Saturday, November 22, 2014

talak yang dijatuhkan setengah atau seperempatanya.



KAU KUCERAI SEPEREMPAT THALAQ
 Tidak sah talak yang dijatuhkan setengah atau seperempatanya.

m.rakib  lpmp  riau indonesia


منْ تعجّل حقّهُ أوْ ما أُبِيْح لهُ قبْل وقْتِهِ على وجْهٍ مُحرّمٍ عُوْقِب بِحِرْمانِهِ
"Barangsiapa yang mempercepat haknya atau yang membolehkannya sebelum waktunya dengan cara yang haram, maka ia dihukum dengan keharaman (dilarang) menerima hak tersebut"
1. Mengetahui maksud kaidah ke-37 yang berbunyi :
يُغْتَفَرُ فِى الْوَسَائِلِ مَالاَيُغْتَفَرُ فىِ الْمَقَاصِدِ
2. Mengetahui maksud kaidah ke-38 yang berbunyi :
اَلْمَيْسُوْرُ لاَيَسْقُطُ بِالْمَعْسُوْرِ
3. Mengetahui maksud kaidah ke-39 yang berbunyi :
مَالاَيَقْبَلُ التَبْعِيْضَ فَاخْتِيَارُ بَعْضِهِ كَاخْتِيَارِ كُلِهِ وَإِسْقَاطُ بَعْضِهِ كَإِسْقَاطِ كُلِهِ
4. Mengetahui maksud kaidah ke-40 yang berbunyi :
إِذَااجْتَمَعَ السَبَبُ أَوِالْغُرُوْرُ وَالْمُبَاشَرَةُ قُدِمَتِ الْمُبَاشَرَةُ

QAWA-ID FIQH KAIDAH KE 37-40


2.1 KAIDAH KE-37
يُغْتَفَرُ فِى الْوَسَائِلِ مَالاَيُغْتَفَرُ فىِ الْمَقَاصِدِ
”Sesuatu yang ketika menjadi tujuan tidak diampuni, diampuni waktu menjadi lantaran”.
Contoh :
Melukai anggota badan sebagai tujuan, tidak boleh. Tetapi operasi yang dilakukan oleh dokter tidak dilarang, sebab operasi hanyalah lantaran untuk menyembuhkan si sakit.

2.2 KAIDAH KE-38
اَلْمَيْسُوْرُ لاَيَسْقُطُ بِالْمَعْسُوْرِ
”Yang mudah tidak gugur karena yang sukar”.
Kaidah ini di ambil dari hadist yang berbunyi :
إِذَا أَمَرْتُكُمْ بِأَمْرٍ فَأْتُوْا مِنْهُ مَااسْتَطَعْتُمْ
Artinya : ”Manakala kuperintahkan kalian dengan suatu perkara, maka laksanakanlah sebisa kalian”.
Contoh :
1. Orang yang hanya memiliki satu tangan, dalam wudlu ia harus membasuh apa adanya, yaitu satu yangan yang dimilikinya itu.
2. Orang yang baru bisa membaca surah Al Fatihah setengah, dalam shalat haruslah membaca apa yang dia bisa itu.



Pengecualian :
Dari kaidah ini masalah yang dikecualikan juga tidak sedikit, antara lain :
a. Seseorang berkewajiban membayar kafarat (denda) dengan memerdekakan budak. Jika ia hanya memiliki setengah, maka tidak boleh memerdekakan setengah yang dimilikinya itu, melainkan hanya menggantinya saja dengan puasa dua bulan berturut-turut.
b. Orang yang hanya kuat berpuasa setengah hari karena sakit umpamanya, ia tidak diwajibkan imsak setengah hari yang terakhir.
c. Seseorang ketika hendak meninggal dunia, berwasiat untuk membeli rumah guna dijadikan madrasah. Kemudian ternyata sepertiga dari harta peninggalannya tidak mencukupi untuk membeli sebuah rumah, maka wasiatnya menjadi batal.
d. Seseorang yang habis berbelanja, ketika sampai dirumah mendapati barang yang dibelinya cacat. Waktu hendak dikembalikan tokonya tutup. Lalu cacat itu hendak ditunjukkan dan dipersaksikan kepada orang lainpun tidak dapat, sebab kebetulan ia sakit. Dalam keadaan begini, ia tidak wajib mengucapkan kata-kata : ”Jual beli ini saya batalkan”, sebab memberitahu atau memberi kesaksian kepada diri sendiri itu tidak ada artinya.

2.3 KAIDAH KE-39
مَالاَيَقْبَلُ التَبْعِيْضَ فَاخْتِيَارُ بَعْضِهِ كَاخْتِيَارِ كُلِهِ وَإِسْقَاطُ بَعْضِهِ كَإِسْقَاطِ كُلِهِ
”Sesuatu yang tidak bisa di bagi itu, memilih sebagiannya sama dengan memilih seluruhnya dan menggugurkan sebagiannya berarti menggugurkan seluruhnya”.
Contoh :
1. Seseorang berkata kepada istrinya : ”Kau kucerai sebagian”, padahal thalaq itu tidak bisa di bagi. Maka menurut hukum, thalaqnya jatuh satu, sebab memilih sebagian sama dengan memilih seluruhnya.
2. Seseorang membeli baju dan diketahui lengannya sedikit robek. Dia tidak bisa meminta ganti hanya lengannya saja, sebab baju tidak dapat dibagi-bagi, karenanya menggugurkan sebagian berarti menggugurkan seluruhnya.
Cara sebagian menjadi keseluruhan :
Para ulama berselisih pendapat tentang ”apakah hukum terhadap sebagian menjadi hukum terhadap keseluruhan itu dengan jalan merembet atau tidak ?”.
Imam Rafi’i berpendapat, bahwa jalan hukum terhadap sebagian menjadi hukum terhadap keseluruhan adalah merembet. Sedangkan Imam Haramain mengatakan, tidak merembet melainkan sekaligus. Jadi, berarti lafadznya menunjuk sebagian, tetapi yang dimaksud adalah keseluruhan, seperti halnya ucapan: ”Sudah banyak telinga yang mendengar”, ini yang dimaksud adalah ”Sudah banyak orang yang mendengar, sebab telinga saja (telinga yang putus umpamanya), tentu tidak mungkin dapat mendengar”.

2.4 KAIDAH KE-40
إِذَااجْتَمَعَ السَبَبُ أَوِالْغُرُوْرُ وَالْمُبَاشَرَةُ قُدِمَتِ الْمُبَاشَرَةُ
”Manakala terkumpul sebab atau tipuan dengan pelaksanaan, maka pelaksanaan didahulukan”.
Contoh :
1. A menjual sebilah pisau pada B, lalu oleh B pisau itu digunakan untuk membunuh. Dalam hal ini yang terkena tuntutan adalah B, karena dialah pelaksana pembunuhan. Meskipun menjadi sebab dia dapat membunuh adalah A yang menjual pisau kepadanya.
2. A tahu bahwa mobilnya tidak normal, tetapi ketika B hendak memakai mobil itu, A mengatakan bahwa semuanya baik. Kemudian ternyata berjalan beberapa saat, remnya blong dan menabrak orang. Yang terkena tuntutan adalah B, meskipun dia menabrak itu, karena ditipu oleh A.
Pengecualian :
a. A memakai celana milik B tanpa izin, lalu oleh A celana tersebut diserahkan ke penjahit untuk dikecilkan, padahal penjahit itu tidak tahu, bahwa celana itu bukan milik A sendiri. Maka jika terjadi tuntutan kesalahan bukannya dipikulkan kepada penjahit sebagai pelaksana melainkan kepada A sebagai sebab.
b. A menyewakan sebuah truk beserta sopirnya untuk memuat garam. Dalam perjanjian, telah disepakai bahwa A tidak boleh mengisi truk dengan muatan lebih dari empat ton. tetapi kemudian, oleh A truk diisi muatan seberat enam ton dan surat angkutan yang diberikannya kepada sopir, tertulis empat ton. Tiba-tiba ditengah perjalanan per truk putus. Ketika diperiksa ketahuanlah bahwa muatan bukan hanya empat ton melainkan enam ton. Dalam hal ini yang dipersalahkan dan dituntut mengganti adalah A (penyewa truk), dan bukannya sopir.
c. A memiliki kebun yang setiap hari dimasukki kambing tetangganya. Kemudian ia meminta fatwa kepada B, tentang bagaimana hukumnya kambing yang selalu memasuki kebun dan merusak tanamannya itu. B menjawab : ”Kambing itu boleh dipotong”. Setelah kambing betul-betul dipotong oleh A. pemilik kambing tidak terima dan menuntut ganti. Maka yang wajib membayar ganti adalah B.
d. Seorang perwira memberikan perintah kepada prajurit bahwasanya, untuk membunuh orang yang tidak bersalah, sedangkan prajurit itu tidak tahu menahu duduk perkaranya. Menurut hukum, yang dituntut adalah perwira yang memberikan perintah meskipun pelaksananya adalah prajurit bawahannya.
e. A berikrar, bahwa kebun kelapa miliknya yang berada dibelakang masjid diwakafkan untuk kepentingan masjid dan untuk pengurusnya, ditunjuklah B. kemudian oleh B, kelapa yang sedah tua diturunkan dan dijual. Tetapi ternyata bahwa kebun itu telah lama dijual oleh A. menurut hukum, yang harus mengganti rugi adalah A, meskipun B yang menjual kelapa-kelapa itu. - See more at: http://manbaulilmiwalhikami.blogspot.com/2014/01/qawaidul-fiqhiyah-kaidah-ke-37-40.html#sthash.C7r3gbAp.dpuf

Qawaid Fiqhiyyah merupakan bukti kemajuan keilmuan Fiqih Islam, dimana para ulama’ selain menuliskan cabang-cabang hukum fiqih, mereka telah menyederhanakan kecenderungan hukum-hukum fiqih itu kepada beberapa kaedah dengan bahasa yang simpel, mudah dihafal dan bisa diterapkan sepanjang masa. Hal itu menunjukkan majunya logika berpikir dari para ulama’.
Qawaid Fiqhiyyah merupakan salah satu cabang ilmu fiqih. Benih Qawaid Fiqhiyyah memang sudah ada dalam al-Quran maupun Sunnah. Hanya saja, belum tersusun dengan baik. Setelah abad ke-4 hijriyyah baru mulai berkembang[1]. Sampai akhirnya banyak ulama’ yang menuliskan cabang ilmu ini ke dalam sebuah kitab tersendiri pada abad ke-7 sampai abad ke-10 hijriyyah.
Maka dari itu, banyak manfaat yang bisa diambil dari belajar Qawaid Fiqhiyyah ini. Diantaranya yang paling nyata adalah memudahkan thalib ilmi dalam memahami hukum fiqih dan menghafalkannya. Sebagaimana ketika ujian sekolah, salah satu cara mempermudah menghafal pelajaran adalah membuat ringkasannya.
Tiga Bentuk Kaedah
Secara umum, ada tiga macam kaedah yang telah ditetapkan oleh para ulama’ dalam keilmuan hukum Islam:
1. Kaedah Istinbath Hukum dan Ijtihad
Kaedah ini berisi metode-metode yang dipakai oleh seorang mujtahid dalam memahami hukum-hukum syariat dari sumbernya, sebelum menetapkan hukumnya. Kaedah ini sering disebut sebagai Qawaid Ushul Fiqih atau Kaedah-Kaedah Ushul Fiqih. Sebagai contoh: Asal perintah adalah wajib, asal larangan adalah haram, dsb.
2. Kaedah Takhrij
Kaedah ini ditetapkan oleh ulama’ hadits dalam menetapkan derajat suatu riwayat hadits, diterima dan tidaknya suatu hadits, al-jarh wa at-ta’dil seorang penyampai hadits. Untuk nantinya diambil sebagai sumber hukum Islam. Kaedah ini sering disebut dengan Ilmu Mushthalah Hadits atau Ushul al-Hadits atau Qawaid at-Tahdits. Sebagai contoh: Hadits mutawatir berfaedah yakin, hadits bisa diterima/ shahih jika memenuhi lima syarat, dsb.
3. Kaedah Hukum-Hukum Fiqih
Kaedah ini biasanya dibuat oleh ulama’ suatu madzhab fiqih, dalam rangka mengumpulkan hukum-hukum fiqih yang serupa atau hampir sama. Selanjutnya ditetapkan sisi keserupaannya untuk ditetapkan kaedah yang mengikat antara hukum-hukum yang serupa tadi. Inilah yang nantinya dikenal dengan sebutan Qawaid Fiqhiyyah.
Tantangan Qawaid Fiqhiyyah
Paling tidak, ada beberapa tantangan yang dihadapi Qawaid Fiqhiyyah saat ini. Diantaranya:
1. Qawaid Fiqhiyyah Perbandingan Madzhab
Penetapan Qawaid Fiqhiyyah biasanya menggunakan metode induktif, dimana beberapa contoh cabang hukum fiqih dikumpulkan lalu ditetapkan kesamaannya untuk dibuat sebuah kaedah.
Secara umum, Qawaid Fiqhiyyah tiap madzhab memang sama. Tetapi ada beberapa cabang kaedah yang berbeda antar madzhab, karena memang ada perbedaan dalam hukum masing-masing madzhab. Sebagai contoh:
الأصل في الأشياء الإباحة حتى يدل الدليل على التحريم
Kaedah: Asal dari segala sesuatu adalah boleh, kecuali ada dalil yang menunjukkan keharamannya. Ini adalah kaedah Jumhur ulama’ dari Maliki, Syafi’i  dan Hanbali[2]. Sedangkan menurut sebagian Hanafiyyah, asal sesuatu adalah haram, kecuali ada dalil yang menyatakan halal[3].
Contoh lagi, kaedah:
الزُخص لا تُنَاط بالمعاصي
Rukhsah atau keringanan dalam syariat itu tidak bisa diperoleh karena suatu maksiat
Kaedah ini banyak dipakai dalam Madzhab Syafi’i dan Hanbali, tetapi tidak dalam Madzhab Hanafi[4]. Contoh nyatanya, qashar shalat boleh dilakukan oleh seorang musafir asal bukan bepergian untuk maksiat. Sedangkan menurut Hanafiyyah, jenis safar tidak mempengaruhi boleh tidaknya suatu rukhsah atau keringanan ibadah.
Tentu ini menjadi tantangan tersendiri dalam menuliskan Kaedah-Kaedah Fiqih lintas madzhab.
2. Contoh-Contoh yang Kurang Berkembang
Salah satu tantangan Qawaid Fiqhiyyah adalah contoh-contoh yang cenderung sama dari dulu. Jika kita buka kitab-kitab Qawaid Fiqhiyyah, maka kebanyakan contohnya memang hanya itu saja. Laiknya contoh dalam pelajaran Nahwu, contoh: qoma zaidun atau dhoroba zaidun amran takkan ketinggalan dalam setiap buku nahwu.
Kadang contoh kaedah sangat jauh dari realita saat ini, khususnya terkait masalah perbudakan. Cukup banyak contoh kaedah fiqhiyyah dalam kasus perbudakan. Contohnya kaedah:
الرِّضَا بِالشَّيْءِ رِضًا بِمَا يَتَوَلَّدُ مِنْهُ
Rela terhadap sesuatu artinya rela terhadap hal-hal yang keluar dari sesuatu tersebut[5]
Imam as-Suyuthi (w. 911 H) memberikan contoh; ketika seseorang menyewakan budak kepada seorang penyewa, ia merelakan budaknya untuk dipukul. Jika budak itu dipukul lantas mati, maka si penyewa tidak akan mendapatkan tuntutan ganti rugi. Karena memang pemilik budak sudah merelakan budaknya untuk dipukul.
Tentu masih banyak contoh lain yang kadang berbeda contoh kasusnya, saat kitab Qawaid Fiqhiyyah dibuat dahulu dengan zaman sekarang.
Seiring berkembangnya zaman, maka seharusnya berkembang pula contoh kekinian yang bisa terjawab oleh Qawaid Fiqhiyyah. Misalnya: Kebijakan menaikkan harga BBM; antara ditunda atau APBN jebol, bahaya manakah yang harus didahulukan untuk dihindari.
Dalam praktek kredit motor dengan sistem bai’ al-murabahah lil wa’id bis syira’. Jika pihak bank langsung memberikan uang kepada nasabah, untuk selanjutnya nasabah yang membeli motor sendiri. Apakah yang dianggap adalah niat dari akad ataukah lafadz dari akad.
Masih banyak lagi contoh kekinian yang sepertinya menarik untuk digali hukumnya dengan Qawaid Fiqhiyyah ini.
3. Otoritas Qawaid Fiqhiyyah
Kaedah Fiqih ini memang hasil ijthad dari para ulama’. Euforia kembali langsung kepada al-Quran dan Sunnah sedikit banyak memberikan dampak akan ketidakpercayaan hasil ijtihad para ulama’, jika tidak disebutkan dalilnya dari al-Quran maupun Sunnah.
Sebuah hukum yang baru, jika dalilnya hanya Qawaid Fiqhiyyah tentu saja dianggap kurang kuat. Sebagai contoh: Seorang yang duduk di masjid untuk i’tikaf, maka harus niat di awal. Dalilnya adalah:
الْأُمُورُ بِمَقَاصِدِهَا
Setiap perkara itu tergantung niatnya[6]
Tentu bagi sebagian orang akan bertanya, mana dalil al-Quran yang menyebutkan harus ada niat dalam i’tikaf? Apakah Nabi dan Salaf Shalih dahulu juga mensyaratkan niat sebelum i’tikaf? Mana hadits shahihnya?
Perlu diketahui bahwa setiap kaedah fiqih biasanya mempunyai landasan dari al-Quran maupun Hadits, baik secara lafadz atau makna.
Pengertian Qawaid Fiqhiyyah
Sepertinya setiap penulis yang membahas Qawaid Fiqhiyyah, sudah menuliskan secara lengkap dan terperinci mengenai pengertian Qawaid Fiqhiyyah, baik secara bahasa maupun istilah. Maka menuliskannya kembali bisa dikatakan tahshil al-hasil atau mengulangi pekerjaan yang sudah selesai.
Tapi, sebagai pengingat kembali ada baiknya dibahas secara sekilas sebagai pembuka belajar.
Secara mudah, Qawaid Fiqhiyyah dimaknai dengan kaedah-kaedah fiqih. Untuk lebih lengkapnya, Qawaid Fiqhiyyah terdiri dari dua kata; Qawaid dan Fiqhiyyah. Qawaid secara bahasa adalah bentuk prular dari Qa’idah, wazan isim fa’il dari qa-‘a-da yang berarti duduk. Qa’idah artinya asas atau pilar[7]. Sebagaiman termaktub dalam surat al-Baqarah: 127 yang berbunyi:
وَإِذْ يَرْفَعُ إِبْرَاهِيمُ الْقَوَاعِدَ مِنَ الْبَيْتِ وَإِسْمَاعِيلُ ...
dan (ingatlah), ketika Ibrahim meninggikan (membina) dasar-dasar Baitullah bersama Ismail…
Sebagai tambahan, Meski qa-‘a-da dan ja-la-sa mempunyai makna sama yaitu duduk, tapi kadang ahli Bahasa Arab membedakan keduanya. Qa-‘a-da berarti duduk setelah berdiri. Sedangkan ja-la-sa adalah duduk setelah tiduran[8].
Qa’idah secara istilah adalah hal yang bersifat menyeluruh, yang mencakup banyak bagian dan cabang yang ada di bawahnya[9].
Sedangkan arti fiqhiyah diambil dari kata fiqh yang diberi tambahan ya’ nisbah yang berfungsi sebagai penjenisan atau membangsakan.
Maka, Kaidah-kaidah fikih yaitu kaidah-kaidah yang disimpulkan secara general dari materi fikih dan kemudian digunakan pula untuk menentukan hukum dari kasus-kasus baru yang timbul, yang tidak jelas hukumnya di dalam nash.
Kitab-Kitab Qawaid Fiqhiyyah
A. Madzhab Hanafi
1.     Ushul al-Karkhi, Abu Hasan al-Karkhi (260-340 H) memuat 37 kaidah fikih.
2.     Ta’sis al-Nazhar, Abu Zaid al-Dabusi (w. 430 H) memuat 86 kaidah fikih.
3.     Al-Asybah wa al-Nazhair, Ibnu Nuzaim (w. 970 H) memuat 25 kaidah fikih.
4.     Majami’ al-Haqaiq, Abi said al-Khadimi memuat 154 kaidah fikih.
5.     Majalah al-Ahkam al-Adliyah, Ahmad Udat Basya memuat 99 fikih.
B. Madzhab Maliki
1.     Ushul al-Futiya fi al-Fiqh ’ala Mazhab al-Imam Malik, Ibnu Haris al-Husyni (w. 361 H)
2.     Al-Furuq, al-qurafi (w. 684 H) memuat 548 kaidah fikih.
3.     Al-Qawa’id, al-Maqari (w. 758 H) memuat 758 kaidah fikih.
4.     Idhah al-Masalik ila Qawa’id al-Imam Malik, al-Winsyarisi (w. 914 H) memuat 118 kaidah fikih.
C. Madzhab Syafi’i
1.     Qawa’id al-Ahkam fi Mashalih al-Anam, Izzuddin bin Abd al-Salam (577-660 H).
2.     Al-Asybah wa al-Nazhair, Ibnu al-Wakil (w. 716 H).
3.     Al-Majmu al-Mudzhab fi Qawa’id al-Mazhab, Abu Sa’id al-Ala’i (w. 761 H).
4.     Al-Asybah wa al Nazhair, Taj al-Din Ibnu al-Subki (w. 771 H).
5.     Al-Mansur fi Tartib al-Qawa’id al-Fiqhiyah atau al-Qawa’id fi al Furu, al-Zarkasyi (w. 794 H).
6.     Al-Asybah wa al-Nazhair, Imam al-Suyuthi (w. 911 H) memuat 20 kaidah.
7.     Al-Istighna fi al-Farqi wa al-Istitsna, Badrudin al-Bakri.
D. Madzhab Hanbali
1.     Al-Qawa’id al-Nuraniyah al-Fiqhiyah, Ibnu Taimiyah (661-728 H).
2.     Al-Qawa’id al-Fiqhiyah, Ibnu Qadhi al-Jabal (w. 771 H).
3.     Taqrir al-Qawaid wa Tahrir al-Fawaid, Ibnu Rajab al-Rahman memuat 160 kaidah.
4.     Al-Qawa’id al-Kulliyah wa al-Dhawabith al-Fiqhiyah,Ibnu Abd al-Hadi (w. 909 H).
Selain dari empat madzhab, ada juga kitab Qawaid Fiqhiyyah yang dikarang oleh ulama’ kontemporer; diantaranya:
1.     al-Qawa’id al-Fiqhiyah oleh Ali Ahmad al-Nadawi.
2.     Syarh al-Qawa’id al-fiqhiyah oleh Syekh Ahmad bin Syekh Muhammad Zarqa.
3.     Al-Wajiz fi Idhah Qawa’id al-Fiqh al-Kuliyyah oleh Muh. Shiddieqy bin Ahmad al-Burnu.
4.     Idhah al-Qawa’id al-Fiqhiyah oleh Syekh Abdullah bin Said Muhammad Ibadi.
5.     Kaidah-kaidah Fikih oleh Asymuni A Rahman (dalam Bahasa Indonesia).
6.     Kaidah Fikih oleh oleh Jaih Mubarok (dalam Bahasa Indonesia).

Qawaid
Kata qawa'id (قواعد) adalah bentuk jamak dari kata qaidah (قاعدة) yang arti secara bahasa bermakna asas, dasar, atau pondasi.
Makna ini bisa dalam arti yang konkret maupun yang abstrak, seperti kata-kata qawa'id al-bait, yang artinya pondasi rumah, atau qawa'id al-din, artinya dasar-dasar agama, atau qawa'id al-ilm, artinya kaidah-kaidah ilmu.
وإِذْ يرْفعُ إِبْراهِيمُ الْقواعِد مِن الْبيْتِ وإِسْماعِيلُ
Dan ingatlah ketika Ibrahim meninggikan dasar-dasar Baitullah bersama Ismail. (QS. al-Baqarah : 127)
قدْ مكر الّذِين مِنْ قبْلِهِمْ فأتى اللّهُ بُنْيانهُمْ مِن الْقواعِدِ
Allah menghancurkan bagunan mereka dari pondasi-pondasinya"(QS. al-Nahl : 26)
Dari dua ayat di atas, bisa disimpulakan bahwa arti kaidah adalah dasar, asas atau pondasi, tempat yang di atasnya berdiri suatu bagunan.
Pengertian kaidah semacam ini terdapat pula dalam ilmu-ilmu yang lain, misalnya dalam ilmu nahwu (grammer) bahasa Arab, seperti maf'ul itu manshub dan fa'il itu marfu'. Inilah yang disebut dengan al-qawaid an-nahwiyyah (kaidah nahwu).
Dari sini ada unsur penting dalam kaidah yaitu hal yang bersifat menyeluruh, yang mencakup banyak bagian dan cabang yang ada di bawahnya.
Dengan demikian, maka al-Qawa'id al-Fiqihiyah secara etimologis adalah dasar-dasar atau asas-asas yang bertalian dengan masalah-masalah atau jenis-jenis Fiqih.
2. Kaidah Fiqih
Para ulama memang berbeda dalam mendefinisikan ilmu Kaidah Fiqih secara istilah. Ada yang mendefinisikannya dengan makna yang luas tetapi juga ada yang mendefinisikannya dengan mana yang sempit. Akan tetapi, substansinya tetap sama.
a. Syeikh Muhammad Abu Zahrah
Syeikh Muhammad Abu Zahrah mendefisikan kaidah sebagai berikut:
مجْمُوْعةُ اْلأحْكامِ الْمُتشبِّهاتِ الّتِيْ ترْجِعُ إِلى قِياسٍ واحِدٍ يجْمعُها
"Kumpulan hukum-hukum yang serupa berdasarkan qiyas (analogi) yang mengumpulkannya."
b. Al-Jurjani
Sedangkan Al-Jurjani memberikan definisi bahwa Kaidah Fiqih adalah:
قضِيّةٌ كُلِّيّةٌ مُنْطبِقةٌ على جمِيْعِ جُزْئِيّاتِها
"Ketetapan yang kulli (menyeluruh, general) yang mencakup seluruh bagian-bagiannya"
c. As-Subki
Imam Tajjuddin As-Subki (w.771 H) mendefisikan kaidah fiqhiyah sebagai :
اْلأمْرُ الْكُلِّيُّ اّلذِيْ ينْطبِقُ عليْهِ جُزْئِّيّاتٌ كثِيْرةٌ يُفْهمُ أحْكامُها مِنْها
"Kaidah adalah sesuatu yang bersifat general yang meliputi bagian yang banyak sekali, yang dipahami hukum bagian tersebut dengan kaidah tadi"
d. Ibnu Abdin & Ibnu Nuzaim
Ibnu Abdin (w.1252 H) dalam muqaddimah-nya, dan Ibnu Nuzaim (w.970 H) dalam kitab Al-Asybah Wa An-Nazhair dengan singkat mengatakan bahwa kaidah
معْرِفةُ اْلقواعِدِ الّتِيْ تُردُّ إِليْها وفرّعُوا اْلأحْكام عليْها
"Sesuatu yang dikembalikan kepadanya hukum dan hukum tersebut dirinci dari padanya"
e. Al-Suyuthi
Sedangkan menurut Imam Al-Suyuthi dalam kitabnya al-asybah wa al-nazhair, mendefinisikan kaidah adalah:
حُكْمٌ كُلِّيٌّ ينْطبِقُ على جُزْئِيّاتِهِ
"Hukum kulli (menyeluruh, gerenal) yang meliputi bagian-bagiannya"
Dari definisi-definisi tersebut di atas, jelas bahwa kaidah itu bersifat menyeluruh meliputi bagian-bagian dalam arti bisa diterapkan kepada juz-iyat-nya (bagian-bagiannya).
Kesimpulan
Jadi bisa kita simpulkan bahwa definisi kaidah fiqhiyah adalah:
حُكْمٌ أغْلبِيٌّ ينْطبِقُ على مُعْظمِ جُزْئِيّاتِهِ لِتُعْرف أحْكامُها مِنْهُ
“Hukum yang bersifat mayoritas dan mencakup sebagian besar bagian-bagiannya supaya dapat diketahui hukum-hukumnya.”
Ada satu kata kunci definisi ini dengan yang lainnya yaitu kalimat mayoritas bukan menyeluruh.
Karena dalam kaidah fiqih banyak sekali kasus hukum yang menjadi pengecualian dari kaidah fiqih yang ada, sehingga sifatnya mayoritas. Artinya menampung banyak hukum dari permasalahan fiqih namun tidak mencakup secara keseluruhan.
Sifat menyeluruh sebenarnya dimiliki ilmu ushul fiqih yang sifatnya memang mencakup secara keseluruhan.
Dengan demikian di dalam hukum Islam ada dua macam kaidah, yaitu kaidah ushul (القواعد الأصولية) dan kaidah fiqih (القواعد الفقهية):
Kaidah Ushul. Kaidah ini kita temukan di dalam kitab-kitab ushul fiqih, yang digunakan untuk menyimpulkan hukum ( takhrij al-ahkam) dari sumbernya yaitu Al-Quran dan Al-Hadits.
Kaidah Fiqih. Kaidah ini adalah kaidah-kaidah yang disimpulkan secara general dari materi fiqih, kemudian digunakan pula untuk menentukan hukum dari kasus-kasus baru yang timbul, yang tidak jelas hukumnya di dalam nash.
Oleh karena itu baik kaidah-kaidah ushul fiqih maupun kaidah fiqih, bisa disebutkan sebagai bagian dari metodologi hukum Islam.
Namun dengan catatan bahwa kaidah-kaidah ushul sering digunakan di dalam takhrij al-akham, yaitu mengeluarkan hukum dari dalil-dalilnya (Al-Quran dan Sunnah). Sedangkan kaidah Fiqih sering digunakan di dalam tathbiq al-ahkam, yaitu penerapan hukum atas kasus-kasus yang timbul di dalam bidang kehidupan manusia.
Dari sisi ini tidaklah heran apabila kekhilafahan Turki Usmani antara tahun 1869-1878 mengeluarkan undang-undang yang disebut Majalah al-Ahkam Al-Adliyah (مجلة الأحكام العدلية) yang merupakan penerapan hukum Islam dengan menggunakan 99 kaidah Fiqih di bidang muamalah dengan 1.851 pasal.
B. Proses Pembentukan Kaidah Fiqih
Sulit diketahui siapa pembentuk kaidah Fiqih, yang jelas dengan meneliti kitab-kitab kaidah Fiqih dan masa hidup penyusunnya ternyata kaidah Fiqih tidak terbentuk sekaligus, tetapi terbentuk secara bertahap dalam proses sejarah hukum Islam.
Walaupun demikian, kalangan ulama di bidang kaidah Fiqih, menyebutkan bahwa Abu Thahir al-Dibasi, ulama dari mazhab Hanafi, yang hidup di akhir abad ke-3 dan awal abad ke-4 Hijriyah, telah mengumpulkan kaidah Fiqih mazhab Hanafi sebanyak 17 kaidah. Abu Thahir selalu mengulang-ulang kaidah tersebut di masjid, sebelum para jamaah pulang ke rumahnya masing-masing.
Kemudian Abu Sa'id al-Harawi, seorang ulama mazhab Asy-Syafi'i mengunjungi Abu Thahir dan mencatat kaidah Fiqih yang dihafalkan Abu Thahir. Diantara kaidah tersebut adalah lima kaidah besar di atas.
Setelah seratus tahun kemudian, datang ulama besar Imam Abu Hasan al-Karkhi, yang menambahkan kaidah Fiqih yang sudah dikumpulkan Abu Thahir sehingga menjadi 37 kaidah.
Dari paparan di atas, jelaslah bahwa kaidah-kaidah Fiqih muncul pada akhir abad ke-3 Hijriyah.
Seperti kita ketahui dari perkembangan ilmu Islam, bahwa kitab-kitab tafsir, hadits, ushul fiqih dan kitab-kitab Fiqih pada masa itu telah dibukukan. Dengan demikian materi tentang tafsir, hadits, dan Fiqih telah cukup banyak.
Kaidah Fiqih memang bukan dalil, tetapi sarana bagi kita untuk mempermudah menentukan hukum pada masalah-masalah yang kita jumpai di masyarakat. Maka para ulama’ telah memberikan investasi besar kepada kita agar kita dapat memahami hukum Islam ini dengan mudah.
Oleh karena itu, bahwa proses pembentukan kaidah Fiqih adalah sebagai berikut :
1. Sumber hukum Islam: Al-Quran dan Hadits;
2. Kemudian muncul ushul fiqih sebagai metodologi di dalam penarikan hukum (istibath al-ahkam). Dengan metodologi ushul fiqih yang menggunakan pola pikir deduktif menghasilkan Fiqih;
3. Fiqih ini banyak materinya. Dari materi Fiqih yang banyak itu kemudian oleh ulama-ulama yang mendalami ilmu di bidang Fiqih, diteliti persamaannya dengan menggunakan pola piker deduktif kemudian dikelompokkan, dan tiap-tiap kelompok merupakan kumpulan dari masalah-masalah yang serupa, akhirnya disimpulkan menjadi kaidah-kaidah Fiqih;
4. Selanjutnya kaidah-kaidah tadi dikritisi kembali dengan menggunakan banyak ayat dan banyak hadits, terutama untuk dinilai kesesuaiannya dengan substansi ayat-ayat Al-Quran dan hadits nabi;
5. Apabila sudah dianggap sesuai dengan ayat Al-Quran dan banyak hadits Nabi, baru kemudian kaidah fiqih tersebut menjadi kaidah yang mapan;
6. Apabila sudah menjadi kaidah yang mapan/akurat, maka ulama-ulama Fiqih menggunakan kaidah tadi untuk menjawab permasalahan masyarakat, baik di bidang sosial, ekonomi, politik, dan budaya, akhirnya memunculkan hukum-hukum Fiqih baru;
7. Oleh karena itu tidaklah mengherankan apabila ulama memberikan fatwa, terutama di dalam hal-hal baru yang praktis selalu menggunakan kaidah-kaidah Fiqih, bahkan kekhalifahan Turki Utsmani di dalam Majalah al-Ahkam al-Adliyah, menggunakan 99 kaidah di dalam membuat undang-undang tentang akad-akad muamalah dengan 185 pasal;
8. Seperti telah disinggung di muka.
Ibnu Qayyim al-Jauzaiyah (w.751 H) murid Ibnu Taimiyah dalam kitab Fiqihnya "I'lam al-Muwaqi'in Rabb al-Alamin", memunculkan kaidah :
تغيُّرُ الْفتْوى واخْتِلافُها بِحسْبِ تغيُّرِ اْلأزْمِنةِ واْلأمْكِنةِ واْلأحْوالِ والنِّيّاتِ والْعوائِدِ
"Fatwa berubah dan berbeda sesuai dengan perubahan zaman, tempat keadaan, niat, dan adat kebisaaan"
Ibnu Qayyim dianggap sebagai penemu kaidah tersebut, demikian pula Ibnu Rusyd (w.520-595 H) dalam kitab Fiqihnya Bidayat al-Mujtahid Wa Nihayat al-Muqtasid, sesudah menjelaskan perbedaan pendapat ulama tentang masalah batas maksimal kehamilan, beliau berkesimpulan dengan kaidah :
والْحُكْمُ إِنّما يجِبُ أنْ يكُوْن بِالْمُعْتادِ لا بِالنّادِرِ
"Hukum itu wajib ditetapkan dengan apa yang biasa terjadi bukan dengan apa yang jarang terjadi"
Dalam kitab al-Kharaj, Abu Yusuf memberikan fatwa kepada khalifah Harun al-Rasyid dengan kata-kata :
ليْس لِلإِمامِ أنْ يُخْرِج شيْئًا مِنْ يدِ أحدٍ إِلاّ بِحقٍّ
"Tidak ada kewenangan bagi kepala Negara (eksekutif) untuk mengambil sesuatu dari tangan seseorang, kecuali dengan cara yang dibenarkan"
Contoh lain:
“Kebijakan seorang pemimpin terhadap rakyatnya harus berorientasi kepada kemaslahatan.”
Kaidah ini berasal dari kata-kata Imam al-Syafi'i yang berbunyi :
منْزِلةُ الْوالِيْ مِن الرّاعِيةِ كمنْزِلةِ الْولِيِّ مِن الْيتِيْمِ
"Kedudukan seorang pemimpin terhadap rakyatnya seperti kedudukan wali kepada anak yatim"
Kata-kata Imam al-Syafi'i ini setelah ditelaah ulama-ulama lain, terutama ulama di bidang fiqih siyasah, akhirnya memunculkan kaidah tersebut di atas.
Hanya saja sesudah jadi kaidah fiqih yang mapan dan dilegitimasi Al-Quran dan Sunnah, kaidah tadi menjadi sumber dan di bawah kaidah itu dimunculkan kembali Fiqih bahkan dikelompokkan lagi, inilah yang kita lihat di dalam kitab-kitab kaidah Fiqih, setelah kaidah-kaidah Fiqih itu dibukukan.
Di dalam proses pengujian kaidah-kaidah Fiqih oleh Al-Quran dan Sunnah sering bertemu kaidah dengan hadits, maka hadits tersebut jadi kaidah, seperti:
الْبيِّنةُ على الْمُدّعِيْ والْيمِيْنُ على الْمُدّعى عليْهِ
"Bukti/keterangan wajib disampaikan oleh penggugat dan sumpah wajib diberikan oleh yang mengingkari/tergugat" (HR. Muslim dari Ibnu 'Abbas),
Atau juga hadits:
لا ضرر ولا ضِرار
"Jangan memudaratkan dan jangan dimudaratkan" (HR. Al-Hakim).
Hadits ini digunakan untuk melegitimasi kaidah:
الضّررُ يُزالُ
"Kemudaratan harus dihilangkan" (salah satu kaidah Fiqih pokok yang lima)
Apabila mau memunculkan kaidah-kaidah baru di dalam Fiqih maka harus ditelusuri dahulu Fiqihnya, baru diukur akurasi kaidah tadi dengan banyak ayat dan banyak hadits, selanjutnya didiskusikan dan diuji oleh para ulama, baru bisa dijadikan sebagai kaidah yang mapan.
Kaidah yang sudah mapan ini akan menjadi alat (metode) dalam menjawab problem-problem di masyarakat dan memunculkan hukum-hukum Fiqih baru.
Misalnya kaidah:
اْلأُمُوْرُ بِمقاصِدِها
“Semua perkara itu tergantung kepada maksudnya”
Kaidah ini berasal dari banyak materi Fiqih, karena di dalam Fiqih, nilai suatu perbuatan tergantung kepada niatnya.
Di dalam ibadah, apakah niat ibadah itu wajib atau sunnah, dilaksanakan tepat waktu atau dengan cara qadha.
Dalam muamalah, apakah menyerahkan barang itu dengan niat memberi (hibah) atau meminjamkan.
Dalam jinayah apakah perbuatan criminal itu dilakukan karena kesengajaan (dengan niat) atau kesalahan (tanpa niat) dan seterusnya, semua itu hukumnya dilandaskan kepada niat, maksud dan tujuannya.
Hukumnya berbeda sesuai dengan niat dan tujuan masing-masing. Maka muncul kaidah tersebut di atas. Kaidah tersebut dirujukkan kepada hadits:
إِنّما اْلأعْمالُ بِالنِّيّاتِ
"Setiap perbuatan tergantung niatnya" (HR. Bukhari Muslim dari Umar bin Khattab)
Juga kepada Hadits:
رُفِع عنْ أُمّتِيْ الْخطأُ والنِّسْيانُ وما اسْتُكْرِه عليْهِ
"Diangkat dari umatku (tidak dituliskan berdosa) perbuatan karena keliru, lupa, dan terpaksa" (HR. Ibnu Majah dari Ibnu 'Abbas)
Tidak hanya dengan dalil itu saja tapi juga disandarkan kepada ayat-ayat Al-Quran yang berubungan dengan niat, seperti ayat berikut :
"Dan tidaklah ada dosa atasmu terhadap apa yang kami khilaf padanya, tetapi (yang ada dosanya) apa yang disengaja oleh hatimu" (QS. Al-Ahzab : 5)
Demikian pula dalam surat an-Nisaa' ayat 92 dan 93 yang menyatakan adanya pembunuhan karena kesalahan (tanpa niat) dan pembunuhan karena sengaja (dengan niat).
Selain itu juga dirujukkan kepada tujuannya, baik atau buruk, apakah tujuannya penipuan yang dilarang atau bertujuan baik untuk memberi manfaat kepada manusia.
Dari sini bisa diambil kesimpulan bahwa;
Pertama, apabila dirujukkan kepada hadits, dan ternyata hadits-hadits tadi sama dengan kaidah, maka hadits tadi bisa menjadi kaidah di kalangan Ulama Fiqih.
Kedua, kaidah yang dirujukkan kepada pemahaman nash-nash (Al-Quran dan Al-Hadits), maka substansi pemahaman itulah yang jadi kaidah.
Seperti telah disinggung di muka, setelah menjadi kaidah yang mapan, para ulama mengelompokkan kembali materi-materi Fiqih yang masuk dalam kaidah tersebut dan apa-apa yang keluar (pengecualian) sebagai contoh-contoh penerapan kaidah.
Misalnya, dalam kitab al-Asybah wa al Nazhair, Imam al-Suyuthi menjelaskan kaidah:
اْلأُمُوْرُ بِمقاصِدِها
"Setiap perkara tergantung kepada niatnya"
Al-Suyuthi, membahas masalah niat dalam beberapa sub poko bahasan:
1. Kaidah-kaidah niat dilegimitasi oleh hadits niat;
2. Adanya masalah-masalah Fiqih yang lebih sempit di kelompokkan dan disandarkan kepada kaidah tersebut, seperti masalah-masalah ibadah mahdhah, munakahat, dan jinayat yang memiliki kaidah-kaidah tersendiri;
3. Fungsi niat yang membedakan antara ibadah dan adat kebisaaan dan masalah Fiqih yang tidak diperlukan niat;
4. Ta’yin niat/menentukan niat lebih spesifik dalam hal perbuatan-perbuatan yang serupa;
5. Tempat niat adalah di dalam hati, hubungan antara talafuzh (melafazkan niat) dengan apa yang ada di dalam hati, maka yang dianggap sah adalah apa yang ada di dalam hati;
6. Syarat-syarat niat adalah tahu ilmunya, tidak mendapatkan yang bertentangan dengan niat;
7. Perbedaan pendapat di dalam penerapan niat.
Dalam hal ini, dengan mengambil pendapat al-Rafi'i, al-Suyuthi memunculkan dhabith, yaitu:
النِّيّةُ فِي الْيمِيْنِ تُخصِّصُ اللّفْظ اْلعامّ ولا تُعمِّمُ الْخاصّ
"Niat di dalam sumpah mengkhususkan (yang diucapkan) dengan kata-kata yang umum dan tidak bisa mengumumkan kata-kata yang khusus"
Bersumpah dengan tidak menyebutkan nama orang atau sesuatu secara khusus maka harus dijelaskan apa yang diniatkan itu siapa. Tetapi tidak sebaliknya, apa yang di niatkan kepada seseorang, maka tidak bisa digeneralisir;
8. Pembahasan tentang kasus-kasus tertentu secara khusus yang tersebut dalam kitab-kitab Fiqih mazhab Syafi'i.
Dalam kitab al-Qawa'id fi al-Fiqih, karangan Ibnu Rajab al-Hanbali, ada kaidah yang berbunyi:
منْ تعجّل حقّهُ أوْ ما أُبِيْح لهُ قبْل وقْتِهِ على وجْهٍ مُحرّمٍ عُوْقِب بِحِرْمانِهِ
"Barangsiapa yang mempercepat haknya atau yang membolehkannya sebelum waktunya dengan cara yang haram, maka ia dihukum dengan keharaman (dilarang) menerima hak tersebut"
Contoh kaidah ini adalah seperti ahli waris yang membunuh pewaris, maka ia dilarang mendapatkan warisan tersebut.
Atau ada orang yang menikahi wanita sebelum habis masa iddah-nya, maka ia diharamkan untuk menikahi wanita tersebut.
Atau ada orang yang memburu binatang dalam keadaan ihram, maka ia diharamkan memburu binatang tersebut.
Kaidah ini setelah dikritisi kemudian menjadi kaidah yang dianggap lebih mapan dengan ungkapan:
منْ تعجّل بِشيءٍ قبْل أوانِهِ عُوْقِب بِحِرْمانِهِ
"Barangsiapa yang mempercepat sesuatu sebelum waktunya, diberi sanksi dengan haramnya hal tersebut"
C. Manfaat, Objek dan Keutamaan
1. Manfaat
Adapun manfaat dari mempelajari Kaidah Fiqih adalah memberi kemudahan di dalam menemukan hukum-hukum untuk kasus-kasus hukum yang baru dan tidak jelas nash-nya dan memungkinkan menghubungkannya dengan materi-materi Fiqih yang lain yang tersebar di berbagai kitab Fiqih serta lebih memudahkan kita dalam menentukan hukum.
2. Objek
Adapun objek bahasan kaidah-kaidah Fiqih itu adalah perbuatan mukallaf itu sendiri, dan materi Fiqih itu sendiri yang dikeluarkan dari kaidah-kaidah Fiqih yang sudah mapan yang tidak ditemukan nash-nya secara khusus di dalam Al-Quran atau Sunnah atau Ijma (konsensus para ulama).
3. Keutamaan
Orang yang ingin memahami ilmu fiqih, akan mencapai kemahirannya dalam bidang fiqih apabila dibekali dengan ilmu kaidah-kaidah Fiqih.
Oleh karena itu ulama berkata :
"Barangsiapa menguasai ushul fiqih, tentu dia akan sampai kepada maksudnya, dan barangsiapa yang menguasai kaidah-kaidah Fiqih pasti dialah yang pantas mencapai maksudnya"
D. Hubungannya dengan Ilmu lain
Kaidah Fiqih adalah bagian dari ilmu fiqih. Ia memiliki hubungan erat dengan Al-Quran, Al-Hadits, Akidah dan Akhlak.
Sebab, kaidah-kaidah yang sudah mapan, sudah dikritisi oleh ulama, sudah diuji serta diukur dengan banyak ayat dan hadits nabi, terutama tentang kesesuiannya dan substansinya.
Apabila kaidah Fiqih tadi bertentangan dengan banyak ayat Al-Quran ataupun Hadits yang bersifat dalil kulli (general), maka dia tidak akan menjadi kaidah yang mapan.
Oleh karena itu, menggunakan kaidah-kaidah Fiqih yang sudah mapan pada hakikatnya merujuk kepada Al-Quran dan Hadits, setidaknya, kepada semangat dan kearifan Al-Quran dan Hadits juga.
E. Perkembangan Kaidah
Para pencetus dan pengembang kaidah-kaidah Fiqih adalah ulama-ulama yang sangat dalam ilmu dan wawasannya dalam ilmu fiqih sampai muncul Imam Abu Thahir al-Dibasi yang hidup pada akhir abad ke-3 dan awal abad ke-4 Hijriyah, yang baru mengumpulkan 17 kaidah Fiqih.
Di kalangan tiap mazhab, ada banyak ulama yang menjadi pelopor dan tokoh dalam bidang kaidah Fiqih.
Dalam mazhab Asy-Syafi'iyah, ada ulama besar yang bernama Imam 'Izzuddin bin Abd al-Salam (w.660 H), beliau telah menyusun kitab berjudul Qawa'id al-Ahkam fi Masailil al-'Anam (kaidah-kaidah hukum untuk kemaslahatan manusia).
Intinya menjelaskan tentang maksud Allah mensyariatkan hukum, dan semua kaidah dikembalikan kepada kaidah pokok yaitu:
جلْبُ الْمصالِحِ ودرْءُ الْمفاسِدِ
"Meraih yang maslahat dan menolak yang mafsadah"
Keseluruhan taklif yang tercermin di dalam konsep al-ahkam al-khamsah, (wajib, sunnah, mubah, makruh dan haram) tujuan adalah kembali kepada kemaslahatan hamba Allah di dunia dan akhirat.
Bagaimanapun ketaatan hamba, tidak akan menambah apa-apa kepada kemahakuasaan dan kemahasempurnaan Allah. Demikian pula sebaliknya, kemaksiatan hamba tidak akan mengurangi apapun terhadap kemahakuasaan dan kemahasempurnaan Allah.
F. Kaidah Kubra dan Turunannya
Para ulama yang menyusun berbagai kaidah fiqhiyah mengumpulkan berbagai kaidah sesuai dengan tema utamanya, yang disebut dengan kaidah kubra.
Masing-masing kaidah kubra ini memiliki kaidah-kaidah turunan, yang menjelaskan lebih detail tiap pengembangan dari masing-masing kaidah kubra.
1. Kaidah Kubra Pertama
الأُمُورُ بِمَقَاصَدِهَا
Segala sesuatu tergantung tujuannya
a. Kaidah Turunan Pertama
العِبْرَةُ فيِ العُقُودِ بِالمـَقَاصِدِ وَالمـَعاَنيِ لاَبِالأَلْفَاظِ وَالمـَبَانِي
“Yang dapat dijadikan pegangan dalam akad adalah maksud dan makna; bukan lafadz dan bentuk perkataan”
Contoh
Jika ada seseorang yang mengatakan kepada temannya, “Aku hadiahkan mobil ini kepadamu dengan catatan berikan mobilmu itu kepadaku”, maka akad yang terjadi disini bukanlah hadiah, walaupun dia mengatakan itu hadiah.
Karena makna dan maksud akad tersebut sudah jelas, yaitu jual beli (barter). Dan dalam akad, yang dijadikan pijakan adalah maksud dan makna bukan lafadz dan bentuk perkataan.
Sedangkan yang dimaksud dengan hadiah adalah pemberian yang tidak membutuhkan imbalan dalam bentuk apa pun.
b. Kaidah Turunan Kedua
النية في اليمين تخصص اللفظ العام و لا تعمم الخاص
“Dalam sumpah, niat mampu menspesifikasi kata yang masih umum namun tidak bisa merubah kata yang bermakna khusus menjadi umum”
Contoh
Kaidah ini membutuhkan dua contoh. Karena kaidah ini memiliki dua bagian yang berbeda. Pertama Takhsis al-‘Aam bi An-Nyiyah dan kedua Ta’mim al-Khas bi an-Niyyah.
Untuk bagian pertama, bisa diterapkan dalam kasus seperti ketika ada seseorang yang bersumpah untuk tidak berbicara dengan siapapun, namun dalam hatinya dia meniatkan hanya tidak berbicara kepada Zaid saja, maka dia tidak dianggap melanggar sumpah jika berbicara dengan selain zaid. Sebab, meski lafadz sumpahnya adalah umum yaitu; tidak berbicara dengan siapapun, tapi niat dalam hatinya khusus yaitu tidak mengajak bicara pada si Zaid saja. Dan dalam sumpah, niat mampu menspesifikasi kata yang masih umum.
Sedangkan untuk bagian kedua yaitu Ta’mim al-Khas bi an-Niyyah bisa diterapkan dalam kasus berikut; Jika ada seseorang yang bersumpah untuk tidak meminum air si Fulan jika merasa haus, namun dalam hatinya dia berniat untuk tidak mengambil manfaat apapun dari air tersebut sama sekali, maka berdasarkan kaidah ini, ia tidak dianggap melanggar sumpahnya dengan memanfaatkan air si Fulan itu untuk mandi.
Karena lafadznya khusus dalam satu manfaat yaitu; minum karena haus. Sedangkan niat dalam hatinya yang umum yaitu; tidak mengambil manfaat apapun, tidak bisa membuat lafadz khusus itu menjadi umum.
Kaidah (bagian kedua) ini berlaku di dalam madzhab syafi’iyyah dan sebagian hanafiah. Namun beberapa madzhab yang lain menganggap si pengucap sumpah telah melanggar sumpahnya karena mandi dengan air tersebut. Pasalnya niat yang umum dalam hati tersebut -menurut madzhab ini- bisa membuat lafadz sumpah yang khusus itu menjadi umum.
c. Kaidah Turunan Ketiga
مقاصد اللفظ على نية اللافظ إلا في اليمين عند القاضي
“Maksud atau kandungan makna suatu perkataan akan diserahkan sepenuhnya kepada orang yang mengucapkan, kecuali dalam masalah sumpah diahadapan qadhi (hakim)”
Contoh Penerapannya :
Pada dasarnya ucapan atau lafadz sumpah diserahkan maksud dan maknanya langsung kepada orang yang mengucapkan. Sehingga, sebagaimana kata-kata yang lain, sumpah juga berpeluang untuk diinterpretasikan beragam sesuai kehendak orang yang mengucapkan.
Namun, ketika sumpah dijadikan oleh fiqih sebagai salah satu jalan keluar penyelesaian suatu sengketa, maka penafsiran lafadz sumpah -yang diucapkan oleh salah satu pihak yang bersengketa di Meja Hijau- diserahkan kepada hakim. Karena pengadilan adalah institusi yang rawan akan intrik, manipulasi fakta dengan kata-kata ataupun tipu muslihat.
Maka, ketika seorang hakim meminta kepada terdakwa untuk bersumpah, penafsiran lafadz sumpahnya diserahkan sepenuhnya kepada sang Hakim.
Sebagai contoh, si Terdakwa kasus piutang telah bersumpah bahwa ia tidak pernah berhutang kepada pendakwa sama sekali. Dalam hatinya, ia niatkan bahwa maksudnya adalah tidak berhutang pada tahun yang lalu.
Maka niat itu tidak berfungsi sama sekali disini. Ia tetap dianggap telah melanggar sumpahnya itu. Sebab, meski maksud atau kandungan makna suatu perkataan pada dasarnya diserahkan sepenuhnya kepada orang yang mengucapkan, hanya saja hal tersebut tidak berlaku jika kata-kata itu berupa sumpah yang diucapkan di hadapan hakim atau Meja Hijau.
2. Kaidah Kubra Kedua
اليقين لا يزال بالشك
“Keyakinan tidak dapat dihilangkan oleh kebimbangan”
a. Kaidah Turunan Pertama
الأصل بقاء ما كان على ما كان
“Hukum Asal adalah ketetapan yang telah ada/dimiliki sebelumnya”
Contoh Penerapannya:
Jika seseorang telah berwudhu untuk shalat fardhu, dan setelah shalat ia masih merasa yakin dalam kedaan suci, namun ketika hendak shalat fardhu berikutnya ia ragu apakah sudah batal atau belum, maka ia dihukumi tetap dalam keadaan suci. Karena itulah ketetapan awalnya yang telah ada sebelumnya. Dan hukum asal adalah ketetapan awal itu.
b. Kaidah Turunan Kedua
الأصل في الأشياء الإباحة
“Hukum Asal segala sesuatu adalah boleh”
Contoh penerapannya :
Jika ada hewan yang tidak jelas dan buram perkaranya, maka hewan tersebut dianggap halal dimakan. Contoh hewan seperti ini –seperti yang dicontohkan Imam Suyuti- adalah Jerapah. Menurut Imam As-Subki, pendapat yang dipilih adalah bahwa Jerapah boleh dimakan, karena hukum asal segala sesuatu adalah boleh.
Jadi dalam tataran praktis, kaidah ini dapat diterapkan jika kita menemukan hewan, tumbuhan, atau apa saja, yang belum diketahui status hukumnya dalam syariat. Semua jenis barang tersebut dihukumi boleh sesuai substansi yang dikandung kaidah ini. Namun, perlu diperhatikan disini, bahwa sebenarnya masih ada perbedaan pendapat dikalangan para fuqaha seputar hukum asal segala sesuatu.
c. Kaidah Turunan Ketiga
الأصل في الأبضاع التحريم
“Hukum Asal Abdha’(farji) adalah haram”
Contoh penerapannya:
Jika ada seseorang yang mempunyai empat istri kemudian dia mantalak salah satunya, tapi di kemudian hari dia lupa siapa istri yang telah ia talak? Maka haram baginya untuk berhubungan intim dengan mereka semua karena adanya keraguan akut tentang siapa yang telah menjadi haram baginya. Karena walaupun yang haram Cuma satu, namun hukum asal Abdha’(farji) adalah haram. Keharaman ini berlangsung sampai jelas siapa yang telah ditalaknya.
Para ulama berbeda pendapat dalam menyelesaikan kasus seperti diatas. Ada yang berpendapat dengan cara diundi dan ada yang berpendapat harus ditunggu sampai benar-benar jelas.
d. Kaidah Turunan Keempat
الأصل في الكلام الحقيقة
“Hukum Asal dalam perkataan adalah makna hakiki”
Contoh penerapannya:
Jika ada seseorang bersumpah tidak akan menjual rumahnya, maka ia tidak dianggap melanggar sumpah jika mewakilkan ke orang lain untuk menjualnya. Karena makna hakiki menjual adalah dirinya sendiri yang menjual langsung bukan orang lain yang menjual atas nama dirinya. Dan hukum asal dalam perkataan adalah makna hakikinya.
e. Kaidah Turunan Kelima
الأصل براءة الذمة
“Hukum Asal adalah bebas dari tanggungan”
Contoh penerapannya :
Jika ada seseorang merusak barang milik orang lain yang harga belinya -sejauh pengetahuan si perusak- sekitar sekian rupiah. Namun ternyata si pemilik mengatakan bahwa harga belinya diatas harga yang diketahui si perusak. Dan si pemilik tidak bisa menunjukkan bukti atas harga yang diklaimnya itu. Maka klaim yang diterima adalah klaim si perusak dengan disertai sumpah. Karena hukum asalnya adalah terbebasnya si perusak dari beban atau tanggungan tambahan harga yang diklaim si pemilik.
3. Kaidah Kubra Ketiga
المشقة تجلب التيسير
“Kesulitan itu akan mendorong kemudahan”
a. Kaidah Turunan Pertama
إذا ضاق الأمر اتسع و إذا اتسع الأمر ضاق
“Ketika sesuatu menyempit, maka hukumnya menjadi luas (ringan), dan Ketika keadaan lapang, maka hukumnya menjadi sempit (ketat)”
Contoh penerapannya :
Jika ada seseorang memiliki tanggungan hutang yang sudah jatuh tempo pembayarannya, namun dia benar-benar belum memiliki uang untuk membayar, maka pembayarannya wajib untuk ditunda. Atau jika ia tidak bisa melunasinya secara kontan maka pembayarannya boleh dengan cara diangsur.
Karena sebuah perkara jika menyempit, hukumnya jadi luas (longgar). Namun jika ia tiba-tiba mendapatkan rizki yang dengannya ia mampu melunasi seluruh hutangnya, maka wajib baginya untuk segera melunasinya. Sebab, sebuah perkara jika sudah lapang, maka hukumnya kembali menyempit (ketat).
b. Kaidah Turunan Kedua
الضرورات تبيح المحظورات
“Kondisi dharurat akan memperbolehkan sesuatu yang semula dilarang”
Contoh penerapannya :
Jika ada seseorang hampir-hampir mati karena kelaparan, dan tidak ada yang bisa dimakan kecuali bangkai yang diharamkan, maka baginya diperbolehkan untuk memakan bangkai tersebut untuk menghilangkan rasa lapar yang sangat. Karena kondisinya saat itu adalah dharurat sehingga ia diperbolehkan untuk mengonsumsi atau melakukan seseuatu yang semula dilarang.
c. Kaidah Turunan Ketiga
الضرورة تقدر بقدرها
“Dharurat harus diukur kadar dharuratnya”
Contoh penerapannya :
Contoh kaidah ini hampir mirip dengan contoh kasus pada kaidah sebelumnya. Bahwa seseorang boleh makan bangkai yang awalnya diharamkan itu ketika dalam kondisi dharurat itu.
Hanya saja, ia perlu mencukupkan diri dalam memakannya pada porsi yang kira-kira sudah cukup untuk menyambung atau menyelamatkan hidupnya. Karena diperbolehkannya mengonsumsi makanan haram tersebut, hanya dalam kondisi dharurat. Dan dharurat harus diukur kadar dharuratnya.
Contoh lainnya yang mungkin bisa ditulis disini adalah ketika ada pasien yang harus membuka auratnya demi terlaksananya terapi atau pengobatan, maka si pasien hanya diperbolehkan untuk membuka aurat yang memang dibutuhkan untuk dibuka dalam pengobatan tersebut.
Dan dokter juga hanya diperbolehkan untuk melihat aurat yang memang dibutuhkan untuk dilihat. Lebih dari itu, maka tetap diharamkan. Karena pembolehan membuka aurat bagi pasien dan atau melihat aurat bagi dokter hanyalah dalam kondisi dharurat saja. Dan dharurat harus diukur kadar dharuratnya.
d. Kaidah Turunan Keempat
الاضطرار لا يبطل حق الغير
“Keadaan darurat tidak mambatalkan hak orang lain”
Contoh penerapannya :
Jika ada sebuah kapal hampir-hampir tenggelam karena terlalu beratnya beban muatan kapal, kemudian untuk menyelamatkan kapal dari tenggelam, ada penumpang yang melempar beberapa barang-barang penumpang lain untuk meringankan kapal tersebut, maka si pelempar tadi wajib untuk menggantinya.
Sebab, keadaan dharurat tidak bisa membatalkan hak orang lain. Dalam kaidah ini ada pembahasan yang lebih mendalam.
e. Kaidah Turunan Kelima
الحاجة قد نزلت منزلة الضرورة، عامة كانت أو خاصة
“Suatu kebutuhan terkadang bisa naik menempati posisi dharurat, baik kebutuhan umum maupun khusus”
Contoh penerapannya :
Para pedagang membutuhkan gugurnya hak khiyar ru’yah para pembeli untuk melihat semua barang dagangan yang hendak dibelinya. Gugurnya khiyar ru’yah ini diganti dengan melihat sample komoditas yang hendak dibeli.
Maka gugurnya khiyar ru’yah ini diperbolehkan, karena jika khiyar ru’yah tetap wajib dilakukan, maka itu akan memberatkan para pedagang, apalagi jika komoditas yang hendak dijual berjumlah banyak dan dikemas dengan kemasan yang membukanya cukup menyita waktu.
Maka hadirlah keringanan berupa gugurnya khiyar ru’yah ini dalam kebutuhan mendesak yang naik menempati posisi dharurat.
4. Kaidah Kubra Keempat
الضَّرَرُ يُزَالُ
“Bahaya harus dihilangkan”
a. Kaidah Turunan Pertama
الضَّرَرُ يُدْفَعُ بِقَدْرِ الإِمْكاَنِ
“Bahaya harus ditolak semampu mungkin”
Contoh penerapannya :
Sebuah bahaya bisa saja terjadi pada siapa saja dan kapan saja. Maka perlu dilakukan sebuah tindakan untuk menolak bahaya tersebut. Jika kita tidak berhasil menolak semuanya, maka setidaknya kita menolak sebagiannya.
Dan jika kita sudah berusaha menolaknya, namun bahaya tersebut terjadi juga maka setidaknya kita bisa mengurangi efek bahaya tersebut setelah terjadinya.
Maka penolakan bahaya bisa dibagi secara waktu menjadi penolakan sebelum terjadi dan penolakan setelah terjadi. Sedangkan secara prosentase penolakan bisa dibagi menjadi penolakan secara keseluruhan atau penolakan sebagian bahaya.
Contoh penolakan sebelum terjadi adalah pensyariatan khiyar majlis dan khiyar syart dalam transaksi jual beli. Untuk menolak bahaya yang mungkin bisa terjadi setelah dilakukannya transaksi jual beli.
Contoh penolakan setelah terjadi adalah adanya khiyar ghibn, khiyar aib dan khiyar tadlis setelah transaksi jual beli selesai dilakukan. Untuk menolak bahaya kerugian yang telah dialami oleh salah satu pihak setelah transaksi tersebut.
Dua contoh diatas sekaligus sebagai contoh untuk penolakan bahaya secara keseluruhan.
Sedangkan contoh penolakan bahaya sebagian adalah jika ada seseorang yang suka mencelakai orang lain dan dia tidak akan berhenti kecuali jika diberi uang, maka pemberian uang dalam hal ini merupakan sebagian dari bahaya yang tidak mungkin ditolak demi menolak bahaya yang lebih besar sebisa mungkin.
b. Kaidah Turunan Kedua
الضَّرَارُ لاَ يُزَالُ بِمِثْلِهِ
“Bahaya tidak dapat dihilangkan dengan bahaya serupa dan setara”
Contoh penerapannya :
Jika ada orang faqir yang memiliki kerabat yang dalam tanggungannya yang juga faqir, maka keduanya tidak berkewajiban untuk memberi nafkah bagi yang lain jika memang dia bahkan susah menafkahi dirinya sendiri.
Karena kondisi faqir adalah baya bagi dirinya, dan kewajiban memberi nafkah adalah bahaya yang lain yang tidak bisa menghilangkan bahaya pertama.
Atau dengan contoh lain misalnya ada orang yang dipaksa untuk membunuh orang lain, dan jika tidak mau maka ia yang akan dibunuh, maka dia tetap tidak boleh membunuh orang lain tersebut.
Karena ancaman pembunuhan atasnya adalah bahaya serupa dan setara dengan bahaya pembunuhan terhadap orang lain. Dan bahaya tidak dapat dihilangkan dengan bahaya serupa atau setara.
c. Kaidah Turunan Ketiga
الضَّرَارُ الأَشَدُّ يُزَالِ باِلضَّرَرِ الأَخَفِّ
“Bahaya yang lebih berat harus dihilangkan dengan mengerjakan bahaya yang lebih ringan”
Contoh penerapannya :
Jika bahayanya tidak setara, maka bahaya yang lebih berat bisa dihilangkan dengan menempuh bahaya yang lebih ringan.
Contohnya adalah jika ada dua kerabat yang salah satunya faqir dan yang lain berkecukupan, maka wajib bagi yang berkecukupan untuk memberi nafkah kepada si Faqir.
Karena meskipun kewajiban memberi nafkah oleh yang berkecukupan adalah bentuk bahaya atasnya, tapi ketiadaan nafkah bagi si Faqir adalah bahaya yang lebih besar.
Dan bahaya yang lebih besar harus dihilangkan dengan menempuh bahaya yang lebih ringan.
d. Kaidah Turunan Keempat
يُخْتَارُ أَخَفُّ الضَّرَرَيْنِ
“Yang harus dipilih adalah bahaya/resiko yang lebih ringan”
Contoh penerapannya :
Jika ada seseorang yang memiliki luka ditubuhnya dan luka itu akan mengalirkan darah jika dibawa sujud, maka ia shalat dengan meninggalkan sujud. Karena ia sedang menghadapi dua bahaya; meninggalkan sujud dalam shalat dan shalat dengan bernajis.
Dan shalat bernajis adalah bahaya yang lebih besar daripada shalat tanpa sujud. Maka harus ditempuh bahaya yang lebih ringan.
Begitu pula, meninggalkan sujud dalam hal ini juga bisa menolak bahaya yang lain yaitu keluarnya banyak darah. Maka yang dipilih adalah bahaya atau resiko yang lebih ringan.
e. Kaidah Turunan Kelima
دَرْءُ المـَفَاسِدِ مُقَدَّمٌ عَلىَ جَلْبِ المـَصَالِحِ
“Mencegah mafsadah lebih utama daripada menarik datangnya maslahah”
Contoh penerapannya :
Jika ada wanita yang wajib mandi jinabah, namun ia tidak menemukan sarana untuk menutupinya dari pandangan laki-laki, maka wajib baginya untuk mengakhirkan mandi jinabah.
Karena meski dalam mandi janabah terdapat maslahah, namun terbukanya aurat wanita di depan laki-laki adalah mafsadah atau kerusakan yang jauh lebih besar. Dan mencegah mafsadah lebih utama daripada menarik datangnya maslahah.
f. Kaidah Turunan Keenam
يَتَحَمَّلُ الضَّرَرُ الخاَصُّ لِدَفْعِ الضَّرَرِ العَامِ
“Bahaya khusus harus ditanggung demi menolak bahaya umum”
Contoh penerapannya :
Jika ada sebuah rumah yang memiliki pohon dengan dahan dan ranting yang tumbuh lebat hingga mengganggu para pengguna jalan, maka dahan dan ranting yang mengganggu itu wajib untuk dipotong.
Sebab, meski dalam pemotongan tersebut terdapat resiko kerugian bagi si pemilik pohon, hanya saja kerugian tersebut adalah kerugian atau bahaya khusus. Dan gangguan pengguna jalan adalah bahaya umum. Dan bahaya khusus harus ditempuh dan ditanggung demi menolak bahaya umum.
5. Kaidah Kubra Kelima
العَادَةُ مُحَكَّمَةٌ
“Adat istiadat dapat dijadikan pijakan hukum”
Adat atau apa yang dianggap sebagai kebiasaan yang tidak bertentangan dengan hukum Allah dan sudah berlaku secara umum di tengah masyarakat, bisa dijadikan salah satu pedoman dalam hukum.
a. Kaidah Turunan Pertama
اِسْتِعْمَالُ النَّاسِ حُجَّةٌ يَجِبُ العَمَلِ بِهَا
“Tradisi masyarakat (dalam berbahasa) adalah hujjah yang harus dijadikan pijakan dalam beramal”
Contoh Penerapan :
Kaidah ini memiliki kemiripan makna dengan kaidah kubranya. Maka sebagian ulama ada yang menyamakan antara keduanya, sedangkan sebagian yang lain ada yang membedakan.
Bagi yang membedakan, perbedaannya adalah bahwa kaidah kubra bersifat umum, sedangkan kaidah ini bersifat khusus, yaitu khusus berlaku dalam tradisi berbahasa saja. Perbedaan tersebut dipicu oleh perbedaan mereka dalam memaknai kata isti’mal yang terdapat di awal kaidah.
Contohnya adalah ketika ada seseorang yang bersumpah untuk tidak minum dari air sungai A. Dan sudah jamak diketahui bahwa masyarakat di sekitar orang tersebut menggunakan makna majazi lebih banyak dari pada menggunakan makna hakiki.
Makna hakiki ‘minum dari sungai’ disini adalah langsung meneguk dari sungai tersebut tanpa sarana apapun. Sedangkan makna majazi ‘minum dari sungai’ adalah minum dari air yang diambil atau bersumber dari sungai tersebut.
Jika orang tersebut kemudian minum dari sungai itu setelah bersumpah untuk tidak minum darinya, maka hukumnya terjadi perbedaan diantara para ulama menjadi tiga pendapat :
Pertama, dia dianggap melanggar sumpahnya hanya jika meminumnya dengan sarana seperti minum air dirumahnya yang bersumber dari sungai tersebut, bukan langsung meneguk dari sungai.
Kedua, dia dianggap melanggar sumpahnya baik meneguknya langsung dari sungai seperti para musafir pedalaman, atau minum di rumahnya yang air minumnya memang bersumber dari sungai tersebut.
Ketiga, dia dianggap melanggar sumpahnya hanya jika meneguk langsung dari sungai sebagaimana para musafir pedalaman.
b. Kaidah Turunan Kedua
الحَقِيْقَةُ تُتْرَكُ بِدَلاَلَةِ العَادَةِ
“Makna hakiki sebuah kata harus ditinggalkan jika tradisi masyarakat menggunakan makna majazi”
Contoh penerapannya :
Jika ada seseorang yang bersumpah untuk tidak menunjukkan ‘batang hidung’nya di depan bosnya, maka ia tetap dianggap melanggar sumpahnya jika ia menunjukkan dirinya dihadapannya. Karena, walaupun secara hakiki ‘batang hidung’ hanya menunjukkan salah satu anggota badan, namun yang menjadi tradisi berbahasa masyarakat adalah makna secara majazi. Sebab, makna hakiki sebuah kata harus ditinggalkan jika tradisi masyarakat menggunakan makna majazi.
c. Kaidah Turunan Ketiga
إِنَّمَا تُعْتَبَرُ العَادَةُ إِذَا اطَّرَدَتْ أَوْ غَلَبَتْ
“Sebuah tradisi hanya akan bisa diterima sebagai pijakan hukum ketika tradisi tersebut sudah berjalan berulang-ulang dan mendominasi”
Contoh penerapannya :
Jika ada dua orang di dua negara yang sedang bertransaksi dalam suatu bisnis internasional dan mereka sepakat bahwa pembayarannya menggunakan mata uang dollar tanpa menyebutkan dollar negara mana, maka dollar yang dimaksud adalah dollar amerika. Karena transaksi dengan mata uang tersebut sudah berulang-ulang dan mendominasi.
d. Kaidah Turunan Keempat
العِبْرَةُ لِلْغَالِبِ الشَّائِعِ لاَ لِلنَّادِرِ
“Yang dijadikan sandaran adalah kebiasaan dominan dan populer bukan kebiasaan yang langka”
Contoh penerapannya :
Syariat telah menetapkan bahwa umur lima belas adalah batasan dimulainya usia baligh bagi mereka yang tidak memiliki tanda-tanda baligh. Karena usia lima belas adalah usia yang secara kebiasaan dominan manusia sudah mengalami baligh di usia tersebut.
Sedangkan ‘belum mengalami baligh’ pada usia tersebut adalah kejadian yang sangat jarang terjadi. Sesuatu yang jarang ini, dalam syariat sama sekali tidak dilirik untuk dijadikan sandaran hukum.
Justru yang belum mengalami tanda-tanda baligh di usia lima belas tetap dihukumi sudah baligh hanya dengan menginjak usia lima belas. Karena yang dijadikan sandaran adalah kebiasaan dominan dan populer bukan kebiasaan langka.
e. Kaidah Turunan Kelima
لاَ يُنْكَرُ تَغَيُّرُ الأَحْكَامِ بِتَغَيُّرِ الأَزْمَانِ
“Perubahan hukum ijtihadi karena adanya perubahan zaman sama sekali tidak boleh dicela”
Contoh penerapannya :
Sudah menjadi kebiasaan sejak dulu bahwa masjid tidaklah ditutup pada saat kapan pun. Karena masjid adalah tempat suci yang dipersiapkan untuk beribadah.
Namun, ketika zaman berubah, kejahatan merajalela, maka para ulama kemudian menfatwakan bolehnya mengunci masjid di luar waktu shalat, demi menjaga masjid dari kesia-sian atau pencurian. Dan perubahan hukum ini sama sekali tidak boleh untuk dicela.


No comments:

Post a Comment

Komentar Facebook