Hukuman
fisik dalam konteks Indonesia
M.Rakib. LPMP Riau Indonesia.2014
وَلَكُمْ فِي الْقِصَاصِ حَيَاةٌ يَا
أُولِي الْأَلْبَابِ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ
“Dan dalam qisas itu adalah
kehidupan bagimu, wahai orang-orang yang berfikir, supaya kamu bertakwa.”
(surah Al-Baqarah, 2: 179)
Di
tengah budaya masyarakat Indonesia yang menjujunjung tinggi disiplin, hukuman
fisik dianggap suatu yang sangat wajar dan masih banyak para orang tua atau
para pendidik yang memberikan hukuman fisik. Suatu data menyebutkan sepanjang
kwartal pertama 2007 terdapat 226 kasus kekerasan terhadap anak.[1]
di sekolah. Adapun rinciannya, kekerasan fisik 89 kasus, kekerasan seksual 118
kasus, dan kekerasan psikis 210 kasus. Dari jumlah itu 226 kasus terjadi di
sekolah,[2] ujar
Seto Mulyadi dalam diskusi di Jakarta.
Pemegang
otoritas pendidikan menetapkan suatu norma guna menata aksi warga komunitas
pendidikan agar kegiatan belajar-mengajar berlangsung tertib dan tenteram.
Sebagai pendukung norma itu, ditetapkan juga sanksi.
Kalau aksi mereka melanggar norma, maka sanksi diwujudkan menjadi hukuman
kepada pelaku aksi melanggar norma. Jika hukuman itu lebih besar, lebih berat
daripada sanksinya, atau tidak sesuai dengan hakikat pendidikan, maka
terjadilah kekerasan.Ada kesenjangan antara kepentingan peserta didik dengan
kepentingan pendidik. Timbul masalah. Hukuman yang dijalankan kepada peserta
didik sebagai kewajiban guru mempertahankan disiplin bertentangan dengan
hakikat pendidikan dan hak azasi anak.
"…pendidikan harus
menanamkan tanggung jawab, kehormatan, tetapi tanpa menjadi beo atau bebek. Anak harus dipimpin supaya berdiri sendiri."[3]Seorang murid, menceritakan pengalaman traumatisnya semasa kecil sampai
remaja, yang menjadi bagian tak terlupakan dalam sejarah hidupnya. Anak seorang guru, selalu menjadi teladan
yang menerapkan sistem hukuman fisik dalam mendidik anak-anaknya di rumah.
Karena sebagian besar anak di keluarganya laki-laki, perilaku orangtuanya
semakin terwajarkan secara jender.[4]
Dipukuli dan dibentak adalah
makanan kami sehari-hari sejak umur lima tahun, bahkan sampai remaja lima belas
tahun." Begitu ceritanya. Matanya yang marah seketika berubah menjadi
berair mata saat dia mencoba menceritakan satu per satu kisah hidupnya.Sekali
lagi, yang terungkap dari ceritanya ialah mengenai kekerasan terhadap anak dan
remaja yang masih terekam sempurna dalam memori seseorang yang telah dewasa.
F. Metode
Penelitian
1.Obyek Penelitian
Obyek
penelitian ini adalah hukuman fisik terhadap anak-anak, berdasarkan informasi
yang tertulis yang memberikan isyarat kepada pelarangan “memukul”, sebaliknya
yang melegalkan hukuman fisik, hukuman sebagai objek kajian dalam kegiatan
penelitian mempunyai banyak konsep atau definisi. Sesungguhnya tidak ada konsep
tunggal tentang hukum. Hukum
merupakan realita sosial-budaya, yang konstruksi konsepsionalnya akan tersusun
berbeda-beda dari perspektif yang satu ke perspektif yang lain. Seseorang yang
meninjau hukum dari perspektif filsafat atau moral, misalnya tentu akan melihat
hukum dalam manifestasinya yang lain daripada kalau melihatnya dari perspektif politik atau
sosial. Adanya pluralitas konsep tentang hukum ini dapatlah dimengerti,
mengingat kenyataannya bahwa hukum itu sendiri sesungguhnya merupakan suatu
konsep yang sangat abstrak, sementara itu dalam realitanya, apa yang disebut
hukum itu amat beragam.
Menurut Wignjosoebroto, salah memilih cara
penelitian atau pencariannya, suatu
kesalahan yang akan menyebabkan kebenaran-kebenaran yang telah diperoleh
melalui penelitian itu tidak laku lagi (tidak sahih) untuk menjawab masalah
yang diajukan. Peringatan tentang hal ini perlu untuk diperhatikan, khususnya
dalam penelitian sosial dan lebih khusus lagi dalam penelitian-penelitian
hukum, mengingat kenyataan bahwa dalam ilmu dan kajian kedua bidang ini orang
lebih banyak membicarakan objek-objek yang tidak berujud materi yang empiris dan
kasad mata, melainkan berupa fenomena-fenomena yang eksistensinya berada di
suatu alam abstrak yang dibangun lewat konstruksi-konstruksi rasional.
2.Sumber data
Adapun data primer [5],
pada penelitian ini adalah kitab suci yaitu Al-Qur’an dan hadits khususnya tentang masalah “Hukuman
Fisik”,dan UU No. 23 Tahun 2002 yang
mungkin saja bertentangan, mungkin
pula tidak, tentang pengertian kekerasan khususnya hukuman memukul anak-anak. Adapun data primer
ini yang sudah penulis miliki ialah Al-Qur’an cetakan Arab saudi dan Beirut,
lengkap dengan terjemahannya tafsir dan asbabunnuzul-nya, kemudian kitab-kitab
hadits. Ditambah dengan kitab-kitab
fiqih dan usul fiqih, juga jurnal tentang kriminologi sosiologi hukum dan kitab
Udang-Undang Hukum Pidana, tentu saja tentang perlindungan anak, yaitu UU No.
23 Tahun 2002.
Data lainnya yang terkait dengan data primer ini adalah
buku-buku perbandingan mazhab
yang sudah popular antara lain, buku dari timur tengah terutama fiqih dan usul
fiqih merupakan sumber utama untuk mengolah tulisan ini. Misalnya Al-Mustasfa, oleh Al-Gazali.
Al-Muwaqat,
oleh Al- Syathiby. Al-Ikhkam fi Al-Ushul
Al-Ahkam oleh Al –Amidy, ditambah dengan buku-buku tafsir Al-Qur’an dan
tafsir hadits. Kebanyakan buku-buku ini belum diterjemahkan ke dalam bahasa
Indonesia, tentu saja menjadi tantangan tersendiri bagi penulis dengan
bermodalkan pengetahuan bahasa Arab yang pernah didapati di pesantren dan IAIN
sebelumnya.
2.Data
Sekunder[6]
Data
sekunder penelitian ini ialah jurnal-jurnal hasil penelitian lainnya yang
searah dan relevan dengan kajian yang sedang penulis lakukan. Pelacakan data awal,
sudah penulis lakukan, misalnya buku-buku tentang analisis kekerasan terhadap
anak-anak. Tentang catatan Komnas Perlindungan Anak Indonesia(KPAI) mencatat,
terdapat 1.998 pengaduan sepanjang tahun 2009. Angka ini meningkat dari tahun
sebelumnya, 2008, yaitu 1.736 pengaduan. 62,7% di antaranya adalah kasus
kekerasan seksual berupa sodomi, perkosaan, pencabulan, serta incest,
selebihnya adalah kasus kekerasan fisik dan psikis.
Buku-buku
penunjang lainnya yang penulis pandang dapat memperjelas tentang nilai-nilai
filosofis pelarangan pornografi pada anak-anak ialah buku patologi sosial, oleh
Kartini Kartono yang memberikan informasi tentang agama dan adat istiadat yang
sebenarnya mempunyai nilai pengontrol dan nilai sansional terhadap tingkah laku
masyarakatnya. Prosedur
untuk menemukan kebenaran hukum haruslah objektif, yaitu sebuah kegiatan yang
terbuka dan dapat diulangi juga menemukan kebenaran hukum tersebut. Dalam
penemuan kebenaran mungkin saja sebuah prosedur dirahasiakan, agar yang lain
tidak dapat mendapatkan kebenaran tertentu, namun jika prosedur yang
dirahasiakan itu dapat diterima oleh dunia ilmu (hukum) pada umumnya dan dapat
diulangi serta menghasilkan kebenaran yang sama, sifat objektivitas prosedur
keilmuan tetap terpenuhi.[7]
Di
sisi lain, dapat terjadi bahwa sebuah kebenaran telah ditemukan, namun
seseorang tidak dapat menjelaskan prosedur penemuannya atau ternyata tidak
dapat diulang kembali cara penemuannya. Maka, kegiatan yang demikian tidaklah
dapat dikatakan sebagai sebuah kegiatan penelitian dan mungkin hanya kegiatan
coba-coba saja atau kebetulan tanpa adanya rencana atau maksud guna menemukan
kebenaran tertentu.
3 Data tertier
Data
tertier pada penelitian ini adalah kamus hukum, kamus agama dan ensiklopedi
yang menerangkan tentang pengertian hukuman fisik, serta hukum-hukum yang
terkait, atau istilah-istilah lain yang selama ini kurang dikenal. Kemudian
artikel-artikel yang terpilih dari surat kabar dan majalah Tempo, Forum
Keadilan, Gatra dan Sabili. Di samping media cetak itu, penulis juga
menggunakan media elektronik yaitu radio dan televisi, terutama internet.
4 Fokus penelitian
Sesuai
dengan disiplin ilmu hukum, fokusnya
adalah tentang hukuman fisik pada pendidikan formal,
yang berkaitan dengan dasar-dasar hukum di dalam Al-Qur’an dan hadits serta pendapat ulama fiqih, untuk
mendapatkan dalil
yang tepat yang memberikan informasi tentang hukuman fisik penulis terlebih
dahulu menganalisis dan membuat perbandingan, serta merancang
beberapa hal, antara lain :
1. Pemahaman tujuan
ayatnya yang jelas
2. Adanya keterkaitan masalah dengan pembahasan
3. Adanya metode
pengambilan dalil ayat
hukum dan kemudian melakukan komparatif yang tepat.
Karena penelitian ini berupa studi kepustakaan, menelaah teks,
dari hukum yang normatif, tidak memakai populasi
dan sampel. Yang diandalkan ialah ketersediaannya buku- buku teks berupa tafsir
ayat-ayat Al-Qur’an yang
benar-benar dapat dikaitkan dengan hukuman fisik bagi anak-anak. Secara etimologi, teks ayat sebagai burhan
yang menurut al-Jabiri ,al-bayan memiliki beberapa arti diantaranya al-zhuhur wa al-wudhuh (ketampakan dan kejelasan), sedangkan secara
terminologi albayan berarti
pencarian kejelasan yang berporos pada al-ashl
(pokok) yakni teks (naql-nash) baik
secara langsung maupun tidak langsung. Secara langsung berarti langsung
menganggap teks sebagai pengetahuan jadi. Secara tidak langsung berarti
melakukan penalaran dengan berpijak pada teks itu. Dalam paradigma ini, akal
dipandang tidak akan dapat memberikan pengetahuan kecuali jika akal itu disandarkan
(berpijak) pada nas (teks).[8] Kecendrungan ini
berlaku pada tradisi setelah Ibn Rusyd terutama pada prakarsa al-Syatibi.
Berpegang pada maksud teks ini baru digunakan bila teks zahir ternyata tidak
mampu menjawab persoalan-persoalan yang relatif baru.[9]
Seseorang tidak akan sempurna
(dalam menguak) kandungan syariat selama ia belum menguasai Nahwu dan Bahasa Arab”.[10] Paradigma di atas
sebenarnya bisa difahami karena ahli hukum Islam (ushul fiqih) klasik memaknai
hukum itu berasal dan titah ilahi sehingga hanya melalui teks-teks suci yang
didengar Rasulullah sajalah pemanifestasian hukum itu dapat diketahui.[11]
Dalam hal ini, mayoritas ahli hukum Islam menganut faham optimisme bahasa yang
dipengaruhi oleh teologi kekuasaan Ilahi, suatu faham yang menganggap bahwa
bahasa adalah sarana memadai untuk melakukan komunikasi, suatu sunnah yang baku
dan karena itu menjadi milik publik.[12]
Akibatnya
pendekatan yang digunakan pun adalah pendekatan bayan atau tekstualis. Pandangan
optimisme bahasa ini kemudian mengarah pada ber kembangnya logika
deduktif sehingga model pendekatan yang digunakanpun adalah teologis normative
deduktif.[13] Paradigma
ini berlangsung selama kurang lebih lima abad (dari abad ke-2 H sampai 7 H) dan
mengalami perbaikan dengan munculnya asy-Syatibi pada abad ke 8 H yang
menambahkan teori maqashid al-syari‘ah
yang mengacu pada maksud Allah sehingga tidak lagi terpaku pada literalisme
teks.[14]
5
.Analisis data[15]
Pengumpulan,
pengolahan dan analisis data dalam penelitian ini, dilakukan secara terpadu,
semenjak dari analisis
data diartikan sebagai upaya mengolah data menjadi informasi, sehingga
karakteristik atau
sifat-sifat data tersebut dapat dengan mudah dipahami dan bermanfaat untuk
menjawabmasalah-masalah yang berkaitan dengan kegiatan penelitian.Dengan
demikian, teknik analisisdata dapat diartikan sebagai cara melaksanakan
analisis terhadap data, dengan tujuan mengolahdata tersebut menjadi informasi,
sehingga karakteristik atau sifat-sifat datanya dapat denganmudah dipahami dan
bermanfaat untuk menjawab masalah-masalah yang berkaitan dengankegiatan
penelitian, baik berkaitan dengan deskripsi data maupun untuk membuat induksi,
atau menarik
kesimpulan tentang karakteristik
(parameter) berdasarkan data yang diperoleh dari objek yang
diteliti.
[4] Suatu konsep, rancangan atau nilai yang mengacu pada sistem hubungan sosial yang membedakan
fungsi serta peran perempuan dan laki-laki, dikarenakan
perbedaan biologis atau kodrat, yang oleh masyarakat kemudian dibakukan menjadi ’budaya’ dan seakan tidak
lagi bisa ditawar, ini yang tepat bagi laki-laki dan itulah yang tepat bagi perempuan. Apalagi kemudian dikuatkan oleh
nilai ideologi, hukum, politik, ekonomi, dan sebagainya. Atau dengan
kata lain, gender adalah nilai yang dikonstruksi
oleh masyarakat setempat yang telah mengakar dalam bawah sadar kitaseakan
mutlak dan tidak bisa lagi diganti.Jadi, kesetaraan gender adalah suatu keadaan
di mana perempuan dan laki-laki sama-sama menikmati status, kondisi, atau
kedudukan yang setara, sehingga terwujud secaraenuh hak-hak an potensinya
bagi pembangunan di segala aspek kehidupan berkeluarga, berbangsa dan
bernegara.Islam mengamanahkan manusia untuk memperhatikan konsep
keseimbangan,keserasian, keselarasan, keutuhan, baik sesama umat manusia maupun
dengan lingkunganalamnya. Konsep relasi gender dalam Islam lebih dari sekedar
mengatur keadilan gender dalam masyrakat, tetapi secara teologis dan teleologis
mengatur pola relasi mikrokosmos(manusia), makrosrosmos (alam), dan Tuhan.
Hanya dengan demikian manusia dapatmenjalankan fungsinya sebagai khalifah, dan
hanya khalifah sukses yang dapat mencapaiderajat abid sesungguhnya.Islam
memperkenalkan konsep relasi gender yang mengacu kepada ayat-ayat (al-Qur’an)
substantif yang sekaligus menjadi tujuan umum syari’ah (maqashid
al-syariah),antara lain: mewujudkan keadilan dan kebajikan (Q.S. an-Nahl [16]:
90):
[11] Syamsul Anwar, Epistemologi Hukum Islam dalam al-Musytasyfa
min `Ilm al-Ushul Karya al-Ghazali (450-505/1058-1111), Disertasi, IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta,. 163.
[12] Khaled Abou el-Fadl
sendiri mengungkapkan bahwa “Islam mendefenisikan dirinya dengan merujuk kepada
sebuah kitab, dengan demikian, mendefenisikan diri dengan merujuk kepada suatu
teks... karena itu, kerangka rujukan paling dasar dalam Islam adalah teks. Teks
itu dengan sendirinya memiliki tingkat otoritas dan reabilitas yang jelas. Oleh
karena itu peradaban Islam ditandai
dengan produksi literer yang bersifat massif terutama dibidang al-Shari’ah
(hukum Islam). Ada banyak faktor yang turut mendukung proses produksi ini,
tetapi sudah pasti bahwa teks memainkan peran penting dalam penyusunan kerangka
dasar referensi keagamaan dan otoritas hukum dalam Islam”. Khaled M. Abou
el-Fadl, Melawan “Tentara Tuhan”; yang
berwenang dan sewenang-wenang dalam wacana Islam, terj. Kurniawan Abdullah
(Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, 2003), 54.
[13] Akh. Minhaji membagi
model pendekatan ushul fikih menjadi 2, pertama,
teologis normative deduktif dan kedua, empiris historis induktif Lihat Akh.
Minhaji, “Reorientasi Kajian Ushul Fiqih”, dalam Jurnal al-Jami‘ah No. 63/VI/1999, h1m. 16. lihat juga tulisannya Hukum
Islam Antara Sakralitas dan Profanitas (Perspektif
Sejarah Sosial), Pidato Pengukuhan Guru Besar Sejarah Sosial Pemikiran
Hukum Islam, UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta, 2004, hlm. 40-46.
[14] Al-Syatibi sendiri
mengungkapkan bahwa ia memang berupaya menjadikan ushul fiqih sebagai ilmu burhani yang qath’i sehingga dapat
mendatangkan dan menghasilkan pengetahuan hukum Islam yang valid secara ilmiah.
Abu Ishaq asy-Syatibi, al-Muwafaqat fi
Ushul al-Ahkam, edisi Abdullah Darraz (Mesir: tnp., t.t), I, 29-34.
[15] Pada Penelitian Kuantitatif:Strategi Pendekatannya
Deduktif-Verifikatif.Peneliti bertolak dari konsep-konsep tertentu dan
landasan-landasan teori tertentu. Konsep-konseptersebut diberi batasan-batasan
operasional, termasuk memecahnya kedalam variabel-variabel, jugadirumuskan
hipotesis-hipotesis. Atas dasar hipotesis (kesimpulan logis-deduktif) dan batasan
konsep/variabel yang telah dirumuskan, kemudian dikembangkan alat-alat ukur
untuk mendapatkanukuran dalam kenyataan empiris sekiranya hipotesis itu benar
atau sekiranya hipotesis itu salah.Lihat Soerjono
Soekanto, Penelitian Hukum Normatif, ( Jakarata, PT.Raja Grafindo Persada :
2006),95
No comments:
Post a Comment