SEBAIKNYA
PENCERAMAH TAHU APA ITU SHARIH DAN KINAYAH
OLEH DR.MURA
MUBALLIGH IKMI PEKANBARU RIAU
Jangan terlalu harfiyah, terlalu
literlijk, terlalu tekstual, hanya memahami ayat-ayat secara teks yang disebut
kalimat Sharih dan melupakan ayat-ayat
yang bersifat sindiran atau Kinayah. Istilah shorikh dan kinayah harus akrab
di bibir penceramah agama. Misalnya kata-kata “Surga di bawah telapak kaki ibu”.
Apakah memang ada surga di bawah telapak kai ibu?. Inilah kinayah, sindiran,
kiasan saja, jangan kamu takut berjihad, tangan-tangan Allah bekerja untuk
anda, jangan dicari tangan Allah, itu hanya kinayah, bukan kalimat sharih:
1. Pengertian Sharih
Sharih adalah
lafadz yang tidak memerlukan penjelasan. menurut Abdul Azhim Bin Badawi Al-Khalafi, bahwa yang dimaksud dengan
sharih adalah suatu kalimat yang langsung dapat dipahami tatkala diucapkan dan tidak
mengandung makna lain.
Jadi bahwa lafal
sharih adalah talak yang diucapkan dengan tegas yang perkataan tersebut
bermaksud dan bertujuan menjatuhkan talak seperti kata talak atau cerai. Adapun
Contoh lafaz yang Sharih diantaranya:
a. Aku ceraikan kau dengan talak satu.
b. Aku telah melepaskan (menjatuhkan)
talak untuk engkau.
c. Hari ini aku ceraikan kau
Jika suami
melafazkan talak dengan mengunakan kalimah yang "Sharih" seumpama di
atas ini, maka talak dikira jatuh walaupun tanpa niat. Hal ini, senada dengan
pendapat imam Syafi’i dan Abu Hanifah, beliau berkata bahwa talak sharih tidak
membutuhkan niat.
Selan itu,
Jumhur Ulama’ sepakat berpendapat bahwa Talak yang sharih ialah lafaz yang
jelas dari segi maknanya dan kebiasaannya membawa arti talak. Contohnya, seorang
suami berkata kepada isterinya, “Saya ceraikan engkau”. Lafaz tersebut memberi
kesan jatuh talak walaupun tanpa niat.
Sebagaimana
pendapat para ulama diatas, bahwa yang dikatakan talak sharih didalam
pengucapanya terdapat tiga perkataan seperti halnya yang disebutkan oleh Imam
Syafi’i dan segolongan fuqaha Dzahiri. Diantaranya adalah talak (cerai), firaq
(pisah), sarah (lepas). Maka apabila seorang suami megucapkan salah satu dari
ketiga kata tersebut maka jatuhlah talak terhadap istrinya.
2. Pengertian Kinayah
Dikutip dari
Abdul Helim, bahwa Kinayah adalah lafadz yang
memerlukan penjelasan. Menurut Jumhur Ulama
kinayah adalah suatu ucapan talak yang diucapkan dengan kata-kata yang
tidak jelas atau melalui sindiran. Kata-kata tersebut dapat dikatakan lain,
seperti ucapan suami “pulanglah kamu”. Sementara Kinayah pula membawa maksud
kalimah yang secara tidak langsung yang mempunyai dua atau lebih pengertiannya.
Umpamanya jika suami melafazkan kepada isterinya perkataan, sebagai contah
kinayah sebagai berikut:
a. Kau boleh pulang ke rumah orang tua mu.
b. Pergilah engkau dari sini, ke mana
engkau suka.
c. Kita berdua sudah tidak ada hubungan
lagi.
Mengenai talak kinayah ini, para ulama tidak
terjadi perbedaan pendapat mengenai akibat hukumnya, di antaranya
pendapat-pendapat yang diungkapkan para ulama seperti halnya Mazhab Hanbali
mereka berpendapat bahwa talak dengan ucapan kinayah sekiranya suami melafazkan
kepada isterinya dengan niat menceraikannya maka jatuh talak. Selain itu Jumhur
Ulama berpendapat bahwa ucapan talak memakai kata sindiran, kinayah akan jatuh
talaknya apabila dengan adanya niat.
Talak dengan
cara kinayah tidak jatuh kecuali dengan niat seperti yang diterangkan di atas,
kecuali apabila seorang suami dengan tegas mentalak tetapi ia berkata: saya
tidak berniat dan tidak bermaksud mentalak, maka talaknya tetap jatuh. Apabila
seorang menjatuhkan talak secara kinayah tanpa maksud mentalak maka tidak jatuh
talaknya, karena kinayah memiliki arti ganda (makna talak dan selain talak),
dan yang dapat membedakanya hanya niat dan tujuan.
Ibnu Taimiyah r.a
berpendapat bahwa talak tidak berlaku kecuali dia menghendakinya. Beliau
berargumen bahwa amal perbuatan dalam Islam tidak dinilai kecuali dengan adanya
niat. Misalkan seseorang mengerjakan aktivitas shalat dari takbir sampai salam
tetapi tidak meniatkan untuk shalat, maka shalatnya tidak sah. Contoh yang
lain, seseorang melakukan sahur dan makan ketika maghrib, tetapi dia tidak niat
untuk syiam (puasa), maka amal dia ini tidak dianggap sebagai amalan syiam.
Orang duduk di masjid tanpa niat i'tikaf maka dia tidak bisa disebut melakukan
ibadah i'tikaf.