Sunday, November 2, 2014

PIDANA ISLAM…IBANAT AL-ATHRAF, IDZHAB MA’AN AL-ATHRAF, AL-SYAJA DAN AL-JARH. M.Rakib LPMP Riau Indonesia



PIDANA ISLAM…IBANAT AL-ATHRAF, IDZHAB MA’AN AL-ATHRAF, AL-SYAJA DAN AL-JARH.
M.Rakib  LPMP  Riau Indonesia

                                                     Jarimah   dan Penganiayaan

Penulis membaca tulisan Muhammad Syahriyal Labbaik , bahwa dalam hukum pidana Islam istilah penganiayaan tidak dipakai, yang ada dalam hukum pidana Islam adalah jarimah jinayah terhadap selain jiwa. Jinayah terhadap tubuh bisa berupa Ibanat Al-Athraf, Idzhab Ma’an Al-Athraf, Al-Syaja dan Al-Jarh.
Ibanat Al-Athraf adalah perbuatan seseorang terhadap orang lain yang menyebabkan sakit atau cacat tubuh, contohnya; mencukil mata, mematahkan kaki, memotong tangan orang lain, taring, gigi dan pemotongan atau pencabutan rambut kepala atau kumis/jenggot.[1]
Idzhab Ma’an Al-Athraf adalah pelukaan terhadap orang lain yang dimana pelukaan itu menyebabkan hilangnya fungsi anggota badan, yakni anggota badan yang bersangkutan masih tetap ada namun tidak dapat berfungsi normal. Misalnya menyebabkan korban menjadi tuli, buta, bisu dan limpuh.[2]
Al-Syaj adalah pelukaan terhadap kepala dan muka (secara khusus). Pembagian lebih rinci terjadi perbedaan pendapat dikalangan ulama; ada yang membaginya menjadi sepuluh bagian dan ada yang membaginya menjadi sebelas bagian.[3]
Al-Jarh adalah pelukaan terhadap selain wajah dan kepala. Jarh yaitu ada dua macam, yaitu al-ja’ifah atau pelukaan yang dalam sampai ke dalam perut atau rongga dada, dan ghayr al-ja’ifah atau pelukaan yang tidak ke dalam perut atau rongga dada.[4]
Di dalam jarimah pelukaan Imam Malik berpendapat bahwa boleh digabungkan antara ta’zir dengan qishash. Dengan alasan bahwa qishash itu suatu imbalan hak adami, sedangkan ta’zir adalah sanksi yang bersifat mendidik dan memberi pelajaran dan berkaitan dengan hak jamaah.[5]
Selain itu, Imam Malik juga berpendapat bahwa ta’zir dapat dikenakan terhadap jarimah pelukaan yang qishashnya dapat dihapuskan atau tidak dapat dilaksanakan karena suatu sebab hukum.[6]
Sedangkan bagi para residivis (orang yang berulang kali melakukan kejahatan) penyatuan sanksi hukuman diperbolehkan. Menurut mazhab Hanafi, Syafi’i dan Hambali boleh dilaksanakan terhadap residivis bahkan mereka diperbolehkan menyatukan sanksi ta’zir terhadap saksi had bagi residivis, karena dengan mengulangi perbuatan jarimah menunjukkan bahwa hukuman yang telah diberikan kepadanya tidak menjadikannya jera. Oleh karena itu, sanksinya harus ditambah.[7]
Para ulama berpendapat bahwa pelukaan dengan tangan kosong, atau cambuk itu diancam dengan sanksi ta’zir, sekalipun menurut ibn al-Qayyim dan sebagian hanabilah pelaku pelukaan terakhir diancam dengan sanksi qishash.[8]
Didalam Al-Qur’an banyak sekali ayat – ayat yang mengatur tentang pelukaan atau jarimah/jinayah terhadap selain jiwa. Berdasarkan keterangan – keterangan yang tertuang didalam ayat – ayat Al – Qur’an yang diantaranya Q.S. Al – Maidah : 45
$oYö;tFx.ur öNÍköŽn=tã !$pÏù ¨br& }§øÿ¨Z9$# ħøÿ¨Z9$$Î/ šú÷üyèø9$#ur Èû÷üyèø9$$Î/ y#RF{$#ur É#RF{$$Î/ šcèŒW{$#ur ÈbèŒW{$$Î/ £`Åb¡9$#ur Çd`Åb¡9$$Î/ yyrãàfø9$#ur ÒÉ$|ÁÏ% 4 `yJsù šX£|Ás? ¾ÏmÎ/ uqßgsù ×ou‘$¤ÿŸ2 ¼ã&©! 4 `tBur óO©9 Nà6øts !$yJÎ/ tAtRr& ª!$# y7Í´¯»s9'ré'sù ãNèd tbqßJΩà9$# ÇÍÎÈ
Artinya: Dan kami Telah tetapkan terhadap mereka di dalamnya (At Taurat) bahwasanya jiwa (dibalas) dengan jiwa, mata dengan mata, hidung dengan hidung, telinga dengan telinga, gigi dengan gigi, dan luka luka (pun) ada kisasnya. barangsiapa yang melepaskan (hak kisas) nya, Maka melepaskan hak itu (menjadi) penebus dosa baginya. barangsiapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, Maka mereka itu adalah orang-orang yang zalim. (Al – Maidah : 45)[9]
Pembagian jarimah pada dasarnya tergantung dari berbagai sisi. Jarimah dapat ditinjau dari sisi berat ringannya sanksi hukum, dari sisi niat pelakunya, dari sisi cara mengerjakannya, dari sisi korban yang ditimbulkan oleh suatu tindak pidana, dan sifatnya yang khusus. Dalam hukum pidana islam yang termasuk pelukaan selain jiwa yang tergolong ringan adalah jinayatul atraf, Asy-syijjaj, dan Al-jirah.
Dalam jarimah penganiayaan, hukum pidana Islam membagi beberapa klasifikasi. Khusus pada Asy-Syijjaj menurut ulama salaf ada 2 (dua) kelompok, yaitu ; Pelukaan terhadap kepala atau wajah yang telah ada ketetapan dari syari’at mengenai jumlah diyatnya, yang termasuk kelompok ini adalah;
1. Al-Muwadhdhohah, yaitu pelukaan terhadap kepala atau wajah yang menampakkan tulang,
2. Al-Hasyimah, yaitu pelukaan terhadap kepala atau wajah yang menyebabkan pecah atau patahnya tulang,
3. Al-Munqilah, yaitu pelukaan terhadap kepala atau wajah yang menyebabkan berpindah atau bergesernya tulang dari tempat asalnya,
4. Al-Ma’mumah, yaitu pelukaan terhadap kepala atau wajah sampai pada kulit otak,
5. Ad-Damigah, yaitu pelukaan terhadap kepala atau wajah sampai pada kulit otak dan memecahkannya, pelukaan ini lebih berat daripada Al-Ma’mumah.[10]
Sedangkan kelompok yang ke dua adalah pelukaan terhadap kepala atau wajah yang belum ada penjelasan dari syari’at tentang diyatnya, yaitu;
1. Al-Harisah, yaitu pelukaan terhadap kepala atau wajah yang merobekkan sedikit kulit dan tidak mengaluarkan darah,
2. Ad-Damiyah, yaitu pelukaan terhadap kepala atau wajah yang merobekkan kulit dan mengeluarkan/mengalirkan darah,
3. Al-Badi’ah, yaitu pelukaan terhadap kepala atau wajah yang memutihkan tulang, artinya mematahkan tulang,
4. Al-Mutalahimah, yaitu pelukaan terhadap kepala atau wajah yang meremukkan tulang, hal ini lebih berat daripada al-Badi’ah,
5. As-Simhaq, yaitu pelukaan terhadap kepala atau wajah yang hampir mengenai tulang.[11]
Kemudian pada jenis al-jirah dibedakan pula menjadi; Jaifah, yaitu pelukaan yang sampai pada rongga perut, Pelukaan pada rongga dada, contohnya mematahkan tulang rusuk, Mematahkan lengan tangan atas, betis, atau lengan bawah. Sedangkan Jinayatul Atraf adalah perbuatan seseorang terhadap orang lain yang menyebabkan sakit atau cacat tubuh, contohnya; mencukil mata, mematahkan kaki, atau memotong tangan orang lain. [12]


JARIMAH TA'ZIR TIDAK DITEMUKAN
DALAM UU 23 TH 2001

                                          Kejahatan anak, tidak dilakukan ta’zir,
                                          Akhirnya akan, berbuat mubazir.
                                          Cegah cepat, jangan tergelincir,
                                          Sejak kecil, sudah dikikir.

M.Rakib  LPMP Riau Indonesia.2014

Secara umum, pengertian Jinayat sama dengan hukum Pidana pada hukum positif, yaitu hukum yang mengatur perbuatan yang yang berkaitan dengan jiwa atau anggota badan, seperti membunuh, melukai dan lain sebagainya. Jarimah (kejahatan) dalam Hukum Pidana Islam (Jinayat) meliputi, jarimah hudud, qishash diyat dan ta'zir.

           Geng motor, seharusnya dikenakan ta’zir juga..Ada tiga tipe kejahatan anak  geng motor, pertama, geng pencurian (thief gangs), mereka berkelompok melakukan pencurian yang mula-mula hanya untuk menguji keberanian anggota kelompok. Kedua, geng konflik (conflict-gangs) kelompok ini suka sekali mengekpresikan dirinya melalui perkelahian berkelompok supaya tampak gagah dan pemberani. Ketiga, geng pengasingan (retreats gangs), kelompok geng ini sengaja mengasingkan dirinya dengan kegiatan minum-minuman keras, atau napza yang kerap dianggap sebagai suatu cara ”pelarian” dari alam nyata. Tetapi bisa saja sebuah geng memiliki lebih dari satu macam tipe.

Jarimah Ta’zir merupakan jarimah yang paling ringan diantara jarimah lain nya, dan sifat dari jarimah ta’zir itu sendiri hanya memberi jera kepada si pelaku kejahatan namun pemberian jera tersebut tidak mencapai kepada hukuman mati. Jarimah ta’zir ini tidak ada ketentuan nya dari Al-Qur’an dah Hadits Nabi sehingga ada sebagian para yang menjadikan hal ini sebagai definisi dari jarimah ta’zir.

       Pengertian Jarimah Ta’zir

      Secara bahasa ta'zir merupakan mashdar (kata dasar) dari 'azzaro yang berarti menolak dan mencegah kejahatan, juga berarti menguatkan, memuliakan, membantu. Ta'zir juga berarti hukuman yang berupa memberi pelajaran. Disebut dengan ta'zir, karena hukuman tersebut sebenarnya menghalangi pelaku kejahatan untuk tidak kembali kepada jarimah atau dengan kata lain membuatnya jera. Sementara para fuqoha' mengartikan ta'zir dengan hukuman yang tidak ditentukan oleh al-Qur'an dan hadits yang berkaitan dengan kejahatan yang melanggar hak Allah dan hak hamba yang berfungsi untuk memberi pelajaran kepada pelaku kejahatan dan mencegahnya untuk tidak mengulangi kejahatan serupa.[1][1]

Jarimah ta'zir adalah jarimah yang diancam dengan hukuman ta'zir,pengertian ta'zir menurut bahasa ialah ta'dib atau memberi pelajaran.dan menurut istilah, sebagaimana yang dikemukakan oleh Iman Al Mawardi, pengertiannya sebagai berikut: Ta'zir itu adalah hukuman pendidikan atas dosa (tindak pidana) yang belum ditentukan hukumannya oleh syara'”.
Secara ringkas dapat di katakan bahwa hukuman ta'zir itu adalah hukuman yang belum ditetapkan oleh syara' melainkan diserahkan kepada hakim, baik penentuan maupun pelaksanaannya. Dalam menentukan hukuman tersebut, hakim hanya menetapkan secara global saja. Artinya pembuat undang-undang tidak menetapkan hukuman untuk masing-masing jarimah ta'zir, melainkan hanya menetapkan sekumpulan hukuman, dari yang seringan-ringannya sampai seberat-seberatnya.
Dengan demikian ciri khas jarimah ta'zir adalah sebagai berikut:
  1. Hukumannya tidak tertentu dan tidak terbatas, artinya hukuman tersebut belum ditentukan oleh syara' dan ada batas minimal dan ada batas maksimal.
  2. Penetapan hukuman tersebut adalah hak hakim.
Bisa dikatakan pula, bahwa ta'zir adalah suatu jarimah yang diancam dengan hukuman ta'zir (selain had dan qishash diyat). Pelaksanaan hukuman ta'zir, baik yang jenis larangannya ditentukan oleh nas atau tidak, baik perbuatan itu menyangkut hak Allah atau hak perorangan, hukumannya diserahkan sepenuhnya kepada hakim. Hukuman dalam jarimah ta'zir tidak ditentukan ukurannya atau kadarnya, artinya untuk menentukan batas terendah dan tertinggi diserahkan sepenuhnya kepada hakim (penguasa). Dengan demikian, syari'ah mendelegasikan kepada hakim untuk menentukan benruk bentuk dan hukuman kepada pelaku jarimah.[2][2]
B.     Bentuk Jarima Ta’zir
Abd Qodir Awdah membagi jarimah ta'zir menjadi tiga, yaitu:
1. Jarimah hudud dan qishash diyat yang mengandung unsur shubhat atau tidak memenuhi syarat, namun hal itu sudah dianggap sebagai perbuatan maksiyat, seperti pencurian harta syirkah atau pembunuhan ayah terhadap anaknya.
2. Jarimah ta'zir yang jenis jarimahnya ditentukan oleh nas, tetapi sanksinya oleh syari'ah diserahkan kepada penguasa, seperti sumpah palsu, saksi palsu, mengurangi timbangan, menipu, mengingkari janji, menghianati amanah, dan menghina agama.
3. Jarimah ta'zir dimana jenis jarimah dan sanksinya secara penuh menjadi wewenang penguasa demi terealisasinya kemaslahatan umat. Dalam hal ini unsur akhlak menjadi pertimbangan yang paling utama. Misalnya pelanggaran terhadap peraturan lingkungan hidup, lalu lintas, dan pelanggaran terhadap pemerintah lainnya.[3][3] 
Dalam menetapkan jarimah ta'zir, prinsip utama yang menjadi acuan penguasa adalah menjaga kepentingan umum dan melindungi setiap anggota masyarakat dari kemudharotan (bahaya). Di samping itu, penegakkan jarimah ta'zir harus sesuai dengan prinsip syar'i.

       Macam-macam Jarimah Ta’zir

                                          Kejahatan anak, tidak dilakukan ta’zir,
                                          Akhirny akan, berbuat mubazir.
                                          Cegah cepat, jangan tergelincir,
                                          Sejak kecil, sudah dikikir.

Hukuman hukuman ta'zir banyak jumlahnya, yang dimulai dari hukuman paling ringan sampai hukuman yang yang terberat. Hakim diberi wewenang untuk memilih diantara hukuman hukuman tersebut, yaitu hukuman yang sesuai dengan keadaan jarimah serta diri pembuatnya. Hukuman hukuman ta'zir antara lain:
1. Hukuman Mati
Mengenai ada nya hukuman mati pada macam-macam jarimah ta’zir merupakan khilaf para ulama, ada yang setuju dengan ada nya hukuman mati dalam jarimah ta’zir, ada pula para ulama yang tidak sependapat. Pada dasarnya menurut syari'ah Islam, hukuman ta'zir adalah untuk memberikan pengajaran (ta'dib) dan tidak sampai membinasakan. Oleh karena itu, dalam hukum ta'zir tidak boleh ada pemotongan anggota badan atau penghilangan nyawa. Akan tetapi beberapa foqoha' memberikan pengecualian dari aturan umum tersebut, yaitu kebolehan dijatuhkan hukuman mati jika kepentingan umum menghendaki demikian, atau kalau pemberantasan tidak bisa terlaksana kecuali dengan jalan membunuhnya, seperti mata mata, pembuat fitnah, residivis yang membahayakan. namun menurut sebagian fuqoha yang lain, di dalam jarimah ta'zir tidak ada hukuman mati.

3.      Hukuman Jilid

Dikalangan fuqoha terjadi perbedaan tentang batas tertinggi hukuman jilid dalam ta'zir. Menurut pendapat yang terkenal di kalangan ulama' Maliki, batas tertinggi diserahkan kepada penguasa karena hukuman ta'zir didasarkan atas kemaslahatan masyarakat dan atas dasar berat ringannya jarimah. Imam Abu Hanifah dan Muhammad berpendapat bahwa batas tertinggi hukuman jilid dalam ta'zir adalah 39 kali, dan menurut Abu Yusuf adalah 75 kali.

Sedangkan di kalangan madzhab Syafi'i ada tiga pendapat. Pendapat pertama sama dengan pendapat Imam Abu Hanifah dan Muhammad. Pendapat kedua sama dengan pendapat Abu Yusuf. Sedangkan pendapat ketiga, hukuman jilid pada ta'zir boleh lebih dari 75 kali, tetapi tidak sampai seratus kali, dengan syarat bahwa jarimah ta'zir yang dilakukan hampir sejenis dengan jarimah hudud.
Dalam madzhab Hambali ada lima pendapat. Tiga di antaranya sama dengan pendapat madzhab Syafi'i di atas. Pendapat ke empat mengatakan bahwa jilid yang diancam atas sesuatu perbuatan jarimahtidak boleh menyamai hukuman yang dijatuhkan terhadap jarimah lain yang sejenis, tetapi tidak boleh melebihi hukuman jarimah lain yang tidak sejenisnya. Pendapat ke lima mengatakan bahwa hukuman ta'zir tidak boleh lebih dari 10 kali. Alasannya ialah hadits nabi dari Abu Darda sebagai berikut: "Seorang tidak boleh dijilid lebih dari sepuluh kali, kecuali dalam salah satu hukuman hudud".
3. Hukuman Penjara Kurungan
Ada dua macam hukuman penjara kurungan dalam hukum Islam. Pembagian ini didasarkan pada lama waktu hukuman. Pertama, Hukuman penjara kurungan terbatas. Batas terendah dari hukuman ini adalah satu hari, sedang batas tertinggi, ulama' berbeda pendapat. Ulama' Syafi'iyyah menetapkan batas tertingginya satu tahun, karena mereka mempersamakannya dengan pengasingan dalam jarimah zina. Sementara ulama' ulama' lain menyerahkan semuanya pada penguasa berdasarkan maslahat.
Kedua, Hukuman penjara kurungan tidak terbatas. Sudah disepakati bahwa hukuman penjara kurungan ini tidak ditentukan masanya terlebih dahulu, melainkan berlangsung terus sampai terhukum mati atau taubat dan baik pribadinya. Orang yang dikenakan hukuman ini adalah penjahat yang berbahaya atau orang yang berulang ulang melakukan jarimah jarimah yang berbahaya.
4. Hukuman Salib
Hukuman salib sudah dibicarakan dalam jarimah gangguan keamanan (hirobah), dan untuk jarimah ini hukuman tersebut meruapakan hukuman had. Akan tetapi untuk jarimah ta'zir hukuman salib tidak dibarengi atau didahului dengan oleh hukuman mati, melainkan si pelaku kejahatan disalib hidup-hidup dan tidak dilarang makan minum, tidak dilarang mengerjakan wudhu, tetapi dalam menjalankan sholat cukup dengan isyarat. Dalam penyaliban ini, menurut fuqoha' tidak lebih dari tiga hari.
5. Hukuman Ancaman (Tahdid), Teguran (Tanbih) dan Peringatan
Ancaman juga merupakan salah satu hukuman ta'zir, dengan syarat akan membawa hasil dan bukan hanya ancaman kosong. Misalnya dengan ancama akan dijilid, dipenjarakan atau dihukum dengan hukuman yang lain jika pelaku mengulangi tindakannya lagi.
Sementara hukuman teguran pernah dilakukan oleh Rosulullah terhadap sahabat Abu Dzar yang memaki maki orang lain dengan menghinakan ibunya. Maka Rosulullah saw berkata, "Wahai Abu Dzar, Engkau menghina dia dengan menjelek jelekkan ibunya. Engkau adalah orang yang masih dihinggapi sifat sifat masa jahiliyah."
Hukuman peringatan juga diterapkan dalam syari'at Islam dengan jalan memberi nasehat, kalau hukuman ini cukup membawa hasil. Hukuman ini dicantumkan dalam al Qur'an sebagaimana hukuman terhadap istri yang berbuat dikhawatirkan berbuat nusyuz.
6. Hukuman Pengucilan (al Hajru)
Hukuman pengucilan merupakan salah satu jenis hukuman ta'zir yang disyari'atkan oleh Islam. Dalam sejarah, Rosulullah pernah melakukan hukuman pengucilan terhadap tiga orang yang tidak ikut serta dalam perang Tabuk, yaitu Ka'ab bin Malik, Miroroh bin Rubai'ah, dan Hilal bin Umaiyah. Mereka dikucilkan selama lima puluh hari tanpa diajak bicara, sehingga turunlah firman Allah:
"Dan terhadap tiga orang yang tinggal, sehingga apabila bumi terasa sempit oleh mereka meskipun dengan luasnya, dan sesak pula diri mereka, serta mereka mengira tidak ada tempat berlindung dari Tuhan kecuali padaNya, kemudian Tuhan menerima taubat mereka agar mereka bertaubat." 
7. Hukuman Denda (tahdid)
Hukuman Denda ditetapkan juga oleh syari'at Islam sebagai hukuman. Antara lain mengenai pencurian buah yang masih tergantung dipohonnya, hukumannya didenda dengan lipat dua kali harga buah tersebut, disamping hukuman lain yang sesuai dengan perbuatannya tersebut. Sabda Rosulullah saw, "Dan barang siapa yang membawa sesuatu keluar, maka atasnya denda sebanyak dua kalinya besrta hukuman." Hukuman yang sama juga dikenakan terhadap orang yang menyembunyikan barang hilang.[4][4]
KESIMPULAN
Ta'zir adalah hukuman yang tidak ditentukan oleh al Qur'an dan hadits yang berkaitan dengan kejahatan yang melanggar hak Allah dan hak hamba yang berfungsi untuk memberi pelajaran kepada si pelaku kejahatan dan mencegahnya untuk tidak mengulangi kejahatan serupa. Penentuan jenis pidana ta'zir ini diserahkan sepenuhnya kepada penguasa sesuai dengan kemaslahatan manusia.
DAFTAR PUSTAKA
Ali, Mohammad Daud. 2002. Hukum Islam; Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Islam di Indonesia. Rajawali Pers: Jakarta.
Djazuli, H.A. 2000. Fiqh Jinayat (Menanggulangi Kejahatan dalam Islam).. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
Hanafi, Ahmad Hasan. 1967. Asas-asas Hukum Pidana Islam. Jakarta: Bulan Bintang.
Santoso, Topo. 2003. Hukum Pidana Islam. Jakarta: Gaya Media Pratama.




[1][1] H. A Djazuli, Fiqh Jinayat (Menanggulangi Kejahatan dalam Islam).. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2OOO, hlm. 89

[2][2] Topo Santoso, Hukum Pidana Islam. Jakarta: Gaya Media Pratama, 2OO3,  hlm 78
[3][3] Ahmad Hasan Hanafi, . Asas-asas Hukum Pidana Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1967, hlm. 121

[4][4] Mohammad Daud Ali, Hukum Islam; Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Islam di Indonesia. Rajawali Pers: Jakarta, 2OO2, hlm. 147

No comments:

Post a Comment

Komentar Facebook