Friday, November 14, 2014

PARADIGMA PENELITIAN HUKUM ISLAM

m.rakib  lpmp riau indonesia. Jl.Ciptakarya Panam Pekanbaru

PARADIGMA PENELITIAN HUKUM ISLAM

 

Analisis Isi dan Deskriptif Komparatif : Paradigma Epistimologi Metodologi Penelitian Hukum dengan Metodologi Penelitian Hukum Islam
         Menarik apa yang ditulis oleh Dr. Syaifullah menurut beliau studi ini bertujuan menganalisis konsep dasar epistimologi yang dipergunakan dalam proses pembentukan paradigma metode penelitian hukum dan metode penelitian Islam serta mengkaji pengembangan yang terjadi dalam paradigma metode penelitian hukum dan metode penelitian hukum Islam kaitanya dengan perkembangan metodologi penelitian ilmu-ilmu sosial.Jenis penelitian yang dilakukan adalah penelitian yuridis normative atau penelitian hokum kepuasan pada tipe yang ke 6 yaitu penelitian perbandingan hukum penalaran atau descriotive comparative law. Studi dokumen berupa bahan hokum primer, bahan hokum skunder, dan bahan hokum tersier. Penjagaan serta pemeriksaan keabsahan data dengan tipe standar yang dapat dilakukan untuk menjamin kesahihan (validitas) dan keandalan (reliabilitas) hasil penelitian yaitu standar kredibilitas, standar transferabilitas,standar dependabilitas dan standar konfirmabilitas. Adapun masalah yang diajukan dianalisis sesuai dengan ruang lingkup permasalahan dan dikaji berdasarkan landasan konseptual secara content analysis.

        Analisis isi dan deskriptif komparatif yang dilakukan dikaji sebagai berikut:
Epistimologi metodologi penelitian yang dikembangkan dalam penelitian hukum dan penelitian hukum Islam dapat ditelusuri dalam dua hal yaitu orientasi kenormatifan dan orientasi sosiologis. Kedua hal ini menjadi ranah yang fundamen bagi konsekuensi metodologis yang dipergunakan dalam pemilihan bentuk-bentuk riset yang dilakukan. Secara the body of knowledge, jati diri dan pengemabngan yang dilakukanmasingmasing penelitian mempunyai perbedaan dalam hal wilayah penelitian misalnya, karena khusus penelitian hokum Islam merupakan salah satu bentuk studi keagamaan yang mempunyai prototype berbeda dengan penelitian hokum pada umumnya.

         Perkembangan metodologi penelitian ilmu-ilmu sosial yang mempengaruhi
perkembangan paradigma metode penelitian hukum Islam sangatlah signifikan. Oleh karena orientasi wilayah penelitian yang bersifat sosiologis atau menggunakan pendekatan sosiologi termasuk perkembangan metodologisnya memberikan kreatifitas tersendiri serta upaya pengembangan bagi kemajuan penelitian hukum dan penelitian hukum Islam. Penerapan pendekatan metodologi penelitian ilmu-ilmu sosial sangat berguna untuk memahami secara lebih mendalam gejala-gejala sosial sehingga dapat memahami konsep kenormatifan secara doktrinal yang bermuatan asas dan kaidah notmadan akhirnya dapat membantu aspek analisisdinamika hukum dan hukum Islam.


ONTOLOGIS ILMU HUKUM
Cukup bagus aapa yang ditulis oleh Moch. Fatich, bahwa Ilmu hukum Indonesia yang dibangun dari teori hukum Indonesia dan filsafat hukum Indonesia jika ditopang dari bangunan kefilsafatan ilmu, maka memiliki landasan ontologis dualisme (materialisme dan spiritualisme sekaligus), landasan epistimologi rasionalisme, empirisme dan wahyu sekaligus, serta landasan aksiologi nilai moral atau etika dan bahkan nilai keagamaan daalam bnetuk fiqih Islami yang sakral.

           Ontologis dalam Al- Qawa‘id Al-Fiqhiyyah. Selain itu, antara maksud lain yang terkandung di dalam perkataan ‘kaedah’itu sendiri dari sudut literalnya ialah al-dabit19 iaitu bermaksud sesuatu (perkara   kulli) yang dibina di atasnya sesuatu perkara yang lain yaitu perkara juz’i). Iabersifat tetap dan thabit. Ia juga dikenali sebagai perinsip (‫ )مبادئberdasarkanistilah undang-undang.20 Manakala perkataan ‘kaedah’ dari sudut etimologinyabermaksud ‫ األمر الكىل املنطبق عىل جزئياتهiaitu: perkara-perkara kulli (umum) yangmengandungi atau merangkumi pecahan-pecahannya atau perkara juz’inya.21Dalam pengertian yang lain, al-Imam al-Suyuti mendefinisikan perkataan‘kaedah’ dari sudut istilahnya sebagai‫األمر الكىل الذى ينطبق عليه جزئيات كثرية تفهم‫ أحكامها منهاiaitu: suatu perkara kulli yang merangkumi bahagian-bahagiannyayang banyak, daripadanya [perkara kulli] diketahui hukum-hukum juz’iyyahyang [dikeluarkan] daripadanya [kerana ia termasuk di dalamnya].22

         Nah ketika ucapan al-fiqhiyyah berasal dari pekataan  al-fiqh yang bermaksud faham.23 Menurut al-Ghazali, ilmu al-fiqh adalah suatu ilmu syariah (undang-undang Allah) yang bersangkut paut dengan pengetahuan furu` (cabang) agama. Ia juga merupakan suatu ilmu yang  menghasilkan peringatan (al-indhar) dan takut (al-khawf) kepada Allah. j. 5, Beirut: al-Maktabah al-Islamiyyah, h. 1176; Ahmad Muhammad al-Zarqa’ (2001), Syarh al-Qawa’id al-Fiqhiyyah, Damsyik: Dar al-Qalam, c. 2, h. 33; al- Suyuti, Jalal al-Din `Abd al-Rahman (2004), al-Asybah wa al-Nazai’r, j. 1, c. 2, Kaherah: Dar al-Salam, h. 18. Lihat juga, Asjmuni Abd Rahman (1976), Qai’dah- qai’dah Fiqh, Jakarta, Pustaka Bulan Bintang, c. 1, h. 10; Imam Musbikin (2001), Qawai’d al-Fiqhiyyah, Aziz Musthoffa (ed.), Jakarta, PT Raja Grafindo, h. 3.19 Al-Tahanawi, Muhammad ‘A`ala b. `Ali (1966), op.cit., h. 1176; Ibrahim Mustafa, et al., (t.t), op.cit., h. 748.20 Al-Makki, Muhammad Nur al-Din Marbu al-Banjari (2002), al-Durar al-Bahiyyah fi Idah al-Qawa`id al-Fiqhiyyah, c. 3, Kedah: Pustaka Dar al-Salam Sdn., Bhd., h. 9.21 Abdul Halim El-Muhammady (1994), Sumber Undang-undang Islam dan Pandangan Orientalis, Selangor: Budaya Ilmu Sdn., Bhd., c. 1, h. 66.22 Al-Suyuti, Jalal al-Din `Abd al-Rahman Abi Bakr (1998),

           Asybah wa al-Nazai’r, c. 4, Kaherah: Dar al-Kutub al-`Arabi, h. 11.23 Al-Majlis al-‘A`ala li al-Syu’un al-Islamiyyah (1990), Mawsu`ah al-Fiqh al- Islami, j. 1, Kaherah: Dar al-Kutub al-Misri, h. 9; `Abd al-`Aziz `Izzat `Abd al-Jalil (1999), Ta`rifat wa Mustalahat Fiqhiyyah fi Lughah Mu`asirah, c. 1, Kaherah: Dar al-Nasyr li al-Jami`at-Misr, h. 9; Muhammad `Abd Rabb al-Rasul Humam (1965), al-Ta`birat al-Wadihat `an Syarh al-Waraqat, c. 1, Kaherah: Dar al-Ittihad al-`Arabi li al-Tiba`ah, h. 3; Wahbah al-Zuhayli (1989), al-Fiqh al-Islamiy wa Adillatuh, c. 3, j. 1, Damsyik: Dar al-Fikr, h. 15; Mahmud `Abd al-Rahman `Abd al-Mun`im (1999), op.cit., h. 49; Abi al-Qasim al-Husain Muhammad (2003),


          Manusia memerlukan perlindungan dari Tuhan dan pemimpinnya, yang tercapai dengan terciptanya pedoman atau peraturan hidup yang menentukan bagaimana seharusnnya manusia itu betingkah laku agamis dan sosiologis dalam masyarakat agar tidak merugikan orang lain dan perlun tuntunan  untuk dirinya sendiri. Pedoman tersebut merupakan patokan atau ukuran berperilaku atau bersikap dalam kehidupan bersama yang kemudian disebut kaidah sosial, yang pada hakekatnya merupakan rumusan pandangan mengenai perilaku atau sikap yang seharusnnya dilakukan atau tidak, yang dianjurkan maupun yang dilarang untuk dijalankan. Dengan kaidah sosial hendak dicegah gangguan-gangguan maupun konflik kepentingan manusia, sehingga diharap manusia dapat terlindungi kepentingan- kepentingannya. (Mertokusumo; 1999: 10). Kaidah keagamaan ditujukan kepada kehidupan beriman manusia terhadap kewajibannya terhadap tuhan dan dirinya sendiri. Sumbernya adalah ajaran-ajaran agama yang oleh pengikutnya dianggap sebagai perintah tuhan sehingga sanksinya pun berasal dari tuhan. Kaidah kesusilaan berhubungan dengan manusia sebagai individu yang bersangkutan dengan kehidupan pribadinya, terutama mengenai nurani individu manusia tersebut dan bukan sebagai mahluk sosial atau sebagai anggota masyarakat.

 Fungsinya untuk melengkapi ketidakseimbangan hidup pribadi dan mencegah kegelisahan diri sendiri dengan tujuan agar terbentuk kebaikan ahlak pribadi manusia serta menyempurnakannya agar tidak berbuat jahat. Kaidah kesopanan didasarkan pada kebiasaan kepatutan atau kepantasan yang berlaku dalam masyarakat. Ditujukan terhadap sikap lahir pelakunya yang konkrit demi penyempurnaan/ketertiban masyarakat dan bertujuan menciptakan perdamaian, tata tertib atau membuat sedap lalu lintas antar manusia yang bersifat lahiriah dengan mementingkan yang lahir atau yang formal. Sanksinya bersifat tak resmi dari masyarakat yang berupa celaan atau cemoohan. Ketiga kaidah sosial tersebut dirasakan kurang memberikan perlindungan terhadap kepentingan manusia sehingga manusia berharap kepada kaidah hukum untuk dapat melindungi lebih lanjut kepentingan-kepentingannya. Kaidah hukum lebih ditujukan kepada sikap lahir manusia dan bukan sikap batinnya. Pada hakekatnya apa yang dibatin, yang dipikirkan manusia tidak menjadi soal asalkan secara lahiriah tidak melanggar kaidah hukum. Asal kaidah hukum dari kekuasaan luar diri manusia yang memaksakan (heteronom) dan masyarakat secara resmi diberi kuasa untuk menjatuhkan sanksi melalui alat-alat negara (Mertokusumo, 1999: 12).

Jika kaidah keagamaan, kesusilaan dan kesopanan hanya memberikan kewajiban-kewajiban (normatif) saja maka kaidah hukum selain membebani kewajiban-kewajiban juga memberikan hak-hak (atributif). Menurut Satjipto Raharjo (2000: 17) kaidah hukum merupakan resultan dari tegangan antara norma kesusilaan dengan norma kebiasaan. Norma kesusilaan bersifat ideal sedangkan norma kebiasaan bersifat empirik dan norma hukum berada diantara keduanya. Hukum sebagai disiplin ilmu mengarahkan sasaran studinya terhadap kaidah atau norma yang menghasilkan ilmu tentang kaidah hukum (norm wissenschaft), terhadap pengertian-pengertian dalam hukum yang menghasilkan ilmu tentang pengertian hukum (begriffen wissenschaft), dan terhadap kenyataan-kenyataan dalam hukum yang menghasilkan ilmu tentang kenyataan hukum (sein wissenschaft). Bedasarkan latar belakang masalah yang menunjukkan keterkaitan erat antara hukum dengan masyarakat beserta sistem nilainya yang berlaku dan mengingat pula hukum sebagai disiplin ilmu, maka yang menjadi permasalahn dalam tulisan ini adalah: Bagaimanakah aspek ontologi dari bangunan ilmu hukum, terutama dalam konteks keindonesiaan dengan pluralisme hukumnya? bagaimanakah dengan aspek epistemologinya? bagaimana pula dengan aspek aksiologinya, terutama dalam menjawab persoalan euthanasia?

Aspek Ontologis dari Ilmu Hukum

Disiplin ilmu hukum dalam mengarahkan sasaran studinya terhadap kaidah atau norma (norm wissenschaft), maka akan dapat dibedakan antara kaidah dalam arti yang luas dengan asas-asas hukum dan norma (nilai) yang merupakan kaidah dalam arti yang sempit, serta peraturan hukum kongkrit.. Kaidah dalam arti yang luas adalah rumusan pandangan masyarakat pada umumnya (bukan rumusan pandangan kelompok atau individu) tentang apa yang baik yang seharusnya diperbuat dan apa yang buruk yang seharusnya tidak diperbuat, sehingga berisi rumusan pandangan yang merupakan amar makruf nahi mungkar. Asas-asas hukum merupakan peraturan atau pedoman yang bersifat mendasar tentang bagaimana seharusnya orang berperilaku dan pedoman tersebut berupa pikiran dasar yang tersirat, berlaku umum, abstrak, mengenal pengecualian-pengecualian dan merupakan persangkaan (presumption) serta bersifat ideal mengingat manusia akan menemukan cita-citanya dengan asas hukum rersebut dan bersifat dinamis. Norma atau kaidah dalam arti yang sempit adalah nilai yang dapat kita gali atau temukan dari peraturan hukum kongkrit, sedangkan peraturan hukum kongkrit sendiri berupa pasal-pasal suatu peraturan perundang-undangan.. Sebagai contoh peraturan hukum kongkrit adalah Pasal 362 KUHP, maka asasnya adalah asas legalitas, norma atau nilai yang dapat kita gali adalah bahwa perbuatan mencuri itu merupakan perilaku yang buruk sehingga dilarang untuk dilakukan. Sasaran studi ilmu hukum terhadap pengertian pengertian (begriffen wissenschaft) tidak diarahkan untuk mencari pengertian dari hukum itu sendiri, melainkan mencari pengertian-pengertian dari konsep-konsep yang terdapat dalam hukum baik itu konsep dasar (fundamental) maupun konsep-konsep operasional sebagai tindak lanjut dari konsep dasar. Misalnya saja tentang pengertian dari konsep peristiwa hukum, hubungan hukum, subyek hukum, manusia sebagai subyek hukum, badan hukum, hak dan kewajiban serta demikian seterusnya yang kemudian secara sistematik bangunan pengertian-pengertian tersebut akan membentuk ilmu hukum. Sasaran studi ilmu hukum terhadap kenyataan-kenyataan yang terjadi di masyarakat (sein wissenschaft) akan melahirkan ilmu-ilmu hukum baru yang bersifat empirik yaitu sejarah hukum (terkait dengan kenyataan masyarakat di masa lampau), sosiologi hukum (terkait dengan kenyataan masyarakat di masa kini), antropologi hukum (terkait dengan nilai-nilai budaya masyarakat), psikologi hukum dan perbandingan hukum (bukan merupakan ilmu namun hanya sekedar memperbandingkan hukum yang masih berlaku dengan metodenya functional approach).

Selain kaidah sebagai sasaran studi ilmu hukum, sistem hukum dan penemuan hukum juga menjadi sasaran yang penting untuk dikaji (Hartono, 1989: 13-20). Sistem hukum adalah tatanan yang utuh yang didalamnya terdapat unsure-unsur pembentuk sistem yang masing-masing saling berinteraksi untuk mewujudkan tujuan dari sistem, serta tidak dikehendaki adanya konflik atau kontradiksi dalam diri sistem, namun jika terjadi konflik maka akan diatasi oleh dan didalam sistem hukum itu sendiri (Mertokusumo, 1999: 115). Penemuan hukum adalah menemukan hukumnya atau peraturannya karena tidak jelas, tidak lengkap atau tidak ada. Ketidak jelasan peraturan akan digunakan metode interpretasi atau penafsiran dengan jalan menafsirkan bagian peraturan yang tidak jelas (Loudoe; 1985: 124-125). Ketidaklengkapan atau ketiadaan peraturan hukum akan digunakan metode argumentasi baik argumentum peranalogiam maupun argumentum acontrario, serta metode konstruksi hukum (penyempitan maupun penghalusan hukum) serta metode fiksi hukum, yaitu apa yang ada dianggap tiada dan sebaliknya apa yang tiada dianggap ada (Scholten, 1992: 67).

Proklamasi Kemerdekaan Negara RI yang dilaksanakan pada tanggal 17 Agustus 1945 telah berhasil mendobrak sistem hukum kolonial dan menggantinya dengan sistem hukum nasional. Terlepas pro dan kontra antara kubu yang berpendapat bahwa saat ini kita telah memiliki sistem hukum nasional sendiri dan kubu yang berpendapat bahwa kita belum memiliki sistem hukum nasional sendiri karena sistem hukum yang ada ini masih merupakan warisan atau kelanjutan dari sistem hukum kolonial, maka penulis berpendapat bahwa sistem hukum itu bersifat historisch bestimmt (dinamis terkait dengan aspek-aspek kesejarahannya dan terikat dengan dimensi waktu dan tempatnya). Kita tidak dapat membangun sistem hukum nasional yang sama sekali baru karena sistem hukum itu bersifat given dan sistem hukum nasional yang telah ada, yang merupakan kelanjutan dari sistem hukum kolonial secara step by step akan dilakukan perbaikan-perbaikan dan perobahan-perobahan serta penyempurnaan-penyempurnaan untuk diselaraskan dan diserasika dengan Grundnorm kita, karena semenjak kemerdekaan RI kita telah mempunyai Undang-Undang Dasar Negara sendiri yaitu UUD Negara RI Tahun 1945 yang di dalamnya memuat dasar Negara RI yaitu Pancasila yang merupakan sumber dari segala sumber hukum dan dalam hirarki peraturan perundang-undangan Negara RI menempati kedudukan sebagai grundnorm.

 Demikian pula dalam operasionalisasi peraturan perundang-undangan warisan kolonial yang masih berlaku karena ketentuan Pasal II Aturan Peralihan UUD Negara RI Tahun 1945, terutama dalam pelaksanaannya di lembaga peradilan, hakim-hakim Indonesia telah menyesuaikan peraturan-peraturan warisan kolonial Belanda yang berjiwa materialistik, kapitalistik dan individualistik tersebut dengan Pancasila yang berjiwa monodualistik (asas keseimbangan).
Plularisme hukum sudah dikenal di Indonesia sejak jaman kolonial Belanda. Bahkan dilegalkan dengan pasal 131 I.S. (Indische Statsregeling) yang berisi ketentuan bahwa di Hindia Belanda (sekarang Indonesia) berlaku 3 macam sistem hukum perdata yaitu:

1. Hukum perdata barat (Eropa).
2. Hukum pertdata Islam.
3. Hukum perdata Adat.

Saat ini di masa kemerdekaan plularisme hukum tersebut masih merupakan sebuah kenyataan yang tidak dapat dipungkiri dan dalam pembangunan hukum sekarang yang bercorak modern melalui peraturan perundang-undangan hukum barat, hukum adat maupun hukum Islam saling berebut pengaruh untuk mewarnai pembangunan hukum nasional tersebut dalam berbagai bidang melalui proses legislasi nasional.
Hukum barat yang bercorak kapitalistik dan individualistik memiliki dasar ontologis monisme yaitu materialisme,bahwa hakekat dari kenyataan yang ada (Suriasumantri, 1990: 93) yang beraneka ragam itu semua berasal dari materi atau benda yaitu sesuatu yang berbentuk dan menempati ruang serta kedudukan nilai benda/badan/materi adalah lebih tinggi daripada roh/sukma/jiwa/spirit (Fadjar; 2007: 1-2).
Hukum Islam yang memberikan kostribusi terhadap pembangunan hukum nasional bukanlah hukum Islam yang bersifat universal (Rasyid, 1991 : 6) yang meliputi peraturan yang mengatur seluruh aspek kehidupan manusia secara komprehensif, melainkan sebatas hukum Islam yang menyangkut aspek keperdataan tertentu saja. Itulah yang menjadi hukum yang hidup (living law) dan selebihnnya seperti aturan-aturan yang menyangkut aspek peribadatan dan lain sebagainya masih belum menjadi hukum yang hidup dimasyarakat melainkan masih merupakan moral positif meskipun masyarakat telah menjalankan secara nyata dalam kehidupannya sehari-hari.
Dasar ontologis dari hukum Islam bersifat monisme yaitu idealisme atau spiritualisme, bahwa hakekat dari kenyataan yang ada yang beraneka ragam itu semua berasal dari roh/sukma/jiwa (Fadjar; 2007: 1-2), yaitu sesuatu yang bersifat ghoib yang tidak berbentuk dan tidak menempati ruang serta kedudukan nilai roh adalah lebih tinggi daripada nilai benda/materi/badan.

Hukum adat yang memberikan kontribusi terhadap pembangunan hukum nasional adalah hukum adat yang diketahui sepanjang masih merupakan hukum yang hidup(living law) dalam masyarakat dan yang masih sesuai dengan nilai-nilai kemanusiaan yang adil dan beradab. Dasar ontologis dari hukum adat adalah bersifat dualisme bahkan pluralisme, apalagi dengan mengingat sifat hukum adat itu yang magis religius. Hakikat dari kenyataan yang ada sumber asalinya berupa baik materi maupun rohani yang masing-masing bersifat bebas dan mandiri dan bahkan segala macam bentuk merupakan kenyataan (Fadjar, 2007: 1-2). Hal tersebut berkaitan erat dengan banyaknya wilayah atau daerah hukum adat (Rechtskringen) di Indonesia dan bahkan menurut catatan Van Vollen Hoven terdapat 19 daerah hukum adapt (Mertokusumo, 1999: 126), sehingga keberadaan hukum adat sendiri di Indonesia sudah bersifat pluralistik.
Aspek Epistemologis dari Ilmu Hukum Epistemologi adalah yang terkait dengan cara ilmu memperoleh dan menyusun tubuh pengetahuan (Masruri dan Rosidy dalam Fadjar, 2007: 4) (Suriasumantri, 1990: 106). Ia membahas tentang sumber, sarana dan tatacara menggunakan sarana tersebut untuk mencapai pengetahuan ilmiah, serta tolok ukur bagai sebuah kebenaran dan kenyataan ilmiah. Sarana ilmiah dalam epistemologi adalah akal atau akal budi, pengalaman atau kombinasi diantaranya, serta intuisi (Fadjar, 2007: 4). Dalam konteks keindonesiaan dengan plularisme hukumnya, aliran epistemologi yang dianut oleh hukum barat yang positivistik dan menitik beratkan pada peraturan perundang-undangan (Mertokusumo, 1988: 165-167) menurut hemat penulis adalah idealisme atau rasionalisme dengan menekankan peranan akal sebagai sumber pengetahuan. Aliran epistimologi yang dianut oleh hukum adat yang bersifat riil, terang atau jelas dan kontan, serta menitik beratkan pada kebiasaan atau perilaku masyarakat (die normatieve kraft des factischen demikian kata Jellineck), menurut hemat penulis adalah realisme atau empirisme dengan menekankan peranan indra dan pengalaman empirik (realitas) sebagai sumber pengetahuan. Adapun aliran epistemologi dari hukum Islam menurut hemat penulis tidak dapat dikatakan idealisme atau rasionalisme yang menekankan pada peranan akal. Demikian pula tidak dapat dikatakan realisme atau empirisme yang menekankan pada peranan indra dan pengalaman empirik (realitas), sebab Hukum Islam yang berasal dari Ajaran Agama Islam bersumberkan kepada wahyu (lihat Anshari, 1987: 128-130) sebagai sumber pengetahuan, baik yang didasarkan kepada kitab suci Al-Qur’an yang berkedudukan sebagai wahyu primer maupun Al-hadist yang berkedudukan sebagai wahyu sekunder. Keduanya dalam agama Islam dikenal sebagai sumber hukum atau dalil Naqli (Khallaf, 1980: 24-50). Disamping itu hukum Islam juga mengakui peranan akal (al-ra’yu) sebagai sumber pengetahuan dan sekaligus sebagai sumber hukum yang dalam agama Islam disebut sebagai sumber hukum atau dalil Aqli, tetapi kedudukanya tergantung dari sumber hukum atau dalil Naqli, yakni untuk menjelaskan sumber hukum Naqli tersebut apabila tidak ditemukan kejelasannya. Dengan catatan sumber hukum Aqli tersebut yang berupa ijma’ (kesepakatan para ulama) dan qias (analogi) tidak boleh menyimpang dari ketentuan sumber hukum Naqli (Khallaf: 65-75).
Dan apabila dikaitkan dengan penggunaan indra atau pengalaman empirik (realitas) sebagai sumber pengetahuan dalam hukum Islam, maka menurut hemat penulis hal itu pun dijumpai seperti pada asas hukum (kaidah ushul fiqih) al-aadatu al- muhakkamah (kebiasaan atau adat yang melembaga). Ilmu pengetahuan yang diperoleh manusia melalui sarana akal atau akal budi, indra atau pengalaman empirik (realitas) dan lain sebagainya, telah menghasilkan beberapa metode ilmu pengetahuan yaitu metode induksi, deduksi, positivisme, kontemplatif dan dialektika (Fadjar, 2007: 5) (lihat juga Shah, 1986: 33).
Hukum sebagai ilmu pengetahuan dalam menyusun obyek atau bahan ilmunya ke dalam struktur ilmu hukum yang konstruktif dan sistematis, juga menggunakan metode-metode tersebut. Metode Induksi adalah metode berpikir dari yang khusus kepada yang umum, sedangkan metode deduksi bersifat sebaliknya, yaitu metode berpikir dari yang umum kepada yang khusus. Metode positivisme yang dipelopori oleh August Comte berpangkal dari apa yang telah diketahui, yang faktual dan positif serta menolak diluar yang positif termasuk metafisika. Sedangkan metode kontemplatif mengakui metode lain berupa intuisi dan perenungan mengingat keterbatasan indra dan akal. Apabila ditarik ke dalam dunia peradilan yang dikuasai oleh postulat keadilannya Aristoteles, bahwa peristiwa yang sama diperlakukan sama (analogi) dan peristiwa yang tidak sama tidak diperlakukan sama (a contrario), maka ada dua sistem untuk merealisir pokok pikiran tersebut yaitu sistem Anglo-Amerika dan Sistem Eropa Kontinental. Sistem Anglo-Amerika mengikat hakim pada precedent (The binding force of Precedent). Hakim Amerika akan berfikir secara induktif, yaitu berfikir dari yang khusus kepada yang umum (Hukumnya dalam matematika dirumuskan dengan dalil jika X : Y dan Y : Z, maka X : Z). Ia menemukan peraturan yang dijadikan dasar putusannya dari deretan putusan-putusan sebelumnya (reasoning by analogy, reasoning from case to case). Sedangkan Sistem Eropa Kontinental bertujuan mewujudkan postulat kesamaan dengan mengikat hakim pada undang-undang, yaitu peraturan yang sifatnya umum yang menentukan agar sekelompok peristiwa tertentu yang sama diputus sama. Dalam hal ini hakim terikat pada jalan pikiran deduktif, yaitu berpikir dari yang umum kepada yang khusus. Ia harus mengkonkritisasi peraturan dan harus mengabstraksi peristiwa. Subsumpsie dan sillogisme atau dialektika merupakan ciri khas dari cara berfikir deduksi. Dalam sillogisme atau dialektika bunyi pasal undang-undang adalah premis mayor atau thesenya, fakta atau peristiwa atau kasus konkritnya adalah premis minor atau antithesenya dan bunyi putusan hakim adalah konklusi atau sinthesenya. Dengan demikian sillogisme atau dialektika hanyalah memberi bentuk untuk membenarkan putusan, sedangkan untuk menemukan putusannya diperlukan analogi dan acontrario (Mertokusumo, 1999: 167). Dalam bagan siklus ilmu pengetahuan sebagaimana digambarkan oleh L. Wallace di dalam bukunya The Logic of Science in Sociology (Sumardjono, 1989: 3) dikatakan bahwa ilmu pengetahuan selalu berkembang karena dibantu oleh riset yang dilakukan secara terus menerus. Riset atau penelitian tersebut memiliki dua ciri khas yaitu penggunaan logika dan pengamatan empirik. Penggunaan logika meliputi baik logika deduksi maupun induksi. Logika deduksi digunakan manakala hendak menyusun hipotesis, logika induksi digunakan manakala hendak melakukan genaralisasi empirik dengan melakukan abstraksi, sedangkan pengamatan empirik digunakan manakala hendak melakukan uji hipotesis dengan melakukan observasi di lapangan.
Aspek Aksiologi Ilmu Hukum dalam Persoalan Euthanasia Aksiologis merupakan cabang filsafat yang membahas tentang nilai (value) (lihat Suriasumantri, 1990: 231) sebagai imperative dalam penerapan ilmu pengetahuan sebagai satu kesatuan yang menampakkan diri dalam tiga dimensi yaitu ilmu sebagai masyarakat, ilmu sebagai proses dan ilmu sebagai produk (Fadjar, 2004: 5). Ilmu sebagai produk adalah bebas nilai, namun ilmu sebagai masyarakat dan sebagai proses senantiasa terikat oleh nilai sehingga harus tepat nilai, tepat guna dan tepat sasaran. Nilai tersebut dalam konteks filsafat adalah meliputi keindaha (estetika), kebaikan (etika), kebenaran (logika) dan bahkan kesakralan (agama) (Supadjar dalam Fadjar, 2007:.
Demikian pula dengan aspek epistemologi dari bangunan ilmu hukum Indonesia yang hendak digagas, dibangun dan dikembangkan tersebut, maka sebagai konsekuensi asas keseimbangan dari nilai pandangan filsafat Pancasila tentunya sumber pengetahuan dari bangunan ilmu hukum Indnesia tersebut akan mengakui baik idealisme atau rasionalisme yang menekankan pada peranan akal juga akan mengakui realisme atau empirisme yang menekankan pada peranan indra atau pengalaman empirik, serta mengakui pula peranan wahyu sebagai sumber pengetahuan yang tidak kalah pentingnya. Terhadap aspek aksiologi dari bangunan ilmu hukum Indonesia, maka tidak bebas nilai terutama jika dikaitkan dengan implementasi ilmu hukum tersebut dimasyarakat dan sebagai proses seperti ditunjukkan dalam studi kasus euthanasia, nampak bahwa ilmu pengetahuan pada umumnya dan ilmu pengetahuan hukum pada khususnya, sarat dengan balutan nilai-nilai moral atau etika, terutama nilai pandangan Pancasila tentang moral (perilaku yang baik dan yang buruk) juga nilai-nilai keagamaan yang bersifat sakral Dalam implementasinya pandangan nilai keseimbangan dari filsafat Pancasila tersebut saat ini telah mengalami distorsi karena perkembangan masyarakat Indonesia sendiri yang telah mengalami trasformasi sosial budaya, yaitu yang dulunya sebagai masyarakat agraris yang bersifat paguyuban (gemeinschaft) menuju ke arah masyarakat industri yang bersifat patembayan (gesselschaft), serta adanya pengaruh dari globalisasi dunia yang sulit untuk ditolak, sehingga nilai-nilai spiritualisme telah tergerus oleh nilai-nilai materialisme.
DAFTAR PUSTAKA
  • A.Muktie Fadjar., Aspek-Aspek Ontologis, Epistemologis dan Aksiologis Kefilsafatan Ilmu (Hand Out Mata Kuliah Filsafat Ilmu PDIH Unibraw ), Malang, 2007.
  • A.B. Shah., Metodologi Ilmu Pengetahuan, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, 1986.
  • A.Wahab Khallaf., Ushul al Fiqh (Edisi Bahasa Indonesia oleh Tolchah Mansoer dan Nur Iskandar), 1980, Yogyakarta.
  • Agus Rahmat., Titik Sentuh antara Etika dan Ekonomi, Pro Justitia No.2 Tahun X, April 1992, Bandung.
  • Aroma Elmina Martha., Pengkajian Hak Untuk Mati padaMasyarakat Indonesia, Maka pada seminar regional mahasiswa hukum se DIY dan Jateng di Unika Atmajya Yogyakarta pada 24-25 April 1989.
  • Charles L. Krammer., Ethics and Liberation, Orbit Books, New York, 1988.
    Dewabrata., Makna Kode Etik, Kompas 13 Mei 1989, Jakarta.
  • Endang Saifuddin Anshari., Ilmu, Filsafat dan Agama, Bina Ilmu,1987, Surabaya.Fred Ameln., Euthanasia Ditinjau dari Segi Yuridis, seminar BPHN November 1984 di Jakarta.
  • L.R. Pudjawiyatna., Etika, Filsafat Tingkah Laku, Bina Aksara, Jakarta 1984.
  • John Z Loudoe., Menemukan Hukum Melalui Tafsir dan Fakta, PT Bina Aksara, Jakarta, 1985.
  • Jujun S Suriasumantri., Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer, Pustaka Sinar Hara Pan, Jakarta, 1990.
  • J.E. Sahetapy., Euthanasia Suatu Kajian terhadap Legalitik Positivistik, Makalah seminar Regional mahasiswa hukum se DIY dan Jateng di Unika Atmajaya Yogyakarta 24-25 April 1989.
  • Maria SW Sumardjono, Pedoman Pembuatan Usulan Penelitian, FH UGM, Yogyakarta,1989.
  • Paul Scholten., Mr.C.Assers, Hanleiding Tot De Beofening Van Het Nederlandsch Burgerlijk Recht : Algemeen Deel (Edisi terjemahan Bahasa Indonesia oleh Siti Sumarti Hartono), Gadjah Mada University Press, Jogyakarta, 1992.
  • Purnadi Purbacaraka dan Soeryono Soekanto., Perihal Kaedah Hukum,Alumni,Bandung, 1978.
  • Roihan A Rasyid., Hukum Acara Peradilan Agama, Rajawali Pers, Jakarta, 1991.
  • Satjipto Raharjo., Tinjauan Sosiologis terhadap Hak untuk Mati, Makalah Seminar Regional Mahasiswa Hukum se DIY dan Jateng di Unika Atmajaya Yogyakarta 24-25 April 1989.——-., Ilmu Hukum, PT Citra Aditya Bakti, Bandung, 2000.
  • Siti Sumarti Hartono., Penemuan Hukum dari Montesque sampai Paul Scholten, Majalah Mimbar Hukum FH UGM Jogyakarta No.8/I/1989 Hal. 13-21.
  • Sudikno Mertokusumo., Hukum Acara Perdata Indonesia, Liberty, Yogyakarta, 1988. ——-., MengenalHukum Suatu Pengantar, Liberty,Jogyakarta,1999. Teuku Jacob., Hak untuk Mati: Aspek Biomedis, Makalah Seminar Regional Maha Siswa Hukum se DIY dan Jateng di Unika Atmajaya Yogyakarta 24-25 April 19889. Umar Seno Adji., Euthanasia (Dalam Varia Peradilan No.14 Bulan November 1986)

 

No comments:

Post a Comment

Komentar Facebook