Thursday, November 13, 2014

catatan SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK



SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK
 m.rakib lpmp riau indonesia

Kalau tuan, mencari kutu,
Jangan disuruh, orang buta.
Ingin mendapatkan, anak bermutu,
Terapkan disiplin, berwiraswasta.

Ayam pemburu,  sayap dipangkas,
hinggap di ranting bilang-bilang,
Melihat bu guru,  pulang lekas,
Muridnya girang,  bukan kepalang.

Berangan besar di dalam padi,
rumpun buluh dibuat pagar.
Jangan syak di dalam hati,
maklum pantun saya belajar.

Beringin di tepi kolam
buaya besarang di bawahnya
hati ingin hendak belajar
orang tua sayang melepaskannya

Cempedak diluar pagar,
tarik galah tolong jolokkan.
Saya budak baru belajar,
kalau salah tolong tunjukkan

Dimana pada takkan luluh,
padi basah tidak ditampi.
Di mana hati takkan rusuh,
bunda hilang bada berbini.

Elang berkulit tengah hari,
Cenderawasih mengirai kapak.
Alangkah sakitnya berbapa tiri,
awak menangis disangkanya gelak.

Elok rupanya kumbang janti,
dibawa itik pulang petang.
Tidak berkata besar hati,
melihat ibu sudah datang.

Hiu beli belanak beli
udang di manggung beli pula.
Adik benci kakak pun benci,
orang di kampung benci pula.

Jawi hitam tidak bertanduk
memakan rumput di atas munggu.
Lihatlah ayam tak berinduk,
demikian hidip anak piatu.

kayu jati bertimbal jalan.
turun angin patahlah dahan.
ibu mati bapa berjalan,
kemana untuk diserahaka.

kayu rusak ambil petanak,
masuklah pauh diperam serang.
baju tidak celana tidak
kakak jauh di rantau orang.

m.rakib lpmp riau indoesian
 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (“UU SPPA”) yang mulai diberlakukan dua tahun setelah tanggal pengundangannya, yaitu 30 Juli 2012 sebagaimana disebut dalam Ketentuan Penutupnya (Pasal 108 UU SPPA). Artinya UU SPPA ini mulai berlaku sejak 31 Juli 2014.

UU SPPA ini merupakan pengganti dari Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak (“UU Pengadilan Anak”) yang bertujuan agar dapat terwujud peradilan yang benar-benar menjamin perlindungan kepentingan terbaik terhadap anak yang berhadapan dengan hukum. UU Pengadilan Anak dinilai sudah tidak sesuai lagi dengan kebutuhan hukum dalam masyarakat dan belum secara komprehensif memberikan perlindungan khusus kepada anak yang berhadapan dengan hukum.

Adapun substansi yang diatur dalam UU SPPA antara lain mengenai penempatan anak yang menjalani proses peradilan dapat ditempatkan di Lembaga Pembinaan Khusus Anak (LPKA). Substansi yang paling mendasar dalam Undang-Undang ini adalah pengaturan secara tegas mengenai Keadilan Restoratif dan Diversi yang dimaksudkan untuk menghindari dan menjauhkan anak dari proses peradilan sehingga dapat menghindari stigmatisasi terhadap anak yang berhadapan dengan hukum dan diharapkan anak dapat kembali ke dalam lingkungan sosial secara wajar. Demikian antara lain yang disebut dalam bagian Penjelasan Umum UU SPPA.

Keadilan Restoratif merupakan suatu proses Diversi, yaitu semua pihak yang terlibat dalam suatu tindak pidana tertentu bersama-sama mengatasi masalah serta menciptakan suatu kewajiban untuk membuat segala sesuatunya menjadi lebih baik dengan melibatkan korban, anak, dan masyarakat dalam mencari solusi untuk memperbaiki, rekonsiliasi, dan menenteramkan hati yang tidak berdasarkan pembalasan. Diversi adalah pengalihan penyelesaian perkara anak dari proses peradilan pidana ke proses di luar peradilan pidana.

Berikut kami rangkum hal-hal penting yang diatur dalam UU SPPA:

1.    Definisi Anak di Bawah Umur
UU SPPA mendefenisikan anak di bawah umur sebagai anak yang telah berumur 12 tahun tetapi belum berumur 18 tahun, dan membedakan anak yang terlibat dalam suatu tindak pidana dalam tiga kategori:
a.    Anak yang menjadi pelaku tindak pidana (Pasal 1 angka 3 UU SPPA);
b.    Anak yang menjadi korban tindak pidana (Anak Korban) (Pasal 1 angka 4 UU SPPA); dan
c.    Anak yang menjadi saksi tindak pidana (Anak Saksi) (Pasal 1 angka 5 UU SPPA)

Sebelumnya, UU Pengadilan Anak tidak membedakan kategori Anak Korban dan Anak Saksi. Konsekuensinya, Anak Korban dan Anak Saksi tidak mendapatkan perlindungan hukum. Hal ini mengakibatkan banyak tindak pidana yang tidak terselesaikan atau bahkan tidak dilaporkan karena anak cenderung ketakutan menghadapi sistem peradilan pidana.

2.    Penjatuhan Sanksi
Menurut UU SPPA, seorang pelaku tindak pidana anak dapat dikenakan dua jenis sanksi, yaitu tindakan, bagi pelaku tindak pidana yang berumur di bawah 14 tahun (Pasal 69 ayat (2) UU SPPA) dan Pidana, bagi pelaku tindak pidana yang berumur 15 tahun ke atas.
a.    Sanksi Tindakan yang dapat dikenakan kepada anak meliputi (Pasal 82 UU SPPA):
•    Pengembalian kepada orang tua/Wali;
•    Penyerahan kepada seseorang;
•    Perawatan di rumah sakit jiwa;
•    Perawatan di LPKS;
•    Kewajiban mengikuti pendidikan formal dan/atau pelatihan yang diadakan oleh pemerintah atau badan swasta;
•    Pencabutan surat izin mengemudi; dan/atau
•    Perbaikan akibat tindak pidana.

b.    Sanksi Pidana
Sanksi pidana yang dapat dikenakan kepada pelaku tindak pidana anak terbagi atas Pidana Pokok dan Pidana Tambahan (Pasal 71 UU SPPA):
Pidana Pokok terdiri atas:
·         Pidana peringatan;
·         Pidana dengan syarat, yang terdiri atas: pembinaan di luar lembaga, pelayanan masyarakat, atau pengawasan;
·         Pelatihan kerja;
·         Pembinaan dalam lembaga;
·         Penjara.

Pidana Tambahan terdiri dari:
·         Perampasan keuntungan yang diperoleh dari tindak pidana; atau
·         Pemenuhan kewajiban adat.

Selain itu, UU SPPA juga mengatur dalam hal anak belum berumur 12 (dua belas) tahun melakukan atau diduga melakukan tindak pidana, Penyidik, Pembimbing Kemasyarakatan, dan Pekerja Sosial Profesional mengambil keputusan untuk: (lihat Pasal 21 UU SPPA)
a.    menyerahkannya kembali kepada orang tua/Wali; atau
b.    mengikutsertakannya dalam program pendidikan, pembinaan, dan pembimbingan di instansi pemerintah atau LPKS di instansi yang menangani bidang kesejahteraan sosial, baik di tingkat pusat maupun daerah, paling lama 6 (enam) bulan.

3.    Hak-hak Anak
Setiap anak dalam proses peradilan pidana berhak: (Pasal 3 UU SPPA)
a.    diperlakukan secara manusiawi dengan memperhatikan kebutuhan sesuai dengan umurnya;
b.    dipisahkan dari orang dewasa;
c.    memperoleh bantuan hukum dan bantuan lain secara efektif;
d.    melakukan kegiatan rekreasional;
e.    bebas dari penyiksaan, penghukuman atau perlakuan lain yang kejam, tidak manusiawi, serta merendahkan derajat dan martabatnya;
f.     tidak dijatuhi pidana mati atau pidana seumur hidup;
g.    tidak ditangkap, ditahan, atau dipenjara, kecuali sebagai upaya terakhir dan dalam waktu yang paling singkat;
h.    memperoleh keadilan di muka pengadilan anak yang objektif, tidak memihak, dan dalam sidang yang tertutup untuk umum;
i.      tidak dipublikasikan identitasnya;
j.     memperoleh pendampingan orang tua/Wali dan orang yang dipercaya oleh anak;
k.    memperoleh advokasi sosial;
l.      memperoleh kehidupan pribadi;
m. memperoleh aksesibilitas, terutama bagi anak cacat;
n.    memperoleh pendidikan;
o.    memperoleh pelayananan kesehatan; dan
p.    memperoleh hak lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 4 UU SPPA menyatakan bahwa anak yang sedang menjalani masa pidana berhak atas:
a.    Remisi atau pengurangan masa pidana;
b.    Asimilasi;
c.    Cuti mengunjungi keluarga;
d.    Pembebasan bersyarat;
e.    Cuti menjelang bebas;
f.     Cuti bersyarat;
g.    Hak-hak lain sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

4.    Penahanan
Pasal 32 ayat (2) UU SPPA menyatakan bahwa penahanan terhadap anak hanya dapat dilakukan dengan syarat anak telah berumur 14 (empat belas) tahun, atau diduga melakukan tindak pidana dengan ancaman pidana penjara tujuh tahun atau lebih. Jika masa penahanan sebagaimana yang disebutkan di atas telah berakhir, anak wajib dikeluarkan dari tahanan demi hukum.

5.    Pemeriksaan Terhadap Anak Sebagai Saksi atau Anak Korban
UU SPPA ini memberikan kemudahan bagi anak saksi atau anak korban dalam memberikan keterangan di pengadilan. Saksi/korban yang tidak dapat hadir untuk memberikan keterangan di depan sidang pengadilan dengan alasan apapun dapat memberikan keterangan di luar sidang pengadilan melalui perekaman elektronik yang dilakukan oleh Pembimbing Kemasyarakatan setempat, dengan dihadiri oleh Penyidik atau Penuntut Umum, dan Advokat atau pemberi bantuan hukum lainnya yang terlibat dalam perkara tersebut. Anak saksi/korban juga diperbolehkan memberikan keterangan melalui pemeriksaan jarak jauh dengan menggunakan alat komunikasi audiovisual. Pada saat memberikan keterangan dengan cara ini, anak harus didampingi oleh orang tua/Wali, Pembimbing Kemasyarakatan atau pendamping lainnya [lihat Pasal 58 ayat (3) UU SPPA].

6.    Hak Mendapatkan Bantuan Hukum
UU SPPA memperbolehkan anak yang terlibat dalam tindak pidana untuk mendapatkan bantuan hukum tanpa mempermasalahkan jenis tindak pidana telah dilakukan.

Anak berhak mendapatkan bantuan hukum di setiap tahapan pemeriksaan, baik dalam tahap penyelidikan, penyidikan, penuntutan, maupun tahap pemeriksaan di pengadilan (Pasal 23 UU SPPA). Anak Saksi/Anak Korban wajib didampingi oleh orang tua/Wali, orang yang dipercaya oleh anak, atau pekerja sosial dalam setiap tahapan pemeriksaan. Akan tetapi, jika orang tua dari anak tersebut adalah pelaku tindak pidana, maka orang tua/Walinya tidak wajib mendampingi (Pasal 23 Ayat (3) UU SPPA).

7.    Lembaga Pemasyarakatan
Dalam Pasal 86 ayat (1) UU SPPA, anak yang belum selesai menjalani pidana di Lembaga Pembinaan Khusus Anak (“LPKA”) dan telah mencapai umur 18 (delapan belas) tahun dipindahkan ke lembaga pemasyarakatan pemuda. Pengaturan tersebut tidak ada dalam Pasal 61 UU Pengadilan Anak.

Walaupun demikian, baik UU SPPA dan UU Pengadilan Anak sama-sama mengatur bahwa penempatan anak di Lembaga Pemasyarakatan dilakukan dengan menyediakan blok tertentu bagi mereka yang telah mencapai umur 18 (delapan belas) tahun sampai 21 (dua puluh satu) tahun (Penjelasan Pasal 86 ayat (2) UU SPPA dan Penjelasan Pasal 61 ayat (2) UU Pengadilan Anak).

Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.

Dasar hukum:

No comments:

Post a Comment

Komentar Facebook