Monday, August 31, 2020

 

SEBAIKNYA PENCERAMAH TAHU APA ITU SHARIH DAN KINAYAH

 

OLEH DR.MURA MUBALLIGH IKMI PEKANBARU RIAU

 

        Jangan terlalu harfiyah, terlalu literlijk, terlalu tekstual, hanya memahami ayat-ayat secara teks yang disebut kalimat Sharih dan melupakan ayat-ayat yang bersifat sindiran atau Kinayah. Istilah shorikh dan kinayah harus akrab di bibir penceramah agama. Misalnya kata-kata “Surga di bawah telapak kaki ibu”. Apakah memang ada surga di bawah telapak kai ibu?. Inilah kinayah, sindiran, kiasan saja, jangan kamu takut berjihad, tangan-tangan Allah bekerja untuk anda, jangan dicari tangan Allah, itu hanya kinayah, bukan kalimat sharih:

1.        Pengertian Sharih

Sharih adalah lafadz yang tidak memerlukan penjelasan. menurut Abdul Azhim Bin Badawi Al-Khalafi, bahwa yang dimaksud dengan sharih adalah suatu kalimat yang langsung dapat dipahami tatkala diucapkan dan tidak mengandung makna lain.

Jadi bahwa lafal sharih adalah talak yang diucapkan dengan tegas yang perkataan tersebut bermaksud dan bertujuan menjatuhkan talak seperti kata talak atau cerai. Adapun Contoh lafaz yang Sharih diantaranya:

a.           Aku ceraikan kau dengan talak satu.

b.           Aku telah melepaskan (menjatuhkan) talak untuk engkau.

c.           Hari ini aku ceraikan kau

Jika suami melafazkan talak dengan mengunakan kalimah yang "Sharih" seumpama di atas ini, maka talak dikira jatuh walaupun tanpa niat. Hal ini, senada dengan pendapat imam Syafi’i dan Abu Hanifah, beliau berkata bahwa talak sharih tidak membutuhkan niat.

Selan itu, Jumhur Ulama’ sepakat berpendapat bahwa Talak yang sharih ialah lafaz yang jelas dari segi maknanya dan kebiasaannya membawa arti talak. Contohnya, seorang suami berkata kepada isterinya, “Saya ceraikan engkau”. Lafaz tersebut memberi kesan jatuh talak walaupun tanpa niat.

Sebagaimana pendapat para ulama diatas, bahwa yang dikatakan talak sharih didalam pengucapanya terdapat tiga perkataan seperti halnya yang disebutkan oleh Imam Syafi’i dan segolongan fuqaha Dzahiri. Diantaranya adalah talak (cerai), firaq (pisah), sarah (lepas). Maka apabila seorang suami megucapkan salah satu dari ketiga kata tersebut maka jatuhlah talak terhadap istrinya.

 

2.        Pengertian Kinayah

Dikutip dari Abdul Helim, bahwa Kinayah adalah lafadz yang memerlukan penjelasan. Menurut Jumhur Ulama  kinayah adalah suatu ucapan talak yang diucapkan dengan kata-kata yang tidak jelas atau melalui sindiran. Kata-kata tersebut dapat dikatakan lain, seperti ucapan suami “pulanglah kamu”. Sementara Kinayah pula membawa maksud kalimah yang secara tidak langsung yang mempunyai dua atau lebih pengertiannya. Umpamanya jika suami melafazkan kepada isterinya perkataan, sebagai contah kinayah sebagai berikut:

a.         Kau boleh pulang ke rumah orang tua mu.

b.         Pergilah engkau dari sini, ke mana engkau suka.

c.         Kita berdua sudah tidak ada hubungan lagi.

 

       Mengenai talak kinayah ini, para ulama tidak terjadi perbedaan pendapat mengenai akibat hukumnya, di antaranya pendapat-pendapat yang diungkapkan para ulama seperti halnya Mazhab Hanbali mereka berpendapat bahwa talak dengan ucapan kinayah sekiranya suami melafazkan kepada isterinya dengan niat menceraikannya maka jatuh talak. Selain itu Jumhur Ulama berpendapat bahwa ucapan talak memakai kata sindiran, kinayah akan jatuh talaknya apabila dengan adanya niat.

 

Talak dengan cara kinayah tidak jatuh kecuali dengan niat seperti yang diterangkan di atas, kecuali apabila seorang suami dengan tegas mentalak tetapi ia berkata: saya tidak berniat dan tidak bermaksud mentalak, maka talaknya tetap jatuh. Apabila seorang menjatuhkan talak secara kinayah tanpa maksud mentalak maka tidak jatuh talaknya, karena kinayah memiliki arti ganda (makna talak dan selain talak), dan yang dapat membedakanya hanya niat dan tujuan.

 

Ibnu Taimiyah r.a berpendapat bahwa talak tidak berlaku kecuali dia menghendakinya. Beliau berargumen bahwa amal perbuatan dalam Islam tidak dinilai kecuali dengan adanya niat. Misalkan seseorang mengerjakan aktivitas shalat dari takbir sampai salam tetapi tidak meniatkan untuk shalat, maka shalatnya tidak sah. Contoh yang lain, seseorang melakukan sahur dan makan ketika maghrib, tetapi dia tidak niat untuk syiam (puasa), maka amal dia ini tidak dianggap sebagai amalan syiam. Orang duduk di masjid tanpa niat i'tikaf maka dia tidak bisa disebut melakukan ibadah i'tikaf.

No comments:

Post a Comment

Komentar Facebook