KONSEKWENSI
SYAHADAT
TERHADAP HUKUM
M.RAKIB,
S.H., M.Ag,.Drs.
Widyaiswara
LPMP. Riau.2014
Apabila sudah, ucapkan syahadat,
Hukum Islam, langsung melekat.
Keyakinan teguh, sangat mengikat,
Wajib dipegang, erat-erat.
Tidak ukuti hukum Islam, syahadatnya batal,
Dengan murah, imannya dijual.
Allah Tuhannya, tidak benar-benar dikenal,
Kurang memperhatikan, haram atau halal.
Emansipasi, menggelegar,
Duniapun, jadi bergetar
Banyak istri, bekerja di
luar,
Suami di rumah, selalu lapar.
Wahai suami, di seluruh dunia,
Isteri itu, amanah Allah.
Bisa menjadi, racun dunia.
Jika kurang, pengawasan imannya.
Suami yang dayus, tak pernah cemburu,
Imannya lemah, hidupnya ragu,
Isteri menyeleweng, pura-pura tak tahu,
Disiksa ketakutan, setiap
waktu.
\
Pada
tataran grand theory digunakan teori kredo. Teori kredo atau syahadat
yaitu teori yang mengharuskan pelaksanaan hukum Islam oleh mereka yang telah
mengucapkan dua kalimah syahadat sebagai konsekuensi logis dari pengucapan
kredonya.Teori ini sesungguhnya kelanjutan dari prinsip tauhid dalam filsafat
hukum Islam. Prinsip tauhid yang menghendaki setiap orang yang menyatakan
dirinya beriman kepada ke-Maha Esaan Allah ta’ala, maka ia harus tunduk
kepada apa yang diperintahkan Allah ta’ala dalam hal ini taat kepada
perintah Allah ta’ala dan sekaligus taat kepada Rasulullah SAW dan
sunnahnya.
Teori
Kredo ini sama dengan teori otoritas hukum yang dijelaskan oleh H.A.R. Gibb. Ia
menyatakan bahwa orang Islam yang telah menerima Islam sebagai agamanya berarti
ia telah menerima otoritas hukum Islam atas dirinya. Teori Gibb ini sama dengan
apa yang telah diungkapkan oleh imam madzhab seperti Imam Syafi’i dan Imam Abu
Hanifah ketika mereka menjelaskan teori mereka tentang Politik Hukum
Internasional Islam (Fiqh Siyasah Dauliyyah) dan Hukum Pidana Islam (Fiqh
Jinayah). Mereka mengenal teori teritorialitas dan non teritorialitas.
Teori teritorialitas dari Imam Abu Hanifah menyatakan bahwa seorang muslim
terikat untuk melaksanakan hukum Islam sepanjang ia berada di wilayah hukum di
mana hukum Islam diberlakukan. Sementara teori non teritorialitas dari Imam
Syafi’i menyatakan bahwa seorang muslim selamanya terikat untuk melaksanakan
hukum Islam di mana pun ia berada, baik di wilayah hukum di mana hukum Islam
diberlakukan, maupun di wilayah hukum di mana hukum Islam tidak diberlakukan.
Sebagaimana
diketahui bahwa mayoritas umat Islam di Indonesia adalah penganut madzhab
Syafi’i sehingga berlakunya teori syahadat ini tidak dapat disangsikan lagi.
Teori Kredo atau Syahadat ini berlaku di Indonesia sejak kedatangannya hingga
kemudian lahir Teori Receptio in Complexu di zaman Belanda.
Intisari
dari teori ini adalah bahwa setiap muslim memiliki kewajiban untuk melaksanakan
seluruh hukum Islam sebagai bentuk konsekuensi syahadatnya. Namun dalam
prakteknya ternyata banyak umat Islam yang tidak bisa melaksanakan hukum-hukum
yang ditetapkan oleh Islam. Oleh karena itu teori ini tidak mengaitkannya
dengan tradisi dan budaya yang ada di masyarakat sehingga diperlukan teori
lainnya untuk menjelaskan deskripsi dari penelitian ini.
Namun, teori kredo ternyata belum
mampu untuk menjelaskan mengenai penyerapan hukum Islam oleh masyarakat adat.
Karena dalam faktanya walaupun mereka telah memeluk agama Islam namun dalam
kehidupan sehari-hari tidak semua hukum Islam mereka laksanakan. Oleh karena
itu diperlukan teori lain untuk bisa menjelaskan obyek penelitian ini yang akan
dituangkan dalam middle theory.
2.
Middle Theory
Penyerapan
hukum Islam oleh masyarakat adat adalah sebuah fenomena yang terjadi di
Indonesia. Maka untuk mendeskripsikan fenomena ini peneliti menggunakan teori
resepsi (receptie) sebagai Middle theory. Teori ini digunakan
untuk menjelaskan lebih lanjut masalah penyerapan hukum Islam oleh masyarakat
di Indonesia maka. Teori resepsi adalah teori mengenai penyerapan hukum Islam
oleh masyarakat Indonesia karena beberapa alasan, sebagian karena kesadaran
akan konsekuensi syahadatnya, sebagian karena peraturan dari pemerintah
menghendaki demikian dan karena kondisi lingkungan mengharuskan hal tersebut.
Penyerapan
hukum Islam oleh masyarakat di Indonesia telah menarik perhatian beberapa
cendekiawan dari Belanda untuk melakukan studi dengan tema ini. Maka munculah
beberapa teori mengenai hal ini yaitu teori receptio in complexu dan theory
receptie. Kedua teori ini setelah masa kemerdekaan dikritik oleh para ahli
hukum dalam negeri dengan theory receptie exit dan theory receptio a
contrario. Berikut adalah pembahasannya:
Teori
pertama tentang penyerapan hukum adalah teori receptio in complexu yang
dirumuskan oleh Lodewijk Willem Cristian Van Den Berg (1845-1927).[3] Sebelumnya teori ini juga disebutkan oleh H.A.R. Gibb,
Menurut teori ini bagi orang Islam yang berlaku penuh adalah hukum Islam sebab
dia telah memeluk Islam walaupun dalam pelaksanaannya masih terdapat
penyimpangan-penyimpangan. Secara fakta teori Berg lebih rinci dibandingkan
teori yang dikemukakan H.A.R. Gibb, sebab prakteknya hingga sekarang umat Islam
di Indonesia masih banyak yang belum taat dalam menjalankan ajaran Islam.
Ketaatan mereka masih terbatas pada shalat lima waktu, zakat, puasa dan haji,
sedangkan ajaran Islam lainnya masih kurang diperhatikan misalnya ajaran Islam
tentang ekonomi dan perbankan Islam.[4]
Teori penerimaan hukum ini kemudian
dikenal dengan istilah receptio in complexu yaitu penerimaan hukum Islam
secara keseluruhan oleh masyarakat yang beragama Islam. Karakteristik dari
teori ini adalah:
1.
Hukum Islam dapat berlaku di
Indonesia bagi pemeluk Islam
2.
Umat Islam harus taat pada ajaran
Islam
Teori
ini menjadi acuan dalam kebijakan-kebijakan pemerintah penjajah waktu itu
dengan dikeluarkannya peraturan dalam Regeering Reglement (RR) th.1855,
Statsblad 1855 Nomor 2. RR merupakan Undang-Undang Dasar Hindia Belanda. Bahkan
dalam ayat 2 pasal 75 RR itu ditegaskan: ”Dalam hal terjadi perkara perdata
antara sesama orang Indonesia itu atau dengan mereka yang dipersamakan dengan
mereka maka mereka tunduk kepada hakim agama atau kepala masyarakat mereka
menurut undang-undang agama (godsdienstige wetten) atau
ketentuan-ketentuan lama mereka”.
Teori
ini kemudian digantikan oleh teori receptie yang menyatakan bahwa hukum
Islam di Indonesia baru berlaku apabila hukum adat menghendaki hal tersebut.
Teori ini merupakan hasil dari penelitian Christian Snouck Hurgronye
(1857-1936) yang dilakukan di Aceh dan Gayo. Ia menyimpulkan bahwa hukum Islam
di Indonesia baru berlaku ketika telah diterima (receptie) oleh hukum
adat. Teori ini tidak lepas dari kepentingan bangsa penjajah waktu itu yang
ingin melemahkan perjuangan umat Islam di Indonesia. Teori ini kemudian
dikuatkan oleh kebijakan pemerintah kolonial dengan dikeluarkannya Wet op De
Staatsregeling (IS) atau IS (Indische Staatsregeling) tahun 1929
Pasal 134 ayat (2) yang berbunyi: ”Dalam hal terjadi masalah perdata antar
sesama orang Islam, akan diselesaikan oleh Hakim agama Islam apabila hukum adat
mereka menghendakinya”.
Teori
ini mendapat pertentangan yang sengit dari kalangan umat Islam dan juga
tokoh-tokoh hukum Belanda, Hazairin menyebut teori ini sebagai teori Iblis
karena telah mematikan pelaksanaan hukum Islam di Indonesia. Sementara Mr.
Scholten van Oud Haarlem menulis sebuah nota kepada Pemerintah Hindia Belanda untuk
tidak melakukan pelanggaran terhadap Bumiputera sebagai pencegahan terhadap
perlawanan yang akan terjadi, maka diberlakukan pasal 75 RR (Regeering
Reglement) suatu peraturan yang menjadi dasar bagi pemerintah Belanda untuk
menjalankan kekuasaannya di Indonesia, S. 1855: 2 memberikan instruksi kepada
pengadilan agar tetap mempergunakan undang-undang agama, lembaga-lembaga dan
kebiasaan-kebiasaan itu sejauh tidak bertentangan dengan kepatutan dan keadilan
yang diakui umum.
Teori
yang dirumuskan Hazairin dikenal dengan teori receptie exit yang berarti
bahwa setelah Indonesia merdeka dan setelah UUD 1945 dijadikan UUD negara, maka
walaupun aturan peralihan menyatakan bahwa hukum yang lama masih berlaku selama
jiwanya tidak bertentangan dengan UUD 1945, seluruh peraturan
perundang-undangan pemerintah Hindia Belanda yang berdasarkan ajaran receptie
tidak berlaku lagi karena jiwanya bertentangan dengan UUD 1945. Setelah
Proklamasi, kemudian Undang-undang Dasar 1945 dinyatakan berlaku yang di
dalamnya ada semangat merdeka di bidang hukum. Dengan peraturan peralihannya
guna menghindari kevakuman hukum masih diberlakukan ketentuan-ketentuan hukum
dan bangunan-bangunan hukum yang ada selama jiwanya tidak bertentangan dengan
UUD 1945. Beliau berpendapat bahwa banyak aturan pemerintah Hindia Belanda yang
bertentangan dengan UUD. Pertentangan tersebut terdapat pada pembukaan
Undang-Undang Dasar Alinea ke III dan Alinea ke IV serta pada Pasal 29
Undang-Undang Dasar 1945. Kesimpulan dari teori ini adalah:
1. Teori receptie telah patah, tidak berlaku dan exit
dari tata negara Indonesia sejak Tahun 1945 dengan merdekanya bangsa Indonesia
dan memulai berlakunya UUD 1945 dan dasar negara Indonesia. Demikian pula
keadaan itu setelah adanya Dekrit Presiden tanggal 5 Juli 1959 untuk kembali
pada UUD 1945.
2. Sesuai dengan UUD 1945 pasal 29 ayat 1 maka negara Republik
Indonesia berkewajiban membentuk hukum nasional Indonesia bahannya adalah hukum
agama. Negara mempunyai kewajiban kenegaraan untuk itu.
3. Hukum agama yang masuk dan menjadi hukum Nasional Indonesia
itu bukan hukum Islam saja, melainkan juga hukum agama lain untuk pemeluk agama
lain. Hukum agama di bidang hukum perdata dan hukum pidana diserap menjadi
hukum nasional Indonesia. Istilah hukum baru Indonesia dengan dasar Pancasila.
Bermuka masam terhadap suami.
Sabda Rasulullah SAW: “Siapa saja perempuan yang bermuka masam di hadapan suaminya berarti ia dalam kemurkaan Allah sampai ia senyum kepada suaminya atau ia meminta keredhaannya.”
Jahat lidah atau mulut pada suami.
Sabda Rasulullah SAW: “Dan ada empat golongan wanita yang akan dimasukkan ke dalai Neraka (diantaranya) ialah wanita yang kotor atau jahat lidahnya terhadap suaminya.”
Membebankan suami dengan permintaan
yang diluar kemampuannya.
Keluar rumah tanpa izin suaminya.
Sabda Rasulullah SAW: “Siapa saja perempuan yang keluar rumahnya tanpa ijin suaminya dia akan dilaknat oleh Allah sampai dia kembali kepada suaminya atau suaminya redha terhadapnya.” (Riwayat Al Khatib)
Sabda Rasulullah SAW: “Siapa saja perempuan yang keluar rumahnya tanpa ijin suaminya dia akan dilaknat oleh Allah sampai dia kembali kepada suaminya atau suaminya redha terhadapnya.” (Riwayat Al Khatib)
Berhias ketika suaminya tidak di sampingnya.
Maksud firman Allah: “Janganlah mereka (perempuan-perempuan) menampakkan perhiasannya melainkan untuk suaminya.” (An Nur: 31)
Maksud firman Allah: “Janganlah mereka (perempuan-perempuan) menampakkan perhiasannya melainkan untuk suaminya.” (An Nur: 31)
Menghina pengorbanan suaminya.
Maksud Hadis Rasulullah SAW: “Allah tidak akan memandang (benci) siapa saja perempuan yang tidak berterima kasih di atas pengorbanan suaminya sedangkan dia masih memerlukan suaminya.”
Maksud Hadis Rasulullah SAW: “Allah tidak akan memandang (benci) siapa saja perempuan yang tidak berterima kasih di atas pengorbanan suaminya sedangkan dia masih memerlukan suaminya.”
Apakah
Anda termasuk Istri yang dianggap durhaka? apakah istri Anda termasuk istri
yang dianggap durhaka kepada suami?
Apabila dipanggil oleh suaminya ia
tidak datang.
Sabda Rasulullah SAW yang bermaksud:“Apabila suami memanggil isterinya ke tempat tidur. ia tidak datang nescaya malaikat melaknat isteri itu sampai Subuh.” (Riwayat Bukhari dan Muslim)
Sabda Rasulullah SAW yang bermaksud:“Apabila suami memanggil isterinya ke tempat tidur. ia tidak datang nescaya malaikat melaknat isteri itu sampai Subuh.” (Riwayat Bukhari dan Muslim)
Membantah suruhan atau perintah
suami.
Sabda Rasulullah SAW: ‘Siapa saja yang tidak berbakti kepada suaminya maka ia mendapat laknat dan Allah dan malaikat serta semua manusia.”
Sabda Rasulullah SAW: ‘Siapa saja yang tidak berbakti kepada suaminya maka ia mendapat laknat dan Allah dan malaikat serta semua manusia.”
Mengijinkan masuk orang yang tidak
diijinkan suaminya ke rumah
maksud Hadis: “Jangan ijinkan masuk ke rumahnya melainkan yang diijinkan A suaminya.” (Riwayat Tarmizi)
maksud Hadis: “Jangan ijinkan masuk ke rumahnya melainkan yang diijinkan A suaminya.” (Riwayat Tarmizi)
Tidak mau menerima petunjuk suaminya.
Maksud Hadis: “Isteri yang durhaka hukumnya berdosa dan dapat gugur nafkahnya ketika itu. Jika ia tidak segera bertaubat dan memint ampun dari suaminya, Nerakalah tempatnya di Akhirat kelak. Apa yang isteri buat untuk suami adalah semata-mata untuk mendapat keredhaan Allah SWT”
Maksud Hadis: “Isteri yang durhaka hukumnya berdosa dan dapat gugur nafkahnya ketika itu. Jika ia tidak segera bertaubat dan memint ampun dari suaminya, Nerakalah tempatnya di Akhirat kelak. Apa yang isteri buat untuk suami adalah semata-mata untuk mendapat keredhaan Allah SWT”
PANTUN DAN SYAIR
JANGAN MENJADI ISTRI DURHAKA
Syair
Emansipasi, menggelegar,
Duniapun, jadi bergetar
Banyak istri, bekerja di
luar,
Suami di rumah, selalu lapar.
Wahai suami, di seluruh dunia,
Isteri itu, amanah Allah.
Bisa menjadi, racun dunia.
Jika kurang, pengawasan imannya.
Suami yang dayus, tak pernah cemburu,
Imannya lemah, hidupnya ragu,
Isteri menyeleweng, pura-pura tak tahu,
Disiksa ketakutan, setiap
waktu.
Janganlah durhaka, kepada
suami,
Nada suara, janganlah tinggi,
Setan senantiasa, bertebaran
di bumi,
Terjadi perceraian, mereka
senang sekali.
Janganlah isteri, bermuka
masam,
Karena suami, pulangnya
malam,
Bermusyawarah, tanpa dendam,
Persoalan selesai, jiwapun
tenteram.
Adapun 20 perilaku durhaka istri terhadap suami adalah sebagai berikut :
1. Mengabaikan Wewenang Suami. Di dalam rumah tangga, istri adalah orang yang berada di bawah perintah suami. Istri bertugas melaksanakan perintah-perintah suami yang berlaku dalam rumah tangganya. Rasulullah menggambarkan seandainya seorang suami memerintahkan suatu pekerjaan berupa memindahkan bukit merah ke bukit putih atau sebaliknya, maka tiada pilihan bagi istrinya selain melaksanakan perintah suaminya.
2. Menentang Perintah Suami. Di dalam rumah tangga, perintah yang harus dilaksanakan istri adalah perintah suami. Begitu juga larangan yang harus dilaksanakan istri adalah larangan suaminya. Sabda Rasulullah : " Tidaklah seorang perempuan menunaikan hak Tuhannya sehingga ia menunaikan hak suaminya". (HR. Ahmad dan Ibnu Majah) Hadits tersebut tidak serta merta menempatkan kedudukan suami sederaja dengan Tuhan, tetapi hanya menerangkan bahwa jika hak suami untuk ditaati isstrinya yang sesuai dengan ketentuan Allah itu dilanggar oleh istrinya, ini berarti sama dengan istri melanggar perintah Allah SWT.
3. Enggan Memenuhi Kebutuhan Seksual Suami. Perkawinan diatur oleh syari'at Islam untuk memberikan jalan yang halal bagi suami dan istri untuk melakukan hubungan seksual atau penyaluran dorongan biologis. Dengan demikian manusia dapat melakukan regenerasi keturunan dengan cara yang diridlai Allah SWT. Karena itu, Islam menegaskan bahwasanya istri yang menolak ajakan suaminya berarti membuka pintu laknat terhadap dirinya.
4. Tidak Mau menemani Suami Tidur. Dari Abu Hurairah ra, Rasulullah bersabda : " ... Bila seorang istri semalaman tidur terpisah dari ranjang suaminya, maka malaikat melaknatnya sampai Shubuh." Bila istri ingin tidur sendiri, sedang suaminya berada di rumah pada malam harinya, maka ia harus meminta ijin terlebih dahulu pada suaminya.
5. Memberatkan Beban Belanja Suami. Allah SWT telah menegaskan bahwa setiap suami bertanggung jawab memberi nafkah istrinya sesuai dengan kemampuan. Istri yang menyadari bahwa suaminya miskin tidak dibenarkan menuntut belanja dari suaminya hanya mempertimbangkan kebutuhannya sendiri sehingga memberatkan suaminya.
6. Tidak Mau Bersolek Untuk Suaminya. Para istri diperintahkan untuk berkhidmat pada suaminya, termasuk mengurus dirinya sendiri dengan berhias dan berdandan sehingga dapat menyenangkan hati suaminya dan menimbulkan gairah dalam hidup bersama dirinya.
7. Merusak kehidupan Agama Suami. Istri diperintahkan untuk membantu suaminya dalam menegakkan kehidupan beragama, sedangkan suami diperintahkan untuk membimbing istri menjalankan agamanya dengan baik. Karena itu, kalau istri tidak mau membatu suami menegakkan agama, apalagi merusak iman dan akhlak agama suami, sudah tentu ia menjerumuskan suaminya ke dalam neraka.
8. Mengenyampingkan Kepentingan Suami Dari Aisyah ra, ujarnya : saya bertanya kepada Rasulullah SAW . : " Siapakah orang yang mempunyai hak paling besar terhadap seorang wanita?" Sabdanya : " Suaminya". Saya bertanya : " Siapakah orang yang paling besar haknya terhadap seorang lelaki. " Jawabnya : "Ibunya". (HR.Bazaar dan Hakim; Hadits hasan) Jelaslah Hadits di atas bahwa kepentingan suami harus lebih didahulukan oleh seorang istri daripada kepentingan ibu kandungnya sesndiri.
9. Keluar Rumah Tanpa Izin Suami. Istri ditetapkan oleh Islam menjadi wakil suami dalam mengurus rumah tangga. Karena itu bilamana ia keluar meninggalkan rumah, maka dengan sendirinya ia harus lebih dulu mendapatkan izin suaminya. Bila ia tidak minta izin dan keluar rumah dengan kemauannya sendiri, maka ia telah melanggar kewajibannya terhadap suami, sedangkan melanggar kewajiban berarti durhaka terhadap suaminya.
10. Melarikan Diri Dari Rumah Suami Rasulullah saw bersabda : "Dua golongan yang sholatnya tidak bermanfaat bagi dirinya yaitu hamba yang melarikan diri dari rumah tuannya sampai ia pulang; dan istri yang melarikan diri dari rumah suaminya sampai ia kembali." (HR. Hakim, dari Ibnu 'Umar).
11. Menerima Tamu Laki-laki Yang Tidak Disukai Suami. Dalam sebuah Hadits, Rasulullah telah menegaskan bahwa seorang istri diwajibkan memenuhi hak-hak suaminya. Diantaranya yaitu : a. Tidak mempersilakan siapapun yang tidak disenangi suaminya untuk menjamah tempat tidurnya. b. Tidak mengizinkan tamu masuk bila yang bersangkutan tidak disukai oleh suaminya. (HR. Ibnu Majah dan Tirmidzi, Hadits hasan shahih).
12. Tidak Menolak Jamahan Tangan Lelaki Lain. ".... maka wanita-wanita yang shalih itu ialah yang taat lagi memelihara (dirinya dan harta suaminya) dikala suaminya tidak ada sebagaimana Allah telah memeliharanya..." (QS. An-Nisaa' (4) ayat 34) Rasulullah menjelaskan bahwa seorang istri yang membiarkan dirinya dijamah lelaki lain boleh diceraikan. Hal itu menunjukan bahwa perbuatan istri tersebut adalah durhaka terhadap suaminya.
13. Tidak Mau merawat Ketika Suami Sakit. Bila seorang istri menolak merawat suami yang sakit dengan alasan sibuk kerja atau tidak ada waktu karena merawat anak, maka ia telah melakukan tindakan yang tidak benar.
14. Puasa Sunnah Tanpa Izin Saat Suami Di Rumah. Dari Abu Harairah, bahwa Rasulullah saw. bersabda: " Seorang istri tidak halal berpuasa ketika suami ada di rumah tanpa izinnya." (HR. Bukhari dan Muslim).
15. Menceritakan Seluk Beluk Fisik Wanita Lain Kepada Suami. Dari Ibnu Mas'ud, ujarnya : Rasulullah saw. bersabda: "Seorang wanita tidak boleh bergaul dengan wanita lain, kemudian menceritakan kepada suaminya keadaan wanita itu, sehingga suaminya seolah-olah melihat keadaan wanita tersebut." (HR. Bukhari dan Muslim).
16. Menolak Kedatangan Suami Bergilir Kepadanya. Seorang istri yang dimadu, tetap mempunyai kewajiban untuk mentaati perintahnya, menyenangkan hatinya, berbhakti dan selalu berperilaku baik kepada suaminya ketika ia datang bergilir.
17. Mentaati Perintah Orang Lain Di Rumah Suaminya.
18. Menyuruh Suami Menceraikan Madunya.
19. Minta Cerai Tanpa Alasan Yang Sah.
20. Mengambil Harta Suami Tanpa Izinnya.
Semoga ini menjadikan pelajaran dan dijadikan penambahan ilmu untuk perbaikan menjalani hidup.
Bagikan Artikel ini kepada temanmu dengan meng-klik 'bagikan'/'share', semoga Dicatat Sebagai amal jariah / Ilmu yang bermanfaat yang disampaikannya kepada orang lain.
Semoga Allah membalas sekecil apapun amal baik kalian...
Bismillahirrohmanirrohim " INILAH MANUSIA YANG LEBIH HINA DARI BINATANG "
Pantun yang sudah
mengakar dalam kehidupan masyarakat Melayu ini, terutama Melayu masa silam, secara arif dijadikan media dakwah dan tunjuk
ajar oleh para ulama, pemangku adat, dan cerdik pandai sebagai media
penyampaian pesan-pesan moral yang sarat nilai-nilai luhur agama Islam, budaya, dan norma-norma sosial
masyarakat. Biasanya penyampaiannya dilakukan dengan berbagai variasi, seperti pantun nyanyian, pantun adat, pantun kelakar, pantun
nasehat, pantun berkasih sayang, bahkan pantun monto (mantera) sesuai
waktu, tempat, kemampuan dan kedudukan sang penyampai pantun, serta kepada
siapa pantun itu ditujukan.
Dalam kehidupan
masyarakat Melayu, pantun berperan penting dalam mewujudkan pergaulan seresam karena kemahiran
dalam berpantun seakan menjadi tolok ukur tingkat pergaulan dan status sosial seseorang.
Artinya, semakin mahir seseorang dalam pantun-memantun, maka semakin tinggi
pula tingkat pergaulan dan status sosialnya.
Di samping itu,
pantun berperan pula sebagai hiburan, penyalur aspirasi, penyebaran dan
penanaman nilai-nilai keagamaan, bahkan mencari jodoh. Singkat kata, pantun
menembus segala aspek kehidupan masyarakat Melayu. Sebagaimana tersebut dalam
ungkapan, "dengan pantun
banyak yang dituntun", "pantun dipakai membaiki perangai", "melalui pantun
syarak menuntun", "di dalam kelakar terdapat tunjuk ajar", "di dalam seloroh
ada petaruh", "di dalam menyindir terdapat tamsil", dan juga terungkap dalam pantun-pantun berikut:
Apa guna orang
bertenun
Untuk membuat pakaian adat
Apa guna orang berpantun
Untuk memberi petuah amanat
Apa guna daun kayu
Untuk tempat orang berteduh
Apa guna pantun Melayu
Untuk tempat mencari suluh
Untuk membuat pakaian adat
Apa guna orang berpantun
Untuk memberi petuah amanat
Apa guna daun kayu
Untuk tempat orang berteduh
Apa guna pantun Melayu
Untuk tempat mencari suluh
Dalam berpantun
biasanya para pemantun (penutur) sangat memperhatikan keserasian sampiran,
keserasian antara isi dan sampiran, pemilihan kata, dan penyusunan kalimat. Artinya, tidak
hanya sekadar kesamaan bunyi belaka. Dengan kata lain, pantun yang baik adalah
pantun yang sampiran dan isinya mengandung arti. Sehingga, pantun semacam ini
sedap didengar, mudah dipahami, tidak berbelit-belit apalagi mengada-ada, dan
yang terpenting bahwa pantun itu penuh dengan kandungan isinya yang mendalam
namun tetap mudah dicerna, seperti dalam pantun berikut ini:
Hari Jum‘at orang
sembahyang
Menyembah Tuhan beramai-ramai
Membayar zakat janganlah bimbang
Supaya bersih harta dipakai
Bila hidup tidak beriman
Banyaklah orang fitnah memfitnah
Bila mengikuti bisikan syetan
Kebaikan hilang marwahpun punah
Menyembah Tuhan beramai-ramai
Membayar zakat janganlah bimbang
Supaya bersih harta dipakai
Bila hidup tidak beriman
Banyaklah orang fitnah memfitnah
Bila mengikuti bisikan syetan
Kebaikan hilang marwahpun punah
Meskipun pada masa
silam pantun mendapat kedudukan istimewa, yaitu begitu diutamakan dan dijadikan
pedoman, pegangan, dan bekal dalam kehidupan masyarakat Melayu, namun pada masa
kini keadaannya justru terbalik. Sejalan dengan perubahan zaman, jumlah penutur
dan pemantun semakin sedikit. Hal ini disebabkan karena adanya berbagai
perubahan dan pergeseran nilai-nilai budaya dalam masyarakat, langkanya momentum untuk menampilkan
dan menyampaikan pantun, serta semakin minimnya perhatian seluruh kalangan
masyarakat, mulai dari tingkat atas sampai paling bawah. Kondisi-kondisi
tersebut membuat seni Melayu ini menjadi
asing di tengah masyarakatnya sendiri. Pemahaman masyarakat yang belum mendalam
terhadap seni pantun dan apa manfaatnya
dalam kehidupan bermasyarakat ternyata juga berpengaruh terhadap
kondisi-kondisi semacam itu.
Meski demikian,
belakangan ini ada secercah titik terang yang kita temukan pada usaha sebagian
pejabat di Riau untuk memasukkan pantun ke dalam pidato-pidato resmi dan juga
usaha sebagian masyarakat untuk memasukkan pantun dalam rangkaian upacara
perkawinan adat, seperti pada saat upacara "membuka pintu" dan "membuka kipas" pengantin
di pelaminan. Walaupun tahap awal ini nampaknya hanya sebatas seremonial
belaka, namun setidaknya tahap ini bisa dijadikan pijakan awal untuk
mengembangkan dan membumikan kembali seni budaya pantun dalam hidup dan
kehidupan masyarakat Melayu. Tentu saja, perhatian dan kerjasama berbagai
lapisan masyarakatlah yang akan menentukan keberadaan pantun pada masa mendatang.
Buku tulisan Tenas
Effendy yang diterbitkan oleh Balai Kajian dan Pengembangan Budaya Melayu (BKPBM)
bekerjasama dengan Penerbit Adicita Karya Nusa ini menjelaskan hal ihwal pantun
memantun, mulai dari pantun secara umum sampai pada pembagian jenis pantun.
Atau dengan kata lain, tema-tema yang dibahas adalah mulai dari kandungan isi
pantun, kedudukan, peran, kapan dan seperti apa penggunaannya, serta
keberadaannya dalam kehidupan masyarakat Melayu masa kini dan masa silam.
Di bagian akhir
buku ini, Tenas Effendy menyuguhkan 999 buah pantun pilihan yang mengandung
nilai-nilai luhur agama Islam, budaya, dan norma-norma sosial masyarakat
Melayu, yang disebutnya sebagai “pantun nasehat”. Bila dicermati secara seksama,
contoh-contoh pantun yang termuat dalam buku ini sebenarnya lebih mendekati
kepada nasehat dan petuah. Sehingga, selain memetik nasehat yang termuat di
dalamnya, kita juga bisa menjadikannya sebagai rujukan dalam menyampaikan
nasehat-nasehat yang dimaksud.
Apa yang
disuguhkan dalam buku ini memang belumlah mencakup seluruh pantun Melayu karena
apa yang disajikan barulah sebagian kecil dari ribuan bahkan jutaan pantun
Melayu. Buku ini justru hanya memuat sebagian dari seluruh pantun yang ada. Hal
ini dapat dimaklumi karena untuk menghimpun pantun yang dimaksud memerlukan
waktu yang relatif lama serta memerlukan kajian yang lebih mendalam. Apalagi, sebagian besar
pantun-pantun tersebut tersebar di berbagai pelosok bumi Melayu.
Oleh karena itu,
kehadiran buku ini patut diapresiasi. Buku ini merupakan salah satu upaya
konkret yang positif dalam rangka mengekalkan seni Melayu. Buku ini diharapkan
mampu memicu perhatian, kesadaran, dan partisipasi aktif seluruh masyarakat
Melayu pada umumnya dan masyarakat Melayu Riau pada khususnya untuk
melestarikan dan membumikan kembali seni Melayu ini dalam bingkai kehidupan
bermasyarakat sehari-hari.
No comments:
Post a Comment