Friday, November 14, 2014

KRITIK TERHADAP PARADIGMA HUKUM YANG KAKU M.RAKIB LPMP RIAU INDONESIA



KRITIK TERHADAP PARADIGMA HUKUM YANG KAKU
M.RAKIB  LPMP  RIAU INDONESIA



Paradigma hukum Islam klasik adalah paradigma literalistik dengan arti begitu dominannya pembahasan tentang text, dalam hal ini text berbahasa Arab, baik dari segi grammar maupun sintaksisnya dan mengabaikan pembahasan tentang maksud dasar dari wahyu yang ada dibalik teks literal atau secara sederhana paradigma yang bertumpu pada teks baik secara langsung maupun tidak langsung (paradigma bayani).

Sebagai pengembangan dari paradigma hukum Islam klasik, maka ditawarkanlah paradigma historis-ilmiah sebagai paradigma alternatif yang secara sederhana diartikan sebagai sebuah paradigma yang mencoba memahami ajaran agama berdasarkan premis ilmiah yang ada pada masa dimana ajaran itu dipergunakan.
Paradigma dalam disiplin intelektual adalah cara pandang orang terhadap diri dan lingkungannya yang akan mempengaruhinya dalam berpikir (kognitif), bersikap (afektif), dan bertingkah laku (konatif). Paradigma juga dapat berarti seperangkat asumsi, konsep, nilai, dan praktik yang di terapkan dalam memandang realitas dalam sebuah komunitas yang sama, khususnya, dalam disiplin intelektual
Kata paradigma sendiri berasal dari abad pertengahan di Inggris yang merupakan kata serapan dari bahasa Latin pada tahun 1483 yaitu paradigma yang berarti suatu model atau pola; bahasa Yunani paradeigma (para+deiknunai) yang berarti untuk "membandingkan", "bersebelahan" (para) dan memperlihatkan (deik)
Paradigma Literalistik hukum Islam (ushul fikih) klasik
Sebelum membahas tentang paradigma hukum Islam klasik, ada baiknya dijabarkan tentang istilah paradigma itu sendiri. Penulis menggunakan istilah paradigma dengan merujuk kepada pemikiran Thomas Kuhn yang dituangkan dalam magnum opusnya The Structure of Scientific Revolutions, namun dalam tekanan yang berbeda. Hal ini disebabkan karena pendapat Kuhn yang bersifat linier tersebut (paradigm shift) hanya tepat digunakan dalam ilmu-ilmu alam dan fisika, sedangkan ushul fikih masuk dalam kategori ilmu-ilmu sosial humanities. Perkembangan ushul fikih tentu tidak bisa dimaknai secara revolutive, tetapi evolutive karena tradisi pemikiran yang berkembang di lingkungan ilmu sosial humanities ditandai dengan dimilikinya beragam paradigma, namun tidak ada satupun yang mencapai status hegemoni baik sebagai teori maupun paradigma universal. Walaupun Kuhn sendiri tidak mendefenisikan istilah itu secara konkrit, namun para penelaah karya Kuhn menyimpulkan bahwa paradigma adalah teori-teori, metode-metode, fakta-fakta dan eksperimen-eksperimen yang telah disepakati bersama dan menjadi pegangan bagi aktivitas ilmiah para ilmuwan. Secara singkat dapat difahami bahwa paradigma adalah pandangan-pandangan pokok tentang alam, Tuhan, dan manusia.
Bila istilah paradigma diatas dipadukan dengan kerangka berfikir al-Jabiri tentang pembagian epistemologi Islam maka bisa dikatakan bahwa paradigma hukum Islam klasik adalah paradigma literalistik dengan arti begitu dominannya pembahasan tentang teks (dalam hal ini teks berbahasa Arab) baik dari segi grammar maupun sintaksisnya dan cendrung mengabaikan pembahasan tentang maksud dasar dari wahyu yang ada dibalik teks literal tersebut. Secara sederhana paradigma yang dianut bertumpu pada teks baik secara langsung maupun tidak langsung (paradigma bayani)
Secara etimologi, menurut al-Jabiri al-bayan memiliki beberapa arti diantaranya azh-zhuhur wa al-wudhuh (ketampakan dan kejelasan), sedangkan secara terminologi al-bayan berarti pencarian kejelasan yang berporos pada al-ashl (pokok) yakni teks (naql-nash) baik secara langsung maupun tidak langsung. Secara langsung berarti langsung menganggap teks sebagai pengetahuan jadi. Secara tidak langsung berarti melakukan penalaran dengan berpijak pada teks itu. Dalam paradigma ini, akal dipandang tidak akan dapat memberikan pengetahuan kecuali jika akal itu disandarkan (berpijak) pada nas (teks). Dalam tradisi berfikir literalisme ini dikenal 2 cara mendapatkan pengetahuan dari teks yaitu pertama, berpegang pada teks zahir. Kecendrungan ini berakar pada tradisi sebelum Ibn Rusyd (Andalusia) dan memuncak pada masa Ibn Hazam (azh-Zahiri). Kecendrungan tekstualisme ini sebenarnya mulai diperlihatkan oleh asy-Syafi’i bahkan -mungkin- bisa dikatakan beliau adalah peletak dasar paradigma literalisme. Sarana yang dipakai adalah kaedah bahasa Arab sedangkan yang menjadi sasarannya adalah teks al-Qur’an, Hadis dan Ijma’. Kedua, berpegang pada maksud teks bukan teks zahir. Kecendrungan ini berlaku pada tradisi setelah Ibn Rusyd terutama pada prakarsa asy-Syatibi. Berpegang pada maksud teks ini baru digunakan bila teks zahir ternyata tidak mampu menjawab persoalan-persoalan yang relatif baru.
Bukti lain digunakannya paradigma literalisme dalam kajian hukum Islam klasik adalah begitu banyaknya pembahasan tentang kaidah kebahasaan dalam ilmu ushul fikih. Al-Juwayni telah membuktikan hal tersebut dengan mengatakan “sesungguhnya mayoritas pembahasan dalam ushul fikih berkaitan dengan kata-kata (alfazh) dan makna…terkait dengan kata-kata haruslah disadari bahwa syariat itu berbahasa Arab. Seseorang tidak akan sempurna (dalam menguak) kandungan syari’at selama ia belum menguasai Nahwu dan Bahasa Arab“. Asy-Syafi’i sebagaimana dikutip oleh Mukhyar Fanani juga menjelaskan bahwa “al-Qur’an turun dengan bahasa Arab, bukan yang lain. Oleh karena itu seseorang yang tidak mengetahui keluasan bahasa Arab, aspek-aspeknya, kepadatan, dan keragaman maknanya, maka ia tidak akan mengetahui kejelasan semua pengetahuan dalam al-kitab itu“. Rasionalitas yang dibangun oleh ulama ushul fikih tradisional sebenarnya ingin melakukan penalaran yang sesuai dengan tuntunan Allah yang ujungnya adalah tercapainya kemaslahatan manusia pada umumnya di dunia dan akhirat dan ini pada akhirnya terwadahi dalam metode berfikir yang baku yakni qiyas, istihsan, istislah, istishab, sadd al-zari’ah dan urf.
Paradigma diatas sebenarnya bisa difahami karena ahli hukum Islam (ushul fikih) klasik memaknai hukum itu berasal dari titah ilahi sehingga hanya melalui teks-teks suci yang didengar Rasulullah sajalah pemanifestasian hukum itu dapat diketahui.Dalam hal ini, mayoritas ahli hukum Islam menganut faham optimisme bahasa yang dipengaruhi oleh teologi kekuasaan Ilahi, suatu faham yang menganggap bahwa bahasa adalah sarana memadai untuk melakukan komunikasi, suatu sunnah yang baku dan karena itu menjadi milik publik. Akibatnya pendekatan yang digunakanpun adalah pendekatan bayan atau tekstualis. Pandangan optimisme bahasa ini kemudian mengarah pada berkembangnya logika deduktif sehingga model pendekatan yang digunakan-pun adalah teologis-normatif-deduktif.
Paradigma literalistik dengan menggunakan model pendekatan yang teologis-normatif-deduktif cendrung didominasi Aristotalian logic yang bercirikan dichotomous logic. Akibatnya, studi hukum Islam dipandang cendrung mendekati masalah secara hitam-putih, benar-salah, halal-haram, Islam-kafir, sunnah-bid’ah dan yang semacamnya walaupun sesungguhnya tujuan pokok agama diturunkan itu adalah mengajarkan tentang aturan-aturan hidup yang bersifat pasti (nilai, norma dan aturan), dan begitu pula hukum agama (Islam) dimana salah satu ciri pokok berfikir hukum adalah menuntut adanya kepastian dan bukan ketidak-pastian.
Pengertian seperti ini jelas tidak tepat. Selain terdiri atas kategori penilaian seperti halal atau haram, hukum Islam juga terdiri atas kategori-kategori relasional. Lebih penting lagi adalah bahwa hukum Islam sesungguhnya terdiri atas norma-norma berjenjang (berlapis). Seharusnya studi ushul fikih atau penelitian hukum Islam tidak hanya terbatas pada penemuan peraturan hukum konkret an-sich, tetapi lebih dari itu juga harus diarahkan kepada penggalian asas-asas dengan mempertimbangkan pendekatan pertingkatan norma sehingga lebih mudah merespons berbagai perkembangan masyarakat dari sudut hukum syari’ah.
Paradigma ini berlangsung selama kurang lebih lima abad (dari abad ke 2 H-7 H) dan mengalami perbaikan dengan munculnya asy-Syatibi pada abad ke 8 H yang menambahkan teori maqashid asy-syari’ah yang mengacu pada maksud Allah sehingga tidak lagi terpaku pada literalisme teks. Disini asy-Syatibi merobah dari rasionalisme deduktif menjadi rasionalisme induktif. Namun jika menggunakan teori paradigm shift yang ditawarkan oleh Kuhn sebagaimana dijelaskan diawal, maka as-Syatibi hanya melengkapi paradigma lama saja agar tidak terlalu literalistik dan belum melakukan perubahan yang revolusioner bagi ushul fikih.
Enam abad kemudian, sumbangan asy-Syatibi pada abad ke 8 H/14 M, direvitalisasi oleh para pembaharu ushul fikih modern, seperti Muhammad Abduh (w. 1905), Rasyid Ridha, Abdul Wahhaf Khallaf, Allal al-Fasi, dan Hasan Turabi. Oleh karena hanya melakukan revitalisasi, maka kelompok ini dikategorikan oleh Wael B Hallaq sebagai para pembaharu penganut aliran utilitarianisme keagamaan (religious utilitarianism). Munculnya pemikir kontemporer seperti Muhammad Iqbal, Mahmud Muhammad Taha, Abdullahi Ahmed an-Na’im, Muhammad Said Ashmawi, Fazlur Rahman, dan Muhammad Syahrur dikategorikan oleh Hallaq sebagai kelompok pembaharu penganut aliran liberalisme keagamaan (religious liberalism) karena coraknya yang liberal (bahkan cendrung radikal) dan cendrung membuang teori-teori ushul fikih lama. Apa paradigma yang digagas oleh mereka dan bisakah paradigma tersebut dijadikan sebagai paradigma alternatif dalam pengembangan epistemologi hukum Islam saat ini?uraian berikut mencoba untuk menggambarkannya
 Paradigma historis-ilmiah sebagai salah satu paradigma alternatif?
Akibat revolusi science abad 17 di Barat, banyak sekali penemuan-penemuan baru sehingga mempercepat berobahnya dimensi kehidupan manusia termasuk dalam dunia Islam. Banyak sekali kasus-kasus yang muncul yang tidak cukup penjelasannya hanya dengan menggunakan perangkat metodologi hukum Islam klasik. Dalam rangka mengatasi itu semua, pertengahan abad 19 terjadi reformasi hukum Islam. Sayangnya, reformasi tersebut tidak pernah menyentuh level yang lebih fundamental yakni dasar-dasar teoritis hukum Islam atau yang dikenal dengan ushul fikih. Ushul fikih tetap saja memusatkan perhatiannya pada upaya penafsiran literal al-Qur’an dan Sunnah. Bahasa kedua sumber hukum ini ditafsiri agar memiliki efek literal dan langsung berhubungan dengan kasus-kasus hukum.
Akibat dari itu semua, muncul banyak kegelisahan intelektual tentang urgensi dan utilitas ushul fikih dalam kajian keislaman. Kegelisahan tersebut diwujudkan dalam sebuah kecemasan bahwa ternyata sampai saat ini, wajah ushul fikih dan turunannya terasa kaku dalam menghadapi dan berkomunikasi dengan peradaban kekinian. Paling tidak kegelisahan tersebut dapat dilihat dari ekspresi intelektual Muslim kontemporer sebut saja misalnya Fazlur Rahman, Muhammad Arkoun, Hassan Hanafi, Muhammad Syahrur, Nasr Hamid Abu Zaid, Ali Harb, dan Abdullahi Ahmed an-Na’im yang dikategorikan oleh Hallaq di atas sebagai kelompok liberalis.
Fazlur Rahman berpendapat tidak lagi cukup memadai untuk menggunakan teori fikih dan ushul fikih tentang qath’iyyat dan dhanniyat. Ia menawarkan istilah ideal moral dan legal spesifik sebagai pembagian awal tradisi Islam. Muhammad Arkoun menawarkan pemahaman ulang tentang tradisi Islam dengan membedakan secara tegas antara Turats (dengan T besar) dan turats (dengan t kecil). Ia mempertanyakan semakin kaburnya dimensi tarikhiyyat (kesejarahan) dari keilmuan fikih. Demikian juga dengan Muhammad Syahrur yang menawarkan teori bacaan kontemporer (qira’ah mu’ashirah), Nashr Hamid Abu Zaid dengan reinterpretasi teks suci, Ali Harb dengan teori dari kritik akal menuju kritik teks, dan Abdullah Ahmed an-Na’im dengan teori naskh mansukh yang berbeda dari pemahaman selama ini.
Jika kita menggunakan kerangka pemikiran Lutfi Assyaukani tentang tiga tipe pemikiran Islam saat ini dalam memandang tradisi (turats) dan modernitas, maka menurut penulis, para pemikir hukum Islam kontemporer yang mencoba menawarkan paradigma alternatif -walaupun tidak secara keseluruhan- masuk pada tipologi yang pertama dalam artian mereka ingin menawarkan reformulasi hukum Islam yang mencerminkan nilai-nilai keislaman pada satu sisi, namun pada sisi lain menawarkan sebuah hukum yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat modern saat ini. Mereka ingin menawarkan analisa tekstual-kontekstual yang terstruktur sehingga melahirkan hukum yang lebih humanistik dan artikulartif namun tetap dalam bingkai maksud wahyu.
Berdasarkan eksplorasi diatas, maka menurut penulis salah satu paradigma alternatif yang ditawarkan oleh kaum liberalis dalam menkaji hukum Islam adalah paradigma historis ilmiah, sebuah paradigma yang mencoba memahami ajaran agama berdasarkan premis ilmiah yang ada pada masa dimana ajaran itu dipergunakan. Rasionalitas yang ingin dibangun oleh paradigma ini adalah melakukan penalaran yang sesuai dengan sistem pengetahuan masyarakat modern dan sesuai dengan realitas objektif di masyarakat. Jika ditarik dalam konteks hukum Islam (ushul fikih), berarti perangkat keilmuan yang digunakan bukan lagi terbatas pada perangkat-perangkat ushul fikih yang sudah ada -bahkan dalam tataran yang lebih ekstrem tidak lagi menggunakan perangkat keilmuan ushul fikih klasik- tetapi juga menggunakan pendekatan-pendekatan baru yang diberikan oleh disiplin ilmu-ilmu alam, ilmu-ilmu sosial, dan ilmu-ilmu humaniora seperti sosiologi, sejarah, filsafat, kritik sastra, linguistik, hermeneutik, cultural studies, psikologi, antropologi dan perangkat ilmu lainnya Bagi kelompok ini sumber pengetahuan bukan lagi terbatas pada teks tetapi realitas (al-waqi’), baik realitas alam, sosial, humanitas maupun keagamaan. Teks cendrung difahami sebagaimana segalanya (tertulis atau tidak, kitab suci atau bukan).
Tentu saja paradigma seperti ini agak sulit diterima oleh para pengkaji hukum Islam karena pertama, mereka menempatkan teks (nash) al-Qur’an dan Hadis sebagai titik berangkat awal dalam analisa persoalan hukum. Kedua, tawaran mereka tidak memiliki landasan kuat pada kerangka teoritik ilmu ushul fikih yang sudah ada sebelumnya. Ketiga, kerangka keilmuan ushul fikih tidak mungkin bisa diletakkan dalam wilayah paradigm shift secara revolutive, namun harus dimaknai secara evolutif. Hal ini dapat difahami dalam ungkapan “al-muhafadhah ‘ala-l-qadim al-shalih wa-l-ahdu bil-jadid al-ashlah“.
Pertanyaannya kemudian, bisakah paradigma tersebut dijadikan sebagai paradigma alternatif dalam pengembangan epistemologi hukum Islam saat ini? Dalam hal ini penulis cukup sepakat dengan perspektif teori pergeseran paradigma (paradigm shift) ala Thomas Khun diawal, bahwa ilmu hanyalah sebuah social process, consensus of scientific communities. Pada akhirnya komunitas ilmiah yang akan dapat menentukan satu paradigma yang paling valid dalam menjawab problem-problem yang terakumulasi dalam krisis. Ini berarti kesepakatan komunitas ilmiah-lah yang nantinya akan menentukan apakah paradigma ini bisa diterima atau tidak.
Mulyadi Kartanegara pernah menjelaskan akan lebih baik kalau paradigma historis ilmiah tadi sebagai sebuah paradigma alternatif dibingkai dengan pendekatan kombinasi antara teologis-normatif-deduktif dengan pendekatan empiris-historis-induktif dalam memahami wacana hukum Islam saat ini.[28] Alasannya, penekanan pada pendekatan pertama telah melahirkan paradigma literalistik yang cendrung kaku, rigid, dan a-historis. Tetapi jika paradigma historis-ilmiah tadi hanya dibingkai dalam model pendekatan kedua, maka yang terjadi adalah kebenaran cendrung didasarkan sejauh mana sesuatu bisa diukur oleh panca indera dan diluar itu semua tergolong tidak benar. Akibatnya kehidupan keagamaan menjadi gersang karena semuanya serba diukur dengan material. Memang pendekatan kedua ini lebih menjanjikan produk hukum yang humanis tetapi kering dari nilai-nilai transendental. Pendekatan skeptik, ragu-ragu atau bahkan buruk sangka (su’uzzan) akan mendominasi kajian yang ada. Wajar kemudian bila ushul fikih dianggap sudah usang dan out of date. Paradigma historis-ilmiah yang dikombinasikan dengan dua pendekatan tadi, diharapkan akan mengakhiri perdebatan antara kelompok tekstualis dan kelompok kontekstualis di dalam menafsirkan dan memahami wacana keagamaan.
Pertanyaannya, bagaimana mengoperasionalisasikan paradigma tersebut? Dalam melakukan operasionalisasi terhadap paradigma ini tidaklah mudah. Namun tawaran metode induktif-integratif yang digagas oleh Fazlurrahman (yang menekankan pembedaan antara nash normatif-universal dengan nash praktis temporal)[29] dengan dikombinasikan dengan teori pertingkatan norma, bisa menjadi salah satu alternatif dalam mengaktualisasikan paradigma tersebut.
Teori induktif/integratif (hermeneutik) yang ditawarkan oleh Fazlurrahman mengandung dua langkah pokok yang dikenal sebagai double movement, yaitu:
“First, one must understand the import or meaning of a given statement by studying the historical situation or problem to which it was the answer. Of course, before coming to the study of spesific texts in the light of spesific situation, a general study of the macro situation in terms of society, religion, customs, and institution, indeed, of life as a whole in Arabia on the eve of Islam and particularly in and around Mecca not ecluding the Perso-Byzantine Wars- will have to be made. The first step of the first movement, then, consists of understanding the meaning of the Qur’an as a whole as well as in terms of the spesific tenents that constitutes responses to spesific situation. The second steps is to generalize those specific answer and enunciate them as statements of general moral-social objectives that can be “distilled” from spesific texts in the light of sociohistorical background and the often stated rationes legis…the second is to be from this general view to the specific view that is to be formulated and realized now. That is, the general has to be embodied in the present concrete sociohistorical contexts.”[30]
Dari tawaran teori induktif/integratif (hermeneutik) Fazlurahman diatas, terlihat bahwa di satu sisi pemahaman terhadap al-Qur’an dan teks-teks keislaman lainnya dalam konteks modernitas saat ini tidak bisa lagi hanya terbatas interpretasinya dari segi grammar maupun sintaksis an-sich, namun harus mempelajari situasi dan latar belakang kehidupan masyarakat Arab baik sebelum Islam datang maupun di dalam masa pewahyuan sehingga menjadi unsur yang harus difahami dalam memahami al-Qur’an sebagai sumber inspirasi lahirnya sebuah hukum.]Dalam hal ini ilmu-ilmu bantu sosial humanities lainnya mutlak diperlukan.
Pada sisi yang lain, kajian ushul fikih hendaknya tidak lagi terbatas pada penemuan norma-norma hukum dan terfokus pada teks-teks saja, namun norma tersebut juga ditemukan di dalam kehidupan manusia dan prilaku masyarakat itu sendiri baik pada masa dulu maupun sekarang sehingga tercipta hubungan yang dialektis. Tentunya menjadi signifikan dalam merumuskan norma-norma tersebut perlu dibuat penjenjangan. Sebagai pengkaji ushul fiqh, kita perlu menelusuri dan mencari mana norma norma dasar atau nilai-nilai filosofis, mana norma-norma tengah (baik asas-asas/kaidah-kadiah), dan mana peraturan kongkret yang bersifat instrumentalis.

No comments:

Post a Comment

Komentar Facebook