Motto
Hukuman Fisik Terhadap Siswa, Pantaskah ?
M.Rakib Widyaiswara LPMP Riau Indonesia...2014
Secara sederhana, pendidikan dapat di artikan sebagai upaya sadar,
terarah untuk mendewasakan orang lain. Atau dalam pengertian Malik Fadjar
sebagai proses sekaligus sistem yang diarahkan pada pencapaian tujuan tertentu
yang diyakini sebagai yang paling ideal bagi kehidupan manusia (Malik Fadjar,
1998). Proses dan sistem merupakan dua sisi yang saling terkait sekaligus
saling menopang untuk mencapai tujuan ideal dimaksud. Dalam artian bahwa,
proses untuk mendewasakan orang lain akan sangat ditentukan oleh sistem yang
dijalankan, demikian pula sebaliknya. Setiap anak yang lahir normal, baik fisik
maupun mentalnya, berpotensi untuk menjadi cerdas. Karena memang hal ini
dianugerahkan oleh Allah SWT. kepada manusia sebagai bekal dalam mengaktualisasikan
dirinya sebagai hamba dan wakil Allah di muka bumi (Suharsono, 2003)
Dari sekian banyak aspek yang sangat
menentukan keberhasilan tersebut, sosok guru menempati posisi penting dan
pemegang kunci keberhasilan dalam mendewasakan orang lain. Guru kreatif sering
merupakan ”person oriented” (berorientasi personal) dalam sikap dan
nilai mereka. (Anna Craft, 2000) Begitu pentingnya kedudukan guru, maka Cooper,
sebagaimana dikutip oleh Nana Sudjana dalam Dasar-dasar Proses Belajar
Mengajar, mengungkapkan empat kemampuan yang harus dimiliki oleh seorang guru,
yaitu :
- Mempunyai pengetahuan tentang belajar dan tingkah laku manusia,
- Mempunyai pengetahuan dan menguasai bidang studi yang dibinanya,
- Mempunyai sikap yang tepat tentang diri sendiri, sekolah, teman sejawat dan bidang studi yang dibinanya, dan
- Mempunyai keterampilan teknik mengajar. (Nana Sudjana, 2000)
Dalam
konteks ini, Cooper ingin menjelaskan bahwa guru bukan hanya melakukan
transformasi ilmu pengetahuan kepada siswa tetapi lebih-lebih lagi kepada upaya
menata proses belajar mengajar sehingga menimbulkan semangat dan kegairahan
siswa dalam belajar.
Namun
kenyataannya, tanggung jawab yang demikian besar, tidak dibarengi oleh
kepiawaian seorang guru dalam mengatur proses belajar mengajar. Penampilan guru
yang tidak bersahabat dan ringan tangan membuat suasana belajar menjadi
tidak kondusif, dan jauh dari suasana keakraban. Tidak jarang kondisi seperti
ini justeru menimbulkan keengganan siswa untuk belajar bahkan bisa saja untuk
sekolah.
Fenomena
menarik sekaligus memprihatinkan adalah adanya hukuman fisik kepada siswa
ketika melakukan suatu kesalahan baik itu berupa mencubit, menampar, menjewer,
maupun memukul dengan atau tanpa alat. Walaupun hal ini bukan berarti bahwa
semua guru melakukannya, namun diakui atau tidak fenomena ini kian menggejala
di kalangan para guru. Sri Esti Wuryani Djiwandono menyatakan bahwa penyiksaan
atau hukuman secara fisik adalah perbuatan kekuasaan terhadap orang lain yang
mengakibatkan kerusakan dan membahayakan fisik. (Sri Esti Wuryani Djiwandono,
2005)
Muhamad
’Atthiyyah Al-Abrasyi, mengemukakan bahwa ada 3 hal yang harus diperhatikan
dalam memberikan hukuman fisik (jasmaniah) terhadap anak, yaitu :
- Sebelum berumur 10 tahun, anak-anak tidak boleh dipukul.
- Pukulan tidak lebih dari 3 kali. Yang dimaksud dengan pukulan disini ialah dengan menggunakan lidi atau tongkat kecil bukan dengan tongkat besar.
- Diberikan kesempatan besar kepada anak-anak untuk tobat dari apa yang ia lakukan dan memperbaiki kesalahannya tanpa perlu menggunakan pukulan atau merusak nama baiknya (menjadikan ia malu). (Muhamad ’Atthiyyah Al-Abrasyi, At-Tarbiyyah Al-Islamiyyah, 2003)
MENGHUKUM ANAK MEMUKULNYA
DENGAN BENAR SEBAGAI SADDU
AL-DZARI’AH ALAT PENCEGAHAN TERHADAP KENAKALAN REMAJA
DALAM KAJIAN HUKUM ISLAM
Oleh :Drs.Muhammad Rakib,S.H.,M.Ag
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Setiap pebuatan yang secara sadar
dilakukan oleh seseoang pasti mempunyai tujuan tertentu yang jelas, terkadang
tanpa mempersoalkan apakah perbuatan yang dituju itu baik atau buruk,
mendatangkan manfaat atau menimbulkan mudharat.Seperti itu pula memukul murid
alah kadarnya, yang kini dihebohkan sebagai melanggar HAM, padahal tidak
melanggar hukum Islam[1].
Sebelum sampai pada perbuatan yang dituju, ada serentetan perbuatan yang
mendahuluinya dan harus dilalui. Contoh, bila seseorang ingin menuntut ilmu, ia
melalui beberapa fase kegiatan seperti mencari guru, menyiapkan tempat dan
alat-alat belajarnya dan bersedia dihukum, apabila melanggar disiplin.
Perbuatan pokok dalam hal ini adalah menuntut ilmu, sedangkan kegiatan lain
yang disebutkan diatas merupakan perantara atau pendahuluan.
Contoh lain adalah murid yang menghina
gurunya, jika dia dibiarkan, akan semakain tidak sopan, bisa saja kurang ajar
kepada semua orang. Murid yang selalu melakukan perbuatan yang mengharah kepada
zina. Ada hal-hal yang mendahuluinya seperti rangsangan, penyediaan kesempatan
untuk bisa melakukan zina. Dalam hal ini zina merupakan perrbuatan pokok,
sedangkan yang mendahuluinya disebut perantara. Perbuatan-perbuatan pokok yang
dituju oleh seseorang telah diatur syara’dan termasuk kedalam hukum taklifi
yang lima atau disebut juga Al-ahkam Al-khamsah. Untuk dapat
melakukan perbuatan pokok baik yang disuruh ataupun dilarang, harus terlebih
dahulu melakukan perbuatan yang mendahuluinya. Keharusan melakukan atau
menghindari perbuatan yang mendahului perbuatan pokok tersebut ada yang telah
diatur sendiri hukumnya oleh syara’ dan ada yang tidak diatur secara langsung.[2]
Contoh pebuatan pendahuluan yang
sudah diatur hukumnya adalah: Wudhu. wudhu adalah perantara melakukan shalat,
namun kewajiban wudhu itu sendiri telah diatur hukumnya oleh al-Qur’an. Jelas
dalam hal ini antara wudhu (perantara) dan shalat yang menjadi perbuatan pokok
hukumnya sama-sama wajib. Contoh lain yaitu Berzina. Berzina adalah perbuatan
yang dilarang, sedangkan perbuatan yang mendahuluinya adalah berkhalwat yang
hukumnya sudah ditentukan dalam al-Qur’an. Jadi antara zina yang menjadi
perbuatan pokok dengan khalwat yang menjadi perbuatan perantara hukumnya
sama-sama haram.
Sedangkan contoh perbuatan pendahuluan
yang tidak ditetapkan hukumnya adalah kewajiban menuntut ilmu itu diwajibkan
tetapi perbuatan perantara seperti mendirikan sekolah dan mencari guru itu
tidak ada dalil hukumnya secara langsung. Dapatkah mendirikan sekolah dan
oencari guru itu wajib sebagaimana wajibnya menuntut!ilmu?. Contoh lain adalah
membunuh tanpa hak merupakan perbuatan haram yang harus dijauhi, tetapi untuk
menghindar dari membunh tanpa hak umpamanya dengan tidak memiliki senjata,
dalam hal ini dapatkah memiliki senjata dikatakan hukumnya haram sebagaimana
haramnya membunh tanpa hak yang menjadi perbuatan pokok?.[3]
Berangkat dari kegelisahan inilah maka
penulis ingin membahas mengenai perbuatan pendahuluan yang belum jelas kontek
hukumnya yang dalam tulisan ini disebut dengan Dzari’ah. Fiqh merupakan
suatu ilmu yang mempunyai tema pokok dengan kaidah dan prinsip tertentu.
Karenanya dalam kajian fiqh para fuqaha menggunakan metode-metode tertentu,
seperti qiyas, istihsan, istishab, istislah, dan sadd az-Zari’ah (az-Zari’ah).[4]
Oleh karena itu zari’ah menjadi hal yang penting untuk dikaji kaitannya dengan
ikhtiyat untuk menghindari kemudaratan.
B. Rumusan Masalah
1. Apakah yang menjadi landasan
sehingga saddu al-zai’ah bisa menjadi salah satu istimbat hukum?
2. Bagaimanakah proses pengambilan
hukum dalam saddus zari’ah dalam mengantisispasi amoral di tengah masyarakat?
SADDU
AL-DZARI’AH
- A. Pengertian Saddu Al-Ezari’ah
Saddu Zara’i berasal dari kata sadd
dan zara’i. Sadd artinya menutup atau menyumbat, sedangkan zara’i artinya
pengantara. Pengertian zara’i sebagai wasilah dikemukakan oleh Abu Zahra dan
Nasrun Harun mengartikannya sebagai jalan kepada sesuatu atau sesuatu
yang membawa kepada sesuatu yang dilarang dan mengandung kemudaratan.
Sedangkan Ibnu Taimiyyah memaknai zara’i
sebagai perbuatan yang zahirnya boleh tetapi menjadi perantara kepada perbuatan
yang diharamkan. Dalam konteks metodologi pemikirran hukum Islam, maka saddu
zara’i dapat diartikan sebagai suatu usaha yang sungguh-sungguh darri
seorang mujtahid untuk menetapkan hukum dengan melihat akibat hukum yang
ditimbulkan yaitu dengan menghambat sesuatu yang menjadi perantara pada
kerusakan.[5]
Beberapa pendapat menyatakan bahwa
Dzai’ah adalah washilah (jalan) yang menyampaikan kepada tujuan baik yang halal
ataupun yang haram. Maka jalan/ cara yang menyampaikan kepada yang haram
hukumnyapun haram, jalan / cara yang menyampaiakan kepada yang halal
hukumnyapun halal serta jalan / cara yang menyampaikan kepada sesuatu yang
wajib maka hukumnyapun wajib.[6]
Sebagian ulama mengkhususkan pengetian Dzari’ah dengan sesuatu yang membawa
pada perbuatan yang dilarang dan mengandung kemudaratan, tetapi pendapat
tersebut ditentang oleh para ulama ushul lainnya, diantaranya Ibnul qayyim
Aj-Jauziyah yang menyatakan bahwa Dzari’ah tidak hanya menyangkut
sesuatu yang dilarang tetapi ada juga yang dianjurkan.[7]
Secara lughawi (bahasa), al-Dzari’ah
itu berarti: jalan yang membawa kepada sesuatu baik ataupun buruk. Arti yang
lughawi ini mengandung konotasi yang netral tanpa memberikan penilaian kepada
hasil perbuatan, pengetian inilah yang diangkat oleh Ibnul Qayyim kedalam
rumusan definisi tentang dzari’ah yaitu: apa-apa yang menjadi perantara dan
jalan kepada sesuatu. Pendapat ibnu qayyim didukung oleh Wahbah Suhaili.
Sedangkan Badran memberikan definisi yang tidak netral terhadap Dzari’ah, ia
mengatakan Dzari’ah adalah bahwa apa yang menyampaikan kepada sesuatu yang
terlarang dan mengandung kerusakan sedangkan saddu atinya menutup, jadi saddu
Dzari’ah berarti menutup jalan terjadinya kerusakan.[8]
Dalam hukum takhlifi diuraikan
tentang sesuatu yang mendahului perbuatan wajib, yang disebut muqaddimah wajib.
Karena muqaddimah merupakan washilah (perantara) kepada suatu yang dikenai
hukum, maka ia juga disebut dzari’ah. Oleh karena itu para penulis dan ulama
ushul fiqh memasukkan muqaddimah wajib kedalam pembahasan tentang dzari’ah,
karena sama-sama sebagai perantara untuk melakukan sesuatu.
Badran dan zuhaili membedakan antara
muqaddimah wajib dengan dzari’ah, perbedaannya terletak pada ketergantungan
perbuatan pokok yang dituju dengan perantara atau washilah. Pada dzari’ah,
hukum perbuatan pokok tidak tergantung pada perantara. Contohnya adalah zina,
khalwat adalah perantara dalam melakukan zina, tetapi zina bisa terjadi tanpa
adanya khalwatpun zina bisa terjadi, karena itu khalwat sebagai perantara
disini disebut Dzari’ah. Muqaddimah adalah hukum perbuatan pokok tergantung
pada perantara, contohnya Shalat. Wudhu merupakan perantara shalat dan kesahan
shalat itu tergantung pada pelaksanaan wudhu karenanya wudhu disebut Muqaddimah
bukan Dzari’ah menurut badran dan Zuhaili.[9]
Ada juga yang membedakan antara
Dzari’ah dan Muqaddimah itu tergantung pada baik dan buruknya perbuatan pokok
yang dituju. Bila perbuatan pokok yang dituju merupakan perbuatan pokok yang
dianjurkan, maka washilahnya disebut Muqaddimah, sedangkan bila perbuatan pokok
yang dituju merupakan larangan maka washilahnya adalah Dzari’ah karena manusia
harus menjauhi perbuatan yang dilarang termasuk washilahnya. Maka pembahasan
disini adalah usaha untuk menjauhi washilah agar terhindar dari perbuatan pokok
yang dilarang. Sedangkan menurut enssiklopedi hukum islam, dalam
ilmu ushul fiqh, dikenal dua istilah yang berkaitan dengan dzari’ah, yaitu
saddus zari’ah dan fath az-zai’ah.[10]
Ibnul
Qayyim dan Imam Al-Qarafi menyatakan bahwa Dzari’ah itu ada kalanya dilarang
yang disebut Saddus Dzari’ah, dan ada kalanya dianjurkan bahkan diwajibkan yang
disebut fath ad-dzari’ah. Seperti meninggalkan segala aktivitas untuk
melaksanakan shalat jum’at yang hukumnya wajib. Tetapi Wahbah Al-Juhaili
berbeda pendapat dengan Ibnul qayyim. Dia menyatakan bahwa meninggalkan
kegiatan tersebut tidak termasuk kedalam dzari’ah tetapi dikategorikan sebagai
muqaddimah (pendahuluan) dari suatu perbuatan.[11]
Para ulama telah sepakat tentang
adanya hukum pendahuluan, tetapi mereka tidak sepakat dalam menerimanya sebagai
Dzari’ah. Ulama hanafiyah dan hanabilah dapat menerima sebagai fath
Az-Dzari’ah, sedangkan ulama Syafi’iyah, Hanafiyyah dan sebagian Malikiyyah
menyebutnya sebagai Muqaddimah, tidak termasuk sebagai kaidah dzari’ah. Namun
mereka sepakat bahwa hal itu bisa dijadikan sebagai hujjah.[12]
Walaupun Golongan Zhahiriyyah tidak mengakui kehujjahan sadduz dzari’ah sebagai
salah satu dalil dalam menetapkan hukum syara’. Hal itu sesuai dengan prinsip mereka
yang hanya menggunakan nash secara harfiyah saja dan tidak menerima campur
tangan logika dalam masalah hukum.
Kesimpulannya adalah bahwa Dzai’ah
merupakan washilah (jalan) yang menyampaikan kepada tujuan baik yang halal
ataupun yang haram. Maka jalan/ cara yang menyampaikan kepada yang haram
hukumnyapun haram, jalan / cara yang menyampaiakan kepada yang halal
hukumnyapun halal serta jalan / cara yang menyampaikan kepada sesuatu yang
wajib maka hukumnyapun wajib.[13]
Contohnya adalah: Zina hukumnya
haram, maka menonton, melihat aurat wanita yang menghantarkan kepada perbuatan
zina juga merupakan haram atau shalat jum,at merupakan kewajiban maka meninggalkan
segala kegiatan untuk melaksanakan shalat jum’at wajib pula hukumnya.
- B. Kedudukan Saddu Dzari’ah
Meskipun hampir semua ulama’ dan
penulis ushul fiqh menyinggung tentang saddu al-dzari’ah, namun amat sedikit
yang membahasnya dalam pembahasan khusus secara!tersendiri. Ada yang
menempatkan bahasannya dalam deretan dalil-dalil syara’ yang tidak disepakati
oleh ulama’. Ibnu Hazm yang menolak untuk berhujjah dengan Saddus Dzari’ah
menyatakan: “Segolongan orang mengharamkan beberapa perkara dengan jalan
ikhtiyath dan karena khawatir menjadi wasilah kepada yang benar-benar haram”.[14]
Ditempatkannya al-dzari’ah sebagai salah satu dalil dalam menetapkan hukum
meskipun diperselisihkan penggunaannya, mengandung arti bahwa karena washilah
sebagai perbuatan pendahuluan maka ini menjadi petunjuk atau dalil bahwa
washilah itu sebagaimana hukum yang ditetapkan syara’ tehadap perbuatan
pokoknya.
Masalah ini menjadi perhatian para
ulama’ karena banyaknya ayat-ayat Al-Qur’an yang mengisyaratkan kearah itu,
umpamanya:
- Surat Al-An’am ayat 108 yang artinya: Janganlah kamu caci orang yang menyembah selain Allah, karena nanti ia akan memushi tanpa pengetahuan.
Sebenarnya mencaci dan menghina
penyembah selain Allah itu boleh-boleh saja, bahkan jika perlu boleh
memeranginya, namun karena perbuatan mencaci dan menghina itu akan menyebabkan
penyembah selain Allah itu akan mencaci Allah, maka perbuatan mencaci dan menghinanya
menjadi dilarang.
- Surat al-Nur ayat 31 yang artinya: Janganlah perempuan itu menghentakkan kakinya supaya diketahui orang perhiasan yang tersembunyi didalamnya.
Sebenarnya menghentakkan kaki itu
bagi perempuan boleh saja, tapi kaena menyebabkan perhiasannya yang tersembunyi
doketahui orang sehingga menimbulkan angsangan bagi yang mendengarnya, maka
menghentakkan kaki bagi perempuan itu menjadi terlarang.[15]
Dari dua contoh ayat diatas terlihat
adanya larangan bagi perbuatan yang dapat menyebabkan sesuatu yang terlarang,
meskipun pada dasarnya perbuatan itu boleh hukumnya.
Dari ayat yang sudah dibahas diatas
juga dapat diketahui bahwa Saddus Zari,ah mempunyai dasar dari al-Qur,an,
sedangkan dasar-dasar saddus zari’ah dari sunnah adalah:
- Nabi melarang membunuh orang munafik, karena membunuh orang munafik bisa menyebabkan nabi dituduh membunuh sahabatnya.
- Nabi melarang kreditor untuk menerima hadiah dari debitor karena cara demikian bisa mengarah kepada riba, atau untuk ikhtiyat.
- Nabi melarang memotong tangan pencuri pada waktu perang dan ditangguhkan sampai selesai perang, karena dikhawatikan tentara-tentara lari bergabung bersama musuh.
- Nabi melarang melakukan penimbunan karena penimbunan bisa mengakibatkan kesulitan manusia.
- Nabi melarang fakir miskin dari bani hasyim menerima bagian dari zakat agar tidak menimbulkan fitnah bahwa nabi memperkaya diri dan keluarganya dari zakat.[16]
C. Ketentuan dalam Saddu
Zari’ah
Untuk menetapkan hukum jalan
(sarana) yang mengharamkan kepada tujuan, perlu diperhatikan:
- Tujuan. Jika tujuannya dilarang, maka jalannyapun dilarang dan jika tujuannya wajib, maka jalannyapun diwajibkan.
- Niat (Motif). Jika niatnya untuk mencapai yang halal, maka hukum sarananya halal, dan jika niat yang ingin dicapai haram, maka sarananyapun haram.
- Akibat dari suatu perbuatan. Jika akibat suatu perbuatan menghasilkan kemaslahatan seperti yang diajarkan syari’ah, maka wasilah hukumnya boleh dikerjakan, dan sebaliknya jika akibat perbuatan adalah kerusakan, walaupun tujuannya demi kebaikan, maka hukumnya tidak boleh.[17] Contohnya seperti yang sedang marak dibicarakan sekarang yaitu katup jantung. Pada dasarnya membedah orang yang sudah meninggal itu dilarang seperti hadits Hadis Nabi riwayat Abu Daud : “Memecah/merusak tulang orang yang telah meninggal dunia sama dengan memecahkannya/merusaknya sewaktu manusia itu masih hidup.” (HR. Abu Daud). tetapi dengan Kaidah hukum yang berbunyi : “Kehormatan orang masih hidup diutamakan dari pada kehormatan orang yang telah meninggal dunia “[18] Bolehnya melakukan pembedahan terhadap perut jenazah/orang yang telal: meninggal dunia dengan tujuan untuk menyelamatkan harta atau jiwa orang lain, sebagaimana dijelaskan oleh Kitab Syarah al-Muhazzab, juz V hal 300 : “Apabila ada mayit sewaktu masih hidup menelan permata milik ora1iQ lain dan”pemilik permata memintanya (kepada ahli waris mayit) maka perut mayit tersebut harus dicedah untuk mengambil permatanya “.Kitab Syarah al-Muhazzab, juz V hal 301 : “Apabila ada seorang wanita meninggal dunia dan di dalam perutnya terdapat janin/bayi yang hidup,, maka perut wanita tersebut harus dibedah, karena hal itu berarti upaya menyelamatkan orang yang masih hidup dengan merusak bagian/organ orang yang telah meninggal. Dengan demikian kebolehannya itu sama dengan (kebolehan) memakan daging mayit dalam keadaan darurat.maka MUI Memfatwakan :Bahwa dalam kondisi tidak ada pilihan lain yang lebih baik, pengambilan katup jantung orang yang telah meninggal untuk kepentingan orang yang masih hidup dapat dibenarkan oleh hukum Islam dengan syarat ada izin dari yang bersangkutan (lewat wasiat sewaktu masih hidup) clan izin keluarga/ahli warisnya.[19]
Dalam hal ini dasar pemikiran
hukumnya bagi ulama’ adalah bahwa setiap perbuatan mengandung dua sisi:
1. Sisi yang mendorong untuk
berbuat.
2. Sasaran atau tujuan yang menjadi
natijah (Kesimpulan/Akibat) dari perbuatan itu. Menurut natijahnya, perbuatan
itu ada 2 bentuk:
- Natijahnya baik, maka segala sesuatu yang mengarah kepadanya adalah baik dan oleh karenanya dituntut untuk mengerjakannya.
- Natijahnya buruk, maka segala sesuatu yang mendorong kepadanya adalah juga buruk, dan karenannya dilarang.[20]
- D. Pengelompokan Saddu Dzari’ah
Dzari’ah dapat dikelompokkan dengan
melihat beberapa segi:
1. Dari segi akibat (dampak) yang
ditimbulkannya, Ibnu Qayyim membagi dzari’ah menjadi 4 yaitu:
- Dzari’ah yang pada dasarnya membawa kepada kerusakan. Contohnya, minuman yang memabukkan akan merusak akal dan perbuatan zina akan merusak keturunan.
- Dzari’ah yang ditentukan untuk sesuatu yang mubah (boleh), namun ditujukan untuk pebuatan buruk yang merusak baik yang disengaja seperti nikah muhallil, atau tidak disengaja seperti mencaci sesembahan agama lain.
- Dzari’ah yang semula ditentukan mubah, tidak ditujukan untuk kerusakan, namun biasanya sampai juga kepada kerusakan dan kerusakan itu lebih besar daripada kebaikannya. Seperti berhiasnya seorang istri yang baru ditinggal mati oleh suaminya, sedangkan dia dalam masa iddah.
- Dzari’ah yang semula ditentukan mubah, namun terkadang membawa kepada kerusakan tetapi kerusakannya lebih kecil daripada kebaikannya. Contoh dalam hal ini adalah melihat wajah perempuan saat dipinang.[21]
2. Dari segi tingkat kerusakan yang
ditimbulkannya, Abu Ishak al-Syatibi membagi dzari’ah menjadi 4 macam:
a. Dzari’ah yang membawa kerusakan
secara pasti. Umpamanya menggali lobang ditanah sendiri yang lokasinya didekat
pintu rumah orang lain diwaktu gelap.
b. Dzari’ah yang kemungkinan besar
mengakibatkan kerusakan. Umpamanya menjual anggur kepada pabrik minuman dan
menjual pisau tajam kepada penjahat yang sedang mencari musuhnya.
c. Perbuatan yang boleh dilakukan
karena jarang mengandung kemafsadatan.
d. Perbuatan yang pada dasarnya
mubah karena mengandung kemaslahatan, tetapi dilihat dari pelaksanaannya ada
kemungkinan membawa kepada sesuatu yang dilarang. Misalnya semacam jual-beli
yang dilakukan untuk mengelak dai riba, umpama si A menjual arloji kepada si B
dengan harga rp 1.000.000 dengan hutang, dan ketika itu arloji tersebut dibeli
lagi oleh si A dengan harga rp 800.000 tunai, si B mengantongi uang p 800.000
tetapi nanti pada waktu yang sudah ditentukan si B harus membayar rp 1000.000
pada si A. Jual beli seperti ini dikenal dengan bai’ al-ainah atau bai’ul
ajal.[22]
E. Perbedaan Pendapat Ulama Tentang
Saddu Zari’ah
Menurut wahbah azzuhaili, para ulama
sepakat tentang dilarangnya perbuatan ini, karena cara seperti ini merupakan
praktik-praktik riba yang berusaha dijadikan helah oleh para pelakunya. Bahkan
kalangan malikiyah dan hambaliyah jual beli ini dilarang karena masalah
dilarang atau tidaknya suatu perbuatan tidak hanya diukur pada bentuk formal
dari suatu perbuatan, tetapi juga dilihat kepada akibat dari perbuatan itu. Hal
ini terkait dengan moral di tengah masyarakat, sehingga penetapan hukum yang
berprinsip saddu al-zari’ah merupakan antisipasi tehadap berbagai kegiatan yang
bersifat amoral di masyarakat karena dalam prinsip saddu al-zari’ah tidak hanya
terpaku pada hukum dasar suatu pebuatan, tetapi juga mempertimbangkan
moti-motif yang melatar belakangi perbuatan serta akibat yang akan
ditimbulkannya. Sedangkan menurut hanafiyah jual beli seperti itu fasid (rusak)
bukan karena atas dasa saddus zariah, tetapi atas dasar bahwa pihak penjual
tidak sah membeli barang itu kembali sebelum pihak pembeli melunasi barang
tersebut. [23]
Menurut kalangan syafi’iyah
berpendapat bahwa jual beli seperti itu hukumnya sah, selama syarat dan
rukunnya telah dipenuhi, adanya kemungkinan tujuan tersembunyi dibalik yang
lahiriyah dari kedua belah pihak, karena tidak dapat dipastikan, tidak
berpengaruh pada sahnya akad jual beli.[24]
Perbedaan sisi pandang ini
menimbulkan perbedaan tentang penerimaan dalil saddu zara’i. Malikiyah mengukur
sah / tidaknya suatu perbuatan dengan mempetimbangkan niat, tujuan dan akibat
dari perbuatan itu sendiri. Sementara hanafiyah dan syafi’iyah hanya memandang
akadnya, jika sesuai dengan rukun dan syarat maka itu sah, sedangkan niat
tersembunyi dikembalikan kepada Allah.
Kerancauan mengenai batasan maslahat
dan mudarat menimbulkan berbagai pendapat mengenai kedudukan saddu zara’i yaitu
bisa diterima dengan memenuhi dua prinsip:
1. Zara’i digunakan bila
mengakibatkan kerusakan yang ditetapkan nas/hal-hal yang ada nasnya.
- Perkara yang berhubungan dengan amanat dalam hukum syara’, bukan berrarti tidak memeperhitungkan kemungkinan terjadinya khianat, karena bisa jadi bahaya menutup zara’i bermudarat lebih besar dari bahaya yang dapat dihindarkan melalui meninggalkan zara’i.[25]
Dalam masyarakat yang majemuk,
banyak hal yang bisa dikaji dengan konsep saddu al-zari’ah sebagai antisipasi
terhadap kemafsadatan yang akan ditimbulkan oleh suatu pebuatan. Contoh lain
dari jenis zari’ah yaitu acara muhasabah bersama yang diadakan oleh lembaga atau yayasan, baik muhasabah
akhir tahun, maupun acara-acara Muhasabah insidentil. Dewan Syariah Yayasan
Al-khairat mengatakan bahwa acara-acara muhasabah seperti itu adalah
bid'ah. Pada dasarnya Muhasabah artinya evaluasi atas prilaku dan tindak tanduk
kita dengan tujuan kita dapat menyesali dosa-dosa yang telah kita lakukan,
beristighfar dan bertobat serta bertekad tidak akan melakukan lagi. Muhasabah
dianjurkan oleh Al-Quran dalam banyak ayat dan hadits. Dan boleh dilakukan baik
secara sendiri-sendiri atau secara bersama (berjamaah).[26]
Dasar yang
menjadi masalah adalah bila muhasabah yang dilakukan secara berjamaah itu
secara proses waktu menjadi sebuah bentuk ibadah ritual baru dengan syarat,
aturan, ketentuan dan rukun yang baku. Meski maksud dan tujuannya baik dan
bahkan tidak ada mata acara yang bertentangan dengan syariah, tapi sebagai
paket ritual, menjadi hal yang ditakutkan akan menimbulkan salah paham di
kemudian hari. Orang akan beranggapan bahwa itu adalah sebuah bentuk ibadah
mahdhah tersendiri.[27]
Dalam hal
ini, ada ketentuan Saddus Zari`ah, yaitu mencegah hal-hal yang dikhawatirkan
menimbulkan keburukan dan dikhawatirkan menjadi ketetapan tradisi dan menjadi
ibadah yang bid`ah. Sebenarnya fenomena ramainya peserta muhasabah dan
menjamurnya acara tersebut sangat menggembirakan apalagi digelar pada momentum
malam tahun baru yang umunya digunakan untuk hura-hura. Sangat kontras dengan
acara ini dimana pada malam yang sama puluhan bahkan ratusan masjid dijejali oleh
kawula muda yang khusyu` mendengarkan siraman rohani dan menangis mendengarkan
imam membacakan ayat-ayat Quran yang suci. Sebuah pemandangan yang langka.
Dalam
batas tertentu itu memang menggembirakan. Namun para ulama sudah berpikir
panjang dan melihat ke depan dengan menggunakan saddus zari`ah. Maka ketika
kemudian gejala ini dirasakan semakin meluas sementara tidak ada jaminan bahwa
generasi berikutnya benar-benar memahami konteks di atas, maka sebelum menjadi
sebuah keharusan sosial, ditetapkanlah bahwa acara muhasabah berjamaah seperti
itu tidak perlu diteruskan, apalagi menggunakan momentum tahun baru dan
sejenisnya, karena mencegah yang mungkar itu
lebih didahulukan dari mencari keutamaan.[28]
Menurut Imam Asy-Syatibi, ada
kriteria yang menjadikan suatu perbuatan itu dilarang, yaitu:
1. Perbuatan yang sebenarnya
hukumnya boleh tetapi mengandung kerusakan.
2. Kemafsadatan lebih kuat dari pada
kemaslahatan.
3.Perbuatan yang dibolehkan syara’
mengandung lebih banyak unsur kemafsadatannya.[29]
KESIMPULAN
Dzari’ah adalah washilah (jalan)
yang menyampaikan kepada tujuan, baik yang halal ataupun yang haram. Maka
jalan/ cara yang menyampaikan kepada yang haram hukumnyapun haram, jalan / cara
yang menyampaiakan kepada yang halal hukumnyapun halal serta jalan / cara yang
menyampaikan kepada sesuatu yang wajib maka hukumnyapun wajib.
Para ulama telah sepakat tentang
adanya hukum pendahuluan, walaupun sebagian tidak sepakat dalam menerimanya
sebagai Dzari’ah. Ulama hanafiyah dan hanabilah dapat menerima sebagai fath
Az-Dzari’ah, sedangkan ulama Syafi’iyah, Hanafiyyah dan sebagian Malikiyyah
menyebutnya sebagai Muqaddimah, tidak termasuk sebagai kaidah dzari’ah. Namun
mereka sepakat bahwa hal itu bisa dijadikan sebagai hujjah. Walaupun Golongan
Zhahiriyyah tidak mengakui kehujjahan sadduz dzari’ah sebagai salah satu dalil
dalam menetapkan hukum syara’. Hal itu sesuai dengan prinsip mereka yang hanya
menggunakan nash secara harfiyah saja dan tidak menerima campur tangan logika
dalam masalah hukum.
Banyaknya ayat-ayat Al-Qur’an yang
mengisyaratkan kearah saddu al-zari’ah menarik perhatian para ulama’ contoh:
Surat Al-An’am ayat 108 yang artinya: Janganlah kamu caci orang yang
menyembah selain Allah, karena nanti ia akan memushi tanpa pengetahuan. dan
Surat al-Nur ayat 31 yang artinya: Janganlah perempuan itu menghentakkan
kakinya supaya diketahui orang perhiasan yang tersembunyi didalamnya. Juga
terdapat dalam hadis nabi Muhammad S.A.W. contohnya yaitu Nabi melarang
membunuh orang munafik, karena membunuh orang munafik bisa menyebabkan nabi
dituduh membunuh sahabatnya dan Nabi melarang kreditor untuk menerima hadiah
dari debitor karena cara demikian bisa mengarah kepada riba, atau untuk
ikhtiyat.
Dalam hal ini dasar pemikiran
hukumnya bagi ulama’ adalah bahwa setiap perbuatan mengandung dua sisi:
1. Sisi yang mendorong untuk
berbuat.
2. Sasaran atau tujuan yang menjadi
natijah (Kesimpulan/Akibat) dari perbuatan itu. Menurut natijahnya, perbuatan
itu ada 2 bentuk:
- Natijahnya baik, maka segala
sesuatu yang mengarah kepadanya adalah baik dan oleh karenanya dituntut untuk
mengerjakannya.
- Natijahnya buruk, maka segala
sesuatu yang mendorong kepadanya adalah juga buruk, dan karenannya dilarang.
Untuk menetapkan hukum jalan
(sarana) yang mengharamkan kepada tujuan, dalam saddu al-zari’ah, ada tiga hal
yang perlu dipehatikan:
- Tujuan. Jika tujuannya dilarang, maka jalannyapun dilarang dan jika tujuannya wajib, maka jalannyapun diwajibkan.
- Niat (Motif). Jika niatnya untuk mencapai yang halal, maka hukum sarananya halal, dan jika niat yang ingin dicapai haram, maka sarananyapun haram.
- Akibat dari suatu perbuatan. Jika akibat suatu perbuatan menghasilkan kemaslahatan seperti yang diajarkan syari’ah, maka wasilah hukumnya boleh dikerjakan, dan sebaliknya jika akibat perbuatan adalah kerusakan, walaupun tujuannya demi kebaikan, maka hukumnya tidak boleh.
Dapat disimpulkan bahwa dalam saddu
al-zai’ah penetapan hukumnya selalu menekankan pada keutamaan manfaat dan
menghindari kemufsadatan. Hal ini untuk mengantisispasi sikap hidup yang tidak
terpuji ditengah masyarakat.
DAFTAR
PUSTAKA
Djaazuli. 2005. Ilmu Fiqih. Jakarta:
Kencana Media Group.
Effendi, Satria. 2005. Ushul Fiqh.
Jakarta: Prenada Media.
Ensiklopedi Hukum Islam. 1996. Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve.
Haroen, Nasrun. 1997. Ushul Fiqh
I. Jakarta: Logos Wacana Ilmu.
Khallaf, Abdul Wahab. 1994. Ilmu
Ushul Fiqh. Semarang: Dina Utama.
Mukhtar, Kamal. 1995. Ushul Fiqh
1. Yogyakarta: Dana Bakti Wakaf.
Rahman,Syafe’I. 1999. Ilmu Ushul
fiqh. Bandung: Pustaka Setia.
Syukur,Syarmin. 1993. Sumber-Sumber
Hukum Islam. Surabaya: Al-Ikhlas.
Tiharjanti, Ummu Isfaroh. 2003. Penerapan
Saddud Zara’I Terhadap Penyakit Genetik Karier Resesif dalam Perkawinan
Inbreeding. Yogyakarta: UIN Sunan Kalijaga.
[1]
Abdul Wahab Khallaf, Ilmu Ushul Fiqh, , (Semarang: Dina Utama, 1994),
hal. 135.
[2]
Nasrun Haroen, Ushul Fiqh I, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997),
hal. 160.
[3]
Ibid., hal 161.
[5]
Ummu Isfaroh Tiharjanti, Penerapan Saddud Zara’I Terhadap Penyakit Genetik
Karier Resesif dalam Perkawinan Inbreeding, (Yogyakarta: UIN Sunan
Kalijaga. 2003), hal. 27-28.
[6]
Djaazuli. H.A, Ilmu Fiqih, (Jakarta: Kencana Media Group, 2005), hal. 98
[7]
Syafe’I Rahman, Ilmu Ushul fiqh, (Bandung: Pustaka Setia, 1999), hal.
132
[8]
Nasrun Haroen, Ushul Fiqh I., hal. 161
[9]
Ibid.
[10]
Ensiklopedi Hukum Islam, (Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve1996)
[11]
Syafe’I Rahman, Ilmu., hal. 139.
[13]
Djaazuli, H.A, Ilmu Fiqih., hal. 99.
[14]
Syarmin Syukur, Sumber-sumber Hukum Islam, (Surabaya: Al-Ikhlas, 1993),
hal. 113.
[15]
Nasrun Haroen, Ushul Fiqh I., hal. 164.
[16]
Syafe’I Rahman, Ilmu., hal. 132.
[17]
Syarmin Syukur, Sumber-sumber., hal. 112.
[19]
Ibid.
[20]
Nasrun Haroen, Ushul., hal. 166.
[21]
Ibid., hal. 133.
[22]
Ibid., hal. 135.
[23]
Satria Effendi, Ushul Fiqh, (Jakarta: Prenada Media, 2005), hal. 174.
[24]
Ibid., hal. 175.
[25]
Ummu Isfaroh Tiharjanti, Penerapan., hal. 43.
[27]
Ibid.
[28]
Ibid.
[29]
Syafe’I Rahman, Ilmu., hal. 133
No comments:
Post a Comment