JANGAN GADAIKAN AYATKU DENGAN
HARGA MURAH
Catatan kecil
Dr.Mura Riau
Janganlah kamu jual ayat-ayat-Ku dengan
harga murah. Barangsiapa tidak memutuskan
dengan apa yang diturunkan Allah, maka
mereka itulah orang-orang kafir. (QS. Al-
Maidah: 44)
quran/5-44/.
وَلَا تَشْتَرُوْا بِاٰيٰتِيْ ثَمَنًا قَلِيْلًا ۗوَمَنْ لَّمْ يَحْكُمْ بِمَآ اَنْزَلَ اللّٰهُ فَاُولٰۤىِٕكَ هُمُ
44 :الْكٰفِرُوْنَ ﴿المائدة :
Apa sajakah indikasi “menjual ayat dengan harga murah?” menurut Moeflich
Hasbullah, Dosen Fakultas Adab dan Humaniora, inilah ciri-cirinya:
Pertama, Menyediakan ayat untuk tujuan salah
Menyediakan disini ada tiga
pengetian: Pertama, menyediakan atau memberitahu ayat untuk kepentingan orang
tanpa mengetahui untuk apa penggunaannya. Padahal, mungkin seseorang ingin
mengetahui sebuah ayat untuk tujuan yang salah. Kedua, menyediakan ayat-ayat
Qur’an dalam berbagai kesempatan untuk kepentingan materi dan uang. Misalnya,
mengajar membaca Al-Qur’an atau ceramah agama dengan memasang tarif honor.
Kalau tidak memenuhi tarif yang diminta, ia tidak mau. Jadi, niat utamanya
mencari uang, bukan berdakwah lillâhi ta’âla. Inilah makna pertama “menjual
ayat dengan harga murah” atau “sedikit.”
Kedua, Menjelaskan ayat secara samar-samar
Ciri kedua perilaku
“menjual ayat” adalah mengutip atau menyebutkan sebuah ayat Al-Qur’an secara
samar-samar demi menyenangkan orang atau agar orang tidak tersinggung. Arti
yang “sebenarnya” disembunyikan, agar orang tidak tersinggung, agar enak
kedengarannya, agak kita simpatik. “Tasytaru” (menjual/menukarkan) adalah perilaku memilih-milih ayat Al-Qur’an dalam
berdakwah atau dalam berkomunikasi agar tidak menyinggung orang dipilihlah
ayat-ayat yang lunak, yang menghibur dan menyenangkan, sementara ayat-ayat yang
terdengar keras, pahit dan isinya ancaman Allah tidak diungkapkan. Dengan
begitu, ia tetap laku dan disukai orang lain sebagai mubaligh. “Tasytaru” juga bermakna melegitimasi tindakan,
pikiran, situasi dan persoalan seseorang dengan ayat Qur’an tanpa melihat benar
salahnya.
Pokoknya, agar simpatik, pembicaraan orang
(biasanya pemimpin, penguasa, orang bepengaruh atau teman) kita dukung dengan
ayat Al-Qur’an. Ini adalah bentuk perilaku menjual ayat dengan harga murah.
Ayat Al-Qur’an yang agung dan luhur kita suguhkan tapi dipilih-pilih yang
menyenangkannya saja. Akhirnya, benar-benar harga murah atau kerendahan
derajatlah yang kita dapatkan yaitu kesenangan orang, pujian orang kepada kita
dan sebutan orang bahwa kita ustadz yang bijak dan sebagainya. Padahal
kebenaran dalam Al-Qur’an harus ditunjukkan dan diikuti tanpa pilih-pilih,
kecuali pertimbangan ketepatan bukan selera dan kepentingan duniawi. Inilah
makna kedua yang dimaksudkan Al-Qur’an: “Mereka menukarkan ayat-ayat Allah
dengan harga yang sedikit, lalu mereka menghalangi (manusia) dari jalan Allah.
Sesungguhnya amat buruklah apa yang mereka kerjakan itu.”
Ketiga, Menyampaikan kebenaran tidak tegas
Makna ketiga “menjual ayat
denga harga murah” adalah menyatakan kebenaran dengan tidak tegas agar tidak
terdengar galak. Menyampaikan kebenaran dengan diplomatis dan bijaksana itu
perlu dalam konteks tertentu tapi tidak dengan menghindari ketegasan, kebenaran
dan menyembunyikan ancaman Allah. Kebenaran harus disampaikan apa adanya, tidak
ada yang disembunyikan. Menyampaikan kebenaran tidak boleh takut resiko, kalau
takut resiko ya jangan berdakwah, itu artinya belum siap.
Dakwah menyeru kepada kebenaran adalah
perilaku luhur dan mulia, tapi tentu ada resikonya. Nabi saja banyak yang
membencinya apalagi manusia biasa. Seorang penyeru kebenaran (da’i) harus lebih
takut kepada Allah ketimbang takut pada manusia. Dalam menyampaikan kebenaran,
yang dituju semata-mata ridha Allah bukan simpati manusia. Rasulullah SAW
mengingatkan: “Qulil haqqa walau kâna murran” (sampaikanlah kebenaran walaupun
terasa pahit). Orang yang memilih ayat yang lunak-lunak, yang lembut, agar
mendapat simpati, agar ceramahnya dipakai lagi, agar tetap laku sebagai ustadz,
adalah perilaku “menjual ayat dengan murah” yang disebutkan dalam Al-Qur’an.
Keempat, Tidak mau mengingatkan dan menyampaikan kebenaran
Ini adalah indikasi
keempat dari orang yang menjual ayat dengan harga murah. Ia tidak mau, jarang
bahkan tidak pernah mengingatkan orang, menolak menyampaikan kebenaran yang ia
tahu karena tidak biasa, merasa kagok, segan, takut tidak diberi jabatan dll.
Tahu kebenaran tapi tidak menyampaikan. Ini pun termasuk menjual ayat dengan
harga yang sedikit atau murah. Misalnya, tahu bahwa shalat tidak boleh
ditinggalkan dan tahu juga ayatnya tetapi temannya yang tidak shalat tidak
pernah ditegur dan diingatkan padahal kemana-mana sering bersama. Perasaan
takut menyinggung dan “tidak enak” (yang tidak proporsional) lebih diikuti
daripada menyampaikan kebenaran. Ini termasuk indikasi menjual. Pantun Melayu
Riau menyatakan:
Mengapa
tidak boleh, ikut merayap
Karena
di situ banyak lintah
Mengapa
tidak boleh menjual ayat
Karena
karena bertentangan dengan perintah.
Darimana datangnya lintah,
Dari sawah, turun ke kali.
Darimana, datang perintah,
Dari Allah, turun ke nabi.
Dari sawah, turun ke
kali,
Dari kali turun ke
tebat,
Dari Allah, turun ke
nabi,
Dari nabi, turun ke
ummat.
No comments:
Post a Comment