MARAH DAN MEMUKUL ANAK, SERING KITA PAKAI SEBAGAI PELAMPIASAN EMOSI DAN
TEKANAN PERASAAN.
M.Rakib LPMP Riau Indonesia.2014
Menurut Ketua
Komnas Perlindungan Anak, Seto Mulyadi: Kekerasan[1] pada
anak juga dipengaruhi oleh tayangan televisi yang marak akhir-akhir ini, namun
semua itu harus disikapi bijaksana oleh para orangtua, seperti mengingatkan
agar anak tidak banyak menonton sinetron televisi yang menayangkan kekerasan. Kekerasan terhadap anak dibagi
dalam 4 bagian utama, yaitu kekerasan fisik, kekerasan seksual, kekerasan karena
diabaikan dan kekerasan emosi. Kekerasan fisik adalah apabila anak-anak disiksa
secara fisik dan terdapat cedera yang terlihat pada badan anak akibat adanya
kekerasan itu. Kekerasan ini dilakukan dengan sengaja terhadap badan anak.
Kekerasan seksual adalah apabila anak disiksa diperlakukan secara seksual dan
juga terlibat atau ambil bagian atau melihat aktivitas yang bersifat seks
dengan tujuan pornografi, gerakan badan, film, atau sesuatu yang bertujuan
mengeksploitasi seks di mana seseorang memuaskan nafsu seksnya kepada orang
lain. Tentang hal ini, anak-anak wajib dilindungi, baik menurut UU RI No.23
Tahun 2002, maupun menurut Hukum Islam, yang saat ini penulis buat
perbandingan. Adapun perbandingan yang penulis lakukan ialah:
1. Bagaimana
konsep pelarangan hukuman fisik terhadap anak-anak menurut Hukum Islam dan Undang-Undang RI
Nomor 23 Tahun 2002.
2. Apa ukuran anak-anak dan dewasa, menurut
Hukum Islam dan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002.
3. Apa maqashid al-syari’ah yang terkait dengan
hukuman fisik, bagi anak-anak?.
Hasil penelitian ini, diharapkan untuk mengisi hal-hal yang diperlukan oleh masyarakat. Kemudian dibatasi,
pada yang berkaitan dengan hukuman fisik
terhadap anak-anak di dunia pendidikan,[2] maka
penulis membuat spesikasi masalahnya,
dalam ruang lingkup konsep dan paradigma pelarangan hukuman fisik menurut hukum Islam dan Undang-Undang Perlindungan anak yang berlaku di Indonesia. Hal yang harus
ditemukan adalah hal yang melanggar hak asasi, bagaimana memberikan solusi masalah
hukuman fisik menjadi sesuatu yang dilematis.[3]
Di samping pelacakan terhadap masalah pokok
ini, penulis juga ingin melacak nilai-nilai sosiologis dan psikologis dan maqashid al-syari’ yang
berada di balik hal-hal yang tersebunyi di balik fakta hukuman fisik. Apakah dapat diketahui maqashid al-syari'ah yang terkandung di dalamnya seoptimal
mungkin, dengan memakai kaedah-kaedah ilmiah dan teori-teori serta analisis
yang dapat dipertanggung jawabkan
secara akademis.
C. Signifikansi Penelitian
Pentingnya penelitian tentang hukuman fisik bagi anak-anak, adalah agar ditemukan
solusi,[4] dari
malapeka yang ditimbulkannya, baik di
lingkungan madrasah dan pesntren, yang terus berlangsung. Akibatnya para ustadz, bisa dilaporkan kepada polisi
dan dimasukkan ke penjara. Itu menurut UU No.23 Tahun 2002, sedangkan hukum Islam menyatakan lain.[5] Tidak ada
subyek yang lebih penting bagi pelajar Islam selain dari apa yang bisa disebut
“hukum Islam”.[6] Hal ini karena
hukum Islam merupakan salah satu ruang ekspresi pengalaman agama yang amat
penting dalam kehidupan orang Muslim. Suatu norma hukum tidak bisa lepas dari
konteks dan pengetahuan masyarakat
setempat (local knowledge). [7] Di Indonesia,
pernyataan ini telah dibuktikan oleh sejarah dimana hukum Islam telah sejak
lama menjadi salah satu sistem yang mengatur kehidupan masyarakat Muslim.[8]
Sejarah mencatat
bahwa perdebatan hangat, bahkan panas, selalu menyertai setiap isu yang
berkaitan dengan usaha penerapan hukum Islam.[9] Kompleksitas
ini tampaknya berkait erat dengan karakter hukum Islam sendiri yang diyakini
sebagai hukum yang memiliki watak ketuhanan (divinely
ordained law). Karena itu penelitian ini dimaksudkan untuk menelusuri sekaligus mengurai problem
penerapan sebahagian hukum Islam di Indonesia dan cara pandang umat Islam dalam
mengaktualisasikan hukum Islam, sehingga dapat memudahkannya menjadi hukum nasional. Hukum[10] adalah
aturan-aturan normatif yang mengatur pola prilaku manusia. Hukum tidaklah
muncul di ruang vakum, melainkan tumbuh dari kesadaran masyarakat yang
membutuhkan adanya suatu aturan bersama. Oleh karena itu, hukum berkembang dan dapat
mengadopsi nilai-nilai yang ada dalam masyarakat, termasuk nilai adat, tradisi,
dan agama. Agama Islam memiliki potensi globalitas maupun lokalitas.
Secara
normatif-teologis, Al-Qur’an sendiri menyatakan bahwa Islam sebagai rahmatan
lil-‘alamin, [11] merupakan pernyataan simbolik dari dimensi globalitas Islam, sementara
dalam ayat yang lain Al-Qur’an juga mengakui adanya
pluralitas-lokalitas-kesukuan (etnisitas) maupun kebangsaan (nasionalitas).[12]
Islam berdimensi universal dan partikular (lokal dan temporal).
Tidak ada
problem ketika Islam harus berdialektika dengan paradigma paradoksal di atas
(kecenderungan global sekaligus lokal). Dalam khazanah hukum Islam klasik, salah satu
teori menyatakan bahwa “al-adah muhakkamah” (tradisi lokal itu bisa dijadikan acuan hukum).[13] Teori
lainnya yang juga dikenal di kalangan juris Islam adalah “al-hukm
yaduru ‘ala ‘illatihi” (hukum itu berlaku menurut
kausalitasnya). Secara teoritik dan historik, khazanah keilmuan klasik telah
sukses dalam mengakomodasi kecenderungan lokal tanpa harus mengabaikan wilayah
Islam yang global. Dengan kata lain, setiap produk hukum harus dilihat sebagai
produk zamannya yang sulit melepaskan diri dari berbagai pengaruh yang
melingkupi kelahirannya, baik itu pengaruh sosio-kultural maupun pengaruh
sosio-politis. Sebagai produk sosial dan kultural, bahkan juga produk politik
yang bernuansa ideologi, hukum (Islam) idealnya selalu bersifat kontekstual. Al-Qur’an lebih
mementingkan tindakan nyata (deed) ketimbang semata-mata gagasan idealistik-rasionalistik.[14] Hal
senada juga ditegaskan oleh Muhammad Marmaduke Pickhall,dalam bukunya Cultural
Side of Islam ia menegaskan:
Baik-tidaknya seseorang dan berhasil tidaknya satu pemikiran atau
konsep, didasarkan atas perbuatan nyata. Perbuatan baik akan melahirkan hasil
yang baik, dan perbuatan jahat melahirkan kejahatan, baik untuk individu maupun
masyarakat. Inilah salah satu inti ajaran Islam, yang dalam sejarah justeru
menentukan bangkit dan runtuhnya peradaban Islam itu sendiri [15].
Marah, sering kita orang tua pakai
pukulan sebagai pelampiasan emosi dan
tekanan perasaan. Sayangnya, kita kerap kurang kontrol ketika meluapkan
kemarahan. Misalnya kepada anak. Akibatnya, anak merasa terpukul serta kecewa.
Bagaimana cara yang baik memarahi anak?
Kegusaran, berang, amarah, diwujudkan melalui berbagai cara dan bentuk. Ada yang sekadar cemberut dan melakukan aksi diam. Sebagian orang melakukannya dengan suara yang tinggi sambil mencak-mencak. Ada pula yang marah sambil ringan tangan mencubit, menampar bahkan memukul orang yang menjadi sasaran amarahnya.
Bukan rahasia lagi, orangtua kerap memukul anaknya dalam melampiaskan amarahnya. Ulah sang anak yang menjengkelkan menjadi alasan mereka menampar atau memukul. Terlebih lagi bila orangtua menghadapi masalah di kantor, emosi tinggi yang muncul terkadang dilampiaskan kepada anak di rumah.
Pakar psikologi anak remaja DR. Seto Mulyadi. Mengatakan, sudah waktunya para oran tua meninggalkan metode marah primitif dalam mengungkapkan kekesalan kepada putra/putrinya. "Meski marah adalah sifat manusiawi, caranya janganlah sampai merugikan atau menyakitkan hati orang lain. Terlebih lagi sampai menghambat pertumbuhan anak-anak,"
Ibarat Kaca
Adalah manusiawi pula bila anak tidak suka ditekan atau disudutkan. Karenanya, mengungkapkan kemarahan dengan cara itu, bukan hanya tak efektif dan sampai pada sasaran, tetapi juga dapat menimbulkan sakit hati pada anak.
"Nah, kalau hendak , mengungkapkan kemarahan, sampaikanlah dengan mempergunakan dengan konsep pesan diri. Jangan sampai murusdk kumunikasi. Karena, pada dasarnya anak tidak ingin divonis dan tidak dihargai.
Pesan diri yang dimaksud adalah mengungkap perasaan atau sikap yang timbul akibat perbuatan anak. Dalam hal ini orang tua menyampaikan kepada putra/putrinya bahwa mereka terganggu dengan perbuatan mereka. Dengan komunikasi yang baik, usahakan anak mengerti persoalan maupun keberatan Anda akibat perilaku mereka. Jangan lagi hanya menuduh, menjelek-jelekkan atau bahkan sampai memukul.
Dengan begitu, lanjut Seto, anak akan mengerti bahwa perilakunya telah menggusarkan dan mengecewakan orang tua. Metode seperti ini secara otomatis akan diserap dan dipraktekkan pula oleh anak kepada setiap orang yang mengganggunya, termasuk orangtua sendiri.
“Anak itu ibarat kaca. Mereka memantulkan apa yang mereka terima dan alami dari orangtuanya. Nah, bukankah lebih baik memberikan 'cahaya' yang baik dan berguna?! Bila mereka menerima bahwa marah tidak identik dengan kekerasan, nantinya mereka akan menerapkan hal tersebut dalam kehidupannya.
Peraih penghargaan The Outstanding Young Persons of the World dari Jaycess International ini memberikan tip yang baik ketika melampiaskan rasa marah. Ketika marah, ujarnya, usahakan agar emosi positif lebih besar daripada emosi negatif. Perbandingannya 75:25.
"Perkembangan emosi seseorang akan sehat bila emosi positifnya lebih besar daripada emosi negatif. Marah memang boleh dan wajar, tapi jangan hanya marah melulu. Tentunya tidak baik bila anak menerima emosi negatif terlalu banyak," papar Seto lagi.
Jangan keburu menyalahkan remaja Anda yang sering tawuran di sekolah, bila Anda sendiri sering memukulnya ketika kesal atau marah. Ketidaksenangannya akan ditampilkan dengan perilaku negatif, seperti berkelahi atau semacamnya. Hal ini is pelajari dari perlakuan orangtuanya kepada dirinya.
Kepada kaum ibu, Seto menekankan pentingnya pemahaman bahwa metode pendidikan anak yang terbaik adalah pendekatan bahasa ibu. Dalam lima tahun pertama usia anak, peran ibu sangatlah besar. Dapat dibayangkan kemungkinan yang terjadi, bila pada usia itu anak sering merigalami luapan emosi negatif dari sang ibu.
Jauhi Kekerasan
Seto juga melihat pentingnya mensimbolisasikan amarah. Artinya, marah tidak harus dengan memukul meja, membanting pintu atau semacamnya. "orangtua harus mengganti kebiasaan itu dengan sikap yang lebih tenang. Dengan diam, misalnya," katanya.
Ketika Anda berdiam kata sambil memandang anak dengan tajam, maka anak akan sadar bahwa perilakunya telah mengganggu atau membuat Anda marah. Sikap seperti ini, menurut Seto, lebih sehat, efektif dan dapat diterima.
Kalaupun hendak memberikan hukuman kepada anak, saran Seto, berikanlah hukuman yang jauh dari kekasaran. Seperti menunda hadiah yang dijanjikan pada anak, bila mereka masih berperilaku tidak sehat. Atau mengurangi/menghentikan uang jajan untuk beberapa waktu.
"Lupakanlah sikap marah yang primitif. Seperti mengyebrak meja, membanting pintu hingga memukul anak. Marah jangan diidentikkan dengan kekasaran," ujar Seto lagi.
Sebaliknya, mulailah marah yang berbudaya, halus dan bernilai seni. Adalah suatu seni tersendiri dapat mengungkapkan amarah tanpa menyakiti hati orang lain. Kunci keberhasilan marah, menurut Seto, adalah keefektifannya. "Bila dengan berdiam diri, tanpa banyak kata, ternyata anak mau mengubah perilaku jeleknya, bukankah itu lebih baik. "Jangan sampai merusak komunikasi."
Jika orangtua sering memukul anak ketika marah, menurut Seto, itu akan mengganggu perkembangan yang sehat dari si anak. "Selain is menjadi anak yang agresif dan sering berperilaku di luar kontrol kewajaran, mereka juga menjadi pribadi yang labil. Karena itulah, kenapa harus memakai kekerasan bila kekerasan itu sendiri tidak akan pernah menyelesaikan masalah, tapi justru menimbulkan masalah baru," paparnya.
Memarahi anak secara primitif, kata Seto, berarti juga membuat anak kehilangan harga dirinya. Akibatnya, akan timbul reaksi atau pemberontakan dari sang anak. Mereka belajar memecahkan masalah dengan marah dan kekerasan, dari orangtuanya. Lalu, timbullah masalah-masalah baru dalam kehidupannya. la selalu berpikir dan bertahya-tanya, Mengapa saya susah sekali menyelesaikan suatu masalah?
Memasuki masa dewasanya nanti, pola-pola pengasuhan dengan kekerasan semakin mempengaruhi daya pikir dan sistem kerjanya. Seto mencontohkan Hitler, seorang pemimpin yang dibesarkan di lingkungan keluarga yang kurang kasih sayang dan kelemahlembutan.
Memang, menurutnya, tidak selamanya anak-anak yang dibesarkan dengan kekerasan akan bermasalah. Pada suatu saat, is dapat saja sadar dan menjauh dari kekerasan. Pengalaman pribadinya dijadikan cambuk untuk tidak meneruskan penderitaan itu kepada orang lain.
Tetapi Seto mengatakan, tentunya perubahan sikap itu turut dipengaruhi oleh lingkungan dan pergaulan si anak. Pelajaran-pelajaran hidup yang diterima anak sangat mempengaruhinya melewati titik kehidupan tersebut. "Itulah sebabnya, orang-orang di sekitar anak, terutama orangtua, sangat berpengaruh bagi perkembangan mereka," jelasnya lagi.
Berbahayanya, bila di lingkungan luar keluarga pun is mendapati banyaknya kekerasan dan emosiemosi yang negatif. Anak yang tadinya berperilaku seperti cermin, dapat berubah menjadi kaca pembesar. Kaca yang dapat meneruskan panas hingga mampu membakar, akibat menerima panas pada titik yang pas. Intinya, anak kemungkinan malah melebihi kebiasaan orangtuanya dalam memandang konsep sejauh mana dan bagaimana amarah boleh diluapkan.
Meskipun marah ala primitif dihindari, namun menurut Seto orangtua jangan pula berlagak malaikat, seolah semuanya berjalan dengan baik. "orangtua cukup berlaku wajar dan manusiawi. Jangan terlalu menerapkan harus begini, harus begitu. Bila harus marah, marahlah apa adanya. Hanya, diarahkan sebagai pesan diri," lanjutnya.
Dengan sering berdiskusi, Anda pun dapat meminta anak sebagai pengontrol emosi Anda ketika sedang marah. "Kalau perlu, minta maaf kepada anak karena Anda telah memarahinya. Putera-puteri Anda pun akhirnya dapat belajar untuk meminta maaf kepada Anda maupun orang lain.
Mungkin sulit dilakukan, sehabis marah Anda meminta maaf pada anak. "Tapi orangtua harus berani berbuat itu. Tidak ada salahnya memulai demi kebaikan bersama. Di situlah letak kemanusiawian kita," jelas Dekan Fakultas Psikologi Universitas Tarumanagara, Jakarta. Nah, kenapa tidak Anda mulai dari Sekarang.
Di kutip dari:
Majalah Higina
Kegusaran, berang, amarah, diwujudkan melalui berbagai cara dan bentuk. Ada yang sekadar cemberut dan melakukan aksi diam. Sebagian orang melakukannya dengan suara yang tinggi sambil mencak-mencak. Ada pula yang marah sambil ringan tangan mencubit, menampar bahkan memukul orang yang menjadi sasaran amarahnya.
Bukan rahasia lagi, orangtua kerap memukul anaknya dalam melampiaskan amarahnya. Ulah sang anak yang menjengkelkan menjadi alasan mereka menampar atau memukul. Terlebih lagi bila orangtua menghadapi masalah di kantor, emosi tinggi yang muncul terkadang dilampiaskan kepada anak di rumah.
Pakar psikologi anak remaja DR. Seto Mulyadi. Mengatakan, sudah waktunya para oran tua meninggalkan metode marah primitif dalam mengungkapkan kekesalan kepada putra/putrinya. "Meski marah adalah sifat manusiawi, caranya janganlah sampai merugikan atau menyakitkan hati orang lain. Terlebih lagi sampai menghambat pertumbuhan anak-anak,"
Ibarat Kaca
Adalah manusiawi pula bila anak tidak suka ditekan atau disudutkan. Karenanya, mengungkapkan kemarahan dengan cara itu, bukan hanya tak efektif dan sampai pada sasaran, tetapi juga dapat menimbulkan sakit hati pada anak.
"Nah, kalau hendak , mengungkapkan kemarahan, sampaikanlah dengan mempergunakan dengan konsep pesan diri. Jangan sampai murusdk kumunikasi. Karena, pada dasarnya anak tidak ingin divonis dan tidak dihargai.
Pesan diri yang dimaksud adalah mengungkap perasaan atau sikap yang timbul akibat perbuatan anak. Dalam hal ini orang tua menyampaikan kepada putra/putrinya bahwa mereka terganggu dengan perbuatan mereka. Dengan komunikasi yang baik, usahakan anak mengerti persoalan maupun keberatan Anda akibat perilaku mereka. Jangan lagi hanya menuduh, menjelek-jelekkan atau bahkan sampai memukul.
Dengan begitu, lanjut Seto, anak akan mengerti bahwa perilakunya telah menggusarkan dan mengecewakan orang tua. Metode seperti ini secara otomatis akan diserap dan dipraktekkan pula oleh anak kepada setiap orang yang mengganggunya, termasuk orangtua sendiri.
“Anak itu ibarat kaca. Mereka memantulkan apa yang mereka terima dan alami dari orangtuanya. Nah, bukankah lebih baik memberikan 'cahaya' yang baik dan berguna?! Bila mereka menerima bahwa marah tidak identik dengan kekerasan, nantinya mereka akan menerapkan hal tersebut dalam kehidupannya.
Peraih penghargaan The Outstanding Young Persons of the World dari Jaycess International ini memberikan tip yang baik ketika melampiaskan rasa marah. Ketika marah, ujarnya, usahakan agar emosi positif lebih besar daripada emosi negatif. Perbandingannya 75:25.
"Perkembangan emosi seseorang akan sehat bila emosi positifnya lebih besar daripada emosi negatif. Marah memang boleh dan wajar, tapi jangan hanya marah melulu. Tentunya tidak baik bila anak menerima emosi negatif terlalu banyak," papar Seto lagi.
Jangan keburu menyalahkan remaja Anda yang sering tawuran di sekolah, bila Anda sendiri sering memukulnya ketika kesal atau marah. Ketidaksenangannya akan ditampilkan dengan perilaku negatif, seperti berkelahi atau semacamnya. Hal ini is pelajari dari perlakuan orangtuanya kepada dirinya.
Kepada kaum ibu, Seto menekankan pentingnya pemahaman bahwa metode pendidikan anak yang terbaik adalah pendekatan bahasa ibu. Dalam lima tahun pertama usia anak, peran ibu sangatlah besar. Dapat dibayangkan kemungkinan yang terjadi, bila pada usia itu anak sering merigalami luapan emosi negatif dari sang ibu.
Jauhi Kekerasan
Seto juga melihat pentingnya mensimbolisasikan amarah. Artinya, marah tidak harus dengan memukul meja, membanting pintu atau semacamnya. "orangtua harus mengganti kebiasaan itu dengan sikap yang lebih tenang. Dengan diam, misalnya," katanya.
Ketika Anda berdiam kata sambil memandang anak dengan tajam, maka anak akan sadar bahwa perilakunya telah mengganggu atau membuat Anda marah. Sikap seperti ini, menurut Seto, lebih sehat, efektif dan dapat diterima.
Kalaupun hendak memberikan hukuman kepada anak, saran Seto, berikanlah hukuman yang jauh dari kekasaran. Seperti menunda hadiah yang dijanjikan pada anak, bila mereka masih berperilaku tidak sehat. Atau mengurangi/menghentikan uang jajan untuk beberapa waktu.
"Lupakanlah sikap marah yang primitif. Seperti mengyebrak meja, membanting pintu hingga memukul anak. Marah jangan diidentikkan dengan kekasaran," ujar Seto lagi.
Sebaliknya, mulailah marah yang berbudaya, halus dan bernilai seni. Adalah suatu seni tersendiri dapat mengungkapkan amarah tanpa menyakiti hati orang lain. Kunci keberhasilan marah, menurut Seto, adalah keefektifannya. "Bila dengan berdiam diri, tanpa banyak kata, ternyata anak mau mengubah perilaku jeleknya, bukankah itu lebih baik. "Jangan sampai merusak komunikasi."
Jika orangtua sering memukul anak ketika marah, menurut Seto, itu akan mengganggu perkembangan yang sehat dari si anak. "Selain is menjadi anak yang agresif dan sering berperilaku di luar kontrol kewajaran, mereka juga menjadi pribadi yang labil. Karena itulah, kenapa harus memakai kekerasan bila kekerasan itu sendiri tidak akan pernah menyelesaikan masalah, tapi justru menimbulkan masalah baru," paparnya.
Memarahi anak secara primitif, kata Seto, berarti juga membuat anak kehilangan harga dirinya. Akibatnya, akan timbul reaksi atau pemberontakan dari sang anak. Mereka belajar memecahkan masalah dengan marah dan kekerasan, dari orangtuanya. Lalu, timbullah masalah-masalah baru dalam kehidupannya. la selalu berpikir dan bertahya-tanya, Mengapa saya susah sekali menyelesaikan suatu masalah?
Memasuki masa dewasanya nanti, pola-pola pengasuhan dengan kekerasan semakin mempengaruhi daya pikir dan sistem kerjanya. Seto mencontohkan Hitler, seorang pemimpin yang dibesarkan di lingkungan keluarga yang kurang kasih sayang dan kelemahlembutan.
Memang, menurutnya, tidak selamanya anak-anak yang dibesarkan dengan kekerasan akan bermasalah. Pada suatu saat, is dapat saja sadar dan menjauh dari kekerasan. Pengalaman pribadinya dijadikan cambuk untuk tidak meneruskan penderitaan itu kepada orang lain.
Tetapi Seto mengatakan, tentunya perubahan sikap itu turut dipengaruhi oleh lingkungan dan pergaulan si anak. Pelajaran-pelajaran hidup yang diterima anak sangat mempengaruhinya melewati titik kehidupan tersebut. "Itulah sebabnya, orang-orang di sekitar anak, terutama orangtua, sangat berpengaruh bagi perkembangan mereka," jelasnya lagi.
Berbahayanya, bila di lingkungan luar keluarga pun is mendapati banyaknya kekerasan dan emosiemosi yang negatif. Anak yang tadinya berperilaku seperti cermin, dapat berubah menjadi kaca pembesar. Kaca yang dapat meneruskan panas hingga mampu membakar, akibat menerima panas pada titik yang pas. Intinya, anak kemungkinan malah melebihi kebiasaan orangtuanya dalam memandang konsep sejauh mana dan bagaimana amarah boleh diluapkan.
Meskipun marah ala primitif dihindari, namun menurut Seto orangtua jangan pula berlagak malaikat, seolah semuanya berjalan dengan baik. "orangtua cukup berlaku wajar dan manusiawi. Jangan terlalu menerapkan harus begini, harus begitu. Bila harus marah, marahlah apa adanya. Hanya, diarahkan sebagai pesan diri," lanjutnya.
Dengan sering berdiskusi, Anda pun dapat meminta anak sebagai pengontrol emosi Anda ketika sedang marah. "Kalau perlu, minta maaf kepada anak karena Anda telah memarahinya. Putera-puteri Anda pun akhirnya dapat belajar untuk meminta maaf kepada Anda maupun orang lain.
Mungkin sulit dilakukan, sehabis marah Anda meminta maaf pada anak. "Tapi orangtua harus berani berbuat itu. Tidak ada salahnya memulai demi kebaikan bersama. Di situlah letak kemanusiawian kita," jelas Dekan Fakultas Psikologi Universitas Tarumanagara, Jakarta. Nah, kenapa tidak Anda mulai dari Sekarang.
Di kutip dari:
Majalah Higina
Masalah hadhonah
dan perlindungan terhadap anak, begitu lengkap di dalam Hukum Islam[16]
karena menjadi manifestasi kehendak Syari’ dalam realitas kehidupan manusia
menuntut terjadinya dialektika antara teks dan realitas. Karena itu, para fuqaha’ berusaha menemukan inovasi dan progresifitas, untuk mewujudkan
kemashlahatan universal manusia dunia
akhirat. Karakter Hukum Islam tidak saja ma’qûl sekaligus ma’mûl.[17] Sebagai upaya menjadikan hukum Islam inovatif
progresif. Berbagai langkah ditempuh agar hukum Islam tidak menjadi asing, pada
lingkungan yang mengitarinya.[18]
Hukum Islam, tidak hanya eksis
pada ranah normatif (law
in book) juga riil (law
in action)
historis kritis, memperjuangkan nasib
anak-anak dan emansipasi dengan melepaskan tradisi
perbudakan dalam budaya Arab melalui sanksi memerdekakan budak. Tidak bisa dipisahkan dengan lingkungan hidup masyarakatnya. Hukum
Islam dituntut berdialektika, sesuai dengan tingkat berfikir masyarakat dan lingkungan sosial, budaya maupun politik,[19]secara simultant dan continue. Kemandekan pada salah satu sisinya akan menjadikan pincang dan
problematik dalam segala sisi kehidupan sosial maupun kebangsaan.[20] Berdasarkan
kajian segala segi Hukum Islam, sudah banyak dilakukan oleh para ulama, dapat menjadi bahan
kajian yang dinamis. Dalam kehidupan manusia, tidak ada ide hukum yang bersifat final, maka kesinambungan kajian tentang
pemikiran yang berkembang, menjadi suatu keniscayaan dan sebagai bagian dari sunnatullah di alam ini. Formulasi
pemikiran yang sistematis dan benar tentunya sangat membutuhkan akan artikulasi
dan kontribusi yang dialogis. Dengan demikian prospek dan perspektif hukum
Islam yang akomodatif-transformatif akan bisa terwujud secara sistematis, jelas dan komprehensif. [21]
Indonesia sebagai negara hukum, memiliki hukum nasional
sendiri, dimaksudkan sebagai pedoman untuk melaksanakan sistem pemerintahan. Dalam
membentuk hukum nasional, bangsa Indonesia mengambil dari tiga sumber hukum, yaitu hukum adat, hukum Islam dan
hukum eks-Barat. Masyarakat Indonesia yang mayoritas menganut agama Islam, tentu harus senantiasa
melaksanakan ajaran ajaran itu. Namun sebagai bangsa yang berpalsafahkan Pancasila juga harus dapat mengakomodir seluruh kepentingan
komponen bangsa, di antaranya
kepentingan umat beragama.[22]
Pengertian
hadhanah
Kata hadhanah
adalah bentuk mashdar dari kata hadhnu ash-shabiy, atau mengasuh
atau memelihara anak. Mengasuh (hadhn) dalam pengertian ini tidak
dimaksudkan dengan menggendongnya dibagian samping dan dada atau lengan.
Secara
terminologis, hadhanah adalah menjaga anak yang belum bisa mengatur dan
merawat dirinya sendiri, serta belum mampu menjaga dirinya dari hal-hal yang
dapat membahayakan dirinya. Hukum hadhanah inihanya dilaksanakan ketika
pasangan suami istri bercerai dan memiliki anak yang belum cukup umur untuk
berpisah dari ibunya. Hal ini diseabkan karena sianak masih perlu penjagaan,
pengasuhan, pendidikan, perawatan dan melakukan berbagai hal demi
kemaslahatannya. Inilah yang dimaksu dengan perwalian (wilayah).
Hukum Hadhanah
Hadhanah (pengasuhan
anak) hukumnya wajib, karena anak yang masih memerlukan pengasuhan ini akan
mendapatkan bahaya jika tidak mendapatkan pengasuhan dan perawatan, sehingga
anak harus dijaga agar tidak sampai membahayakan. Selain itu ia juga harus
tetap diberi nafkah dan diselamatkan dari segala hal yang dapat merusaknya.
Hadhanah sangat terkait dengan tiga hak:
- Hak wanita yang mengasuh.
- Hak anak yang diasuh.
- Hak ayah atau orang yang menempati posisinya.
Jika
masing-masing hak ini dapat disatukan, maka itulah jalan yang terbaik dan harus
ditempuh. Jika masing-masing hak saling bertentangan, maka hak anak harus
didahulukan daripada yang lainnya. Terkait dengan hal ini ada beberapa hal yang
perlu diperhatikan.
pertama, pihak ibu terpaksa harus mengasuh anak jika
kondisinya memang memaksa demikian karena tidak ada orang lain selain dirinya
yang dipandang pantas untuk menasuh anak.
kedua,
si ibu tidak
boleh dipaksa mengasuh anak jika kondisinya memang tidak mengharuskan demikian.
sebab mengasuh anak itu adalah haknya dan tidak ada mudharat yang dimungkinkan
akan menimpa sianak karena adanya mahram lain selain ibunya.
ketiga, seorang ayah tidak berhak merampas anak dari
orang yang lebih berhak mengasuhnya (baca: ibu) lalu memberikannya kepada
wanita lain kecuali ada alsan syar’i yang memperbolehkannya.
keempat, jika ada wanita yang bersedia menyusui selain
ibu si anak, maka ia harus menyusui bersama (tinggal serumah) dengan si ibu
hingga tidak kehilangan haknya mengasuh anak.
Urutan Orang
yang Berhak Mengasuh Anak.
Mengingat bahwa
wanita lebih memahami dan lebih mampu mendidik, disamping lebih sabar, lebih
lembut, lebih leluasa dan lebih sering berada bersama anak, maka ia lebih
berhak mendidik dan mengasuh anak dibandingkan laki-laki. Hal ini berlangsung
hanya pada usia-usia tertentu, namun pada fase-fase berikutnya laki-laki yang
lebih mampu mendidik dan mengasuh anak dibandingkan wanita.
Ibu adalah
wanita yang paling berhak mengasuh anak
Jika wanita lebih
berhak mendidik dan mengasuh anak daripada laki-laki, maka -sesuai ijma
ulama- ibu kandung sianak tentu lebih berhak mengasuh anaknya setelah
terjadi perpisahan (antara suami dan istrinya), baik karena talak, meninggalnya
suami atau suami menikah dengan wanita lain, karena ibu jauh memiliki
kelembutan dan kasih sayang, kecuali jika ada penghalang yang menghapuskan hak
si ibu untuk mengasuh anak.
Diriwayatkan
dari Amr bin Syu’aib dengan menukil dari ayahnya, dari : “rkakeknya bahwa ada seorang wanita yang mengadu
kepada Rasulullah Wahai RAsulullah, anak ini dulu pernah menjadikan perutku
sebagai wadahnya, payudaraku sebagai sumber minumnya dan kamarku sebagai
rumahnya. Kini ayahnya telah menceraikanku dan ingin merampasnya dariku.
bersabdar” Rasulullah kepada wanita ini “Kamu lebih berhak
terhadapnya selama kamu belum menikah lagi“. (hasan HR Abu Daud, Ahmad
dan Al-Baihaqi)
Urutan orang
yang berhak mengasuh anak setelah ibu kandung
Ulama berbeda
pendapat siapa yang paling berhak mengasuh anak setelah ibu kandung atau urutan
hak asuh anak jika ternyata ada penyebab yang menghalangi ibu kandung untuk
mendapatkan hak asuhnya. Perbedaan pendapat ini disebabkan tidak adanya dalil qath’i
yang secara tegas membahas masalah ini. Hanya saja ke-empat imam madzhab lebih
mendahulukan kalangan kerabat dari pihak ibu dibandingkan dari kalangan kerabat
dari pihak ayah dalam tingkat kerabatan yang sama (misalnya mendahulukan nenek
dari pihak ibu dari pada nenek pihak ayah).
Kalangan
Madzhab Hanafi berpendapat
bahwa orang yang palin berhak mengasuh anak adalah:
1.
Ibu kandungnya
sendiri
2.
Nenek dari
pihak ibu
3.
nenek dari
pihak ayah
4.
saudara
perempuan (kakak perempuan)
5.
bibi dari pihak
ibu
6.
anak perempuan
saudara perempuan
7.
anak perempuan
saudara laki-laki
8.
bibi dari pihak
ayah
Kalangan
Madzhab Maliki berpendapat
bahwa urutan hak anak asuh dimulai dari:
1.
Ibu kandung
2.
nenek dari
pihak ibu
3.
bibi dari pihak
ibu
4.
nenek dari
pihak ayah
5.
saudara
perempuan
6.
bibi dari pihak
ayah
7.
anak perempuan
dari saudara laki-laki
8.
penerima wasiat
9.
dan kerabat
lain (ashabah) yang lebih utama
Kalangan
Madzhab Syafi’i berpendapat
bahwa hak anak asuh dimulai dari:
1.
Ibu kandung
2.
nenek dari
pihak ibu
3.
nenek dari
pihak ayah
4.
saudara
perempuan
5.
bibi dari pihak
ibu
6.
anak perempuan
dari saudara laki-laki
7.
anak perempuan dari
saudara perempuan
8.
bibi dari pihak
ayah
9.
dan kerabat
yang masih menjadi mahram bagi sianak yang mendapatkan bagian warisan ashabah
sesuai dengan urutan pembagian harta warisan. Pendapat Madzhab Syafi’i sama
dengan pendapat madzhab Hanafi.
Kalangan
Madzhab Hanbali
1.
ibu kandung
2.
nenek dari
pihak ibu
3.
kakek dan ibu
kakek
4.
bibi dari kedua
orang tua
5.
saudara
perempuan se ibu
6.
saudara
perempuan seayah
7.
bibi dari ibu
kedua orangtua
8.
bibinya ibu
9.
bibinya ayah
10.
bibinya ibu
dari jalur ibu
11.
bibinya ayah
dari jalur ibu
12.
bibinya ayah
dari pihak ayah
13.
anak perempuan
dari saudara laki-laki
14.
anak perempuan
dari paman ayah dari pihak ayah
15.
kemudian
kalangan kerabat dari urutan yang paling dekat.
SYARAT
MENDAPATKAN HAK ASUH ANAK (HADHANAH)
Kalangan ahli
fiqih menyebutkan sejumlah syarat untuk mendapatkan hak asuh anak yang harus
dipenuhi. Jika syarat ini tidak terpenuhi, maka hak asuh anak hilang,
syarat-syarat tersebut adalah:
Syarat
pertama dan kedua, berakal dan
telah baligh, sebab kelompok ini masih memerlukan orang yang dapat menjadi wali
atau bahkan mengasuh mereka. Jika mereka masih membutuhkan wali dan membutuhkan
pengasuha, maka merekpun tidak pantas untuk menjadi pengasuh untuk orang lain.
Syarat
kedua, Agama yang
mengasuh haruslah sama dengan agama anak yang diasuh, sehingga orang kafir
tidak berhak mengasuh anak Muslim. Hal ini didasarkan pada dua hal:
- Orang yang mengasuh pasti sangat ingin anak yang diasuhnya sesuai dengan ajaran agama yang dianutnya. dan ini adalah bahaya terbesar yang dialami sianak. Dan telah dijelaskan dalam :“rsabda Rasulullah Setiap anak lahir dalam keadaan fitrah (suci), maka kedua orangtuanyalah yang menjadikan dia sebagai Yahudi, Nashrani atau Majusi.” (HR Bukhari dan Muslim) Hadits ini menunjukkan bahwa agama anak tidak aman jika diasuh oleh orang kafir.
- Hak asuh
anak itu sama dengan perwalian. berfirman :IAllah
“dan Allah sekali-kali tidak akan memberi jalan kepada orang-orang kafir untuk memusnahkan orang-orang yang beriman.” (QS Ani-Nisaa’:141)
Syarat
ke empat, mampu
mendidik, sehingga orang yang buta, sakit, terbelenggu dan hal-hal lain yang
dapat membahayakan atau anak disia-siakan maka tidak berhak mengasuh anak.
Syarat
kelima, ibu kandung
belum menikah lagi dengan lelaki yang lain, berdasarkan sabda rNabi : “Kamu lebih berhak
dengannya selama kamu belum menikah lagi” (hasan. ditakhrij oleh Abud Dawud
2244 dan An-Nasa’i 3495)
Berakhirnya
Masa Pengasuhan dan Konsekuensinya.
Jika si anak
sudah tidak lagi memerlukan bantuan orang lain untuk memenuhi kebutuhan
pribadinya sehari-hari, telah mencapai usia mumayyiz dan sudah dapat memenuhi
kebutuhandasarnya seperti makan, minum memakai pakaian dan lain-lainnya, maka
masa pengasuhan telah selesai.
Manakala masa
pengasuhan ini telah berakhir, apakah yang harus dilakukan si anak ? Jika kedua
orang tua sepakat untuk mengikutkan anak tinggal bersama salah seorang dari
kedua orang tua, maka kesepakatan ini dapat dilaksanakan. tetapi jika kedua
orangtua masih berselisih, maka ada duahal yang harus diperhatikan:
Pertama, anak yang diasuh adalah laki-laki. Terkait
dengan anak laki-laki yang telah selesai masa pengasuhannya, muncul tiga
pendapat dikalangan ulama:
- Madzhab Hanafi, Ayah lebih berhak mengasuh si anak. dengan alasan bahwa jika seorang anak laki-laki sudah bisa memnuhi kebutuhan dasarnya, maka yang ia butuhkan adalah pendidikan dan perilaku seorang laki-laki. Dalam hal ini si ayah lebih mampu dan lebih tepat.
- Madzhab Maliki, Ibu lebih berhak selama si anak belum baligh.
- Madzhab Asy-syafi’i dan Ahmad, Anak diberi kesempatan untuk memilih salah satu diantara keduanya, berdasrkan hadits Abu Hurairah: Seorang perempuan datang menghadap dan berkata, “rNabi Wahai Rasulullah. suamiku ingin membawaserta anakku dan anakku telah meminumiku dari sumur Abu Inabah serta memberi manfaat padaku. bersabda: “r” Rasulullah Berundilah kalian berdua untuknya.” Si suami menukas “Siapa yang lebih berhak daripada aku terhadap anakku? bersabda pada sianak agar memilih, “r” Nabi Ini ayahmu dan ini Ibumu. Ambillah tangan salah satu dari keduanya yang kamu suka” Ia meraih tangan ibunya, dan lantas si ibupun pergi dan mebawanya. (Haduts shahih, ditakhrij oleh Abu Dawud 2277, An-Nasa’i 3496 dan At-Tirmidzi 1357). Dari hadits diatas diketahui bahwa konsep pengundian (qur’ah) harus didahulukan daripada memberikan kesempatan memilih. Akan tetapi dengan melihat apa yang dilakukan oleh para khalifah, memberikan kesempatan memilih lebih didhalukan daripada cara pengundian. Diriwayatkan bahwa ada orang yang mengadukan perselisihan . Ia menjawab, “tmasalah anak kepada Umar Ia sebaiknya tinggal bersama ibunya sampai ia pandai berbicara, kemudian ia diberi kesempatan untuk memilih.“(Sanad shahih, ditakhrij oleh Abdurrazaq 12606 dan Sa’id bin Manshur 2263).
Diriwayatkan telah memberikan kesempatantjuga dari Imarah bin Ru’aibah bahwasannya Ali kepadanya untuk memilih antara (ikut) dengan
ibunya atau pamannya. Imarah lebih memilih ikut ibunya. Ali berkata “Kamu
dapat hidup bersama ibumu. Nanti jika saudaramu (baca:adikmu) telah mencapai
usia seperti usiamu saat ini, maka berikanlah kesempatan kepadanya untuk
memilih seperti yang kau lakukan ini.” Imarah berkata, “Ketika itu saya
sudah beranjak remaja (ghulam).” (Sanadnya Dha’if ditakhrij oleh Abdurrazaq
12609, Sa’id bin Manshur 2265 dan al-Baihaqi 8/4).
Ibnu Qayyim
menyebutkan bahwa memberi kesempatan memilih dan mengundi hanya dapat dilakukan
apabila kedua cara ini memberikan kemaslahatan bagi si anak. Kalau memang ibu
dipandang lebih dapat melindungi anak dan lebih bermanfaat dibanding ayahnya,
maka dalam kasus ini merawat anak harus didahulukan tanpa harus
mempertimbangkan cara mengundi dan memilih.
Kedua, anak yang diasuh adalah anak perempuan. Para
Ulama berbeda pendapat, Kalangan Madzhab Maliki
berpendapat bahwa anak tetaptinggal bersama ibunya hingga anaka perempuan
tersebut menikah dan telah berhubungan intim dengan suaminya. Dengan mengacu
padapendapat Imam Ahmad, kalangan madzhab Hanafi berpendapat bahwa manakala
telah mengalami menstruasi anak perempuan diserahkan kepada ayahnya. Kalangan
Madzhab Hanbali berpendapat bahwa anak diserahkan kepada ayahnya apabila telah
mencapai usia 7 tahun.
Ketiga Imam
madzhab sepakat bahwa anak ini tidak diberi kesempatan untuk menentukan
pilihan. Sementara itu Syafi’i berpendapat bahwa perempuan diberi kesempatan
menentukan pilihan seperti anak laki-laki dan dia berhak untuk hidup bersama
orang yang menjadi pilihannya (ayahnya atau ibunya).
Ibnu Taimiyyah
lebih memilih berpendapat bahwa anak perempuan tidak diberi kesempatan memilih.
Ia bisa hidup bersama salah satu dari keduanya apabila orangtua yang ia
ikuti ini taat kepada Allah dalam mendidik anak. (Majmu Fatawa Ibnu Taimiyyah)
(Dalam abiyazid.wordpres: syarat mendapatkan hak asuh anak hadhanah)
[1] Kekerasan
(Bullying) menurut Komisi Perlindungan Anak (KPAI) adalah
kekerasan fisik dan psikologis berjangka panjang yang dilakukan seseorang atau
kelompok terhadap seseorang yang tidak mampu mempertahankan diri dalam situasi
dimana ada hasrat untuk melukai atau menakuti orang atau membuat orang
tertekan, trauma/depresi dan tidak berdaya. Bandingkan, Nabil Kazim
Muhammad, Mendidik Anak Tanpa Keklerasan, ( terj.Abdi Parmi),( Jakarta Timur,
Pustaka Al-Kautsar, : 2008), 81
[2]
Penulis ingin
memberikan jawaban dan menyumbangkan suatu solusi dari sebuah malapetaka
kekerasan, terhadap anak-anak. Peristiwa yang lebih baru dan yang lebih menohok
HAM dan peradaban adalah adanya
peristiwa pembunuhan anak yang dilakukan orang tuanya sendiri. Di Kecamatan
Cilincing, Jakarta Utara, gadis usia tujuh tahun yang sering dianiaya, dibunuh ibu
tirinya setelah diperkosa pamannya sendiri (Kompas, 3/1/2006).
[3] Setelah mendengar vonis majelis hakim di Pengadilan
Tinggi Takengon atas dakwaan terhadap rekannya Syaiful, terkait tuduhan
pelanggaran pidana pasal 80 ayat 1 Undang-undang nomor 23 tahun 2002, ribuan
guru mendatangi kantor Dewan Perwakilan Rakyat Kabupaten (DPRK) Aceh Tengah
dengan berjalan kaki dari kantor pengadilan dan sempat berorasi di lapangan
Musara Alun Takengen menunggu kedatagan ribuan guru dari kabupaten Bener
Meriah, mereka menuntut di-qanunkan perlindungan terhadap guru. Kamis (7/4/2009)
[4] Makna “penting”; ,benar, tidak didasarkan secara
kebetulan. Nilai signifikansi dari suatu hipotesis adalah nilai kebenaran dari
hipotesis yang diterima atau ditolak. Hasil penelitian dapat benar tapi tidak
penting. Signifikansi/probabilitas/α memberikan gambaran mengenai bagaimana
hasil penelitian itu mempunyai kesempatan untuk benar. Jika kita memilih
signifikansi sebesar 0,01, maka artinya kita menentukan hasil penelitian nanti
mempunyai kesempatan untuk benar sebesar 99% dan untuk salah sebesar 1%..Lihat
Listia Laode Arham Lian Gogali, op.cit.,131.
[7] Konskuensi lebih jauh dari pandangan ini
adalah bahwa kehendak hukum ideal menjadi tidak mudah dikembangkan bila tidak
disertai dengan institusi sosial di mana hukum itu dapat direalisasikan. Dalam
bahasa sehari-hari, suatu peraturan material tidak akan dapat diterapkan
bilamana tidak disertai dengan hukum formalnya. Bagaimana suatu hukum dibuat
dan diterapkan dan proses hukum mana pula akan menjadi pilihan masyarakat dalam
menyelesaikan perkara. Lihat Jawahir Thontowi, Pesan Perdamaian Islam (Yogyakarta: Madyan Press, 2001), 133.
[8] Perhatikan kembali catatan sejarah tentang
pro-kontra yang mengiringi lahirnya UU Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan
atau UU Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama. Hal yang sama, barangkali
akan terjadi pada rencana mengangkat Kompilasi Hukum Islam (KHI) menjadi
Undang-Undang sebagai hukum materiil di lingkungan Peradilan Agama yang sat ini
masih belum memadai.
4.Sekedar agar tidak menjadi ahistoris bahwa dalam sejarah hukum dan social bangsa Indonesia
keberadaan dan pelaksanaan hukum Islam di Indonesia
bukan sebatas romantisme atau nostalgia belaka dari pelaksanaannya pada era
Madinah, melainkan telah menjadi living law jauh sebelum masuknya hokum Belanda. Hukum
Islam berikut pendidikannya mulai dibangun dan menjadi bagian kehidupan
masyarakat Indonesia sejak abad 14. Lihat Nbil Kazhim Muhammad, op.cit., 58
[10] Sampai saat ini, belum ada kesepakatan ahli hukum Barat, tentang
definisi hukum, karena memang kesepakatan mengenai definisi itu merupakan
utopia. Para ahli mengemukakan beragam definisi tentang hukum sesuai dengan
sudut pandang masing-masing. Keragaman tersebut sebenarnya lebih banyak
disebabkan oleh perbedaan cara melihat hukum itu sendiri dari pada perbedaan
pandanagn tentang apa yang dimaksud hukum. Seperti disinggung oleh Hart, orang
yang bergerak dalam bidang hukum umumnya mengetahui apa hukum tersebut, tetapi
ia sering mendapat kesulitan untuk menerangkannya kepada orang lain dalam
bentuk sebuah definisi yang tegas. Lihat H.L.A. Hart, The Concept of Law, 2nd Edition
(New York: Oxford University Press, 1994), 13-14.
[13] Peran actual adat dalam
penciptaan hukum senantiasa terbukti lebih penting dari pada apa yang kita
duga. Dalam banyak hal, adapt terbukti dipakai tidak hanya dalam kasus-kasus
yang tidak terdapat jawaban konkretnya dalam al-Qur’an maupun hadits. Lebih
dari itu, fakta menunjukkan bahwa sejak masa awal pembentukan hukum Islam,
kreteria adat lokal justru cukup kuat untuk mengalahkan praktek hukum yang
dikabarkan berasal dari Nabi sendiri. Lihat N.J. Coulson, “Muslim Customs and
Case-Law”, dalam The World of
Islam, 6/1-2 (1959), 14;
juga Joseph Scacht, The
Origins of Muhammadan Jurisprudence (Oxford:
The Clarendon Press, 1975), 64. Bandingkan
Abd. Al-Wahhab al-Khallaf, ‘Ilm
Usul al-Fiqh (Kuwait: Dar
al-Kuwaytiyyah, 1968), 90. dan Muhammad Iqbal, The Reconstruction of Religious
Thought in Islam (New Delhi:
Kitab Bhavan, 1981), 146.
[16] Istilah hukum Islam terdiri dari dua kata: hukum dan Islam, dan secara mendasar tidak terlalu salah jika
dikatakan bahwa kedua kata tersebut berasal dari bahasa Arab yang kemudian
telah meng-Indonesia. Dalam bahasa Latin lainnya, hukum Islam itu dikenal
dengan Islamic law (Inggris), droit musulman (Prancis), Islam-recht (Belanda), Lihat
Akh. Minhaji, Hukum Islam: Antara Sakralitas dan
Profanitas (Perspektif Sejarah Sosial),Pidato Pengukuhan Guru Besar Sejarah Sosial Pemikiran
Hukum Islam Pada Fakultas Shari’ah Tanggal 25 September (Yogyakarta: UIN, 2004) , 30.
[18] Yayan Sopyan, Tarkh Tasyari’,
Sejarah Pembentukan Hukum Islam. Lihat juga Joseph Scacht, An Introduction to Islamic Law (London: Clarendon Press, 1996), 1. Pernyataan
senada, yang menunjukkan arti penting hukum bagi orang Muslim, juga dilontarkan
oleh Frederick M. Denny, “Islamic Theology in the New World, Some Issues and
Prospects,” dalam Journal of the American
Academy of Religion, Vol.
LXII, No. 4 (1994), 1069; Liebesny, The Law of the Near and Midle East,
Readings, Cases, and Materials (New York: State University of New York Press, 1975),
3; J.N.D. Anderson, Law Reform in the Muslim World (London: The Clarendone Press, 1976), 1; dan
H.R. Gibb, Mohammedanism (Oxford: Oxford University Press, 1967),
7.
[20] Untuk kajian tentang
masyarakat Madani (civil society), baca beberapa tulisan misalnya,
Nurcholis Madjid, “Menuju Masyarakat Madani,” dalam Ulumul Qur’an, No. 2/VII
(1996), 51-55; Muhammad AS Hikam, Demokrasi
dan Civil Society ((Jakarta:
LP3ES, 1999); Dawam Rahardjo, “Masyarakat Madani di Indonesia: Sebuah
Penjajakan Awal,”; Bahtiar Effendy, “Wawasan al-Qur’an tentang Masyarakat
Madani: Menuju Terbentuknya Negara-Bangsa yang Modern,” dan Muhammad AS Hikam,
“Wacana Intelektual tentang civil Society di Indonesia, “ dalam Jurnal Pemikiran Paramadina, Vol.1, No.2 (1999), 7-87; Ahmad
Syafi’i Ma’arif, Universalisme Nilai-Nilai Politik Islam Menuju Masyaakat
Madani,” dalam Profetika, Vol. 1, No.2 (1999), 165-176;
Ahmad Basho, Civil Society
Versus Masyarakat Madani: Arkeologi Pemikiran “Civil Society” dalam Islam
Indonesia(Bandung: Pustaka Hidayah, 1999),
[22]
Hairul Sani,
Peranan hukum Islam dalam
pembinaan hukum nasional, Undergraduate es Dissertation from LAPTIAIN /
2002-06-21 10:00:00IAIN Raden Intan Bandar Lampung
2001-05-31, dengan 1 file. Internet. Lihat juga Muhammad Khubairi, Kecerdasan Fuqaha’dan Kecerdikan Khulafa’(terj), (Jakarta, Pustaka Al-Kautsar, 2007), 91.
2001-05-31, dengan 1 file. Internet. Lihat juga Muhammad Khubairi, Kecerdasan Fuqaha’dan Kecerdikan Khulafa’(terj), (Jakarta, Pustaka Al-Kautsar, 2007), 91.
No comments:
Post a Comment