Sunday, November 23, 2014

Lahirnya Perbandingan Hukum Modern adalah 1869



PERBANDINGAN HUKUM
Penulis (M.Rakib LPMP Riau) sudah menulis disertasi tentang perbandingan konsep anti kekerasan terhadap anak, antara Hukum Islam dan Hukum Perlindungan anak UU No.23 tahun 2002. Masalah perbandingan hukum memang sangat menarik.

 

Lahirnya Perbandingan Hukum Modern adalah 1869, karena pada waktu itu di Perancis didirikan Societe de legislation compare, sedangkan di Inggris Sir Henry Summer Maine diangkat sebagai guru besar pertama dalam “historical” dan “comparative jurisprudence”h pada Universitas Oxford. Tidak boleh dilupakan bahwa pada tahun itu pula di Belgia diterbitkan majalah Reveu de droit international et de droit compare. Lahirnya kodifikasi menyebabkan lahirnya legisme. Pada waktu itu undang-undang ditafsirkan secara harfiah, sehingga tidak ada kesempatan memperbandingkan pemecahan masalah hukum dengan luar negeri. Pada permulaan abad ke 19 itu majalah-majalah pada umumnya memusatkan perhatiannya kepada perundang-undangan luar negeri dan bukan kepada pemecahan masalah hukumnya, sehingga hanya merupakan perbandingan perundang-undangan dan bukan perbandingan hukum atau peradilan. Haruslah disadari bahwa suatu undang-undang itu tidak berdiri sendiri lepas dari undang-undang lainnya. Suatu undang-undang harus dilihat dalam sistem hukum negara yang bersangkutan. Arti pentingnya suatu undang-undang atau peraturan perundang-undangan justru terletak dalam sistem hukum itu. Undang-undang memang merupakan salah satu (bukan satu satunya) perwujudan hukum dan pelaksanaan undang-undang melalui peradilan itupun adalah hukum.

Pada tahun 1900 di Paris diadalan Kongres Dunia pertama yang memikirkan tentang metode dan tujuan perbandingan hukum. Diputuskan bahwa perbandingan hukum harus dipusatkan pada hukum yang nyata-nyata berlaku (law in action) dan tidak semata-mata pada bunyi undang-undang saja. Diharapkan dengan perbandingan hukum kita menuju pada unifikasi hukum: suatu “droit mondial” (hukum dunia). Tetapi dengan terjadindya perang dunia maka impian akan unifikasi hukum itu menjadi kabur, Sebaliknya menunjukkan kelemahan.

Bagaimana hukum Islam berdampingan dengan hukum positif dan norma adat yang dianut oleh kedua negara yang berbeda, Indonesia dan Prancis. Dengan menggunakan pendekatan sosiologis dan metode etnografi, Bowen mencoba membedakan kondisi masyarakat Indonesia dan Prancis. Menurutnya, perbedaan yang mencolok adalah bahwa masyarakat muslim Indonesia berjumlah mayoritas, sedangkan di Prancis muslim adalah masyarakat minoritas. Selain itu, Indonesia adalah negara multikultural sedangkan Prancis adalah negara monokultural. Kalaupun ada keberagaman, maka itu hanya dimiliki oleh sekelompok masyarakat yang minoritas. Karena perbedaan itulah penerapan hukum Islam – khususnya hukum keluarga Islam – memiliki beberapa perbedaan (disamping persamaan) yang cukup signifikan dalam hal aplikasinya di masyarakat kedua negara tersebut.( Sumber utama makalah ini adalah hasil penelitian John R Bowen pada tahun 2000)
Perbedaan yang paling signifikan adalah:
1.      Hukum Islam di Indonesia bersifat sakral, sedangkan di Prancis hukum Islam dianggap hukum yang berasal dari karya manusia, sama dengan hukum-hukum lainnnya.
2.      Persamaannya adalah hukum Islam baik di Indonesia maupun di Prancis dalam pemberlakuannya sama-sama harus menyesuaikan diri dengan norma adat yang dijunjung tinggi oleh masyarakat keedua negara.
3.      Hukum Islam memilki karakter atau sifat yang elastis (lentur) dengan kondisi sosial dan budaya pada setiap zaman dimana umat Islam tinggal.
4.      Hukum Islam dapat berkembang pesat di belahan dunia dan diterima sebagai suatu hukum yang diyakini kebenarannya dari Tuhan melalui perantara para Rasul-Nya.
5.      Hukum Islam yang mengedepankan aspek-aspek kesetaraan, keadilan, maslahat pada masyarakat yang multikultural seperti di Indonesia. Sedangkan untuk mewujudkan hukum Islam yang terkandung didalamnya aspek-aspek kesetaraan, keadilan, dan maslahat maka perlu dilakukan rekontekstualisasi hukum Islam.
Salah satu bidang hukum Islam yang perlu direkontekstualisasi aplikasinya adalah hukum keluarga Islam (Ahwal As-syahsiyah). Di Indonesia, rekontekstualisasi hukum keluarga Islam dibuktikan dengan tersusunnya Kompilasi Hukum Islam (KHI) dan respons masyarakat Islam terhadapnya. Dari sisi metodologis, KHI dapat dikatakan sebagai fiqih yang bermadzhab keindonesiaan, sedangkan dari sisi politis KHI tampaknya tidak lebih sebagai alat strategis hegemoni fiqih Syafi’i yang dianut penguasa dan para ulama Nusantara. Namun demikian tidak ada paksaan atau sanksi apapun bagi kaum muslim yang mengabaikan aturan-aturan dalam KHI tersebut.
SISI PERBEDAAN
Berbeda dengan di Prancis:
1.      Masyarakat Prancis lebih mengakui nilai-nilai norma dan etika masyarakat mereka sebagai suatu kebenaran yang paling benar.
2.      Hukum Francis lebih mereka utamakan daripada sebuah legal draft undang-undang yang disahkan oleh dewan legislatif mereka. Baik ajaran agama maupun undang-undang negara berada pada posisi kedua setelah nilai norma yang tidak tertulis itu. tampaknya undang-undang hanyalah sebagai dasar formalisasi saja dari setiap keputusan yang diambil oleh para hakim di Prancis.
3.      Rekontekstualisasi hukum Islam di Indonesia dan pemberlakuan hukum Islam di Prancis dan di beberapa negara Islam seperti Turki dan Mesir, yang menitikberatkan pembahasan pada masalah pernikahan dan perceraian serta hubungannnya dengan prinsip-prinsip hukum universal.
4.      Penelitian John Bowen yang meliputi penbahasan tentang persamaan dan perbedaan penerapan hukum Islam di kedua negara (Indonesia dan Prancis), kelebihan hasil penelitian ini, serta kekurangannya, serta pembahasan disempurnakan dengan kaitan antara gerakan pembaharuan di dunia Islam dengan rekontekstualisasi hukum Islam di Indonesia.
Tulisan ini selain bersumber dari penelitian John R Bowen pada tahun 2001, juga akan dikutip beberapa pokok pikiran dari hasil hasil kajian-kajian yang lain baik dari buku maupun dari hasil penelitian yang memiliki kesamaan fokus kajian tentang masalah yang akan dibahas dalam makalah ini. Adapun tujuannya adalah untuk mempermudah dalam melakukan analisis perbandingan dalam mengukur validitas hasil penelitian Bowen ini.
Deskripsi Pemberlakuan Hukum Islam di Indonesia dan Prancis  
1. Hukum Keluarga Islam di Indonesia
Di Indonesia terdapat beberapa hukum yang diakui dan berlaku di masyarakat, yaitu hukum positif, hukum Islam dan hukum adat. Keberlakuan hukum positif meliputi lingkup nasional, sedangkan hukum adat bersifat kedaerahan. Lain halnya dengan hukum Islam yang berlaku khusus untuk umat Islam, dan itupun hanya diformalisasikan pada ranah privat (perdata) saja. Hukum keluarga Islam yang bersumber dari al-Qur’an dan Sunnah ini baru resmi dijadikan sebagai salah satu sumber putusan pengadilan agama pada era 90-an. Sebelumnya pada masa-masa sebelumnya, hukum Islam belum mendapatkan tempat yang layak sebagai hukum yang dianut oleh mayoritas umat Islam dalam hierarkhi perundang-undangan di Indonesia.
Pada masa pemerintahan Orde Baru sebenarnya telah ada Pengadilan Agama, namun putusan yang dikeluarkan oleh Pengadilan Agama baru dapat dianggap mempunyai kekuatan hukum tetap setelah ditetapkan oleh Pengadilan Negeri. Hingga pada tahun 1989 muncul Undang-undang tentang Peradilan Agama yang diakui putusannya memiliki kekuatan hukum tetap. Dan sejak tahun 1991 setelah disahkannya KHI sebagai salah satu sumber hukum keluarga Islam di Indonesia, Pengadilan Agama mengikuti aturan yang terdapat dalam KHI yang disusun oleh para ahli hukum Islam di Indonesia.
Hukum keluarga Islam – seperti UU Perkawinan tahun 1974 – termasuk hukum yang dilegislasikan di Indonesia, begitu pula dengan KHI yang diberlakukan melalui Inpres tahun 1991 berubah statusnya menjadi hukum nasional. Adapun hukum adat tidak dikodifikasikan dan tidak diformalisasikan, namun memiliki kekuatan yang sama kuatnya dengan hukum yang dikodifikasikan. Hal ini dapat dilihat dalam bentuk ceremonial seperti acara pernikahan maupun kegiatan-kegiatan ritual yang dilakukan oleh suatu masyarakat tertentu.
a. Rekontekstualisasi Hukum Islam dan Prinsip Kesetaraan
Banyak kalangan ahli hukum Islam telah memperbincangkan dua masalah penting, yaitu: Pertama, bagaimana rumusan yang terbaik untuk mengembangkan hukum Islam yang sesuai dengan semangat keindonesiaan? Kedua, bagaimana peran negara dalam mengatur masalah pernikahan dan perceraian di Indonesia?
Untuk masalah pertama telah terdapat perdebatan dan perbedaan pandangan tentang kapan umat Islam harus mengikuti teks, atau kapan suatu teks harus diberlakukan. Kelompok yang berpegang pada teks mengatakan bahwa konteks harus tunduk pada teks. Kelompok ini ditokohi oleh A. Hasan dan para pengikutnya. Sedangkan mayoritas ulama di Indonesia sepakat bahwa keberlakuan teks harus disesuaikan dengan konteks sosial dan kondisi zaman. Mereka berargumen berdasarkan apa yang dilakukan oleh khalifah Umar bin Khattab. Pandangan seperti ini dipelopori oleh Hasbiy Ash-Shiddiqy dan ulama-ulama tradisionalis seperti ulama NU. Inilah yang mereka sebut dengan rekontekstualisasi hukum Islam.
Akan tetapi perdebatan tidak cukup berhenti sampai di situ, sebab upaya rekontekstualisasi hukum Islam menyebabkan umat Islam harus merumuskan kembali fiqih Islam yang berdasarkan pada prinsip kesetaraan dan keadilan yang merupakan nilai universal dari ajaran Islam. Dari sini kemudian timbul pertanyaan apakah hukum Islam yang dirancang hendak disesuaikan dengan konteks Islam Arab atau konteks Islam Indonesia? Sekelompok umat Islam radikal mencoba menggiring hukum Islam di Indonesia kepada konteks Islam Arab, sedangkan mayoritas ulama di Indonesia berupaya membangun sistem hukum Islam (dalam hal ini hukum keluarga Islam) – yang kemudian diformalisasikan dalam bentuk Undang-undang – dengan mengakulturasikan ajaran Islam dengan norma adat. Tidak cukup itu, para ahli hukum Islam juga memasukkan norma hukum modern, yaitu prinsip kesetaraan dan keadilan. Di antara ahli hukum Indonesia yang mencoba mengawali konsep hukum Islam keindonesiaan adalah Hasbiy As-Shiddiqiy dan Hazairin.
Namun di sisi lain, dalam masyarakat tertentu – seperti di Aceh – hukum Islam seringkali digunakan sebagai alat kritik terhadap hukum adat. Begitu pula hukum positif yang seringkali tidak sejalan dengan norma adat, sehingga banyak masyarakat yang lebih mempertahankan hukum adat daripada mengikuti hukum positif. Hal seperti ini biasanya terjadi dalam masalah hukum keluarga seperti pernikahan dan kewarisan.
Begitu juga tentang KHI yang walaupun disusun berdasarkan ijma para ahli hukum Islam di Indonesia, namun keberlakuannya masih dalam konteks tertentu. Tidak jarang di antara kelompok dan organisasi Islam yang cenderung mengabaikan KHI, dan mengikuti madzhab yang mereka yakini. Karena pada dasarnya KHI adalah sekedar aturan hukum Islam, dan bukan Undang-undang yang berlaku mengikat dan harus ditaati.
Apabila dilihat secara kronologis, KHI sejak diumumkan oleh Presiden Suharto pada tahun 1991 resmi menjadi sebuah rujukan hukum pada Peradilan Agama. Karena KHI merupakan representasi dari konsensus atau ijma’ para ahli hukum Islam di Indonesia, yang dikodifikasikan berdasarkan norma-norma dan kaedah hukum Islam. Jadi fiqih keluarga Islam yang diinginkan pemerintah sebenarnya adalah fiqih yang terkodifikasi di dalam KHI. Tetapi tidak semua masyarakat muslim menyelesaikan perkara perdatanya di Pengadilan Agama. Tidak jarang di antara mereka yang mengajukan perkaranya ke Pengadilan Negeri – terutama masalah kewarisan – karena banyak umat Islam terutama kaum wanita yang tidak sepakat dengan sistem waris Islam 2:1 untuk laki-laki dan wanita.
b. Validitas Talaq
Undang-undang Peradilan Agama tahun 1989 dan Kompilasi Hukum Islam (KHI) secara de facto merupakan bukti kemenangan politik umat Islam yang menginginkan perubahan konstitusi hukum untuk memasukkan hukum Islam di dalamnya. Meskipun Undang-undang sebelumnya – yakni UU No.1 tahun 1974 tentang Perkawinan – juga di dalamnya telah termuat substansi hukum Islam, namun Undang-undang tersebut dimaksudkan untuk mengantisipasi komplikasi penerapan hukum Islam di Indonesia.
Salah satu yang diatur dalam ketentuan hukum perkawinan Islam adalah tentang ta’liq talaq. Dahulu, seorang suami begitu mudah mentalaq istrinya tanpa mempertimbangkan akibat dari sebuah perceraian. Pada masa berikutnya para wanita menuntut kepada para hakim untuk membuat suatu perjanjian dalam pernikahan mereka sehingga dengan perjanjian tersebut hak-hak kaum wanita dapat terlindungi. Perjanjian itu disebut dengan ta’liq talaq.
Penelitian ini dilakukan pasca reformasi, maka dari itu kemungkinan telah banyak terjadi perubahan tentang aturan hukum Islam dalam lingkup nasional. Peneliti mendapati bahwa pada saat penelitian ini dilakukan (tahun 2001), antara suami dan istri apabila ingin bercerai haruslah dapat meyakinkan hakim di Pengadilan bahwa hubungan tersebut sudah benar-benar tidak dapat dipertahankan lagi. Talaq dalam hukum perkawinan Islam tidak bisa dikatakan sah sebelum disahkan oleh putusan Pengadilan Agama.
2. Hukum Keluarga Islam di Prancis
Umat Islam di Prancis adalah kelompok minoritas yang baru berkembang pesat sejak akhir abad ke-20. Hukum Islam di Prancis berbeda dengan hukum Islam di Indonesia yang memiliki ciri multikultural. Hukum Islam di Prancis hanyalah berupa hukum privat yang dijadikan sebagai alternatif untuk mencari solusi dari sebuah permasalahan yang tidak diselesaikan melalui pengadilan negara. Hukum Islam di negara ini hanya berlaku dalam ranah kecil, misalnya untuk memberi label halal-haram suatu produk makanan yang dikonsumsi oleh umat Islam di sana.
Setelah perang dunia II, keadaan masyarakat Prancis berubah. Dan perubahan tersebut berpengaruh pada perubahan penberlakuan Undang-undang Kewarganegaraan. Ketika wilayah kekuasaan Prancis berkembang hingga melampaui batas teritorial, banyak imigran dari berbagai negeri Islam yang masuk ke Prancis dan menetap sebagai warga negara. Sehingga mereka turut mewarnai sistem politik, budaya dan bahkan sistem legislasi perundang-undangan di Prancis.
Akan tetapi untuk menjadi warga negara Prancis tidaklah mudah. Mereka harus mendaftarkan status pernikahannya pada lembaga hukum di Prancis. Dari sini muncul masalah bahwa sah tidaknya suatu perkawinan terkadang bertentangan dengan hukum di negara Prancis. Dan pada masa berikutnya suatu perkawinan harus berdasarkan pada hukum negara yang berorientasi pada norma adat yang diakui oleh masyarakat Prancis. Di sini hukum Islam seakan-akan tidak mempunyai tempat di Prancis, kecuali dalam lingkup kecil.
a. Pernikahan dan Perceraian
Prancis merupakan negara yang memiliki sistem hukum tertulis, disamping menjunjung tinggi nilai-nilai norma yang tidak tertulis yang berlaku pada masyarakatnya. Adapun nilai norma tersebut disebut dengan “French Public Order”. Selanjutnya nilai norma itulah yang sangat mempengaruhi sistem hukum tertulis yang ada di Prancis. Nilai norma tersebut lebih dominan menguasai setiap putusan hakim di pengadilan Prancis daripada teks perundang-undangan yang ada, sehingga hukum Islam pun apabila bertentangan dengan norma tersebut maka tidak dapat diberlakukan.
Ada beberapa peraturan dalam Undang-undang Prancis yang tentu saja selain memiliki kesamaan, juga memiliki perbedaan dengan Undang-undang di Indonesia, yaitu: Pertama, dalam Undang-undang Prancis tidak dikenal – bahkan dilarang – adanya poligami. Karena poligami dianggap tidak sejalan dengan nilai-nilai norma masyarakat Prancis. Dengan demikian seandainya seseorang dinyatakan sah memiliki dua istri pada hukum yang lain, maka yang diakui dan diputuskan oleh hakim hanya satu istri, adapun istri yang lain harus dicerai. Kedua, hubungan seksual dilakukan sebelum pernikahan dilakukan. Hal ini dimaksudkan untuk menghindari kekecewaan salah satu pihak atau kedua belah pihak manakala pernikahan sudah dilakukan, tetapi salah satu pasangan tidak merasakan kepuasan terhadap pasangannya. Ketiga, Undang-undang di Prancis juga melarang perceraian, karena perceraian dianggap dapat merusak simbol-simbol pernikahan.
Dalam hal ini French Public Order memegang kendali paling tinggi terhadap setiap putusan yang dikeluarkan oleh para hakim di pengadilan negara. Karena bagi mereka, hukum tidak berbicara baik atau buruk, tetapi hukum berbicara boleh atau dilarang. Maka yang paling baik menurut para hakim di Prancis adalah mengikuti nilai-nilai moral (adat).


No comments:

Post a Comment

Komentar Facebook