Catatan
Singkat M.Rakib, tentang RUU Anti Terorisme
PANTUN ANTI TERORISME
|
|
|
M.Rakib, LPMP Riau Indonesia
KUTIPAN CATATAN SINGKAT RUU ANTI
TERORISME
Penulis
tertarik dengan tulisan dari Hikmahanto Juwana Tentang dan UU anti Teror pernah digunakan untuk tujuantujuan
komersial. Pelaku teror melakukan ancaman untuk mendapatkan uang. Dalam
perjalanannya, kegiatan terorisme bergeser untuk tujuan pelepasan orang yang
sedang menjalani hukuman. Selanjutnya, tindakan terorisme lebih bernuansa dan
bertujuan politik.Dalam hukum
internasional, terorisme dibicarakan dalam konteks negara mana yang mempunyai
yurisdiksi terhadap tindakan yang menggunakan teror. Hukum internasional tidak
memandang terorisme sebagai kejahatan internasional. Oleh karenanya, yurisdiksi
negara ditentukan berdasarkan asas teritorial, asas nasionalitas, dan asas
perlindungan (protective principle).
Masalah terorisme dengan cara membajak pesawat udara menjadi perhatian
masyarakat internasional pada 1970-an. Padahal pada 1963 telah dibuat
perjanjian internasional untuk memerangi tindakan yang membahayakan pesawat
udara atau dikenal dengan Convention on the Offences and Certain Other Acts
Committed on Board Aircraft. Mengingat pesawat udara dapat menempuh
beberapa negara dalam waktu yang sangat singkat, dipertanyakan negara manakah
yang mempunyai yurisdiksi untuk memeriksa dan mengadili pelaku terorisme. Pada
1970 masyarakat internasional berhasil menyepakati sebuah perjanjian
internasional yang diberi nama Convention for the Suppression of Unlawful
Seizure of Aircraft.
Masalah terorisme muncul kembali setelah peristiwa 11 September 2001 dengan
ditabraknya Twin Tower WTC di New York oleh dua pesawat komersial yang
dikemudikan oleh para teroris. Amerika Serikat sebagai korban tindakan
terorisme sejak saat itu giat mengkampanyekan tindakan anti-terorisme.
Kampanye anti-terorisme AS
Tragedi 11 September 2001 telah memicu Pemerintah Amerika Serikat (AS)
untuk melancarkan kampanye anti-terorisme ke dalam negeri maupun ke berbagai
penjuru dunia. Ke luar negeri, kampanye ini bermula dengan upaya AS untuk
menangkap Osama bin Laden dan para pengikutnya.
Kemudian dilanjutkan dengan penyerangan terhadap pemerintahan Taliban di
Afghanistan, mendemamkan di PBB dan berbagai organisasi internasional tentang
bahaya laten terorisme, meminta pemerintahan sejumlah negara untuk
memberlakukan perundang-undangan anti-terorisme, hingga pernyataan dari Deputi
Menteri Pertahanan Paul Wolfowitz yang akan melakukan sweeping terhadap sejumlah negara yang diduga menjadi kantung
kelompok teroris, termasuk Indonesia.
Memang terorisme dalam segala bentuk harus diperangi. Memperjuangkan
sesuatu tidak seharusnya menggunakan teror atau kekerasan. Namun, fenomena
kebijakan luar negeri Washington dalam mengkampanyekan anti-terorisme ke
berbagai penjuru dunia perlu untuk dikritisi.
Pertama,
Pemerintah AS telah mengambil peran sebagai otoritas satu-satunya yang dapat menentukan apa yang dimaksud dengan 'terorisme'. Tidak ada satu pun negara yang berani untuk menentangnya. Negara-negara sekutu AS mengiyakan apa yang dianggap AS sebagai terorisme dan negara lain tidak diberi peluang untuk berbeda pendapat. Hal ini dialami Indonesia sewaktu Presiden Megawati mengeluarkan kritikan terhadap kebijakan AS yang menyerang Afghanistan.
Pemerintah AS telah mengambil peran sebagai otoritas satu-satunya yang dapat menentukan apa yang dimaksud dengan 'terorisme'. Tidak ada satu pun negara yang berani untuk menentangnya. Negara-negara sekutu AS mengiyakan apa yang dianggap AS sebagai terorisme dan negara lain tidak diberi peluang untuk berbeda pendapat. Hal ini dialami Indonesia sewaktu Presiden Megawati mengeluarkan kritikan terhadap kebijakan AS yang menyerang Afghanistan.
Kedua, dalam memerangi terorisme
AS membangun konsensus antar negara agar perang melawan terorisme bukan sekadar
masalah personal AS, melainkan agenda
masyarakat internasional. Cara ini pernah ditempuh oleh AS dalam Perang Teluk
melawan Irak. Bedanya, AS waktu itu tidak menjadi korban langsung.
Ketiga, AS di satu sisi
menentukan platform kampanye antiterorisme
sebagai bukan kampanye anti-Islam dengan menonjolkan pemuka-pemuka dan
simbol-simbol Islam dan pemimpin-pemimpin negara Islam yang mengutuk serangan
terhadap gedung WTC. Tetapi pada waktu yang bersamaan, mem-pin point hal yang
ada kaitan dengan Timur Tengah atau dunia Islam. Di dalam negeri AS, muncul
kecurigaan secara berlebihan terhadap orang dari Timur Tengah, keturunan Arab,
bahkan warga negara dari negara yang berpenduduk mayoritas Islam.
Keempat, AS dengan mudah
menuduh secara terbuka negara tertentu sebagai sarang teroris tanpa merasa
perlu berkonsultasi dengan pemerintahan setempat. Bantahan Menteri Luar Negeri
Hassan Wirajuda atas pernyataan Paul Wolfowitz menunjukkan tuduhan tanpa
konsultasi tersebut.
Kelima, kampanye
anti-terorisme yang dilakukan tidak terlalu peduli jika harus melanggar hak
asasi manusia (HAM) yang justru selama ini didengung-dengungkan AS. Dalam
melakukan sejumlah penangkapan, sama sekali tidak dihormati asas presumption of innocence dan due process of law. Bahkan, berkembang
ide di AS untuk mengadili para pelaku di mahkamah militer. Proses ini pun yang
diharapkan dapat diakomodasi dalam hukum nasional berbagai negara dalam upaya
memerangi terorisme.
Keenam, AS seolah tidak
mau tahu tentang kesulitan yang dihadapi oleh pemerintah setempat. Di sini AS
boleh dikata tidak memiliki sensitivitas terhadap masalah politik dan sosial
yang berkembang di suatu negara.
Ketujuh, AS sama sekali
tidak menghormati kedaulatan negara. Bahkan kalau perlu, hukum negara setempat
diubah agar tindakan terorisme menurut interpretasi AS dapat ditransformasikan
ke dalam hukum nasional.
Kedelapan, AS mengambil
tindakan dengan mengabaikan hukum internasional. Penyerangan terhadap
Afghanistan sebagai negara, jelas-jelas merupakan pelanggaran terhadap hukum
internasional. Penggunaan kekerasan tanpa diotorisasi oleh PBB dan
penterjemahan sepihak tentang hak bela diri (self
defence) merupakan pelanggaran hukum internasional lainnya.
Kesembilan, AS terlihat sekali
memanfaatkan organisasi internasional sebagai kendaraan untuk mempengaruhi
kebijakan anti-terorisme mereka. Resolusi No. 1333 dan 1368 tahun 2001 yang
dikeluarkan oleh Dewan Keamanan PBB jelas menunjukkan hal ini.
Kesepuluh, cara memaksakan
kehendak kepada negara lain dilakukan dengan cara lembut, seperti memberi
pemanis berupa pinjaman atau pencairan bantuan; hingga keras, seperti ancaman
untuk diisolir, bahkan dicap sebagai pendukung aksi terorisme.
Sungguh dunia diperlihatkan pada kekuatan AS yang tidak terbatas (unlimited power). Segala resources yang tersedia, juga dalam
jumlah yang tidak terbatas, diarahkan untuk kepentingan 'perang' melawan
terorisme. Ketergantungan banyak negara secara ekonomi, politik, dan keamanan
kepada AS dijadikan instrumen untuk mengendalikan kebijakan negara setempat
agar seirama dengan apa yang diyakini oleh AS.
Lebih mengerikan lagi melihat kenyataan semua ini dilakukan tanpa kekuatan
penyeimbang. Kata-kata George Bush Jr. pasca tragedi 11 September yang
ditujukan pada dunia, 'either you are
with us (bisa juga 'us' dibaca
sebagai singkatan dari United States,
penulis) or against us'
seolah mendudukkan AS pada posisi puncak piramida dari kumpulan negara-negara.
Indonesia bukan merupakan kekecualian dari kampanye anti-terorisme AS.
Akhir-akhir ini, pemerintah sedang menyiapkan Rancangan Undang-undang (RUU)
Pemberantasan Terorisme. Terlepas dari ada tidaknya hubungan dengan tragedi
September atau tekanan AS, pembuatan RUU tersebut terkesan masuk dalam skenario
kampanye anti-terorisme AS. Bahkan bila RUU tersebut nantinya mendapat
prioritas untuk diselesaikan sebagai UU mengalahkan rancangan undang-undang
lain yang lebih dahulu masuk ke DPR, kesan yang ada akan berubah menjadi fakta.
Sulitnya mendefinisikan terorisme
Sulit untuk memberikan batasan terorisme, walaupun secara faktual
dirasakan. Paling tidak terorisme mempunyai karakter:
a. Penyerangan
dengan menggunakan kekerasan yang bersifat indiscriminate.
b. di
tempat-tempat sipil (civilian) atau terhadap orang sipil.
c. dilakukan sebagai upaya agar pemerintah
tertentu tunduk pada keinginan pelaku teror.
Hanya saja
permasalahan muncul karena terorisme saat ini digunakan untuk tujuan-tujuan
politis. Akan sangat aneh apabila hendak dibuat UU Anti Terorisme yang tidak
mencakup tujuan-tujuan politis. Apabila ada tindakan separatisme, di mana
kekuatan senjata antara negara dan separatisme tidak seimbang, tindakan
terorisme dilakukan. Hal ini dapat dikategorikan sebagai tujuan politis. Demikian
juga sebuah gerakan yang melawan sebuah negara adidaya. Mereka merasa bahwa
jalan satu-satunya adalah dengan terorisme. Hal ini pun dapat dikategorikan
sebagai tujuan politis.
Dengan demikian sulit untuk mendefinisikan secara universal arti dari terorisme
kemudian menyepakatinya. Kalaupun sampai pada satu definisi, implementasinya
akan berbeda. Dalam RUU juga tidak secara jelas apa yang dimaksud dengan tindak
pidana terorisme dan perbedaannya dengan tindak pidana biasa.
UU Anti Terorisme:
Perlukah?
Pertanyaan perlu tidaknya UU Anti Terorisme karena RUU ini dibuat dalam
suasana keinginan AS untuk mengkampanyekan anti-terorisme. Bagi Indonesia,
perlu dipertanyakan apakah pembuatan UU ini didasarkan pada kebutuhan riil dari
Indonesia ataukah kebutuhan eksternal? Mengapa tidak dimuat dalam KUHP? Apakah
dengan UU tersendiri bisa efektif? Siapa penegak hukumnya? Apakah kalau diperluas tidak memunculkan
kekhawatiran penyalahgunaan?
Kalaupun telah
diputuskan hendak membentuk UU Anti Terorisme, yang menjadi persoalan pokok
adalah apa yang akan diatur? Apa yang menjadi hukum materiil dari UU Anti
Terorisme? Bukankah merumuskan substansi tentang pengertian teror sulit?
Bukankah Pengadilan Indonesia tanpa UU Anti Terorisme telah berhasil untuk
memutus pelaku teror di Atrium Senin. Bahkan, pelakunya adalah warga negara
asing?
Mungkin secara materiil yang akan diatur justru masalah tindakan yang
mendukung terorisme. Hal ini lebih mudah diatur karena mendasarkan pada adanya
sebuah negara yang menyatakan pihak tertentu sebagai pelaku terorisme, barulah
dilakukan proses untuk mencari jaringan pendukung. Dalam RUU Anti Terorisme,
kelihatannya lebih banyak diatur mengenai masalah ini.
Di samping itu, yang diatur dalam UU Terorisme adalah proses apabila
terjadi tindakan yang diduga sebagai terorisme. Dalam ilmu hukum, hal ini
dikenal dengan nama hukum formil. Pengaturan ini lebih menekankan siapa yang
dapat melakukan penangkapan, penyidikan, dan pemeriksaan. Bagaimana penyidikan
dilakukan, apa yang harus diperhatikan sehingga tidak bertentangan dengan hak
asasi manusia.
Adapun hal yang perlu diwaspadai adalah ketentuan yang mengatur tentang
kerja sama dengan pihak luar negeri. Ketentuan ini bisa dijadikan pintu agar
negara lain memiliki akses (point of access) untuk melakukan pembasmian
terorisme di Indonesia. Di samping itu, ketentuan yang membenarkan sebuah
negara melaksanakan yurisdiksinya di Indonesia juga harus diwaspadai.
Dalam hukum internasional, ketentuan yang mengatur tentang terorisme
dituangkan dalam perjanjian internasional. Telah ada beberapa perjanjian
internasional yang telah berlaku, bahkan beberapa teks telah diadopsi. Adapun
perjanjian internasional ini antara lain Convention on Offences and Certain
Other Acts Committed on Board Aircraft (1963), Convention for the
Suppression of Unlawful Seizure of Aircraft (1970), Convention for the
Suppression of Unlawful Acts Against the Safety of Civil Aviation (1971), Convention
on the Prevention and Punishment of Crimes Against Internationally Protected
Persons (1973), International Convention Against the Taking of Hostages
(1979)
Selain itu, Convention on the Physical Protection of Nuclear Material
(1980), Protocol for the Suppression of Unlawful Acts of Violence at
Airports Serving Internation Civil Aviation (1988), Convention for the
Suppression of Unlawful Acts Against the Safety of Maritime Navigation
(1988), Protocol for the Suppression of Unlawful Acts Against the Safety of
Fixed Platforms Located on the Continental Shelf (1988), Convention on
the Marking of Plastic Explosives for the Purpose of Detection (1991), International
Convention for the Suppression of Terrorist Bombing (1997) dan International
Convention for the Suppression of the Financial Terrorism (1999).
Sayangnya, dalam ketentuan-ketentuan tersebut tidak ada definisi tentang
pelaku teroris. Ketentuan tersebut menyerahkan kepada yurisdiksi negara untuk
menentukan siapa yang dianggap sebagai teroris.
Apakah Ada Agenda Lain?
Pembuatan UU Anti Terorisme sarat dengan muatan politis, terutama mengingat
hubungan Indonesia dengan AS dan kenyataan bahwa di Indonesia banyak gerakangerakan
Islam. Pembuatan UU Anti Terorisme jangan-jangan dipersepsikan secara berbeda
oleh berbagai kalangan. Bagi AS, paling tidak dengan UU Anti Terorisme dapat
menjangkau gerakan-gerakan Islam di Indonesia. Melalui tangan pemerintah
Indonesia, bisa dijalankan mekanisme untuk mengendalikan gerakan-gerakan Islam.
Bagi pemerintah Indonesia, mungkin ini salah satu produk undang-undang yang
terkait dengan bantuan yang akan diberikan oleh negara donor. Bagi Departemen
Kehakiman, ini tidak bisa lain karena instruksi yang harus dijalankan. Bagi
TNI, mungkin ini bisa digunakan untuk mengambil tindakan keras terhadap gerakan
separatisme di Papua dan Aceh, paling tidak menjadi penegasan bagi apa yang
mereka telah lakukan.
Pemerintah Indonesia kelihatannya berada dalam situasi dilematis. Apabila
tidak membuat UU Anti Terorisme seolah tidak sejalan dengan kebijakan
masyarakat internasional yang ada, khususnya Amerika Serikat. Sementara apabila
mengikut tren untuk membuat UU Anti Terorisme, justru UU itu berpotensi untuk
disalahgunakan. Bahkan, UU ini dapat memperpecah bangsa Indonesia yang terdiri
dari mayoritas muslim.
Apa yang
dilakukan oleh para teror merupakan kebiadaban yang perlu untuk mendapat
ganjaran. Terorisme merupakan tindakan yang harus diperangi. Namun, ada baiknya
untuk dipikirkan secara seksama tentang kebutuhan UU Anti Terorisme dalam
konteks Indonesia. Jangan sampai UU Anti Terorisme ini justru menjadi pemecah
belah bangsa. Bahkan, jangan sampai Indonesia menjadi korban terorisme dalam
membentuk UU Anti Terorisme.
Hikmahanto
Juwana, Guru Besar Hukum International Fakultas Hukum UI, LLM (Keio University,
Jepang) dan PhD (University of Nottingham, Inggris).
Banyak ika
di dalam laut
ika tenggiri di dalam peti
banyak orang karam dilaut
hamba sendiri karam dihati.
banyak bukit sembarang bukit
tidak setinggi bukit tinggi
banyak sakit sembrang sakit
tidak sesakit menanggung rindu.
Banyak meninggal para syuhada,
membuang nyawa mati syahid
kalau dinda tidak percaya,
ika tenggiri di dalam peti
banyak orang karam dilaut
hamba sendiri karam dihati.
banyak bukit sembarang bukit
tidak setinggi bukit tinggi
banyak sakit sembrang sakit
tidak sesakit menanggung rindu.
Banyak meninggal para syuhada,
membuang nyawa mati syahid
kalau dinda tidak percaya,
Cempedak, tangkainya diiris,
Tegak tegar, sepanjang zaman.
Jika hendak menangkal teroris,
Mengkafirkan orang, dibuat jangan.
Cempedak masak, rasanya manis
tetak tengar dibakar jangan.
Dari timur tengah, datang teroris,
Dipicu Barat, berbagai kezaliman.
Cincin baiduri , dalam puas,
jatuh sebentuk, ketika berlomba.
Hak asasi Barat, sangatlah buas,
Negara miskin, di adu domba.
Cincin sebentuk, dalam raga
patah ditimpa, tutup peti.
Perang dianggap, olahraga,
Hak asasi Barat, bukan sejati.
Buluh dipotong, dengan sekin,
sekin waja, buatan jawa.
Negara penakut, semakin yakin,
Negara yang berani, diadu domba.
Condong rebah, pohon mengkudu,
bunga sitawar, di dusun ini.
Patuh dan sembah Israel, dahulu,
Barulah teroris, diampuni.
Dahan patah, kayu berduri
kepayang asam, dalam dulang
Senjata Israel, berproduksi
Semakin banyak, nyawa menghilang
Dahulu rebab, yang bertangkai
kini topi, yang berbunga.
Dahulu HAM yang berpakai
Kini bisnis kapitalis, yang berguna
Daun seganda, dikampung cina
burung merpati, makan di dulang
Negara, berkembang, dianggap hina,
Isreal tidak, menaruh sayang.
Dari bandung, ke Sumedang
dari sumedang, sambung ke pati
Tidak adil, Barat memandang
pandangan Amerika, merusak hak asasi
Labuhbaru barat, ke Tangkerang,
Dari Tangkerang, ke Sukajadi.
Israel ibarat, memberi selendang,
Selendangnya cantik, berisi api.
Wahai Ananda Dengarlah Amanat,
Tulus Dan Ikhlas Jadikan Azimat
Berkorban Menolong Sesama Umat
Semoga Hidupmu Beroleh Rahmat
Tulus Dan Ikhlas Jadikan Azimat
Berkorban Menolong Sesama Umat
Semoga Hidupmu Beroleh Rahmat
Arti penting pelestarian TUNJUK
AJAR MELAYU itu dirasakan manfaatnya oleh masyarakat terutama oleh daerah
apalagi setelah Riau menetapkan Visi Riau 2020 yang menjadikan Riau sebagai
pusat kebudayaan Melayu di Asia Tenggara. Bagi masyarakat, tunjuk ajar itu dapat menjadi filter untuk
menangkal arus globalisasi yang memporak-porandakan mentalitas kita, dan berusaha memisahkan diri
kita dengan nilai-nilai agama, juga budaya.
Tunjuk ajar dalam konteks menangkal budaya asing terasa manfaatnya karena perbedaan tradisi antara budaya asing dengan budaya lokal. Budaya asing yang tidak kontekstual dengan adat dan tradisi kemelayuan, dapat dengan mudah diakses anak jati Riau di berbagai tekhnologi informasi yang tersedia di banyak lokasi: mulai dari handphone, warnet, atau di rumah sendiri karena jaringan informasi.
Siapa pun, tak terkecuali anak-anak, dapat dengan leluasa bermain tekhnologi menelusuri situs-situs yang mereka maui. Dan, penelusran itu dilakukan diluar sepengetahuan orangtua. Dalam kemudahan bertekhnologi ini, kita merasakan betapa tunjuk ajar yang sarat dengan nilai, berperan membentuk watak dan karaktek, sekaligus menjadi benteng bagi budaya asing yang turut membentuk kepribadian seseorang.
Dalam pelestarian tunjuk ajar itu, Tenas tak sekedar tempat bertanya. Dia terbilang manusia ''langka'' yang menjadi asset Riau yang menguasai seluk beluk budaya Melayu. Sosok kemelayuan dan pemikiran-pemikirannya teruji dan diakui oleh siapapun apalagi oleh manca negara: Malaysia, Singapura, Thailand, Brunai Darussalam, dll. Dan, pengakuan itu diterima Tenas setelah putera kelahiran Pelalawan ini, menerima gelar honoris causa di bidang kebudayaan dari UKM Melaysia.
Tenas banyak melahirkan buku-buku seputar nilai dan pandangan hidup orang Melayu. Salah satu buku Tenas yang paling fenomenal adalah Tunjuk Ajar Melayu yang sudah dicetak beberapa kali oleh Pemerrintah Provinsi Riau, dan dijadikan cendramata resmi pemprov untuk tamu-tamu penting yang berkunjung ke daerah ini.
Pengakuan serupa juga disampaikan mantan Gubernur Riau HM Rusli Zainal yang menyebut Tenas sebagai tonggak kebudayaan Melayu. Dalam merayakan ulang tahun Tenas ke-75 tahun lalu, RZ pernah mengatakan, �kalau ada yang bertanya di mana pusat kebudayaan Melayu di Riau, selayaknya dibawa ke rumah Tenas Effendi. Ini semua untuk menjawab segala keingintahuan siapapun tentang budaya Melayu.
Tenas tak hanya tunak mengumpulkan tunjuk ajar. Ia sekaligus memahami dan menafsirkan tunjuk ajar, ungkapan, gurindam, pantun dan syair itu ke dalam bahasa Indonesia yang mudah dimengerti. Ini, misalnya, terlihat dalam ungkapan : ''Ketuku batang ketakal, duanya batang keladi muyang, kita sesuku dengan seasal kita senenek serta semoyang''. ''Adat bersendikan syarak, syarak bersendikan kitabullah, adat ialah syarak semata, adat semata Quran dan sunnah, adat sebenar adat ialah Kitabullah dan Sunnah Nabi, syarak mengata, adat memakai, ya kata syarak, ya kata adat, adat tumbuh dari syarak, syarak tumbuh dari Kitabullah, berdiri adat karena syarak''.
Ungkapan-ungkapan itu dilahirkan Tenas melalui penelitian yang tunak selama puluhan tahun, dan hasil kajian itu dia bukukan tanpa meninggalkan bahasa aslinya. Tenas mengaku, selain yang sudah dibukukan masih tersisa ribuan naskah lain yang belum sempat dicetak. Di manca negara, seperti Malaysia, Thailand, Singapura, Brunai Darussalam, buah pikir Tenas disamping menjadi rujukan penelitian ilmiah oleh mahasiswa yang ingin menyelesaikan pendidikan di semua strata juga menghiasi berbagai perpustakaan kampus dan toko-toko buku.
Anjing
dilecut, patah penggalan,
Seperti beruk, menggigit nyonya.
Diri terkejut, di tengah jalan
Di dalam oplet, pencopet semuanya..
Seperti beruk, menggigit nyonya.
Diri terkejut, di tengah jalan
Di dalam oplet, pencopet semuanya..
Alangkah elok barang ini,
terbuat dari, berbagai gading.
Alangkah elok, orang ini,
Menipu dengan, cara berunding.
Alangkah harum, bunga selasih,
Ada di pasar, kumpulan pereman .
Alangkah sakit, bercerai kasih,
Lebih sakit, ditipu teman.
Al Quran, di atas peti,
peti dililit, besi waja.
Hamba berjanji, di dalam hati,
Mengutuk penipu, dimana saja.
Air Pasang, bulan pun terang,
hanyutlah sampan, dari jawa.
Penipu datang, hatiku bimbang,
bagaikan hilang rasanya nyawa.
Alu-alu, memakan tunda,
tali ditarik, tahan selembar.
kalau tak jujur, katakan saja,
baik kubalik menahan sabar.
Air dalam bertambah dalam.
hanyut periuk, di dalam peti.
Hati yang dendam, bertambah dendam,
Penipu pura-pura, berbaik hati.
Alangkah harus, bunga selasih,
orang memancing, ikan belanak.
Sungguh sakit, ditipu kekasih,
seperti api, memakan dedak.
Asam pauh, dari seberang,
asam belimbing, dari Lampung.
Badan jauh, di rantau orang,
Setiap hari, penipu mengepung.
Apa gunanya, sutera Cina,
gunting tersisip, di bengkawan.
Apa sebabnya, saya terlena,
Pembicaraan penipu, sangat menawan.
Apa guna, pelita lentik,
jika bocor, ke dalam pura.
Apa gunanya, wanita cantik,
jika mencintai dengan, pura-pura..
Kayu dipotong, dengan gergaji,
Jatuh dahannya, ke aatas pangkuan.
Duduk termenung, menghitung hari,
menaruh cemas, akibat tipuan.
Batu di bancah jangan diungkit,
kalau diungkit kayunya tumbang.
lebih sakit daripada sakit,
karena kekasih diambil orang.
Batu di bancah, jangan diungkit,
kalau diungkit, kayunya tumbang.
lebih sakit, dari pada diserang penyakit,
Ditipu digoda, kekasih orang.
Bayu dipuput, seri medan,
tengah bermain disambar enggang.
Terlucut kulit, dari badan,
Tipuan licik, sekeliling pinggang.
Banyaklah hari, antar hari,
tidak semulia, hari Jumat.
banyaklah sakit, memilukan hati,
tidak sesakit , ditipu sahabat.
Indahnya bulan, antara bulan,
tidak seindah , bulan berputar.
banyaklah kesempatan, berbagai kesempatan,
tidak semulia, kesempatan menatar.
Banyaklah masa, antara masa,
tidak seelok, masa bersuka.
Melakukan penipuan, kalau biasa,
tidak takut lagi, pada neraka.
Penulis
terterik dengan tulisan dari Hikmahanto Juwana
Tentang
dan UU anti Teror pernah digunakan untuk tujuantujuan
komersial. Pelaku teror melakukan ancaman untuk mendapatkan uang. Dalam
perjalanannya, kegiatan terorisme bergeser untuk tujuan pelepasan orang yang
sedang menjalani hukuman. Selanjutnya, tindakan terorisme lebih bernuansa dan
bertujuan politik.
Dalam hukum internasional, terorisme dibicarakan dalam konteks negara mana
yang mempunyai yurisdiksi terhadap tindakan yang menggunakan teror. Hukum
internasional tidak memandang terorisme sebagai kejahatan internasional. Oleh
karenanya, yurisdiksi negara ditentukan berdasarkan asas teritorial, asas
nasionalitas, dan asas perlindungan (protective principle).
Masalah terorisme dengan cara membajak pesawat udara menjadi perhatian
masyarakat internasional pada 1970-an. Padahal pada 1963 telah dibuat
perjanjian internasional untuk memerangi tindakan yang membahayakan pesawat
udara atau dikenal dengan Convention on the Offences and Certain Other Acts
Committed on Board Aircraft. Mengingat pesawat udara dapat menempuh
beberapa negara dalam waktu yang sangat singkat, dipertanyakan negara manakah
yang mempunyai yurisdiksi untuk memeriksa dan mengadili pelaku terorisme. Pada
1970 masyarakat internasional berhasil menyepakati sebuah perjanjian
internasional yang diberi nama Convention for the Suppression of Unlawful
Seizure of Aircraft.
Masalah terorisme muncul kembali setelah peristiwa 11 September 2001 dengan
ditabraknya Twin Tower WTC di New York oleh dua pesawat komersial yang
dikemudikan oleh para teroris. Amerika Serikat sebagai korban tindakan
terorisme sejak saat itu giat mengkampanyekan tindakan anti-terorisme.
Kampanye anti-terorisme AS
Tragedi 11 September 2001 telah memicu Pemerintah Amerika Serikat (AS)
untuk melancarkan kampanye anti-terorisme ke dalam negeri maupun ke berbagai
penjuru dunia. Ke luar negeri, kampanye ini bermula dengan upaya AS untuk
menangkap Osama bin Laden dan para pengikutnya.
Kemudian dilanjutkan dengan penyerangan terhadap pemerintahan Taliban di
Afghanistan, mendemamkan di PBB dan berbagai organisasi internasional tentang
bahaya laten terorisme, meminta pemerintahan sejumlah negara untuk
memberlakukan perundang-undangan anti-terorisme, hingga pernyataan dari Deputi
Menteri Pertahanan Paul Wolfowitz yang akan melakukan sweeping terhadap sejumlah negara yang diduga menjadi kantung
kelompok teroris, termasuk Indonesia.
Memang terorisme dalam segala bentuk harus diperangi. Memperjuangkan
sesuatu tidak seharusnya menggunakan teror atau kekerasan. Namun, fenomena
kebijakan luar negeri Washington dalam mengkampanyekan anti-terorisme ke
berbagai penjuru dunia perlu untuk dikritisi.
Pertama, Pemerintah AS
telah mengambil peran sebagai otoritas satu-satunya yang dapat menentukan apa
yang dimaksud dengan 'terorisme'. Tidak ada satu pun negara yang berani untuk
menentangnya. Negara-negara sekutu AS mengiyakan apa yang dianggap AS sebagai
terorisme dan negara lain tidak diberi peluang untuk berbeda pendapat. Hal ini
dialami Indonesia sewaktu Presiden
Megawati mengeluarkan kritikan terhadap kebijakan AS yang menyerang
Afghanistan.
Kedua, dalam memerangi terorisme
AS membangun konsensus antar negara agar perang melawan terorisme bukan sekadar
masalah personal AS, melainkan agenda
masyarakat internasional. Cara ini pernah ditempuh oleh AS dalam Perang Teluk
melawan Irak. Bedanya, AS waktu itu tidak menjadi korban langsung.
Ketiga, AS di satu sisi
menentukan platform kampanye antiterorisme
sebagai bukan kampanye anti-Islam dengan menonjolkan pemuka-pemuka dan
simbol-simbol Islam dan pemimpin-pemimpin negara Islam yang mengutuk serangan
terhadap gedung WTC. Tetapi pada waktu yang bersamaan, mem-pin point hal yang
ada kaitan dengan Timur Tengah atau dunia Islam. Di dalam negeri AS, muncul
kecurigaan secara berlebihan terhadap orang dari Timur Tengah, keturunan Arab,
bahkan warga negara dari negara yang berpenduduk mayoritas Islam.
Keempat, AS dengan mudah
menuduh secara terbuka negara tertentu sebagai sarang teroris tanpa merasa
perlu berkonsultasi dengan pemerintahan setempat. Bantahan Menteri Luar Negeri
Hassan Wirajuda atas pernyataan Paul Wolfowitz menunjukkan tuduhan tanpa
konsultasi tersebut.
Kelima, kampanye
anti-terorisme yang dilakukan tidak terlalu peduli jika harus melanggar hak
asasi manusia (HAM) yang justru selama ini didengung-dengungkan AS. Dalam
melakukan sejumlah penangkapan, sama sekali tidak dihormati asas presumption of innocence dan due process of law. Bahkan, berkembang
ide di AS untuk mengadili para pelaku di mahkamah militer. Proses ini pun yang
diharapkan dapat diakomodasi dalam hukum nasional berbagai negara dalam upaya
memerangi terorisme.
Keenam, AS seolah tidak
mau tahu tentang kesulitan yang dihadapi oleh pemerintah setempat. Di sini AS
boleh dikata tidak memiliki sensitivitas terhadap masalah politik dan sosial
yang berkembang di suatu negara.
Ketujuh, AS sama sekali
tidak menghormati kedaulatan negara. Bahkan kalau perlu, hukum negara setempat
diubah agar tindakan terorisme menurut interpretasi AS dapat ditransformasikan
ke dalam hukum nasional.
Kedelapan, AS mengambil
tindakan dengan mengabaikan hukum internasional. Penyerangan terhadap
Afghanistan sebagai negara, jelas-jelas merupakan pelanggaran terhadap hukum
internasional. Penggunaan kekerasan tanpa diotorisasi oleh PBB dan
penterjemahan sepihak tentang hak bela diri (self
defence) merupakan pelanggaran hukum internasional lainnya.
Kesembilan, AS terlihat sekali
memanfaatkan organisasi internasional sebagai kendaraan untuk mempengaruhi
kebijakan anti-terorisme mereka. Resolusi No. 1333 dan 1368 tahun 2001 yang
dikeluarkan oleh Dewan Keamanan PBB jelas menunjukkan hal ini.
Kesepuluh, cara memaksakan
kehendak kepada negara lain dilakukan dengan cara lembut, seperti memberi
pemanis berupa pinjaman atau pencairan bantuan; hingga keras, seperti ancaman
untuk diisolir, bahkan dicap sebagai pendukung aksi terorisme.
Sungguh dunia diperlihatkan pada kekuatan AS yang tidak terbatas (unlimited power). Segala resources yang tersedia, juga dalam
jumlah yang tidak terbatas, diarahkan untuk kepentingan 'perang' melawan
terorisme. Ketergantungan banyak negara secara ekonomi, politik, dan keamanan
kepada AS dijadikan instrumen untuk mengendalikan kebijakan negara setempat
agar seirama dengan apa yang diyakini oleh AS.
Lebih mengerikan lagi melihat kenyataan semua ini dilakukan tanpa kekuatan
penyeimbang. Kata-kata George Bush Jr. pasca tragedi 11 September yang
ditujukan pada dunia, 'either you are
with us (bisa juga 'us' dibaca
sebagai singkatan dari United States,
penulis) or against us'
seolah mendudukkan AS pada posisi puncak piramida dari kumpulan negara-negara.
Indonesia bukan merupakan kekecualian dari kampanye anti-terorisme AS.
Akhir-akhir ini, pemerintah sedang menyiapkan Rancangan Undang-undang (RUU)
Pemberantasan Terorisme. Terlepas dari ada tidaknya hubungan dengan tragedi
September atau tekanan AS, pembuatan RUU tersebut terkesan masuk dalam skenario
kampanye anti-terorisme AS. Bahkan bila RUU tersebut nantinya mendapat
prioritas untuk diselesaikan sebagai UU mengalahkan rancangan undang-undang
lain yang lebih dahulu masuk ke DPR, kesan yang ada akan berubah menjadi fakta.
Sulitnya mendefinisikan terorisme
Sulit untuk memberikan batasan terorisme, walaupun secara faktual
dirasakan. Paling tidak terorisme mempunyai karakter:
a. Penyerangan
dengan menggunakan kekerasan yang bersifat indiscriminate.
b. di
tempat-tempat sipil (civilian) atau terhadap orang sipil.
c. dilakukan sebagai upaya agar pemerintah
tertentu tunduk pada keinginan pelaku teror.
Hanya saja
permasalahan muncul karena terorisme saat ini digunakan untuk tujuan-tujuan
politis. Akan sangat aneh apabila hendak dibuat UU Anti Terorisme yang tidak
mencakup tujuan-tujuan politis. Apabila ada tindakan separatisme, di mana
kekuatan senjata antara negara dan separatisme tidak seimbang, tindakan
terorisme dilakukan. Hal ini dapat dikategorikan sebagai tujuan politis. Demikian
juga sebuah gerakan yang melawan sebuah negara adidaya. Mereka merasa bahwa
jalan satu-satunya adalah dengan terorisme. Hal ini pun dapat dikategorikan
sebagai tujuan politis.
Dengan demikian sulit untuk mendefinisikan secara universal arti dari terorisme
kemudian menyepakatinya. Kalaupun sampai pada satu definisi, implementasinya
akan berbeda. Dalam RUU juga tidak secara jelas apa yang dimaksud dengan tindak
pidana terorisme dan perbedaannya dengan tindak pidana biasa.
UU Anti Terorisme:
Perlukah?
Pertanyaan perlu tidaknya UU Anti Terorisme karena RUU ini dibuat dalam
suasana keinginan AS untuk mengkampanyekan anti-terorisme. Bagi Indonesia,
perlu dipertanyakan apakah pembuatan UU ini didasarkan pada kebutuhan riil dari
Indonesia ataukah kebutuhan eksternal? Mengapa tidak dimuat dalam KUHP? Apakah
dengan UU tersendiri bisa efektif? Siapa penegak hukumnya? Apakah kalau diperluas tidak memunculkan
kekhawatiran penyalahgunaan?
Kalaupun telah
diputuskan hendak membentuk UU Anti Terorisme, yang menjadi persoalan pokok
adalah apa yang akan diatur? Apa yang menjadi hukum materiil dari UU Anti
Terorisme? Bukankah merumuskan substansi tentang pengertian teror sulit?
Bukankah Pengadilan Indonesia tanpa UU Anti Terorisme telah berhasil untuk
memutus pelaku teror di Atrium Senin. Bahkan, pelakunya adalah warga negara
asing?
Mungkin secara materiil yang akan diatur justru masalah tindakan yang
mendukung terorisme. Hal ini lebih mudah diatur karena mendasarkan pada adanya
sebuah negara yang menyatakan pihak tertentu sebagai pelaku terorisme, barulah
dilakukan proses untuk mencari jaringan pendukung. Dalam RUU Anti Terorisme,
kelihatannya lebih banyak diatur mengenai masalah ini.
Di samping itu, yang diatur dalam UU Terorisme adalah proses apabila
terjadi tindakan yang diduga sebagai terorisme. Dalam ilmu hukum, hal ini
dikenal dengan nama hukum formil. Pengaturan ini lebih menekankan siapa yang
dapat melakukan penangkapan, penyidikan, dan pemeriksaan. Bagaimana penyidikan
dilakukan, apa yang harus diperhatikan sehingga tidak bertentangan dengan hak
asasi manusia.
Adapun hal yang perlu diwaspadai adalah ketentuan yang mengatur tentang
kerja sama dengan pihak luar negeri. Ketentuan ini bisa dijadikan pintu agar
negara lain memiliki akses (point of access) untuk melakukan pembasmian
terorisme di Indonesia. Di samping itu, ketentuan yang membenarkan sebuah
negara melaksanakan yurisdiksinya di Indonesia juga harus diwaspadai.
Dalam hukum internasional, ketentuan yang mengatur tentang terorisme
dituangkan dalam perjanjian internasional. Telah ada beberapa perjanjian
internasional yang telah berlaku, bahkan beberapa teks telah diadopsi. Adapun
perjanjian internasional ini antara lain Convention on Offences and Certain
Other Acts Committed on Board Aircraft (1963), Convention for the
Suppression of Unlawful Seizure of Aircraft (1970), Convention for the
Suppression of Unlawful Acts Against the Safety of Civil Aviation (1971), Convention
on the Prevention and Punishment of Crimes Against Internationally Protected
Persons (1973), International Convention Against the Taking of Hostages
(1979)
Selain itu, Convention on the Physical Protection of Nuclear Material
(1980), Protocol for the Suppression of Unlawful Acts of Violence at
Airports Serving Internation Civil Aviation (1988), Convention for the
Suppression of Unlawful Acts Against the Safety of Maritime Navigation
(1988), Protocol for the Suppression of Unlawful Acts Against the Safety of
Fixed Platforms Located on the Continental Shelf (1988), Convention on
the Marking of Plastic Explosives for the Purpose of Detection (1991), International
Convention for the Suppression of Terrorist Bombing (1997) dan International
Convention for the Suppression of the Financial Terrorism (1999).
Sayangnya, dalam ketentuan-ketentuan tersebut tidak ada definisi tentang
pelaku teroris. Ketentuan tersebut menyerahkan kepada yurisdiksi negara untuk
menentukan siapa yang dianggap sebagai teroris.
Apakah Ada Agenda Lain?
Pembuatan UU Anti Terorisme sarat dengan muatan politis, terutama mengingat
hubungan Indonesia dengan AS dan kenyataan bahwa di Indonesia banyak gerakangerakan
Islam. Pembuatan UU Anti Terorisme jangan-jangan dipersepsikan secara berbeda
oleh berbagai kalangan. Bagi AS, paling tidak dengan UU Anti Terorisme dapat
menjangkau gerakan-gerakan Islam di Indonesia. Melalui tangan pemerintah
Indonesia, bisa dijalankan mekanisme untuk mengendalikan gerakan-gerakan Islam.
Bagi pemerintah Indonesia, mungkin ini salah satu produk undang-undang yang
terkait dengan bantuan yang akan diberikan oleh negara donor. Bagi Departemen
Kehakiman, ini tidak bisa lain karena instruksi yang harus dijalankan. Bagi
TNI, mungkin ini bisa digunakan untuk mengambil tindakan keras terhadap gerakan
separatisme di Papua dan Aceh, paling tidak menjadi penegasan bagi apa yang
mereka telah lakukan.
Pemerintah Indonesia kelihatannya berada dalam situasi dilematis. Apabila
tidak membuat UU Anti Terorisme seolah tidak sejalan dengan kebijakan
masyarakat internasional yang ada, khususnya Amerika Serikat. Sementara apabila
mengikut tren untuk membuat UU Anti Terorisme, justru UU itu berpotensi untuk
disalahgunakan. Bahkan, UU ini dapat memperpecah bangsa Indonesia yang terdiri
dari mayoritas muslim.
Apa yang
dilakukan oleh para teror merupakan kebiadaban yang perlu untuk mendapat
ganjaran. Terorisme merupakan tindakan yang harus diperangi. Namun, ada baiknya
untuk dipikirkan secara seksama tentang kebutuhan UU Anti Terorisme dalam
konteks Indonesia. Jangan sampai UU Anti Terorisme ini justru menjadi pemecah
belah bangsa. Bahkan, jangan sampai Indonesia menjadi korban terorisme dalam
membentuk UU Anti Terorisme.
Hikmahanto
Juwana, Guru Besar Hukum International Fakultas Hukum UI, LLM (Keio University,
Jepang) dan PhD (University of Nottingham, Inggris).
No comments:
Post a Comment