Wednesday, November 12, 2014

HUKUMAN BAGI ANAK-ANAK DAN ORANG BERBUAT ZINA




HUKUMAN BAGI  ORANG BERBUAT ZINA

m.rakib lpmp riau indonesia

Menarik apa yang diposkan oleh   Farid Maaruf, tentang HUKUMAN BAGI  ORANG BERBUAT ZINA

Posted by Farid Ma'ruf pada 18 Januari 2007. Penulis sedang meneliti kisah-kisah yang terkait dengan hukum Islam, terutama masalah jinayah atau kriminal. Di bawah ini ada penuli catatkan tanya-tanya ringkasa dan sederhana, tapi konkrit, simaklah…

Wawan Budi's photo.Wawan Budi's photo.
Di daerah tempat saya tinggal, ada orang (Mukhson) yang pernah berbuat maksiyat perzinaan, namun waktu disidang di tingkat RT/RW, dia mengaku salah dan ingin bertobat dan sekarang ia rajin sekali ibadah di masjid. Namun ternyata perzinaan itu diulang lagi, konon menurut pengakuan korban beberapa kali. Orang itu tidak mengakui perbuatannya, sebelumnya pernah tanda tangan berjanji untuk tidak mengulanginya. Tapi sang korban (familinya sendiri yang sejak kecil dinafkahi si pelaku) bersaksi dan membeberkan bukti visum dokter. Saat ini orang tersebut dianggap cukup meresahkan warga walaupun aktif di masjid tapi oleh warga dikucilkan bahkan hampir diusir.


1) Bagaimana solusi Islami terhadap kasus ini?
2) Bagaimana menghukumi seorang pezina dizaman sekarang yang tidak ada Kholifah (Daulah Islam yang berwenang)?
3) Bagaimana kaifiyat menghakimi pezina dalam peradilan Islam?
4) Bagaimana bila saksi tidak ada atau kurang dari 4 orang, tapi ada pengakuan korban?
5) Bagaimana menurut Syariah, kalau warga masyarakat memberikan hukuman dengan mengucilkan (tidak ditanya/tidak dilibatkan di masyarakat) atau mengusirnya?
6) Bagaimana hukumnya kalau pelaku zina kemudian dinikahkan?
Jawab: 1. Dalam pandangan Islam, zina merupakan perbuatan kriminal (jarimah) yang dikatagorikan hukuman hudud. Yakni sebuah jenis hukuman atas perbuatan maksiat yang menjadi hak Allah SWT, sehingga tidak ada seorang pun yang berhak memaafkan kemaksiatan tersebut, baik oleh penguasa atau pihak berkaitan dengannya. Berdasarkan Qs. an-Nuur [24]: 2, pelaku perzinaan, baik laki-laki maupun perempuan harus dihukum jilid (cambuk) sebanyak 100 kali. Namun, jika pelaku perzinaan itu sudah muhson (pernah menikah), sebagaimana ketentuan hadits Nabi saw maka diterapkan hukuman rajam.
2. Yang memiliki hak untuk menerapkan hukuman tersebut hanya khalifah (kepala negara Khilafah Islamiyyah) atau orang-orang yang ditugasi olehnya. Jika sekarang tidak ada khalifah, yang dilakukan bukan menghukum pelaku perzinaan itu, namun harus berjuang menegakkan Daulah Khilafah terlebih dahulu.
3. Yang berhak memutuskan perkara-perkara pelanggaran hukum adalah qadhi (hakim) dalam mahkamah (pengadilan). Tentu saja, dalam memutuskan perkara tersebut qadhi itu harus merujuk dan mengacu kepada ketetapan syara’. Yang harus dilakukan pertama kali oleh qadhi adalah melakukan pembuktian: benarkah pelanggaran hukum itu benar-benar telah terjadi. Dalam Islam, ada empat hal yang dapat dijadikan sebagai bukti, yakni: (1) saksi, (2) sumpah, (3) pengakuan, dan (4) dokumen atau bukti tulisan. Dalam kasus perzinaan, pembuktian perzinaan ada dua, yakni saksi yang berjumlah empat orang dan pengakuan pelaku. Tentang kesaksian empat orang, didasarkan Qs. an-Nuur [24]: 4.
Sedangkan pengakuan pelaku, didasarkan beberapa hadits Nabi saw. Ma’iz bin al-Aslami, sahabat Rasulullah Saw dan seorang wanita dari al-Ghamidiyyah dijatuhi hukuman rajam ketika keduanya mengaku telah berzina. Di samping kedua bukti tersebut, berdasarkan Qs. an-Nuur: 6-10, ada hukum khusus bagi suami yang menuduh isterinya berzina. Menurut ketetapan ayat tersebut seorang suami yang menuduh isterinya berzina sementara ia tidak dapat mendatangkan empat orang saksi, ia dapat menggunakan sumpah sebagai buktinya. Jika ia berani bersumpah sebanyak empat kali yang menyatakan bahwa dia termasuk orang-orang yang benar, dan pada sumpah kelima ia menyatakan bahwa lanat Allah SWT atas dirinya jika ia termasuk yang berdusta, maka ucapan sumpah itu dapat mengharuskan isterinya dijatuhi hukuman rajam. Namun demikian, jika isterinya juga berani bersumpah sebanyak empat kali yang isinya bahwa suaminya termasuk orang-orang yang berdusta, dan pada sumpah kelima ia menyatakan bahwa bahwa lanat Allah SWT atas dirinya jika suaminya termasuk orang-orang yang benar, dapat menghindarkan dirinya dari hukuman rajam. Jika ini terjadi, keduanya dipisahkan dari status suami isteri, dan tidak boleh menikah selamanya. Inilah yang dikenal dengan li’an.
4. Karena syaratnya harus ada empat orang saksi, seseorang tidak dapat dijatuhi hukuman. Pengakuan dari salah satu pihak tidak dapat menyeret pihak lainnya untuk dihukum. Dalam hadits riwayat Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah diceritakan bahwa ada seorang budak laki-laki yang masih bujang mengaku telah berzina dengan tuannya perempuan. Kepada dia, Rasulullah menetapkan hukuman seratus camnukan dan diasingkan selama satu tahun. Namun demikian Rasulullah Saw tidak secara otomatis juga menghukum wanitanya. Rasulullah Saw memerintahkan Unais (salah seorang sahabat) untuk menemui wanita tersebut, jika ia mengaku ia baru diterapkan hukuman rajam (lihat Bulugh al-Maram bab Hudud). Hasil visum dokter juga tidak dapat dijadikan sebagai bukti perbuatan zina. Hasil visum itu dapat dijadikan sebagai petunjuk saja.
5. Tuduhan perzinaan harus dapat dibuktikan dengan bukti-bukti di atas. Tidak boleh menuduh seseorang melakukan zina, tanpa dapat mendatangkan empat orang saksi.
6. Berzina termasuk perbuatan kriminal yang harus dihukum. Jenis hukumannya hanya ada dua, yakni jilid dan rajam. Bagi pezina ghaoiru muhson yang dijatuhi hukuman jilid, bisa saja mereka dinikahkan setelah menjalani hukuman. Al-Qur’an dalam Qs. an-Nuur [24]: 3 memberikan kebolehan bagi pezina untuk menikah dengan sesama pezina. Tentu saja, ini berbeda dengan pezina muhson yang dijatuhi hukuman rajam hingga mati, kesempatan untuk menikah bisa dikatakan hampir tidak ada. [Tim Konsultan Ahli Hayatul Islam (TKAHI)]
Ketika penulis akan ujian terbuka di Fak Hukum Islam di Pascasarjana UIN Suska Pekanbaru Riau, penulis menemukan kutipan UU No.3 tahun 1997 tentang Pidana anak-anak, bahkan yang lebih mengejutkan lagi ialah berita tentang ibu-ibu yang memperkosa anak laki-laki belasan tahun. Duh rasanya ada seikit kaitan dengan disertasi penulis tentang konsep kekerasan terhadap anak menurut Hukum Islam dan UU Perlindungan anak. Ternyata di dalam Lex specialis ada lagi yang lebih specialis, dalam aturan khusus, ada lagi yang lebih khusus. Nah kejian ini sangat menarik..



          Kepolisian Bengkulu Kota masih memeriksa intensif Emayartini alias May (32), seorang ibu rumah tangga yang diduga melakukan pencabulan kepada tujuh anak dibawah umur.Kepala satuan Reserse Kriminal Polres Bengkulu Kota, Ajun Komisaris Dwi Citra Akbar mengatakan, motif pelaku melakukan pencabulan lantaran suaminya sudah tidak bisa memberikan kebutuhan seksual selama lima tahun."Suaminya punya penyakit diabetes yang cukup parah, sehingga tidak bisa berhubungan badan dengan istrinya. Dari situ dia melirik anak-anak yang sering main ke rumahnya untuk memuaskan nafsu birahi," kata Akbar saat dihubungi VIVAnews, Rabu 17 April 2013.


Menurut Akbar, antara pelaku dengan korban memang saling kenal. Sebab korban sangat dekat dengan suami pelaku. Kondisi rumah yang sepi memunculkan niat dari pelaku meraih keinginan, yakni dengan meminta bantuan untuk memijit karena kelelahan.

Setelah itu korban disuruh untuk membuka baju dan melayani pelaku yang diketahui sudah memiliki satu orang anak.

"Untuk tempat kejadian selalu di rumah pelaku, itu dilakukan berkali-kali. Pelaku juga selalu memaksa korban tetapi perlakuannya tidak semua sama, ada yang hanya dipegang-pegang saja," kata dia.Kasus pencabulan yang dilakukan May sudah terjadi sejak dua bulan lalu. Kejadian ini terbongkar setelah salah satu korban mengeluh kepada orangtuanya karena sakit pada kelaminnya.

Pada Senin, 15 April 2013, salah satu orang tua korban melaporkan kasus ini kepada polisi. Korban rata-rata berumur belasan. Bahkan ada yang masih berusia 14 dan 15 tahun. (sj)

Surabaya, Sayanghi.com - Ternyata kekekerasan seksual terhadap anak bukan dominan dilakukan oleh kaum laki-laki tetapi juga oleh wanita. Kejadian ini dilakukan oleh seorang Ibu Rumah Tangga, Mus (34) terhadap dua siswa SD, pelajar SMP dan SMA di Surabaya.
Menurut Kanit Perlindungan Perempuan dan Anak (PPA) Polrestabes Surabaya, AKP Suratmi, kepada wartawan di Surabaya, Sabtu (16/11), wanita itu bukan karyawati bidang tata usaha di salah satu SD di kawasan Rangkah, tapi kerja serabutan.

Perilaku menyimpang itu sudah dilakukan Mus sejak bulan Juli 2013. Saat mencabuli siswa SD, Mus ternyata melakukannya di sebuah warnet dan bukan di lingkungan sekolah.
Selain itu, Mus sering menyuruh anak-anak korban menonton film-film porno di seluler miliknya..
Polisi terus mengembangkan kasus ini termasuk menyelidiki kemungkinan korban bertambah.
"Petugas masih terus melakukan pengembangan. Sejauh ini, baru ada dua korban, tapi kemungkinan memang masih ada sejumlah korban lain," tambah Kasubbag Humas Polrestabes Surabaya, Kompol Suparti Kompol Suparti, dalam kesempatan yang sama.
Akibat perbuatannya, Mus terancam dijerat Pasal 82 Undang-Undang RI Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak dengan ancaman hukumam monimal 3 tahun dan maksimal 15 tahun penjara. (VAL)

No comments:

Post a Comment

Komentar Facebook