Tuesday, November 4, 2014

TAQNIN AL-AHKAM UNTUK NON-MUSLIM



TAQNIN AL-AHKAM
UNTUK NON-MUSLIM


        Taqnin Al-Ahkam juga bisa dirunut jauh ke masa Rasulullah SAW. Artinya, taqnin bukanlah sesuatu yang betul-betul baru sebagaimana dituduhkan oleh para ulama Wahabi Arab Saudi. Sebagaimana diketahui oleh sejarah, Nabi Muhammad pernah menetapkan Piagam Madinah yang mengatur kehidupan masyarakat, baik antara sesama muslim maupun dengan non muslim. Piagam Madinah tersebut merupakan salah satu bentuk taqnin yang pernah dilakukan oleh pemerintahan Rasulullah SAW saat itu. Namun meski ada upaya taqnin tersebut, Rasulullah juga masih membuka peluang perbedaan pendapat di kalangan para sahabatnya. Sikap akomodatif Rasulullah terhadap perbedaan pendapat bisa banyak ditemukan dalam sejarah hukum Islam.
           Taqnin Al-Ahkam, Restriction For The Protection of Morals (Pembatasan untuk Melindungi Moral Masyarakat). Pembatasan dapat dilakukan pemerintah, bahkan untuk binatang tertentu yang dilindungi oleh Undang-Undang untuk tidak disembelih guna kelengkapan ritual aliran agama tertentu. Restriction For The Protection of The Fundamental Rights and Freedom of Others (Pembatasan untuk Melindungi Kebebasan dasar dan Kebebasan orang lain).

a. Proselytism (Penyebaran Agama) tanpa paksaan. Dengan adanya hukuman terhadap tindakan Proselytism, pemerintah mencampuri kebebasan seseorang di dalam memanifestasikan agama mereka melalui aktivitas-aktivitas misionaris di dalam rangka melindungi agar kebebasan beragama orang lain untuk tidak dikonversikan.

b. Pemerintah berkewajiban membatasi manifestasi dari agama atau kepercayaan yang membahayakan hak-hak fundamental dari orang lain, khususnya hak untuk hidup, kebebasan, integritas fisik dari kekerasan, pribadi, perkawinan, kepemilikan, kesehatan, pendidikan, persamaan, melarang perbudakan, kekejaman dan juga hak-hak kaum minoritas.
III. PENUTUP

Dengan ulasan singkat diatas, seyogyanya pengaturan kebebasan beragama harus lebih diorientasikan kepada perlindungan kepentingan/kebaikan masyarakat luas ketimbang pada penekanan melindungi masing-masing ajaran agama terlebih lagi pada dogma yang banyak dipedebatkan. Dengan makna ini, bisa dimaknai, pertama, setiap penodaan terhadap agama harus diklarifikasi sebagai gangguan terhadap kepentingan dan kemaslahatan umum dan jangan direduksi menjadi kepentingan doktrin agama semata, mengingat setidaknya pada dua hal yaitu: [1] perbedaan hendaknya tetap menjadi ranah dialog bukan pidana. [2] tidak semua perdebatan doktrinal dapat diselesaikan dengan logika karena hal tersebut menyangkut dengan keyakinan seseorang, sedangkan perbedaan keyakinan merupakan sesuatu yang dijamin dalam Islam. Kedua, dalam konsepsi subtantif doktrinal, Islam bukan bagian dari kekerasan, penerapan kekerasan amat terkait dengan konteks dan memiliki kerangka yang jelas seperti diberikannya setiap negara hak untuk berperang. Dengan titik tolak ini, tindakan kekerasan terhadap kasus ‘penodaan agama’ jelas tidak direkomendasikan dan menjadi tugas negara untuk merumuskan sebaik-baiknya klasifikasi penodaan agama secara tepat dan efektif.
Karena seharusnya, Negara hendaknya tidak memasuki ranah keyakinan dan pikiran masyarakat terhadap agamanya. Begitu juga, dengan posisi Negara yang melindungi semua kepentingan seluruh warga Negara. Penistaan, penghinaan atau delegitimasi terhadap sebuah keyakinan agama, tetap tidak akan mengurangi subtansi keagungan dari agama itu sendiri. Negara, jika perlu, harus secara jeli mampu mengelola dan memilah unsur kejahatan pada semua delik privat dalam keyakinan beragama jika ingin dijadikan sebagai regulasi pidana nasional. Hanya persoalannya, hal ini perlu menjadi sikap dan keyakinan para pemeluknya juga, walaupun pada kenyataannya, selalu saja terdapat sikap ekstrem dari pengikut agama dalam memaknai perbedaan dalam isu-isu agama. Jika sudah demikian, maka Negara wajib mengambil peran sebagai pengatur dan penegak peraturan.
DAFTAR PUSTAKA
Asy-Syatibi, Abu Ishaq. al-Muwafaqat fi Ushul asy-Syari’ah. Vol II. Beirut: Darul Kutub al-
Ilmiyyah, tt.
Arkoun, Mohammed. Berbagai Pembacaan Quran. Jakarta: INIS, 1997.
Bellah,Robert N. Philip E. Hammond. Varietis of Civil Religion: Beragam bentuk Agama Sipil
dalam bentuk kekuasaan Politik, Kultural, Ekonomi dan Sosial. Yogyakarta: IRCiSoD, 2003.
Indopos. “Ahmadiyah Tetap gelar Mukernas.” 18 April 2008.
Ka’bah. Rifyal, Hukum Islam di Indonesia. Jakarta: Universitas Yarsi, 1999.
Kovenan Internasional untuk Hak Sipil dan Politik, Ditetapkan oleh Resolusi Majelis Umum
2200 A (XXI)Tertanggal 16 Desember 1966.
Laldin, M. Akram. Mek Wok Mahmud dan M. Fuad Sawari. “Maqasid syariah Dalam
Pelaksanaan Waqaf.” Kuala Lumpur: Kertas Kerja 1, 1999.
Madjid, Nurcholis. “Agama dan Negara.” dalam Budhy Munawar-Rachman.
Kontekstualisasi Doktrin Islam Dalam Sejarah. Jakarta: Yayasan Paramadina, 1994.
Mulia, Musdah. “Hak Asasi Manusia dan Kebebasan Beragama.”
. 20 April 2008.
Munajat. Makhrus, Dekonstruksi Hukum Pidana Islam. Jogjakarta: Logung Pustaka, 2004.
Naipospos, Bonar Tigor et al. “Tunduk Pada Penghakiman Masa: Pembenaran Negara atas
Perkusi Kebebasan Beragama dan berkeyakinan.” Jakarta: Setara Institute, 2008.
Pulungan, J. Suyuthi. Prinsip-prinsip Pemerintahan dalam Piagam Madinah Ditinjau dari
Pandangan al-Quran. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 1994.
Wahid, Abdurrahman et al. Hukum Islam dalam Praktek. Bandung: Remaja Rosda Karya, 1994.
       Menarik juga judul pembahasan, MERETAS PEMIKIRAN Oleh: Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, S.H, bahwa salah satu agenda nasional yang sejak masa sebelum reformasi hingga saat ini banyak didengungkan adalah pembangunan hukum nasional, yang pasca era reformasi banyak disebut dengan istilah reformasi hukum nasional. Sebelum reformasi, pembangunan hukum nasional ditujukan terutama untuk melakukan perubahan berbagai aturan hukum produk kolonial yang dipandang sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan jaman dan kebutuhan pembangunan. Sedangkan pada era reformasi, kebutuhan untuk melakukan reformasi hukum semakin kuat dengan adanya perubahan UUD 1945 yang cukup mendasar dan mencakup berbagai aspek sesuai dengan tuntutan perkembangan jaman, terutama demokratisasi dan perlindungan terhadap hak aqasasi manusia. Kebutuhan tersebut semakin mendesak demi terwujudnya konsolidasi hukum sebagai suatu sistem yang banyak dilupakan karena euforia reformasi nasional.

Pembangunan hukum nasional tidak berada dalam ruang kosong. Paling tidak terdapat tiga lingkungan strategis yang mempengaruhinya, yaitu lingkungan internasional, lingkungan nasional, dan tuntutan lokal. Dalam tata pergaulan dunia, bangsa Indonesia tidak dapat melepaskan diri dari perkembangan dan tuntutan internasional, misalnya untuk masalah-masalah demokratisasi, perlindungan HAM, lingkungan hidup, dan perkembangan ekonomi perdagangan internasional. Dalam lingkungan nasional, pembangunan hukum nasional tentu harus dilakukan secara koheren dengan politik hukum sesuai dengan UUD 1945 sebagai hukum tertinggi. Selain itu, pembangunan hukum nasional juga dipengaruhi dan harus memperhatikan tuntutan dan kepentingan masyarakat lokal.

Sesuai dengan lingkungan yang mempengaruhi pembangunan hukum tersebut, materi hukum dapat disusun dan dibuat dengan mengambil dari nilai-nilai internasional yang bersifat universal, dan juga nilai-nilai masyarakat, baik itu nilai budaya maupun nilai agama. Bahkan, agar dapat benar-benar berlaku secara efektif, hukum yang dibuat tidak boleh bertentangan dengan nilai-nilai tersebut.

Nilai agama, adalah nilai yang sangat kuat dipegang dan dipatuhi oleh bangsa Indonesia. Karena masyarakat Indonesia mayoritas memeluk agama Islam, maka sudah lazim jika Islam memiliki peran dan posisi tersendiri dalam pembangunan hukum nasional. Untuk menjelaskan bagaimana hubungan tersebut terlebih dahulu tentu harus didudukkan secara tepat bagaimana hubungan antara agama dengan negara di Indonesia.

Hubungan Negara dan Agama

Dalam perkembangan peradaban manusia, agama senantiasa memiliki hubungan dengan negara. Hubungan agama dan negara mengalami pasang surut seiring dengan perkembangan pemahaman pemaknaan terhadap agama dan negara itu sendiri. Ada suatu masa di mana negara sangat dekat dengan agama atau bahkan menjadi negara agama. Di saat lain, terdapat pula masa-masa agama mengalami ketegangan dengan negara.

Puncak hubungan antara negara dan agama terjadi ketika konsepsi Kedaulatan Tuhan dalam pelaksanaannya diwujudkan dalam diri Raja. Kedaulatan Tuhan (theocracy) dan Kedaulatan Raja berhimpit satu sama lain sehingga kekuasaan raja adalah absolut yang mengungkung peradaban manusia pada abad pertengahan.[3] Kondisi tersebut melahirkan gerakan sekularisme yang berusaha memisahkan institusi negara dari institusi agama, antara negara dan gereja. Namun upaya sekularisasi tersebut hingga saat ini masih dihadapkan pada permasalahan-permasalahan krusial hubungan negara dan agama.

Pengalaman sejarah menunjukkan bahwa wilayah kehidupan keagamaan dan wilayah kenegaraan memang dapat dan mudah dibedakan satu sama lain, namun tidak mudah untuk dipisahkan. Penyatuan antara kedaulatan Tuhan dengan kedaulatan Raja telah melahirkan pemerintahan absolut dan menyebabkan terjadinya kezaliman yang tidak berperikemanusiaan. Dalam dunia Islam, konsep yang merupakan penyatuan antara kedaulatan Tuhan dengan kedaulatan Raja terjadi pada saat; (i) konsep Khalifah al-Rasul yang rasional dan demokratis dimanipulasikan maknanya sehingga tunduk pada warisan sistem feodal tradisi kerajaan yang bersifat turun-temurun, dan (ii) ketika perkataan “Khalifah al-Rasul” sebagai konsep politik disalahpahami dan dicampuradukkan pengertiannya dengan perkataan “Khalifah Allah” sebagai konsep filosofis.[4]

Walaupun gerakan sekularisasi telah muncul bersamaan dengan masa pencerahan (renaissance), namun hingga saat ini pemisahan urusan agama dan soal-soal kenegaraan secara empiris benar-benar dapat dipisahkan. Sebab utamanya adalah para pengelola negara adalah manusia biasa yang terikat pada beberapa norma yang hidup dalam masyarakat, termasuk norma agama.[5]

Negara dan agama, bahkan di negara sekuler sekalipun, tidak dapat dipisahkan begitu saja. Sebabnya ialah para pengelola negara adalah juga manusia bia­sa yang juga terikat dalam berbagai macam norma yang hi­dup dalam masyarakat, termasuk juga norma agama. Misal­nya, meskipun negara-negara seperti Amerika Serikat, Inggris, Jerman, Perancis dan Belanda adalah negara yang dipermaklumkan sebagai negara sekuler, tetapi banyak kasus menunjukkan bahwa keterlibatannya dalam urusan keaga­ma­an terus berlangsung dalam sejarah.

Di satu segi, nilai-nilai keagamaan yang dianut oleh pribadi para penyelenggara negara turut mempengaruhi ma­teri dan proses pengambilan keputusan di tingkat kene­ga­ra­an. Misalnya, Presiden George W. Bush ketika bereaksi terhadap peristiwa yang menimpa gedung kembar World Trade Center tanggal 11 September 2001, tanpa sadar mengaitkan upaya memerangi tero­risme di balik peristiwa itu dengan perkataan “the second crusade” (pe­rang suci kedua) setelah perang suci pertama yang dike­nal dalam catatan sejarah di masa lampau antara kaum Mus­li­min dengan bang­sa-bangsa Eropa yang beraga­ma Nasrani.

Di pihak lain, negara dan kebijakan pemerintahan mo­dern dalam sejarah juga tidak dapat melepaskan sama sekali keterikatan dan inter­ven­sinya ke dalam urusan-urusan kea­ga­­maan. Bahkan dalam masya­rakat Amerika sekalipun yang diklaim sebagai masyarakat paling bebas dan paling demo­kratis, justru kegiatan kenegaraannya dapat dianggap paling dekat dan paling mencerminkan nilai-nilai ke­agamaan yang dianut penduduknya. Alexis de Toc­queville dalam buku Democracy in America, meng­gam­barkan bagaimana pengaruh agama sangat penting dalam politik Amerika, jauh lebih substantif dan bahkan sangat berbeda dari apa yang dilihatnya di Eropa.

Dalam konteks Indonesia, karena salah satu nilai dasar negara adalah Ketuhanan Yang Maha Esa, maka hukum negara harus mencerminkan esensi keadilan berda­sarkan ke-Tuhanan Yang Maha Esa, yang diwujudkan melalui prin­sip hirarki norma dan elaborasi nor­ma. Sumber norma yang mencerminkan keadilan berda­sar­kan Ketuhanan Yang Maha Esa itu dapat datang dari mana saja, termasuk misalnya dari sistem syari’at Islam ataupun nilai-nilai yang berasal dari tradisi Kristen, Hindu, Budha, dan Konghucu. Pada saat nilai-nilai yang terkandung di dalamnya telah diadopsikan, maka sum­ber norma syari’at itu tidak perlu disebut lagi, karena namanya sudah menjadi hukum negara yang berlaku untuk umum.

Di sisi lain, hukum negara yang ber­puncak pada Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 tidak boleh ber­tentangan dengan keyakinan-keyakinan hukum atau keya­kinan keagamaan segenap warga negara Indonesia yang men­jadi subjek hukum yang diatur oleh Hukum Nasional In­do­nesia yang berdasarkan Pancasila itu. Sesuai prinsip Ketuhanan Yang Maha Esa, sudah dengan sendirinya tidak boleh ada hukum negara Indo­nesia yang bertentangan de­ngan norma-norma agama yang diyakini oleh warga nega­ra Indonesia sendiri.
Norma Hukum Nasional yang demikian itu berlaku umum untuk semua warga negara tanpa kecuali. Oleh sebab itu, nama atau sebutan bagi norma hukum yang bersifat nasional demikian itu tidak perlu disebut atau dikaitkan dengan nama norma suatu agama tertentu yang dapat me­nim­bulkan kesalahpahaman yang justru dapat menim­bulkan kesulitan dalam upaya menegakkan norma hukum itu dalam kenyataan. Sebutan resminya cukuplah sebagai Hukum Na­sional Indonesia yang berdasarkan Pancasila. Sedangkan isinya sangat boleh jadi atau memiliki potensi yang sangat kuat untuk ber­sumber dari esensi ajaran agama yang dianut oleh warga negara Indonesia.

Landasan Konstitusional

Salah satu dasar negara Indonesia adalah Ketuhanan Yang Maha Esa. Karena itu dikatakan bahwa Indonesia bukan negara agama, karena tidak berdasarkan agama tertentu, dan juga bukan negara sekuler karena tidak memisahkan secara tegas antara urusan negara dan urusan agama. Prinsip Ketuhanan Yang Maha Esa, pertama-tama dirumuskan sebagai salah satu dasar kenegaraan dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 “… berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa …”. Selain itu, kita juga menganut paham Kedaulatan Rakyat dan Kedaulatan Hukum dalam satu kesatuan sistem konstitusional modern. Paham Ketuhanan Yang Maha Esa mengharuskan kita mengakui adanya ke-Maha Kuasaan Tuhan Yang Maha Esa. Artinya, Tuhanlah yang sebenarnya berdaulat atas peri kehidupan kita seluruhnya. Namun kedaulatan Tuhan tersebut tidak mewujud kedalam kedaulatan Raja, melainkan mewujud dalam konsep kedaulatan rakyat dan kedaulatan hukum.


No comments:

Post a Comment

Komentar Facebook