Thursday, January 30, 2014

Siyasah al-Syar’iyah



Pengertian Siyasah al-Syar’iyah
H.M.RAKIB  SH.,M.Ag., Drs.


Siyasah itu,  strategi,  
Digunakan dalam, diplomasi.
Mencapai tujuan, dengan hati-hati.
Agar halangan, tidak begitu berarti.

Perkataan siyasah pada penggunaannya di sudut bahasa bermaksud ‘mentadbir , memeneje menata sesuatu perkara persoaloan, dengan baik’ atau ‘pemerintah mentadbir urusan rakyat’.[1]

Perkataan Syari`ah berasal dari perkataan “Syari`at” dalam bahasa Arab, yang dalam penggunaan biasanya dimengertikan sebagai ‘sumber air minum atau pembawaan yang jelas’[2].  Perkataan  ‘Syari`ah’ juga dipakai oleh al-quran dalam banyak ayat antaranya ada yang bermaksud sebagai peraturan hidup yang terkandung dalam suruhan dan larangan dan ada juga yang bermaksud seluruh ajaran agama yang merangkumi aspek keimanan, perundangan dan akhlak.

Manakala ‘Syari`at Islam’ ialah seluruh apa yang disyari`atkan oleh Allah di dalam agama sama ada dengan wahyu atau dengan sunnah rasul saw. Ianya termasuklah perkara-perkara yang berkaitan dengan persoalan akidah dan keimanan, akhlak-akhlak yang mulia dalam perhubungan sesama anggota masyarakat dan hukum-hukum Allah yang berkaitan dengan perbuatan para mukallaf sama ada halal, haram, wajib, sunat dan harus yang dikenali sebagai fiqh dan juga perundangan Islam.[3]


Definasi Siyasah Syar`ieyyah Menurut Istilah.

Para fuqaha’ pula mentakrifkannya sebagai: “Tindakan pemerintah terhadap sesuatu perkara kerana mendapatkan suatu kemaslahatan walaupun tindakan itu tidak mempunyai dalil pada juzu’nya.” Dalam penakrifan lain mereka berkata: “Menguruskan kemaslahatan manusia dengan mengikut  ketentuan syarak.”

Kebanyakan  tulisan yang berkaitan dengan siyasah syar`ieyyah mendefinasikan pengertian siyasah dengan definasi yang berkisar di atas kedua-dua takrif tersebut.

Siyasah syar`ieyyah ialah ilmu yang membincangkan mengenai pentadbiran sesebuah kerajaan Islam yang terdiri daripada undang-undang dan sistem yang  berasaskan kepada asas-asas Islam atau mentadbir urusan umum daulah Islamiah dengan cara yang membawa kebaikan kepada manusia dan mengelakkan mereka daripada kemudharatan, tanpa melanggar sempadan syarak dan asas-asas kulliah walaupun dalam perkara yang tidak disepakati oleh ulama’ mujtahidin.[4]
Oleh itu topik perbincangan siyasah syar`ieyyah dikalangan para fuqaha’ ialah sistem, peraturan dan undang-undang yang diperlukan di dalam mengurus sesebuah negara bertepatan dengan asas-asas agama bagi menjamin pencapaian kemaslahatan kepada manusia, menunaikan segala keperluan mereka dan menjauhkan mereka daripada kemudaratan dunia dan akhirat.



[1] Mu’jam al-Wajiz.
[2] Al-Mu’jam al-Wasit dan Mukhtarus-Sahah dibawah perkataan `Syara`a’
[3] Lihat: Muhammad Yusuf Musa: Al-Madkhal Li-Dirasah al-Fiqh al-Islami, Dar al-Fikr al-`Arabi,1961.
[4] Abdul Wahab Khallaf: Siyasah syar`ieyah Aw Nizam al-Daulah Islamiyah Fu SyuUn al-Dusturiyah wa al-Kharijiyah wa al-Maliyah; Kaherah, Dar al-Ansar. Hal.18

Wednesday, January 29, 2014

SATUAN ACARA PENATARAN GURU AGAMA ...Drs. Mhd.Rakib, S.H., M.Ag..



SATUAN ACARA PENATARAN  GURU AGAMA SEKOLAH DASAR KOTA PEKANBARU

PENATAR      ; : Drs. Mhd.Rakib, S.H., M.Ag.. e-mail pribadi rakib.jamari@gmail.com.       NIP.  1959 0831  1986  011001.    HP:0823  9038  1888..
Pelaksana         :   LPMP RIAU.
Tempat             :   Pekanbaru-
Pokok Bahasan
  1. Mengenal Tuhan dan Sifat Hakikat Manusia sebagai hamba-Nya.
  2. Konsep Dasar Pendidikan Agama Islam,
  3. Tujuan Pendidikan
  4. Aliran-aliran Pendidikan
  5. Pendidikan Manusia Seutuhnya
  6. Pendidikan Formal, Nonformal, dan Informal
  7. Pendidikan Seumur Hidup
  8. Pengaruh Timbal Balik Sekolah dan Masyarakat
  9. Hubungan Pendidikan dan Pembangunan
  10. Sistem Pendidikan Nasional
  11. Masalah-masalah Pendidikan Nasional
  12. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pengembangan Pendidikan
  13. Strategi Peningkatan Kualitas Pendidikan
BUKU WAJIB
  1. Tim Dosen FIP IKIP Malang. 1988. Pengantar Dasar-Dasar Kependidikan. Surabaya: Usaha Nasional.
  2. Sanapiah Faisal. Pendidikan Luar Sekolah di dalam Sistem Pendidikan dan Pembangunan Nasional. Surabaya: Usaha Nasional.
  3. Umar Tirtarahardja. Pengantar Pendidikan.
BUKU ANJURAN
1. OP Dahama & OP Bhatnagar. Education and Communication for Development.
2. Bulletin. Continuing Education in Asia and the Pacific.
3. Ingemar Fagerlind & Lawrrnce J. Saha. Education and National Development.
4. Maurice Buchaile, Bibel Quran Dan Sains Moderen, Bulan Bintang , Jakarta, 1999.

Pekanbaru, 1 September 2013

Drs. Mhd.Rakib, S.H.,M.Ag.


CATATAN:
  1. Setiap  peserta penataran memiliki e-mail pribadi dengan mencantumkan nama pribadi, dan alamat sekolah...
  2. Dalam waktu-waktu tertentu peserta  mengikuti penataran menggunakan media internet di mana pun peserta  dapat melakukan akses perkuliahan (pribadi atau warnet)…
  3.  
  4. FAKTA MENGEJUTKAN
    Wahabi mengharamkan yang halal, tahlilan itu halal dan baik
    MEMBACA YASIN
    lebihB  i  d  '  a   hTerpancing ucapan Sofyan As-Sauri "Pelaku DISAMAKAN ZINA
    disenangi Setan dari pada pelaku maksiat",Drs.M.Rakib Janib Jamari,S.H.,M.Ag 


    Fakta Mengejutkan Tentang  Yasin dan Tahlilan yang Dianggap Haram Oleh Salafi Wahabi


    Wahabi mengharamkan yang halal, tahlilan itu halal dan baik



    KATA PENGANTAR


             Aneh mengapa ada golongan atau sekte baru menyatakan siapa yang membaca Yasin, di tempat orang kematian, disanya sama dengan berzina dengan ibu kandungnya sendiri. Akibat ucapan ini, ada satu masjid di Desa Kubang Pekanbaru yang diruntuhkan orang, masjid itu namanya masjid Saalafy, kejadian tahun 2001. Kini ada fakta lain yang mengejutkan. Logika zina dengan ibu ini, mungkin dipengaruhi oleh ucapan Sofyan Sauri bahawa “ Para pembuat bid’ah itu, lebih ddisenangi  Iblis dibandingkan para pelaku maksiat”.  Penjelasan Konten Tafsir Ibnu Katsir Pada Hlm. 880 (Qs. Yaasin, 36: 13-14)Dalam Miracle The Reference halaman 880 yang belum diperbaiki redaksinya, pada box konten Tafsir Ibnu Katsir untuk QS. Yasin, 36: 13 -14 paragraf 3, terdapat kalimat-kalimat berikut:

    Allah swt. berfirman, “Kemudian Kami kuatkan dengan (utusan) yang ketiga”. Allah mengutus seorang nabi lagi untuk lebih memperkuat utusan usaha kedua nabi sebelumnya. Ibnu Juraij meriwayatkan dari Wahab bin Sulaiman dari Syu’aib al-Jubba’i, nama dua orang nabi yang pertama adalah Syam’un dan Yohanes, sedangkan Nabi ketiga Paulus…”…  dst.

            Pencantuman nama ketiga orang tersebut (terutama Paulus) ternyata menimbulkan kontroversi dan opini-opini tertentu, apalagi bila dikaitkan dengan keyakinan penganut agama Nasrani di zaman sekarang. Perlu kami jelaskan bahwa konten tersebut merupakan terjemahan dari sumber rujukan yang berbahasa arab, yaitu kitab Al misbaahul Muniir fii Tahdziib Tafsiir Ibnu Katsir (Tahkik Syaikh Shafiyurrahman Al Mubarakfury), dan proses penerjemahan diserahkan kepada penerjemah yang kompeten dalam bidang penerjemahan kitab-kitab rujukan keislaman. Dalam kaidah penerjemahan atau pemindahan bahasa dari bahasa arab ke bahasa Indonesia, tidak boleh mengurangi atau menambahkan konten yang asli, karena harus bisa dipertanggungjawabkan secara ilmiah, apalagi tafsir Ibnu Katsir merupakan karya seorang ulama besar yang sudah dikenal di dunia Islam dan menjadi salah satu rujukan para ahli tafsir.





    PENDAHULUAN

               Dari sejak kemunculannya di bumi Nusantara Indonesia, Wahabi paling demen mengumbar vonis atas haramnya (bid’ah) tahlilan. Mungkin mereka tidak menyadari bahwa tindakannya itu terlalu berlebihan yang bisa berakibat merusak Islam. Bagaimana tidak, bukankah itu berarti Wahabi dan pengikut-pengikutnya mengharamkan yang halal atas tahlilan? Bahkan saking rusaknya pemahaman mereka terhadap Islam, mereka tak segan-segan pamer slogan batil: “Pelacur Lebih Mulia daripada Orang-orang Bertahlil (tahlilan). “

    Ada baiknya penulis suguhkan  petikan teks asli yang berbahasa arab yang terdapat dalam kitab Al misbaahul Muniir fii Tahdziib Tafsiir Ibnu Katsir (Tahkik Syaikh Shafiyurrahman Al Mubarakfury) yang menjadi sumber rujukan konten tafsir Ibnu Katsir dalam surat yasin ayat 13 – 14 yang tercantum dalam Miracle The Reference:


            Lihatlah  pada kalimat yang diberi warna kuning terdapat nama Syam’un, Yuhanna (diterjemahkan Yohanes), dan Baulus (diterjemahkan Paulus).

    Dalam beberapa referensi yang dirujuk, di antaranya: Tafsir Ibnu Katsir, Kitab Albidayah Wannihayah;  Tafsir Almunir Fil ‘Aqidah Wal Syari’ah, DR. Alwahbah Zuhaily; Addar Almantsur Fi Attafsir Bilmatsur, Imam Suyuthi; Tafsir Ibnu Abi Hatim; Tafsir Allubab Ibn ‘Adil; Tafsir Ruhul Ma’ani ‘Umdatu Al Qari Syarah Al Bukhari; dan beberapa rujukan lain dalam menafsirkan surat Yasin ayat 13 dan 14,  kata yang (ditulis dalam bahasa arabnya Baulus dengan akhiran huruf sin atau baulush dengan akhiran huruf shad), diterjemahkan dalam bahasa Indonesia menjadi Paulus karena huruf P (dalam huruf latin) ditulis dengan huruf Ba (dalam bahasa arab). Sebagai contoh, Pakistan menjadi Bakistan, Paris menjadi Baris (silakan merujuk buku-buku pelajaran bahasa Arab seperti Al’arabiyah Baina Yadaik karangan tim pakar bahasa Arab, cet. ketiga, Maktabah Almalik Fahd, KSA, th. 2004.

              Dengan demikian, perlu kami sampaikan bahwa PT. Sygma atau Syaamil Quran sebagai penerbit tidak melakukan penafsiran sendiri apalagi mengikuti kehendak dan selera pribadi untuk kepentingan tertentu, karena kami juga memahami bahwa bermain-main dengan ayat Al Quran adalah perbuatan dosa besar yang diancam neraka, sebagaimana dijelaskan dalam sebuah hadis yang artinya,

    Barangsiapa berkata dalam Al Quran (membuat penafsiran) tanpa didasari dengan ilmu maka jadikanlah neraka sebagai tempatnya (HR. Imam Tirmidzi).

             Dalam riwayat lain, rasulullah saw bersabda yang artinya,
    Barangsiapa yang berkata dalam kitab Allah (membuat penafsiran) dengan logikanya sendiri, meskipun kena dalam penafirannya, dia telah keliru (krn tanpa dasar yang benar) HR. Abu Dawud dan Tirmidzi.


             Sekali lagi, Syaamil Al-Quran sebagai penerbit hanya menerjemahkan (alih bahasa) tulisan, gagasan, ide, dan pemikiran Imam Ibnu Katsir Rahimahullah dalam kitab  "Al misbaahul Muniir fii Tahdziib Tafsir Ibnu Katsiir" yang berbahasa arab ke bahasa Indonesia agar memudahkan bagi yang ingin mengkaji kitab tafsir tersebut.
                                                                    
    Apabila ada pihak yang menganggap bahwa penafsiran tersebut keliru, silakan merujuk kepada kitab aslinya yang telah kami sampaikan tersebut, Apalagi kitab yang kami rujuk merupakan karya ulama besar yaitu Imam ibnu Katsir yang ilmunya luas dan memiliki kapasitas di bidang tafsir Al Quran. Dan perlu diketahui bahwa kitab tersebut tersebar luas di dunia Islam termasuk di Timur tengah, sampai saat ini tidak ada satupun negara Islam yang melarang peredaran kitab Al misbaahul Muniir fii Tahdziib Tafsiir Ibnu Katsir tersebut disebabkan karena memuat nama-nama yang menimbulkan perdebatan tersebut.


    REVISI TEKS PADA TAFSIR IBNU KATSIR

    Dari penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa:
    1. Penerbit Syaamil Quran-PT.Sygma bukan melakukan penafsiran sendiri melainkan diambil dari kitab yang sahih dan terpercaya.
    2. Penerjemahan dari teks asli berbahasa Arab ke Bahasa Indonesia telah sesuai dengan kaidah penerjemahan yang berlaku.

    Namun demikian, untuk menjaga kemaslahatan yang lebih besar dan menjaga ukhuwwah Islamiyyah serta wihdatul Ummah, maka kami telah melakukan perbaikan redaksi dalam cetakan Miracle berikutnya (terhitung mulai cetakan Juni-Juli 2012). Kami mengambil intisari kontennya saja dengan tidak menyebutkan nama-nama dari ketiga utusan tersebut. Hasil perbaikannya adalah sebagai berikut: 



    PT. Sygma/Syaamil sebagai penerbit Al Quran dan buku-buku agama Islam, sama sekali tidak mendapat titipan misi apa pun dari siapa pun. Syaamil Quran konsisten dengan upayanya  mendakwahkan nilai-nilai Al-Quran dan Tauhidullah, tanpa intervensi dari pihak manapun, apalagi dari kalangan non-Islam.

    Kami sangat terbuka untuk menerima saran, kritikan dan masukan yang konstruktif dan bermanfaat untuk ummat serta kemajuan perusahaan kami. Oleh karena itu profil perusahaan kami jelas, memiliki legalitas dan adapat diakses dalam situs-situs kami.

    Demikian penjelasan yang dapat kami sampaikan, sebagai tabayyun atas informasi yang beredar. Semoga Allah senantiasa membimbing kita untuk tetap istiqamah dalam kebenaran-Nya.

    Kami sangat berterima kasih kepada semua pihak, termasuk para ulama, ustadz, akademisi yang telah memberikan dukungan serta membantu kami dalam memberikan penjelasan kepada publik. Kami juga berterimakasih kepada rekan-rekan muslim dan muslimah yang tetap memandang hal ini secara positif dan mendukung upaya-upaya informasi yang kami lakukan. Kita semua bersaudara, dan memiliki niatan baik untuk mendapat ridha Allah SWT.
    Fakta Mengejutkan Tentang Tahlilan yang Dianggap Haram Oleh Salafi Wahabi
    Dari sejak kemunculannya di bumi Nusantara Indonesia, Wahabi paling demen mengumbar vonis atas haramnya (bid’ah) tahlilan. Mungkin mereka tidak menyadari bahwa tindakannya itu terlalu berlebihan yang bisa berakibat merusak Islam. Bagaimana tidak, bukankah itu berarti Wahabi dan pengikut-pengikutnya mengharamkan yang halal atas tahlilan? Bahkan saking rusaknya pemahaman mereka terhadap Islam, mereka tak segan-segan pamer slogan batil: “Pelacur Lebih Mulia daripada Orang-orang Bertahlil (tahlilan). “
    Bahkan demi memperkuat vonis Wahabi atas haramnya tahlilan, mereka dengan gegabah membayar seorang Ustadz dari Pulau Bali untuk membuat klaim bahwa tahlilan adalah tradisi Hindu. Hanya orang-orang bodoh yang bisa dikibuli oleh trik-trik dan rekayasa kebohongan Wahabi. Cara membantah klaim tersebut cukup kita ajukan pertanyaan kepada para pemeluk agama Hindu: “Sejak Kapan di agama Hindu Ada Tradisi Tahlilan?”. Pastilah mereka para pemeluk agama Hindu akan bengong karena tidak kenal apa itu tahlilan.
    Untuk lebih mengenal tradisi tahlilan yang diharamkan Wahabi, mari kita simak paparan artikel ilmiyyah tentang fakta-fakta tahlilan berikut ini….
    Tahlilan sampai tujuh hari ternyata tradisi para sahabat Nabi Saw dan para tabi’in
    Siapa bilang budaya berssedekah dengan menghidangkan makanan selama mitung dino (tujuh hari) atau empat puluh hari pasca kematian itu budaya hindu ?
    Di Indonesia ini banyak adat istiadat orang kuno yang dilestarikan masyarakat. Semisal Megangan, pelepasan anak ayam, siraman penganten, pitingan jodo, duduk-duduk di rumah duka dan lainnya. Akan tetapi bukan berarti setiap adat istiadat atau tradisi orang kuno itu tidak boleh atau haram dilakukan oleh seorang muslim. Dalam tulisan sebelumnya al-faqir telah menjelaskan tentang budaya atau tradisi dalam kacamata Syare’at di ; http://warkopmbahlalar.com/2011/strategi-dakwah-wali-songo.html atau di ; http://www.facebook.com/groups/149284881788092/?id=234968483219731&ref=notif&notif_t=group_activity.
    Tidak semua budaya itu lantas diharamkan, bahkan Rasulullah Saw sendiri mengadopsi tradisi puasa ‘Asyura yang sebelumnya dilakukan oleh orang Yahudi yang memperingati hari kemenangannya Nabi Musa dengan berpuasa. Syare’at telah memberikan batasannya sebagaimana dijelaskan oleh Sayyidina Ali bin Abi Thalib saat ditanya tentang maksud kalimat “ Bergaullah kepada masyarakat dengan perilaku yang baik “, maka beliau menjawab:  “Yang dimaksud perkara yang baik dalam hadits tersebut adalah :
    هو موافقة الناس في كل شيئ ما عدا المعاصي
    “ Beradaptasi dengan masyarakat dalam segala hal selain maksyiat “. Tradisi atau budaya yang diharamkan adalah yang menyalahi aqidah dan amaliah syare’at atau hukum Islam.
    Telah banyak beredar dari kalangan salafi wahhabi yang menyatakan bahwa tradisi tahlilan sampai tujuh hari diadopsi dari adat kepercayaan agama Hindu. Benarkah anggapan dan asumsi mereka ini?
    Sungguh anggapan mereka salah besar dan vonis yang tidak berdasar sama sekali. Justru ternyata tradisi tahlilan selama tujuh hari dengan menghidangkan makanan, merupakan tradisi para sahabat Nabi Muhammad Saw dan para tabi’in.
    Perhatikan dalil-dalilnya berikut ini :
    Imam Suyuthi Rahimahullah dalam kitab Al-Hawi li al-Fatawi-nya mengtakan :
    قال طاووس : ان الموتى يفتنون في قبورهم سبعا فكانوا يستحبون ان يطعموا عنهم تلك الايام
    “ Thowus berkata:  “Sungguh orang-orang yang telah meninggal dunia difitnah dalam kuburan mereka selama tujuh hari, maka mereka (sahabt Nabi) gemar (bersedekah) menghidangkan makanan sebagai ganti dari mereka yang telah meninggal dunia pada hari-hari tersebut “.
    Sementara dalam riwayat lain :
    عن عبيد بن عمير قال : يفتن رجلان مؤمن ومنافق, فاما المؤمن فيفتن سبعا واماالمنافق فيفتن اربعين صباحا
    “ Dari Ubaid bin Umair ia berkata: “Dua orang yakni seorang mukmin dan seorang munafiq memperoleh fitnah kubur. Adapun seorang mukmin maka ia difitnah selama tujuh hari, sedangkan seorang munafiq disiksa selama empat puluh hari “.
    Dalam menjelaskan dua atsar tersebut imam Suyuthi menyatakan bahwa dari sisi riwayat, para perawi atsar Thowus termasuk kategori perawi hadits-hadits shohih.
    Thowus yang wafat tahun 110 H sendiri dikenal sebagai salah seorang generasi pertama ulama negeri Yaman dan pemuka para tabi’in yang sempat menjumpai lima puluh orang sahabat Nabi Saw. Sedangkan Ubaid bin Umair yang wafat tahun 78 H yang dimaksud adalah al-Laitsi yaitu seorang ahli mauidhoh hasanah pertama di kota Makkah dalam masa pemerintahan Umar bin Khoththob Ra.
    Menurut imam Muslim beliau dilahirkan di zaman Nabi Saw bahkan menurut versi lain disebutkan bahwa beliau sempat melihat Nabi Saw. Maka berdasarkan pendapat ini beliau termasuk salah seorang sahabat Nabi Saw.
    Sementara bila ditinjau dalam sisi diroyahnya, sebgaimana kaidah yang diakui ulama ushul dan ulama hadits bahwa:  “Setiap riwayat seorang sahabat Nabi Saw yang ma ruwiya mimma la al-majalla ar-ra’yi fiih (yang tidak bisa diijtihadi), semisal alam barzakh dan akherat, maka itu hukumnya adalah Marfu’ (riwayat yang sampai pada Nabi Saw), bukan Mauquf (riwayat yang terhenti pada sahabat dan tidak  sampai kepada Nabi Saw).
    Menurut ulama ushul dan hadits, makna ucapan Thowus ;
    ان الموتى يفتنون في قبورهم سبعا فكانوا يستحبون ان يطعموا عنهم تلك الايام
    berkata: “Sungguh orang-orang yang telah meninggal dunia difitnah dalam kuburan mereka selama tujuh hari, maka mereka (sahabt Nabi) gemar (bersedekah) menghidangkan makanan sebagai ganti dari mereka yang telah meninggal dunia pada hari-hari tersebut “, adalah para sahabat Nabi Saw telah melakukannya dan dilihat serta diakui keabsahannya oleh Nabi Saw sendiri.
    (al-Hawi) li al-Fatawi, juz III hlm. 266-273, Imam As-Suyuthi).
    Maka tradisi bersedekah selama mitung dino / tujuh hari atau empat puluh hari pasca kematian, merupakan warisan budaya dari para tabi’in dan sahabat Nabi Saw, bahkan telah dilihat dan diakui keabsahannya pula oleh beliau Nabi Muhammad Saw.

    .

Komentar Facebook