang supaya tidak jatuh dalam suatu maksiat. Karena seseorang akan terjaga dari perbuatan maksiat apabila memiliki iman yang kokoh, berakhlak mulia dan dengan adanya sanksi duniawi yang diharapkan mencegah seseorang kedalam tindak pidana.
Dalam hadis yang diriwayatkan oleh Abu Dawud ra, disebutkan:
عن عمر بن شعيب عن جده ان رسول الله ص.م.قال مروا اولادكم بالصلاة
وهم ابناء سبع سنين واضربوهم عليها وهم ابناء عشروفرقوا بينهم فى المضاجع.
Menurut seruan di atas sanksi pukulan diakui juga oleh Islam, setelah melakukan upaya seperti nasehat atau cara lain sampai pada sanksi yang berat, namun bersifat mendidik.
Macam-macam bentuk atau cara yang dapat dipergunakan dalam rangka mendidik anak dalam situasi kondisi dan obyek didik dapat kita gali dari al-Qur’an. Mengingat obyek didik yang bermacam-macam serta situasi dan kondisi yang berbeda-beda maka tidaklah bijaksana apabila dalam mendidik anak hanya mengandalkan satu metode saja.
Di antara metode-metode dalam rangka memberikan sanksi kepada anak yang nakal antara lain:
1. Metode Ta’lim
وعلم ادم الا سماء كلها ثم عرضهم على الملئكة فقال انبؤنى با سماء هؤلاء ان
كنتم صادقين.
Metode ta’lim secara harfiah artinya memberikan sesuatu kepada seseorang yang belum tahu. Metode ta’lim ini diterapkan terhadap obyek yang sama sekali belum punya gambaran atau pengetahuan tentang apa yang dihadapinya. Oleh karena itu, orang tua bertanggung jawab untuk memenuhi tuntutan anak terutama kebutuhan rohaninya, baik dalam perintah maupun larangan yang telah ditetapkan dalam agama.

2. Metode Tarhīb
واعدوالهم مااستطعتم من قوة ومن رباط الخيل ترهبون به عدوالله وعدوكم و
اخرين من دونهم. لا تعلمونهم الله يعلمهم. وما تنفقوا من شئ فى سبيل الله يوف
اليكم وانتم لا تظلمون.
Metode ini artinya menimbulkan perasaan takut yang hebat kepada lawan. Metode tarhib berarti suatu cara yang digunakan dalam mendidik anak dengan cara penyampaian ancaman kekerasan terhadap anak. Anak-anak yang nakal agar tidak meneruskan kebiasaan buruknya.
Metode tarhīb berarti tidak membenarkan secara semena-mena kepada orang tua untuk melakukan kekerasan pada anak-anaknya tanpa pengetahuan yang benar mengenai hal-hal yang telah dilakukan oleh anak.
Metode tarhib digunakan bilamana anak yang melakukan kesalahan sudah diperingatkan dengan cara memberitahu dan ternyata anak tidak mau menghentikan perbuatan buruknya bahkan menimbulkan kecemasan kepada orang lain.
3. Metode Tagrīb
عن عبادة بن الصامت قال:قال رسول الله ص.م.خذواعني خذواعني فقدجعل
الله لهن سبيلا,البكربالبكرجلدمائة ونفي سنة والثيب با لثيب جلدمائة والرجم.
Hadis ini dapat dijadikan dasar bagi kita dalam memilih berbagai metode pendidikan dan pangajaran anak yang sesuai dengan ajaran al-Qur’an dan hadis.
Pendidikan dan pengajaran tidak hanya ditujukan untuk memberikan hal-hal yang menyenangkan kepada anak, tetapi juga menjatuhkan hukuman kepada anak bila bersalah.
Anak nakal dalam pengertian yang umum adalah mereka yang melakukan hal-hal negatif sebagai anak yang tidak melanggar ketentuan hukum negara ataupun agama. Misalnya anak suka membuat kotor di rumah.
Adapun pengertian nakal dalam hukum adalah anak-anak yang sudah berani melakukan tindak pidana, sebagaimana yang dilakukan oleh orang dewasa. Misalnya berani mencuri uang baik milik saaudaranya maupun milik orang lain.
Dengan memperhatikan al-Qur’an dan sunnah Nabi saw, kita menemukan banyak metode yang dapat digunakan dalam upaya mendidik anak. Di antara metode tersebut adalah metode tagrīb, dalam metode tagrīb orang tua diperbolehkan memberikan hukuman kepada anaknya dan mengasingkannya untuk sementara waktu barangkali menitipkannya di rumah penampungan anak-anak nakal.
Penerapan metode tagrīb ini memang dilakukan untuk menghukum anak-anak yang tidak dapat diatasi dengan cara yang halus seperti nasehat, teguran, dan ancaman. Oleh karena itu, orang tua dituntut untuk memberi pertimbangan yang matang dari keluarga dekat lainnya sebelum menerapkan metode tagrīb demi kebaikan anak pada masa datang.


Daftar Pustaka

A. Hanafi. Asas-asas Hukum Pidana. Jakarta: PT. Rineka Cipta, 1994.
Ali, Maulana Muhammad. The Holy Qur’anak. alih bahasa H. M. Bachrum, Jakarta : Dar al-Kutubiyah al-Islamiyah, 1979.
Al-Maraghi, Musthafa. Tafsir al-Maraghi. alih bahasa oleh Anwar Rasyidi, Semarang : Toha Putra, 1988.
At-Tabari, Abu Ja’far Muhammad bin Jarir. Tafsir Jami’ al-Bayan ‘an Ta’wil al-Qur’anak. Beirut : Libanon, 1995.
I. Doi, Abdurrahman. Tindak Pidana dalam Syari’at Islam. alih bahasa Sulaiman Rasjid, cet. ke-1 Jakarta: Rineka Cipta, 1992.
Ismail. Haqqi, TafsirRūh al-Bayan. Beirut : Dar al-Fikr, t.t.
K. Lubis, Chairumandan Suhrawardi. Hukum Perjanjian dan Hukum Islam. Jakarta : Sinar Grafika, 1996.
M. Fachruddin, Fuad. Masalah Anak dalam Hukum Islam. Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 1991.
M. Thalib. Pendidikan Islami: Metode 30 T. cet. ke-1, Bandung: Irsyad Baitus Salam, 1996.
Munajat, Makhrus. Dekonstruksi Hukum Pidana Islam. cet. ke-1 Yogyakarta: Logung, 2004.
Rusyd, Ibnu. Bidayah al- Mujtahid. tn.p: Wahriyai al-Kitab al-Arabiyah, t.t.
Sabiq, Sayyid. Fiqh Sunnah. Semarang : Toha Putra, t.t.
Sudarsono. Kenakalan Remaja. cet. ke-2 Jakarta : Rineka Cipta, 1991.
Ustadz Bey Arifin, dkk. Seruan Abu Dawud. Semarang: Al-Syifa’, 1992.
Posted by Josh at 6:37 AM
Sunday, July 4, 2010
0 comments:
Post a Comment
Subscribe to: Post Comments (Atom)
@ 2011 Free Makalah; Many thanks to: Blogger Templates / Web Design Company / Website Design / Amrit Ray


TEMPO.CO, Jakarta - Kabar tentang tindak kekerasan yang melibatkan pelajar masih santer saja terdengar di Ibu Kota. Dua kasus yang mencuat di antaranya adalah penyiraman air keras di bus 213 dan pembajakan bus oleh puluhan siswa SMAN 46 Jakarta.
Wakil Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama sangsi pemberian hukuman atau denda bisa membuat kapok. Menurut dia, hukuman kerja sosial bisa membuat mereka lebih jera. Anak-anak bermasalah juga tak perlu berurusan dengan penjara anak.
"Lebih baik disuruh sikat WC terminal-lah, kasihan kalau anak-anak sudah diperlakukan seperti kriminal," ujar Ahok, sapaannya, seusai mengisi talk show bertema "Membangun Karakter Positif Remaja" di Sekolah Asisi, Tebet, Jakarta Selatan, Ahad, 23 November 2013.
Oleh sebab itu, dia mendukung revisi Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Nantinya KUHP akan mengatur soal pemberian sanksi kerja sosial, terutama untuk tindak pidana ringan dan yang dilakukan oleh remaja. Apalagi lembaga pemasyarakatan di Indonesia kini sudah banyak yang penuh, sehingga diperlukan sanksi kerja sosial. Hal itu juga sudah Ahok bicarakan ketika bertemu dengan Kejaksaan Tinggi dan Pengadilan Tinggi.
Menurut Ahok, menyayangi anak bukan berarti harus alergi terhadap hukuman bagi anak bermasalah. Justru hukuman bisa menjadi wujud kasih sayang orang tua. "Kadang orang tua juga salah karena terlalu melindungi anak, padahal itu bisa membuat mereka merasa menjadi jagoan," katanya.



PANTUN  CORPORAL   PUNISHMEN

A.Corporal Punishment dan Dampaknya .

Yang dimakan, adalah  permen,
Sehingga  gusi, menjadi  gatal.
Yang  dikaatakan,  corporal  punishmen,
Hukuman  badan, bagi  remaja nakal.


  Mengapa banjir, sampai ke Tasik,
   Kursi meja hanyut, perlahan-lahan,
        Mengapa remaja perlu, hukuman fisik,
      Mereka cenderung , berlebih-lebihan,

Berpasang-pasangan, burung merpati,
Disangka makanan, sebuah  intan.
Hukuman badan bukan, menyakiti,
Hanya memberikan, sebuah kejutan.


     Topik mengenai remaja memang merupakan permasalahan yang sangat sering diangkat dan seakan-akan tak pernah habis-habisnya. Bahkan sejak zaman Yunani kuno, para filsuf terkenal seperti Plato dan Aristoteles pun telah banyak berpendapat mengenai remaja, sebuah fase usia dalam kehidupan manusia yang sering kali sangat sulit dipahami dan memiliki gejolak-gejolak tersendiri. Penulis secara pribadi pun mengalami banyak hal yang kompleks saat memasuki awal masa tersebut, banyak hal yang ketika coba direfleksikan kembali sungguh memunculkan banyak tanda tanya dan pertanyaan-pertanyaan, namun terlebih dari pada itu suatu ucapan syukur tiada habisnya pula ketika masih dalam fase tersebut  remaja mengalami suatu proses paling berharga dalam hidup, yaitu perjumpaan pribadi dengan dengan ayat-ayat Allah  SWT,  yang mengubah hampir seluruh aspek dalam kehidupan s. Syukur kepada Allah!
      Allah tentu melihat fase kehidupan ini jauh lebih serius dan mendalam dari siapapun di dunia ini, Ia yang adalah sang Kreator Agung tentu memiliki banyak rencana indah terhadap para remaja. Remaja adalah masa depan dari gereja dan bangsa, dan memang sudah semestinya perlu telaah serius dan perhatian khusus dalam penanganan remaja. Apalagi ketika dalam fase tersebut, pola asuh dan didik yang diterima secara umum dalam masyarakat, bahkan masyarakat Kristen secara khusus, adalah pola yang tidak tepat dan malah memunculkan banyak dampak negatif dan penyimpangan perilaku pada remaja. Seperti pola asuh dan didik yang bernuansa kekerasan. Kekerasan merujuk pada tindakan agresi dan pelanggaran (penyiksaan, pemerkosaan, pemukulan, dll) yang menyebabkan penderitaan atau menyakiti orang lain; kekerasan juga berkonotasi kecenderungan agresif untuk melakukan perilaku yang merusak. Kekerasan dapat terjadi psikis maupun fisik.
      Isu mengenai kekerasan pada anak dan remaja sangat meningkat dewasa ini. Kita dapat dengan mudah menemukan berita dan fakta yang termuat dalam berbagai media massa. Namun ada satu fakta mengenai suatu kekerasan spesifik yang dilakukan oleh guru, keluarga, atau orang terdekat bagi anak dan remaja dengan mengatasnamakan pendisipilinan atau pembaharuan tingkah laku yang juga disebut Corporal Punishement masih jarang diangkat dan dibicarakan. Mengapa? Karena masih terdapat banyak persepsi yang salah tentang bagaimana cara mendidik anak yang baik dan benar, serta acap kali otoritas yang dipegang oleh orangtua, guru maupun orang terdekat belum dapat dipahami dan dijalankan secara berhikmat dan benar.
       Buku  ini akan membahas lebih dalam mengenai latarbelakang dan pengertian dari corporate punishment, analisa secara psikologis yang ditimbulkan pada remaja, serta analisa dan solusi berdasar pada Christian World View.

B. Corporal Punishment
Itu Penderitaan.
       
Ke pasar  senen, membeli  intan,
Intan  sebesar, biji langsat.
Corporal punishment, berikan penderitaan,
Menyadarkan  remaja, yang tersesat.

       Pengertian Corporate punishment berdasarkan wikipedia (2009), adalah hukuman yang menimbulkan penderitaan yang dilakukan dengan sengaja dengan maksud untuk mendisiplinkan atau memperbaiki/mengubah perilaku dari sesorang yang melakukan kesalahan. Istilah ini biasanya digunakan dalam penghukuman baik yang berlatar belakang hukum, rumah tangga atau keluarga maupun pendidikan.
Corporate punishment terbagi atas tiga buah tipe utama:

- Parental Corporate punishment,
merupakan kekerasan dalam lingkup keluarga
School Corporate punishment, misalnya perilaku kekerasan dari guru terhadap murid di sekolah
Judicial Corporate punishment, misalnya pemukulan atau pencambukan baik orang muda maupun dewasa dalam koridor hukum
Sekretaris Jenderal Komisi Perlindungan Anak Indonesia, Arist Merdeka Sirait memyatakan kekerasan di dunia pendidikan cukup banyak terjadi. Dari 1926 ksaus yang dilaporkan sepanjang 2008, 28 persennya terjadi di lingkungan sekolah, sisanya terjadi di lingkungan keluarga, sosial, dan pekerjaan. Kekerasan yang paling banyak terjadi yaitu kekerasan fisik disusul kekerasan seksual dan psikis. Belum lagi kekerasan yang terjadi antara sesama murid yang terkesan dibiarkan dan cenderung menjadi hal yang biasa-biasa saja.
      Misalnya aksi kekerasan yang terjadi di kampus Institut Pemerintahan Dalam Negeri (IPDN) di Jatinangor, Sumedang, Jawa Barat. Di sini, sejumlah praja senior memukul dan menganiaya para mahasiswa juniornya. Aksi kekerasan dengan dalih pembinaan kedisiplinan ini telah menyebabkan beberapa praja (junior) meninggal dunia dan lainnya cacat fisik dan mental. Kekerasan serupa juga telah terjadi di sejumlah perguruan tinggi di Makasar, Yogyakarta, Surabaya, dan daerah lain. Penyebabnya macam-macam. Dari ketidakpuasan terhadap proses pemilihan rektor, biaya kuliah yang dianggap mahal, hingga pengalihan status perguruan tinggi yang dinilai lebih berorientasi bisnis.
       Perkelahian antar siswa yang ada di sekolah-sekolah yang mengatasnamakan eksistensi kelompok masing-masing. penganiayaan geng Gazper yang di Pondok Labu, Jakarta Selatan. Bulan Februari lalu tawuran pelajar terjadi di daerah Terogong, Cilandak Jakarta, kemudian tawuran dengan membawa benda-benda tajam yang melibatkan siswa SMA 37 Tebet dengan SMA Muhammadiyah 5, berlanjut perkelahian antar siswi-siswi di Kupang yang mengakibatkan pelakunya berurusan dengan kepolisian dan diancam dikeluarkan dari sekolah.
         Kondisi tersebut terjadi di dalam sebuah institusi pendidikan yang notabene merupakan sebuah tempat yang bukan saja untuk mengasah kemampuan kognitif dan bahasa, tetapi juga tempat untuk mengembangkan kualitas personal dan berbagai potensi diri. Sungguh tragis! Apalagi yang bisa diharapkan jika tempat yang idealnya menjadi tempat pembentukan para pemimpin Bangsa yang diharapkan dapat membawa perubahan justru menjadi tempat pembunuhan karakter besar-besaran di bangsa ini.
Belum lagi kekerasan yang terjadi dalam keluarga, yang tak jarang dapat berujung pada cacat fisik bahkan kematian. Bahkan pula bukan secara fisik namun merusak secara mental dan psikis.

      Definisi Remaja
Menurut Sarwono (1989) Definisi Remaja untuk Masyarakat Indonesia adalah mereka yang berusia 11-24 tahun dan belum menikah dengan pertimbangan sebagai berikut:
- Di banyak masyarakat Indonesia, usia 11 tahun sudah dianggap akil balik, baik secara adat istiadat maupun agama, sehingga masyarakat tidak lagi memperlakukan mereka sebagai anak-anak. (kriteria sosial)
- Usia 11 tahun adalah usia di mana pada umumnya tanda-tanda seksual sekunder mulai nampak (kriteria fisik)
Pada usia tersebut mulai ada tanda-tanda peyempurnaan perkembangan jiwa seperti tercapainya identitas diri (ego identity), tercapainya fase genital dari perkembangan psikoseksual dan tercapainya puncak perkembangan kognitif maupun moral (kriteria psikologik)
- Batas usia 24 tahun merupakan batas usia maksimal, yaitu untuk memberi peluang bagi mereka yang sampai batas usia tersebut masih menggantungkan diri pada orangtua, belum mempunyai hak-hak penuh sebagai orang dewasa (secara adat/tradisi), belum bisa memberikan pendapat sendiri dan sebagainya. Dengan perkataan lain, orang-orang yang sampai batas usia 24 tahun belum dapat memenuhi persyaratan kedewasaan secara sosial maupun psikologis, masih dapat digolongkan remaja.
- Dalam definisi di atas, status perkawinan sangat menentukan, karena arti perkawinan masih sangat penting di masyarakat kita secara menyeluruh. Seorang yang sudah menikah, pada usia berapapun dianggap dan diperlakukan sebagai orang dewasa penuh, baik secara hukum maupun dalam kehidupan masyarakat dan keluarga
Sarwono juga mengutip definisi tentang remaja yang bersifat konseptual dari WHO, remaja adalah suatu masa di mana:
- Individu berkembang dari saat pertama kali ia menunjukkan tanda-tanda seksual sekunder nya sampai saat ia mencapai kematangan seksual
- Individu mengalami perkembangan psikologis dan pola identifikasi dari kanak-kanak menjadi dewasa
- Terjadi peralihan dari ketergantungan sosial-ekonomi yang penuh kepada keadaan yang relatif lebih mandiri
Melihat definisi konseptual dari WHO seperti yang telah di sebutkan di atas, salah satu ciri-ciri remaja di samping tanda perubahan seksual adalah: “perkembangan psikologis dan pada identifikasi dari kanak-kanak menjadi dewasa”. Dalam hubungan ini Sarwono kembali mengutip Csikszentimihalyi & Larson (1984), yang menyatakan bahwa remaja adalah ”restrukturisasi kesadaran”. Masa remaja merupakan masa penyempurnaan dari perkembangan pada tahap-tahap sebelumnya. Puncak perkembangan jiwa itu ditandai dengan adanya proses perubahan dari kondisi ”entropy” ke kondisi ”negentropy”.

      Entropy adalah keadaan di mana kesadaran manusia masih belum tersusun rapi. Walaupun isinya sudah banyak (pengetahuan, perasaan, dan sebagainya), namun isi-isi tersebut belum saling terkait dengan baik, sehingga belum bisa berfungsi secara maksimal. Entropy secara psikologik berarti isi kesadaran masih saling bertentangan, saling tidak berhubungan sehingga mengurangi kapasitas kerjanya. Dalam kondisi ini akan lebih banyak muncul friction disorder atau kondisi konflik-konflik dalam diri remaja yang seringkali menimbulkan masalah pada remaja, namun memang sangat bergantung pada keadaan masyarakat di mana remaja tersebut tinggal.
       Kondisi entropy ini selama masa remaja, secara bertahap disusun, di arahkan, di strukturkan kembali, sehingga lambat laun terjadi kondisi ”negative entropy” atau negentropy. Kondisi negentropy adalah kondisi dimana isi kesadaran tersusun dengan baik, pengetahuan yang satu terkait dengan pengetahuan yang lain dan pengetahuan jelas hubungannya dengan perasaan atau sikap. Dalam kondisi negentropy ini, orang yang bersangkutan akan merasa dirinya sebagai kesatuan yang utuh dan bisa bertindak dengan tujuan yang jelas, tidak penuh kebimbangan, sehingga memiliki tanggungjawab dan semangat kerja yang tinggi.
Juga terdapat tiga tahap perkembangan remaja dalam proses penyesuaian diri menuju kedewasaan, yaitu:
- Remaja awal (early adolesence)
Seorang remaja pada tahap ini masih terheran-heran akan perubahan yang terjadi pada tubuhnya sendiri dan dorongan-dorongan yang menyertai perubahan-perubahan itu. Mereka mengembangkan pikiran-pikiran baru, cepat tertarik pada lawan jenis dan mudah terangsang secara erotis. Kepekaan yang berlebih-lebihan ini ditambah dengan berkurangnya kendali terhadap ”ego” menyebabkan para remaja awal ini sulit dimengerti orang dewasa
- Remaja madya (middle adolescence)
Pada tahap ini remaja sangat membutuhkan kawan-kawan. Ia senang kalau banyak teman yang menyukainya. Ada kecenderungan narcistic, yaitu mencintai diri sendiri, dengan menyukai teman-teman yang punya sifat-sifat yang sama dengan dirinya. Selain itu ia berada dalam kondisi kebingungan kaena ia tidak tahu harus memilih yang mana: peka atau tidak peduli, ramai-ramai atau sendiri, optimis atau pesimis, idealis atau materialis dan sebagainya.
- Remaja akhir (late adolescence)
Tahap ini adalah masa konsolidasi menuju periode dewasa dan ditandai dengan pencapaian 5 hal, yaitu:
* Minat yang makin mantap terhadap fungsi-fungsi intelek
* Egonya mencari kesempatan untuk bersatu dengan orang-orang lain dan dalam pengalaman-pengalaman baru
* Terbentuk identitas seksual yang tidak akan berubah lagi
* Egosentrisme diganti dengan keseimnbangan antara kepentingan diri dan orang lain
Memahami remaja memang bukan hal yang mudah, melihat adanya kemungkinan kompleksitas gejolak pada remaja selama masa transisi itu. Sarwono juga mengutip dari Adams & Gullota, ada lima aturan kalau kita mau membantu remaja dalam menghadapi masalah mereka. Yaitu yang pertama, trustworthiness (kepercayaan) yaitu kita harus saling percaya dengan para remaja yang dihadapi. Yang kedua, genuiness, yaitu maksud yang murni dan tidak pura-pura. Ketiga, empathi, yaitu kemampuan untuk ikut merasakan perasaan-perasaan remaja. Keempat, honesty, kejujuran. Dan yang terakhir yaitu adanya pandangan dari pihak remaja bahwa kita memang memenuhi keempat aturan tersebut di atas. Melihat kelima poin tersebut, jelaslah bahwa menghadapi remaja memang bukanah hal yang mudah.

C. Perkembangan Psikologi remaja
Arang  dan bara, di  atas  meja,
 Ukuran meja, sebesar  kardus,   
Orang  yang  bahagia,  waktu  remaja,
Hanyalah  remaja, yang  religius.

                         Meja  dibungkus, indah berbanjar,
                         Disusun pula, dekat sajadah.
                                Remaja religius, sibuk belajar,
                        Rajin pula,  dalam ibadah.

       Setelah melihat definisi remaja secara lebih mendetail, maka sekarang akan mengarah kepada tinjauan perkembangan psikologi remaja agar dapat lebih memahami jiwa remaja. Akan ditinjau dari berbagai segi yaitu konsep diri, intelegensi dan emosi, motif sosial dan moral serta religius.
- Konsep diri. Masa remaja sebagai masa transisi menuju kedewasaan, dimana kedewasan ini akan ditandai dengan adanya extension of the self, yaitu kemampuan seorang untuk menurunkan ego pribadi dan munculnya ego ideal berupa cita-cita, idola, yang menggambarkan wujud ego masa depan. Juga kemampuan untuk melihat diri secara objektif (self objective) serta telah memiliki falsafah hidup tertentu. Mengerti kestabilan dalam peran, memiliki prinsip dan ketegasan hidup.
- Perkembangan intelegensi dan emosi. Intelegensi mengandung unsur fikiran dan atau ratio. Masa remaja akan diperhadapkan dengan proses menuju pematangan aspek kognitif tersebut. Sementara itu masa remaja adalah masa yang penuh emosi dengan kecenderungan emosi yang meledak-ledak atau tak terkendali, yang antara lain disebabkan oleh konflik peran yang sedang dialami saat masa transisi. Ingin bebas, tapi masih bergantung dengan orangtua. Ingin dianggap dewasa namun masih diperlakukan seperti anak kecil. Dalam fase ini apabila remaja tidak berhasil mengatasi situasi-situasi kritis dalam rangka konflik peran tersebut, maka besar kemungkinan ia akan terjerumus ke hal yang salah dan negatif.
- Moral dan religi
Moral dan religi merupakan bagian yang cukup penting dalam jiw remaja. Sebagian orang berpendapat bahwa moral dan religi bisa mengendalikan tingkah laku anak yang beranjak dewasa ini sehingga ia tidak melakukan hal-hal yang merugikan atau bertentangan dengan kehendak atau pandangan masyarakat. Di sisi lain tiadanya moral dan religi ini seringkali dituding sebagai faktor penyebabnya meningkatnya kenakalan remaja.
       Remaja dalam masyarakat yang bertransisi Indonesia sebagai bagian dari dunia tak luput dari transisi worldview dunia. Kita akan mengamati secara lebih dalam kecenderungan perilaku remaja dan kaitannya dengan transisi masyarakat . Di  balik perilaku seorang manusia akan terdapat beberapa faktor yang akhirnya menyebabkan perilaku tersebut dapat dilakukan oleh seseorang.
Pertama, sebuah perilaku akan terlaksana berdasarkan apa nilai (values) yang dimiliki oleh seseorang. Nilai adalah segala sesuatu yang dijunjung serta segala sesuatu yang dianggap terbaik. Kedua, nilai itu sendiri lahir dari apa yang disebut kepercayaan (beliefs). Kepercayaan merupakan segala sesuatu yang dianggap benar oleh seseorang. Ketiga, kepercayaan itu lahir dari sebuah wordlview atau wawasan dunia yang adalah segala sesuatu yang riil. Pengertian wawasan dunia menurut James Sire,“Wawasan dunia adalah suatu komitmen dan orientasi hati yang mendasar yang dapat diekspresikan sebagai suatu kisah atau dalam seperangkat presuposisi (asumsi-asumsi yang mungkin benar, separuh benar atau sama sekali salah.) yang kita anut (dengan sadar, atau tidak sadar, dengan konsisten atau tidak konsisten) mengenai susunan dasar realitas yang memberikan fondasi dimana kita hidup,bergerak dan memiliki keberadaan kita.”
Maka dari itu untuk lebih dalam mencermati kondisi karakter bangsa ada baiknya kita mencermati lebih dalam perkembangan worldview yang terjadi sejak abad pertama dunia ini hingga sekarang. Berdasarkan Historical Development of Western World Views, perkembangan worldview dunia terbagi atas tiga bagian besar. Yaitu era Pre-Modern, Modern dan Postmodern.
Pertama, era Pre-Modern yang merupakan era pada abad pertama sampai sekitar abad yang ke delapan belas belas. Wawasan dunia yang sangat berpengaruh pada era ini adalah Teisme yang merupakan suatu wawasan dunia dimana sebuah dunia ada dengan Tuhan yang tak terbatas. Satu Tuhan yang tak terbatas berada melebihi dan ada di dalam alam semesta. Tuhan yang menciptakan alam semesta, menopang dan memelihara, dan dapat melakukan banyak hal-hal ajaib dan supernatural terhadap alam semesta. Dalam era Pre-modern ini paham theisme mulai bergerak ke arah paham Deisme, yang merupakan paham yang mengakui adanya Tuhan yang melampaui alam semesta tetapi tidak berada di dalam alam semesta tersebut. Bersifat transenden tapi tidak secara supernatural aktif di dalam dunia. Deisme hampir sama dengan teisme, tapi tanpa adanya kemampuan melakukan mujizat dan hal-hal supernatural lainnya. Para pengikut paham ini antara lain Thomas Jefferson, Thomas Paine, dan Marti Gardner.
Kedua, era Modern yang awal transisi nya terjadi sekitar abad ke delapan belas dan sembilan belas sampai pada abad ke dua puluh. Wawasan dunia yang sangat kuat adalah Ateisme. Ateisme adalah paham dimana tidak mengakui eksistensi dari Tuhan, baik Tuhan yang melampaui alam semesta maupun berada dalam alam semesta tersebut. Ateisme percaya bahwa hanya ada alam semesta saja dan hanya akan ada alam semesta saja. Beberapa tokoh atheis yang populer seperti Karl Marx, Friedrich Nietzchse, dan Jean-Paul Sartre. Dalam era ateisme ini wawasan dunia yang juga sejalan dengan ateisme seperti naturalisme (hanya alam yang tetap eksis), nihilisme (hidup adalah kesia-siaan diantara kematian) dan eksistensialisme (hidup harus mencari makna bagi keberadaan manusia dan eksistensinya) terus berkembang. Paham-paham yang tidak menganggap Tuhan ada dan Tuhan bukan yang menciptakan dan pusat dari segala sesuatu.
Ketiga, era Post-Modernisme yang mulai berkembang di akhir abad duapuluh satu. Pluralisme merupakan wawasan dunia yang mencerminkan keberagaman dan kebeanran dalam keberagaman tersebut adalah terserah pada pilihan anda. Wawasan dunia apa yang mau dianut, itu adalah pilihan anda dan tidak masalah untuk itu. Maka tak heran jika wawasan dunia yang sangat berkembang adalah gerakan zaman baru, pantheisme, monisme, dan lainnya. Apa yang anda pilih dan anggap benar maka itulah kebenarannya. Tokoh-tokoh wawasan dunia ini antara lain adalah pengarang buku ”The Secret” Rhonda Byrne, Ratu talkshow Oprah Winfrey dan pengaran buku ”A New Earth” Eckhart Tolle.
Pergeseran wawasan dunia begitu jelas terlihat, dan ini pula menuntun kita untuk menyadari kita hidup di era seperti apa sekarang ini. Kita hidup di era Post-Modernisme, hidup di tengah wawasan dunia yang mengaburkan kebenaran, banyak kompromi, hidup ”semau gue”, berfokus pada kepentingan dan kesenangan pribadi, materialisme, hedonisme, dan lainnya. Dengan pola wawasan dunia yang begitu represif dalam berbagai bidang kehidupan manusia seperti ini, pola pendekatan terhadap remaja pun harus mendapat porsi yang cukup serius. Apalagi setelah menelaah lebih dalam dari segi perkembangan psikologis remaja yang sangat rentan dan merupakan masa-masa transisi yang kritis.
D.Teori Psikologis terhadap pola didik
Indahnya hutan, gunung  merapi,
Hujan turun, di daun talas.
Pukulan  rotan, menjadi  terapi,
Jika  menghukum , dengan ikhlas.

Kalau merangkul, layang-layang,
        Kertasnya jangan, sampai tenggelam.
Memukul dengan, kasih  sayang,
           Tidak  kan  mungkin,  menjadi dendam.

       Secara psikoanalisis akan dipaparkan dua buah teori pendekatan pola didik terhadap remaja yang efektif. Yaitu teori dari seorang psikolog Carl Rogers dan teori dari seorang filsuf pendidikan Pauolo Freire.
Teori Carl Rogers
Dalam konseling dan psikoterapi, Carl Rogers mengembangkan teorinya yaitu clientcentered-therapy, dimana konselor dan klien menjadi sederajat dan proses konseling berpusat kepada klien. Teori Rogers tersebut kemudian berkembang ke berbagai bidang, khususnya bidang pendidikan. Dalam teorinya Rogers menitikberatkan relasi antarpribadi, antara konselor dan klien sebagai relasi yang mempermudahkan perkembangan kepribadian.
        Menurut Rogers suatu situasi pendidikan akan menjadi efektif ketika guru dapat  menerima murid apa adanya dan guru juga menjadi pribadi yang utuh dan rill (genuine). Ini seperti hubungan antara konselor dan klien yang dimaksud Rogers dalam client-centered-therapy, sehingga pemikirannya tersebut berkembang di dalam dunia pendidikan yang lebih dikenal dengan student-centered-education (pendidikan yang berpusat pada murid).
Paulo Freire
Paulo Freire adalah seorang filosof pendidikan dari Brazil. Freire dengan pemikirannya mencoba “merekonstruksi” pendidikan, yang menurutnya sangat otoriter. Dia mengistilahkan pendidikan otoriter sebagai “banking education”. Didasarkan pada cara pandang mekanis dari kesadaran, pendidikan banking memisahkan pelajar dari isi dan proses pendidikan. Metafor banking berasumsi bahwa ilmu pengetahuan adalah semacam barang, seperti uang yang biasa ditransfer dari satu orang kepada orang lain. Pendidikan banking menurut Freire berarti ilmu pengetahuan ditransfer dari pengajar kepada pelajar. Pengajar mendominasi muridnya.        Menurut Freire ini mengasumsikan bahwa guru mengetahui semua hal, siswa tidak mengetahui sesuatu pun. Pengajar mendominasi muridnya. Ini mengasumsikan bahwa guru mengetahui semua hal, murid tidak mengetahui sesuatu pun. Dengan model pendidikan banking, maka tidak adanya dialog dan relasi serta penerimaan, yang terjadi adalah dehumanisasi.
       Berdasarkan teori psikologi sekuler di atas, sangat lah jelas terlihat bahwa dalam suatu pola asuh dan pendidikan sangatlah baik apabila tidak terjadi suatu pendekatan yang bernuansa kekerasan. Dalam pergerakan zaman kini, remaja, yang ada dalam rentang usia 11-24 tahun, merupakan usia yang ada dalam suatu proses pendidikan di lingkungan sekolah. Oleh karena itu pola didik di sekolah jelas memegan peranan penting dalam proses pendewasaan remaja. Rogers dan Freire sama membawa suaru prinsip yang senada bahwa pola didik yang efektif bukanlah dengan suatu pola yang hanya sekadar ”mengirimkan” ilmu dan tanpa relasi suatu relasi yang baik. Apalagi jika relasi yang terus dibangun adalah relasi yang penuh dengan kekerasan, baik melalui tindakan maupun kata-kata. Kemampuan menerima suatu pelajaran pun akan jauh lebih efektif apabila terjadi dalam kondisi yang kondusif dan tidak penuh tekanan apalagi kekerasan.
E. Telaah pola asuh dan didik yang benar Al-Quran dan alkitabiah .
QS. Luqman : 13. Hai  anakku, jangan sekutukan Tuhan, dan hormatialah kedua orang tuamu.
Didiklah mereka di dalam ajaran dan nasihat Tuhan
(Efesus 6:4)
Orangtua sebagai pemegang hak  istimewa dalam mendidik anak
      Dalam analisis  psikologis di atas, sempat disinggung bahwa dalam masa perkembangan remaja pula akan turut faktor moral dan religi. Poin tersebut menurut para psikolog sekuler tersebut sebenarnya bukanlah poin yang patut diremehkan dan disepelekan. Ketika dalam masa transisi tersebut, remaja berproses dalam mememukan konsep diri dan kemampuan intelegensia dan emosi yang pasti ketika memasuki kedewasaan maka konsep moral dan religi juga adalah hal yang sama. Moral dan religi ternyata tidak dapat mungkin dipisahkan dalam pematangan kepribadian seseorang.
Namun pembahasan lebih dalam lagi akan ditinjau secara Alkitabiah, melihat bagaimana perspektif Allah atas itu semua. Hal yang pasti anak remaja haruslah dipandang sebagai berkat, dan bukan penderitaan. Mereka adalah berkat dari Tuhan dan seharusnya mendatangkan sukacita. Hal ini tetap berlaku bahkan di tengah dunia yang penuh dengan cemar. Di tengah hal yang jahat, kehadiran anak dalam sebuah keluarga adalah berkat dan bukti kemurahan dari Tuhan dan betapa besar kasih Tuhan terhadap ciptaan yang terhilang.
Keberadaan remaja secara otomatis akan terkait dengan piha yang berotoritas atasnya. Orangtua adalah suatu peran yang merupakan hak istimewa yang diberikan Allah. Dan sesungguhnya keberhasilan dalam mendidik anak diukur dengan apa yang harus dilakukan orangua, bukan apa yang dilakukan anak. Amsal 29:7 berkata ”Didiklah anakmu, maka ia akan memberikan ketentraman kepadamu, dan mendatangkan sukacita kepadamu.”
Ukuran sejati bagi orang tua Kristen adalah karakter orang tua itu sendiri. Sampai tingkat mana telah mengikuti rancangan Tuhan dalam mendidik anak, dan menjadi berhasil sebagai orang tua di haapan Tuhan. Tuhan dengan serius telah menugaskan orang tua dengan kewajiban membesarkan anak mereka di dalam ajaran dan nasihat Tuhan. Ini hak istimewa orangtua yang tidak dapat di delegasikan. Orang tua harus cukup banyak melibatkan diri dalam kehidupan anak untuk memastikan bahwa tidak ada pengaruh lain yang mendahului. Menurut MacArthur (2004) Karakter tidak diwariskan secara tidak diwariskan lewat genetika atau dipetik melaui proses penyerapan sel. Anak-anak diajar untuk menjadi diri mereka kelak. Jika mereka menjadi seseorang yang berbeda dari harapan orang tua, biasanya karena mereka hanya belajar dari orang-orang yang berada di samping mereka untuk mengajarkan sesuatu semasa ketidakhadiran orangtua.
Tuhan telah menetapkan bahwa mendidik anak adalah tanggungjawab purnawaktu bagi orangtua. Prinsip ini bahkan masuk dalam Hukum yang diberikan di Gunung Sinai kepada bangsa Israel. Ulangan 6:6- berkata ”Apa yang Kuperintahka kepadamu pada hari ini haruslah engkau perhatikan, haruslah engkau mengajarkanya berulang-ulang kepada anak-anakmu dan membicarakannya apabila engkau duduk di rumahmu, apabila engkau sedang dalam perjalanan, apabila engkau berbaring dan apabila engkau bangun”. Dari sini telah tampak secara jelas peran orangtua dalam pembentukan karakter seorang anak begitu besar, termasuk juga dalam masa-masa transisi yang telah ditelaah secara cukup mendalam secara psikologis di atas.
F.  Natur dosa dalam setiap anak yang terlahir di dunia
AL- Hadits,  KULLU  MAULUDIN  ALAL  FITRAH
Setiap  anak lahir, dalam keadaan  suci  fithrah.
Menurut  Taurat. "Sesungguhnya, dalam kesalahan aku diperanakkan, dalam dosa aku dikandung ibuku"
-Mazmur 51:7
Setiap anak dilahirkan di dunia dengan membawa suatu kapasitas untuk tidak pernah puas terhadap hal-hal yang jahat. Kegemaran manusia untuk mengejar setiap jenis kerusakan moral seperti itu, yang dalam alam kebebasan membuat setiap bayi memilki kemampuan untuk menjadi seorang monster. Ini berarti anak-anak tidak lahir ke dunia dengan kecenderungan untuk mencari Tuhan dan kebenaran. Mereka terlahir dengan kodrat natur dosa.
Jika mereka tetap dibiarkan, mereka akan cenderung menyukai dosa. Dan dengan menelantarkan meeka sepenuhnya, maka mereka tidak akan mampu menolak kejahatan. Mazmur 58:4 berkata ”Sejak lahir orang-orang fasik telah menyimpang, sejak dari kandungan pendusta-pendusta telah sesat”. Anak-nak tidak berlaku jahat karena sesuatu yang dilakukan orangtua mereka. Mereka terlahir dalam keadaan berdosa.
Penjelasan di atas mengenai masyarakat transisi telah menjadi suatu penuntun kita untuk dapat mengerti betapa mengerikan arah pergerakan zaman yang sekarang kira hidupi ini. Zaman yang telah menghasilkan lebih banyak pembunuh massal, penyesat, pedophilia, pemerkosa, dan penjahat, daripada hampir semua masyarakat yang tercatat dalam sejarah. Da para pakar selalu menggali pertanyaan, apakah yang terjadi dengan orang-orang itu ketika mereka masih muda? Apakah yang dilakukan orang tua mereka kepada mereka? Apakah mereka hidup dalam lingkungan yang kasar? Apakah mereka berada di dalam situasi yang sama sekali menyimpang? Apakah orangtua mereka, atau masyarakat sekitarnya melakukan sesuatu terhadap mereka yang menyebabkan mereka menyukai kejahatan?
G. Pengendalian yang keras bukanlah suatu jawaban
Seperti yang telah saya singgung di bagian awal makalah ini, bahwa banyak paradigma yang salah mengenai pola asuh dan didik yang benar terhadap remaja. Banyak yang beranggapan bahwa solusi dalam mencegah atau mengendalikan kerusakan moral adalah melalui pengendalian yang keras terhadap tingkah laku anak. Corporal punishment menjadi suatu tindakan yang diterima secara luas, bahkan dalam lingkungan sekolah Kristen dan keluarga Kristen tanpa ada telaah kritis dari segi psikologis dan yang terpenting menurut prinsip Alkitab.
Tentu saja takta krama dan disiplin merupakan aspek penting dalam mendidik anak secara tepat. Tetapi mengajarkan tata krama kepada anak bukanlah solusi bagi masalah kerusakan manusia. Menjatuhkan hukuman bagi perbuatan yang salah juga tidak menyelesaikan masalah. Sebenarnya orang tua atau pendidik yang memusatkan semua tenaga mereka untuk memperbaiki perilaku lahiriah , atau mencegah perilaku yang menyimpang melalui ancaman disiplin, mungkin tidak lebih dari sekadar melatih kemunafikan. Di balik punggung orangtua , anak-anak yang telah berperilaku baik karena kekerasan dapat menjadi anak-anak yang berperilaku buruk serta kasar terutama apabila tidak ada sosok otoritas yang hadir.

Ajaran dan Nasihat Tuhan

1. Bacalah  al-Quran dan maknanya., bagi yang muslim.
2. Dan kamu bapak-bapak, janganlah bangkitkan kemarahan di dalam hati anak-anakmu, tetapi didiklah mereka di dalam ajaran dan nasihat Tuhan. Bagi  yang Kristen.
-Efesus 6:4
       Kewajiban seorang anak adalah taat, dan di sisi sebaliknya adalah kewajiban orang tua: mengajar mereka ketaatan tersebut di dalam suasana pengasuhan yang saleh, tanpa membuat hati anak-anak terluka. Ayat efesus 6:4 juga disinggung lagi pada Kolose 3:21 ”Hai bapak-bapak, jangalah sakiti hati anakmu, supaya jangan tawar hatinya”. Kata bapak disini tidak merujuk hanya kepada ayah saja, tapi kepada kedua orangtua. Kata yang diterjemahkan ”bapak-bapak” dalam Efesus 6:4 adalah patera, yang dapat mengacu kepada ayah secara khusus tapi sering kali digunakan untuk membicarakan kedua orang tua (bdk. Ibrani 11:23). Jadi jelas bahwa tanggungjawab pengasuhan, pendidikan dan peringatan berlaku untuk orangtua dan bukan semata-mata ayah saja.
Efesus 6:4, menegaskan agar orang tua tidak membangkitkan amarah di hati anaknya, dan beberapa hal yang biasa terjadi adalah seperti terlalu melindungi anak sehingga menghambat kebebasan mereka dan tidak mempercayai mereka, terlalu memanjakan yang adalah wujud dari orang tua yang terlalu permisif, adanya anak kesayangan dibanding dengan yang lain (slih.Kejadian 27), sasaran yang tidak wajar misalnya dengan terus menerus mendesak mereka untuk berprestasi, menelantarkan atau sikap acuh tak acuh (lih. 2 Sam 18:3), dan beberapa hal terakhir yang sangat erat kaitannya dengan corporal punishment yaitu mengecilkan hati, sikap merendahkan, kasih yang berkurang dan disiplin yang berlebihan.
Pertama, mengecilkan hati. Orang tuan membangkitkan kemarahan anak ketika mereka secara terus menerus mengecam mereka tetapi tidak pernah menghargai mereka, tidak pernah memuji prestasi mereka, dan tidak pernah mengizinkan mereka menikmati keberhasilan mereka sendiri. Seorang anak yang merasa tidak mendapat restu dari orang tua segera akan mudah menyerah. Oleh karena itu janganlah hanya berfokus pada kelemahan anak dan seakan-akan mengabaikan kelebihan yang dimilikinya. Setiap kali akan menunjukkan kesalahan mereka, berusaha untuk mengimbangi sesegera mungki dengan perbuatan mereka yang benar. Orang tua yang penuh kasih sayang akan selalu dapat menemukan sesuatu sebagai sumber untuk mendukung sang anak.
Kedua, sikap merendahkan. Orang tua akan membangkitkan amarah anak jika melarang mereka untuk bertumbuh. Jika respon yang diberikan ketika remaja, yang dalam masa transisi menuju kedewasaan, mengatakan hal-hal yang naif atau tidak dewasa adalah merendahkan atau mengejek maka sesungguhnya mereka tidak sedang didorong untuk bertumbuh dan malah mempertegas ketidak dewasaan mereka. I Korintus 13:11 berkata ”Ketika aku kank-kanak, aku berkata-kata seperti kanak-kanak, aku merasa seperti kanak-kanak, aku berpikir seperti kanak-kanak. Sekarang ssudah aku menjadi dewasa, aku meninggalkan sifat kanak-kanak itu”. Itulah bagian alami dari proses pendewasaan remaja. Orang tua justru harus mendorong mereka di dalam pencarian dan pertumbuhan itu, dan janganlah merendahkan mereka. Biarkanlah mereka dapat belajar tanpa harus menerima pukulan.
Ketiga, Kasih yang berkurang. Jangan gunakan kasih sayang sebagai sarana untuk meberi hadiah sekaligus memberi hukuman. I Korintus 13;7-8 berkata bahwa kasih ”menutupi segala sesuatu, percaya segala sesuatu, mengharapkan segala sesuatu, sabar menanggung segala sesuatu. Kasih tidak berkesudahan”. Kasih tidak timbul tenggelam berdasarkan objek penerima kasih tersebut. Orangtua harus meneladan kasih yang Allah berikan ketika kita masih berdosa (lih. Roma 5:8).
Keempat, disiplin yang berlebihan. Disiplin memang baik bagi seorang anak namun terlalu banyak hukuman adalah cara lain yang dapat membangkitkan kemarahan dalam anak. Banyak orang tua mengnaggap bahwa jika disiplin baik bagi seorang anak, maka banyak disiplin tentunya sungguh baik bagi mereka. Dengan cara senantiasa menyetir dan mengancam akan melakukan hukuman fisik. Kita akan mecoba melihat lebih dalam dibagian ini.
Mendidik anak mencakup disiplin, dan jika diperlukan, hukuman dan peringatan. Amsal 13:24 berkata ”Siapa tidak menggunakan tongkat, benci kepada anaknya; tetapi siapa mengasihi anaknya,. Menghajar dia pada waktunya. Orang tua yang sungguh-sungguh mengasihi anak akan menegur mereka ketika mereka tidak taat. Hukuman yang pantas bukan semata-mata memberi ganjaran terhadap kesalahan; tetapi benar-benar demi kepentingan yang terbaik dari sang anak. Amsal 22:15 berkata ”Kebodohan melekat pada hati orang muda, tetapi tongkat didikan akan mengusir itu dari padanya”. Ayat-ayat pada Amsal ini menghubungkan disiplin dengan kata rotan. Kata Ibrani untuk rotan berarti sebatang tongkat, atau sebuah benda netral. Tidak dapat dipungkiri Alkitab pun memyatakan agar anak perlu dididik secara disiplin, dan tanpa ada maksud memperhalus atau apapun, suatu ganjaran yang cukup keras juga menjadi bagian dari pendisiplinan. Tetapi jangan salah kaprah terhadap hal ini juga. Ancaman, tekanan serta hukuman badan yang terus menerus terjadi tak lain dari sebuah kesadisan. Orang tua yang jauh lebih ahli secara intelektual, jasmani, dan penguasaan kata-kata akan dengan mudah untuk meremukkan jiwa sang anak melalui tindakan yang menggunakan kekuatan yang besar (secara jasmani maupun kata-kata) apalagi saat kondisi amarah yang sedang meluap-luap. Orang tua yang memperlakukan anak seperti itu akan menuai badai angin puyuh apalagi ketika anak telah menajdi seorang remaja. Mereka yang mengalami cemoohan akan bertumbuh dengan sifat kejam dalam diri mereka, kemarahan mereka dibangkitkan oleh kekasaran orang tua sendiri.
Firman Tuhan berkata bahwa Tuhan selalu mendisiplinkan anak-anakNya dalam kasih (Ibrani 12:5-7) penulis Ibrani tampaknya tahu bahwa semua orang tua cenderung terlalu mendisiplin anak mereka dengan keras atau dengan cara yang salah. Orang tua kadang kala cenderung mendisiplinkan anak dengan mementingkan diri sendiri atau menurut kehendak hati. Orang tua kristen harus berjuang untuk membuat kepentingan anak sebagai tujuan dari semua disiplin. Ini akan memperkecil resiko yang menggelisahkan dan menggusarkan mereka dengan cara yang tidak perlu. Mendidik anak dengan baik juga tampak pada Efesus 6:4, yaitu mendidik dalam ajaran dan nasihat.
F. Memberikan pendidikan yang tepat

Kata dalam bahasa Yunani yang diterjemahkan pendidikan adalah paideia yang berarti ”pembinaan, pendidikan, pengasuhan”. Banyak orang langsung berpikir tentang hukuman badan ketika istilah seperti ”disiplin” atau ”ganjaran” dimunculkan. Namun penjelasan lebih mendalam tentang hal ini akan dijelaskan pada bagian yang berikut.
Kunci sejati untuk pekerjaan yang menantang dalam mendidik anak secara tepat adalaj menciptakan lingkungan pengasuhan dan pendidikan yang penuh kasih di mana hati mereka menjadi tanah yang subur bagi kebenaran Tuhan. Hati anak perlu dipelihara oleh orang tua.
Orang tua dapat memelihara hati anak dengan menolong anak untuk memahami bahwa mereka memiliki hati yang berdosa. Hati anak adalah medan pertempuran paing kecil di dunia. Orang tua harus menetapkan sasaran yang tertuju kepada hati anak. Tujuan dari mendidik anak bukanlah pengendalian perilaku. Bukan semata-mata untuk menghasilkan anak-anak yang bertatakrama baik atau terpuji dalam perilaku sosial.
Tujuan akhir dai fokus yang benar dalam mendidik anak secara alkitabiah adalah penebusan. Orang tua bertanggungjawab memimpin anak mereka kepada Kristus. Orang tua berperan untuk terus menerus menjadi penginjil, terus menerus mengarahkan dan mendorong anak kepada Kristus, yang merupakan pribadi satu-satu nya yang dapat membebaskan masalah hati yang menyebabkan mereka mencintai dosa. Jangan hanya mengajari anak untuk menguasai diri secara lahiriah tetapi latihlah mereka menghadapi pencobaan dan melawannya, mengapa kesombongan itu dosa dan mengapa keserakahan, nafsu daging, keegoisan, dan iri hati merupakan sikap yang tidak menghormati Tuhan. Anak harus di asuh di dalam lingkungan yang terus mengarahkan hati mereka dengan kebenaran firman Tuhan.
G. Tegur mereka jika perlu
Kata lain yang digunakan Paulus dalam ayat ini adalah nasihat atau nouthesia dalam teks Yunani. Ini adalah sebuah kata yang berbicara mengenai teguran atau peringatan. Tetapi juga mengandung pengertian nasihat dari orang tua yang lembut dan penuh kasih. Banyak perdebatan di luar sana yang menentang hukuman badan (pukulan di bokong) namun semata-mata hanya melihat fakta dan data statistik secara tidak rasional. Tetapi orang tua Kristen harus menanggapi secara bijak dalam melihat analisa dan perdebatan seperti itu. Firman Tuhan sendiri mengharuskan disiplin badani dan memperingatkan orang tua untuk tidak melalaikan penggunaan tongkat. Sebenarnya persoalan inti bukanlah pada memukul atau tidak tetapi bagaimana mereka memukul. Disiplin orang tua tidak boleh melukai sang anak. Tidak perlu sampai mememarkan anak kalau harus memukul mereka sang anak. Pukulan pun harus disertai dengan kasih dan TIDAK dilakukan saat orang tua marah. Inilah yang sebenarnya menjadi titik permasalahan dari corporal punishment. Jika sebagai pihak yang berotoritas dan berpengaruh tidak dapat mengendalikan amarah dan memberikan hukuman dan pukulan sebagai luapan emosi dn amarah, maka akan lebih baik untuk tidak melakukan hukuman badan. Itu akan memberikan luka yang tak tersembuhkan bagi anak.
H. Refleksi Akhir
       Sesuai konteks remaja yang telah dibahas di atas, saat kita telah mengerti remaja yang ada dalam    masa transisi menuju kedewasaan yang rentan serta juga berada dalam usia mengenyam pendidikan sekolah maka Sebagai orang tua, pendidik atau siapapun yang berotoritas terhadap anak haruslah melihat prinsip firman Tuhan dalam mendidik dan mengasuh anak. Fokus pada hati anak yang memang telah tercemar oleh dosa.
        Benar-benar harus berhati-hati dalam mengartikan apa itu disiplin atau pendisiplinan terhadap remaja. Sesungguhnya disiplin haruslah diartikan dengan memberikan imbalan yang setara dengan tingkah laku yang ditampilkan. Ketika tingkah laku mereka baik (termasuk sikap maupun tindakan), imbalan positif layak diberikan. Jangan mengidentikan pendisiplinan sebagai bentuk hukuman terhadap perbuatan yang buruk, tapi harus ada keseimbangan dalam menyikapi sikap anak.
Jangan sampai tindakan para pihak yang berotoritas malah membangkitkan amarah di hati anak yang dipercayakan Tuhan untuk dididik dan dibina. Tapi haruslah seperti apa yang Efesus 6: 4 katakan ”. . . tetapi didiklah mereka di dalam ajaran dan nasihat Tuhan”. Bagaimana mempunyai prinsip dalam penggunaan rotan yang benar serta mendidik dalam kasih yang berkorban, kasih yang peduli, kasih yang menyucikan dan kasih yang kekal. Ajarlah mereka segenap nasihat Tuhan, termasuk di dalamnya ”mengajar…menyatakan kesalahan…memperbaiki kelakuan…mendidik orang dalam kebenaran” (2 Timotius 3:16).

Daftar Pustaka
Sarwono, W.S, Psikologi Remaja, (Jakarta: Rajawali, 1988)
MacArthur, John, Kiat Sukses Mendidik Anak Dalam Tuhan, (Jakarta: Immanuel, 2004)
Wright, Norman, Menjadi Orang tua Yang Bijaksana, (Yogyakarta: Yayasan Andi, 1996)
(31 Mei 2009)
written 12.06.09


No comments:

Post a Comment

Komentar Facebook