[1]
Kata falsafah atau filsafat dalam bahasa Indonesia merupakan kata serapan dari bahasa Arab فلسفة, yang juga diambil dari bahasa Yunani;
Φιλοσοφία philosophia.
Dalam bahasa ini, kata ini merupakan kata majemuk dan berasal dari kata-kata (philia = persahabatan, cinta.) dan (sophia = "kebijaksanaan"). Sehingga
arti harafiahnya adalah seorang “pencinta kebijaksanaan”.Kata filosofi yang dipungut dari bahasa Belanda juga dikenal di Indonesia. Bentuk terakhir ini lebih
mirip dengan aslinya. Dalam bahasa Indonesia seseorang yang mendalami bidang
falsafah disebut "filsuf".
[1] Sijori,
Batam, Selasa, 03 November 2009 . Gara-gara Tidak Bisa Membaca ,seorang murid
SD di Ranai-Natuna dihukum dengan dipaksa meminum air liur di depan kelas. -Tindakan JS, guru
SD Negeri 04 Desa Seluan, Kecamatan Bunguran Utara, Kabupaten Natuna tidak
pantas dilakukan seorang pendidik. Hanya gara-gara tidak bisa membaca, dia tega
memaksa salah seorang muridnya, AI (9 tahun), meminum air ludah 13 teman
sekelasnya. Akibat perbuatan tidak
mendidik tersebut, JS yang lulusan SMK itu diberi sanksi berupa pemotongan gaji
sebesar Rp200 ribu dan skors tidak boleh mengajar selama tiga bulan. Guru honor
tersebut juga diturunkan pangkatnya menjadi penjaga sekolah. Peristiwa memalukan ini terungkap saat ayah
korban, Aspediyansah, melapor ke Dinas Pendidikan Nasional (Diknas) Natuna,
Senin (2/11). Aspediyansah menuturkan, kejadian ini bermula saat JS
sedang mengajar di kelas 4 SDN 04 Desa Seluan, Senin (12/10/2009) .
[1]
Batas-batas kekerasan menurut Undang-undang perlindungan anak nomor 23 tahun
2002 ini, tindakan yang bisa melukai secara fisik maupun psikis yang berakibat
lama, di mana akan menyebabkan trauma pada anak atau kecacatan fisik akibat
dari perlakuan itu. Dengan mengacu pada defenisi, segala tindakan apapun yang
seakan-akan harus dibatasi, dan anak-anak harus dibiarkan berkembang sesuai
dengan hak-hak yang dimilikinya (Hak Asasi Anak), hak anak untuk menentukan
nasib sendiri tanpa intervensi dari orang lain. Lihat pasal 64 ayat (2),Sinar
Grafika Jakarta, 2008, 23
[1] Bagai
makan buah simalakama: gambaran suatu keadaan
yang serba salah. Biasanya digunakan untuk orang yang sedang menghadapi dua
pilihan, dan kedua-duanya akan menyebabkan orang tersebut mengalami hal yang
buruk. Pengambil keputusan akan berada
di antara dua sisi mata uang yang sangat mustahil untuk di pilih tetapi ketika
kita menyadarinya bahwa keduanya perlahan - lahan membunuh kita secara
menyakitkan. Buah Simalakama ikhtisar dari kejadian Baginda Nabi Adam
Alaihissalam beserta istri beliau Siti Hawa tatkala beliau memakan buah kuldi
terlena dengan kalam - kalam syaitan buah ini terlalu indah untuk dilihat,
terlalu nikmat untuk dimakan, terlalu sempurna untuk dimiliki, ketika manusia
telah menguasai buah tersebut sesungguhnya secara perlahan-lahan buah ini telah
menyiksanya hingga tanpa sadar akan terasa menyedihkan di akhirnya.
[1] Terjadi
kontak fisik dari guru terhadap siswa, misalnya memukul, menampar, menendang,
menempeleng, teriakan, bentakan, sikap tidak peduli, pemberian label negative,
dan perilaku sejenis lain, yang bertujuan untuk menyakiti siswa. Persoalannya,
banyak guru yang belum menyadari kalau selama ini mereka sedang berada dalam
kondisi yang tidak pada tempatnya tersebut. Berdasarkan data dari Komisi
Nasional Perlindungan Anak Indonesia (KPA), sepanjang paruh pertama tahun 2009,
kekerasan guru terhadap siswa mengalami peningkatan tajam, yakni 39 persen dari
95 kasus kekerasan terhadap anak, atau paling tinggi dibandingkan dengan
pelaku-pelaku kekerasan anak lainnya.
[1] Hakekatnya,
siswa di sekolah akan membentuk pertahanan diri apabila diserang, di mana
pertahanan itu berupa ,balas membentak apabila dimarahi, melawan dengan fisik
kalau disakiti, lari bila dia merasa tidak mempunyai kemampuan membalas, atau
melaporkan kepada orangtuanya di rumah atas peristiwa yang dialaminya. Cara
pendidikan dengan kekerasan, ibaratnya digambarkan sebagai sebuah pilihan bagi
seorang guru pendidik yang melihat kesalahan seorang siswa, apakah dia akan
menyalahkannya, menggunakan kekerasan untuk memaksa siswa memperbaiki kesalahan
itu atau sekedar menasehati siswa tanpa kekerasan.
[1] Fenomena, atau masalah, atau gejala
adalah segala sesuatu yang dapat kita lihat,
atau alami, atau rasakan. Suatu kejadian adalah suatu fenomena. Suatu benda
merupakan suatu fenomena, karena
merupakan sesuatu yang dapat kita lihat. Adanya suatu benda juga menciptakan
keadaan ataupun perasaan, yang tercipta karena keberadaannya.Istilah masalah yang dijadikan padanan dari istilah fenomena harus dibedakan
dari persoalan. Masalah mempunyai pengertian netral, sedangkan persoalan mengandung pengertian memihak. Suatu persoalan juga merupakan
suatu masalah atau gejala, dan karenanya juga merupakan suatu fenomena.
Persoalan merupakan suatu fenomena yang kehadirannya tak dikehendaki.
Penyelesaian terhadap suatu persoalan pada hakekatnya adalah suatu usaha dan tindakan untuk meniadakan
persoalan tersebut.
[1] Para
peneliti menyimpulkan bahwa penerapan kekerasan yang berlebihan bisa
menumbuhkan kesan buruk. Si bocah bisa berasumsi bahwa sekolah sebagai tempat
yang tidak bersahabat dan menakutkan. Akibatnya proses pembelajaran di sekolah
tidak berjalan dengan baik, demikian para peneliti. Selain itu disimpulkan pula
bahwa “Hukuman fisik tidak akan merubah kebiasaan buruk anak, tapi malah memicu
kekerasan”. Lihat kata pengantar UU RI No.23 Th.2002, h v
[1] Wael
B. Hallaq, A. History of Islamic Legal
Theories: An Introduction to Sunni Ushul Fiqh (Cambridge: Cambridge
University Press, 1997), 231.
[1] Agus
Moh. Najib, “Nalar Burhani dalam Hukum Islam (Sebuah Penelusuran Awal)”,
dalam Jurnal Hermenia, Vol.2 No.2
Juli-Desember 2003, 217-218.
[1]
Muhammad ‘Abid al-Jabiri, Bunyah al- Aql
al-‘Arabi: Dirasah Tahliliyyah Naqdiyyah li Nuzum al-Ma ‘rifah fi as-Saqafah
al-‘Arabiyyah (Beirut: Markaz Dirasat al-Wahdah al-‘Arabiyyah, 1990), him.
514. Lihat juga al-Jabiri, Post
Tradisionalisme Islam, terj. Ahmad Baso (Yogyakarta:LKiS, 2000), 118-132 dan 162-171.
[1]
Berbicara tentang hukum Islam tentu tidak bisa dilepaskan dari ushul fiqih
karena ilmu inilah yang menjadi kerangka dasar dalam penetapan hukum Islam
selama ini. Ilmu ushul fiqih merupakan metodologi terpenting yang ditemukan
oleh dunia pemikiran Islam dan tidak dimiliki oleh umat lain. Al-‘Alwani
mengungkapkan bahwa ushul fiqih merupakan “the
most important method of research ever devised by Muslim thought” Thaha
Jabir al-‘Alwani, Ushul al-Fiqh al-Islami
(Virginia; International Institute of Islamic thought, 1990), xi
[1] Dalam
menjelaskan idenya tentang revolusi ilmu pengetahuan (scientific revolution), Kuhn menggunakan beberapa istilah kunci
yang tidak pernah ia defenisikan secara ketat dalam karyanya tersebut. Beberapa
istilah kunci yang digunakan ialah, pertama scientific
revolution (revolusi Ilmiah) yaitu
perkembangan sains secara radikal di mana normal science (nature science)
yang lama digantikan oleh normal sains yang baru. Pergantian ini terjadi karena
paradigma lama yang menyangga old
normal science sudah tidak mampu menjawab problem-problem ilmiah
yang baru. Pergantian semacam ini oleh Kuhn disebut dengan paradigm shif (pergeseran paradigm) yaitu pergantian secara radikal
paradigma lama dengan paradigma baru karena paradigma lama sudah tidak mampu
menjawab problem-problem ilmiah yang muncul kemudian. Kedua paradigm yaitu teori-teori, metode-metode, fakta-fakta,
eskperimen-eksperimen yang telah disepakati bersama dan menjadi pegangan bagi
aktifitas ilmiah para ilmuwan. Ketiga,
normal science yaitu ilmu yang telah mencapai consensus akan dasar-dasar
ilmu ini. Konsensus itu berupa kesepakatan yang akan dipakainya satu paradigma
sebagai penyangga ilmu yang bersangkutan, keempat,
anomaly yaitu problem-problem Ilmiah yang tidak bias dijawab oleh paradigma
lama. Problem-problem tersebut setelah menumpuk menimbulkan sebuah krisis, dan kelima, crisis yaitu suatu fase dimana
paradigma lama telah dianggap using
karena begitu banyaknya anomali-anomali yang muncul, sedangkan paradigma baru
belum terbentuk. Thomas Kuhn, The
Structure of Science Revolutions (London: The University of Chicago
Press.Ltd, 1970), hlm.11-18 buku ini sudah diterjemahkan kedalam bahasa
Indonesia. Lihat Thomas Kuhn, Peran
Paradigma Dalam Revolusi Sains, terj. Tjun Surjaman (Bandung: PT. Remaja
Rosdakarya, 2002).
[1] Secara
umum al-Jabiri sebagaimana dikutip oleh Muhyar Fanani, membagi epistemologi
Islam pada tiga ranah pemikiran yaitu bayani,
irfani, dan burhani. Epistemologi bayani
adalah epistemologi yang beranggapan bahwa sumber ilmu adalah teks (nas) atau penalaran dari teks.
Epistemologi irfani adalah
epistemologi yang beranggapan bahwa sumber ilmu pengetahuan adalah ilham.
Epistemologi ini memiliki metode yang khas dalam mendapatkan pengetahuan yakni
metode kasf, sebuah metode yang unique karena selamanya tidak bisa
dirasionalkan, diverifikasi atau diperdebatkan. Epistemologi burhani adalah epistemologi yang
berpandangan bahwa sumber pengetahuan adalah akal. Biasanya epistemologi ini
disebut epistemologi falsafah karena merujuk pada tradisi intelektual Yunani.
Muhyar Fanani, “Menelusuri Epistemologi Ilmu Ushul Fiqh”, dalam Jurnal Mukaddimah, No. 9 Th.VI/2000, 27-28.
[1] Istilah klasik sendiri penulis
batasi setelah tahun 300-an Hijrah. Hal ini disebabkan karena beberapa alasan
yaitu, pertama, pada masa Nabi dan sahabat, hukum Islam cendrung empiris dan
tidak literalis, bahkan Joseph Schacht mengungkapkan bahwa hukum Islam pada
masa awal tidak menggunakan al-Qur'an sebagai sumber pengetahuan. Sekalipun
ushul fikih baru muncul pada awal abad ke III H, namun sebagai teori istinbat sudah muncul sejak era kenabian
karena banyak sekali peristiwa pada masa kenabian yang menunjukkan adanya
aktifitas ijtihad baik oleh Nabi sendiri maupun sahabatnya. Jika kemudian
ijtihad Nabi salah, maka akan mendapat teguran dari Allah-melalui wahyu.
Rasulullah juga mengizinkan para sahabatnya untuk berijtihad bila solusi hukum
belum ditetapkan dalam al-Qur'an dan Sunnah. Eksplorasi ini memperlihatkan,
betapa hukum Islam pada masa awal begitu dinamis dan tidak terpaku pada teks.
Kedua, pada era 300-an Hijriah, telah terjadi pergolakan politik yang merembet
ke dalam wilayah hukum dan teologi.
[1] Adapun karakteristik dari
epistemologi bayani antara lain, pertama, epistemologi ini selalu berpijak pada
asal (pokok) yang berupa nass (teks),
baik secara langsung maupun tidak langsung. Dalam ilmu ushul fikih yang
dimaksud dengan nas adalah al-Qur’an, Hadis dan Ijma’. Sedangkan dalam bahasa
Arab yang dimaksud dengan nas adalah perkataan orang Arab. Kedua, epistemologi
ini selalu menaruh perhatian secermat-cermatnya pada proses transmisi naql (teks) dari generasi ke generasi.
Menurut epistemologi ini, apabila proses transmisi teks itu benar, maka isi nas
itu pasti benar, karena nas itu masih murni dari Allah atau nabi. Tetapi jika
teks tersebut proses transmisinya sudah tidak bisa dipertanggung jawabkan, maka
nas itupun tidak bisa dipertanggung jawabkan isinya. Dengan kata lain
epistemologi ini sesungguhnya senantiasa berpijak pada riwayah (nagl). Sebagai
bukti dari ciri kedua ini adalah begitu banyaknya pembahasan yang dilakukan
oleh para ulama tentang riwayah yang ingin menjaga orisinalitas khabar (dalam hal ini berupa nas atau
teks). Ibid, hlm. 31.
[1] e-Bina Anak 215-Mendisiplinkan dengan pemberian
hukuman, sebaiknya cara terakhir yang digunakan dalam mendisiplinkan anak.
Dewasa ini, hampir semua pendidik barat menentang pemberian hukuman secara
fisik sebab tindakan itu hanya menyelesaikan masalah sementara waktu saja dan
member akibat sampingan yang tidak baik. Tidak semua penggunaan hukuman atau
hukuman fisik itu tidak berfaedah. Alkitab mengajarkan, “Siapa tidak
menggunakan tonngkat, benci kepada anaknya; tetapi siapa mengasihi anaknya
menghajar dia pada waktunya” (Amsal 13:24), dan juga, “Jangan menolak didikan
dari anakmu, ia tidak akan mati kalau engkau memukulnya dengan rotan. Engkau memukulnya
dengan rotan, tetapi engkau menyelamatkan nyawanya dari dunia orang mati”
(Amsal 23:13). Tetapi bukan berarti bahwa orang tua atau guru boleh dengan
semena-mena menggunakan haknya untuk memukul anak.
[1]
Defenisi anak menurut Undang-Undang Perlindungan Anak No 23 tahun 2002; Anak
adalah seseorang yang belum berusia 18 tahun, termasuk anak dalam kandungan.
Defenisi undang-undang ini mencakup janin, bayi, anak-anak sampai berumur 18
tahun. Undang-undang ini juga mengatur tanggung jawab sosial anak dan tanggung
jawab anak dimuka hukum.
[1]
Kekerasan (Bullying) menurut Komisi Perlindungan Anak (KPAI)
adalah kekerasan fisik dan psikologis berjangka panjang yang dilakukan
seseorang atau kelompok terhadap seseorang yang tidak mampu mempertahankan diri
dalam situasi di mana ada hasrat untuk melukai atau menakuti orang atau membuat
orang tertekan, trauma/depresi dan tidak berdaya.
[1] Isteri
yang nusyuz menurut at-Qur'an boleh
diberikan sanksi. Sanksi yang dikenakan terhadap isteri yang nusyuz, menurut
makna tekstual ayat di atas adalah dinasehati, dibiarkan sendirian di tempat
tidurnya dan dipukul. Tiga cara ini dilakukan secara bertahap sesuai urutannya.
Berdasarkan ayat al-Qur’an di atas, para ahli tafsir kemudian mengemukakan
pandangan yang beragam. Pernyataan paling menggelisahkan perempuan tentang soal
ini dikemukakan oleh ahli tafsir terkemuka; Abu Hayyan at Andalusi dalam
tafsirnya Al Bahr at Muhith. Ia mengatakan: “(Dalam menghadapi isteri yang
nusyuz) suami pertama kali menasehatinya dengan lembut, jika tidak efektif
boleh dengan kata-kata yang kasar, dan (jika tidak efektif) membiarkannya
sendirian tanpa digauli, kemudian (jika tidak juga efektif) memukulnya dengan
ringan atau dengan cara lain yang membuatnya merasa tidak berharga, bisa juga
dengan cambuk atau sejenisnya yang membuatnya jera akibat sakit, asal tidak
mematahkan tulang dan berdarah. Dan jika cara-cara tersebut masih juga tidak
efektif menghentikan ketidaktaatannya, maka suami boleh mengikat tangan isteri
dan memaksanya berhubungan seksual, karena itu hak suami.(Abu Hayyan al
Andalusi, Tafsir at Bahr at Muhith. Dar al Kutub al Ilmiyyah,
Beirut, Juz III, h. 252).
[1] Hadits Riwayat Bukhari no.
6160 dan Muslim no.1322
[1] Hadits
Riwayat al-Tirmizi no.2478
[1] Hadits
Riwayat Bukhari no.6064 dan Hadits Muslim no.2559, dalam Ensiklopedi Anak,(Darussunnah, Jakarta 2007)
hlm 790
[1]
Definisi 'sabda' 1. kata; perkataan
(bagi Tuhan, nabi, raja.): renungkan -- Rasulullah mengenai kasih sayang
sesama umat manusia;
ber·sab·da v berkata; bertitah: raja telah - agar para menterinya selalu berbuat adil;
me·nyab·da·kan v mengatakan; mengucapkan; menitahkan: raja yang adil tidak akan - sesuatu yang merugikan rakyatnya
ber·sab·da v berkata; bertitah: raja telah - agar para menterinya selalu berbuat adil;
me·nyab·da·kan v mengatakan; mengucapkan; menitahkan: raja yang adil tidak akan - sesuatu yang merugikan rakyatnya
[1] Ibid hlm 701
[1] Hadits
Riwayat Ahmad ini, menurut Al-Bani adalah shahih al-jami'I al-Shaghir, no.5744,
dikatakan lagi bahwa hadits ini hasan.
[1] Akh. Minhaji membagi model
pendekatan ushul fikih menjadi 2, pertama,
teologis normative deduktif dan kedua, empiris historis induktif Lihat Akh.
Minhaji, “Reorientasi Kajian Ushul Fiqih”, dalam Jurnal al-Jami ‘ah No. 63/VI/1999, h1m. 16. lihat juga tulisannya Hukum
Islam Antara Sakralitas dan Profanitas (Perspektif
Sejarah Sosial), Pidato Pengukuhan Guru Besar Sejarah Sosial Pemikiran
Hukum Islam, UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta, 2004, h. 40-46.
[1] Ibid., 40-41. Begitu
rigidnya paradigma literalistik, sehingga menurut Fazlur Rahman ada tiga
kelemahan dari metode studi Islam klasik dan pertengahan yaitu, pertama,
pemahaman yang terpotong-potong. Kedua, kurang memperhatikan unsur sejarah, dan
ketiga, terlalu tekstual. Rahman menyebut kajian Islam klasik dan pertengahan
dengan studi yang atomistis, ahistoris, dan literalistis. Senada dengan Rahman,
Arkoun juga melancarkan kritik terhadap para pemikir hukum Islam yang masih
menyandarkan pendapatnya kepada sistem pemikiran epsitemik Zaman Tengah dengan
ciri, pertama, mencampurkan antara mitos dan sejarah, kedua, menekankan
keunggulan teologis orang Muslim atas non-Muslim, ketiga, pensucian bahasa,
keempat, univokalisasi makna yang diwahyukan Tuhan, kelima, anggapan tentang
nalar pribadi yang transhistoris, dan keenam, diktum hukum diturunkan dalam
bahasa Arab yang jelas. Fazlur Rahman, “Islam:
Challenges and Opportunities”, dalam Islam: Past Influence and Present Challenge, diedit oleh Alford T. Welch dan
Pierre Cachia (Edinburgh: Edinburgh University Press, 1979), h. 319-327.
Taufik Adnan Amal, Islam dan Tantangan Modernitas: Studi atas Pemikiran Hukum
Fazlur Rahman (Bandung: Mizan, 1993), h. 186. Arkoun, “Ke Arah Islamologi
Terapan”, alih bahasa Syamsul Anwar, Al-Jami’ah, No. 53 (1993), 72.
[1] Syamsul Anwar, Membangun Good Governance dalam
Penyelenggaraan Birokrasi Publik di Indonesia: Tinjauan dari Perspektif
Syari'ah dengan Pendekatan Ushul Fiqih, Pidato Pengukuhan Guru Besar Ilmu
Usul Fikih, UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta, 2005, hlm. 4-5. Mengenai teori pertingkatan
norma, secara sederhana dapat dijelaskan bahwa teori pertingkatan norma adalah
teori yang mencoba menemukan hukum lewat tiga penjenjangan norma, yaitu,
pertama, norma-norma
dasar atau nilai-nilai filosofis (al-giyam al-asasiyyah) seperti kemaslahatan,
keadilan, kesetaraan. Norma-norma tersebut sebahagian sudah ada berdasarkan
fakta-fakta dan sudah diakui.
Kedua, norma-norma
tengah berupa doktrin-doktrin umum hukum Islam yaitu al-nazariyyah al fiqhiyyah
dan al-qawa ‘id al-fiqhiyyah.
Ketiga, peraturan-peraturan
hukum kongkret (al-ahkam al far ‘iyyah). Ketiga lapisan norma ini tersusun
secara hierarkis dimana norma yang paling abstrak dikongkritisasi menjadi norma
yang lebih kongkret. Contoh; nilai dasar kemaslahatan dikonkretisasi dalam
norma tengah (doktrin umum) berupa kaidah fighiyyah yaitu “kesukaran memberi
kemudahan”. Norma tengah ini dikonkretisasi lagi dalam bentuk peraturan hukum
konkret misalnya hukum boleh berbuka puasa bagi musafir. Teori ini mungkin bisa
dijadikan sebagai salah satu pendekatan dalam pengembangan paradigma hukum
Islam yaitu paradigma historis ilmiah yang nanti akan penulis jadikan sebagai
paradigma alternatif dengan mengkombinasikannya dengan metode holistik ( teori
induktif/integratit) Fazlur Rahman sebagai salah satujalan dalam
mengoperasionalkan paradigma tersebut. Mengenai teori pertingkatan norma lihat
Syamsul Anwar, “Pengembangan Metode Penelitian Hukum Islam”, dalam Ainurrafiq
(ed.), Mazhab Jogja;Menggagas Paradigma
Ushul Fiqih Kontemporer (Yogyakarta: Ar-Ruzz, 2002), hlm. 147-162.
[1] Al- Syatibi sendiri
mengungkapkan bahwa ia memang berupaya menjadikan ushul fiqih sebagai ilmu burhani yang qat’i sehingga dapat mendatangkan dan menghasilkan pengetahuan
hukum Islam yang valid secara ilmiah. Abu Ishaq asy-Syatibi, al-Muwafaqat fi Ushul al-Ahkam, edisi
Abdullah Darraz (Mesir: tnp., t.t), I, hlm. 29-34.
[1]
Suatu tinjauan pustaka mempunyai kegunaan untuk : 1) Mengungkapkan
penelitian-penelitian yang serupa dengan penelitian yang (akan) kita lakukan;
dalam hal ini, diperlihatkan pula cara penelitian-penelitian tersebut menjawab
permasalahan dan merancang metode penelitiannya;2) Membantu memberi gambaran
tentang metoda dan teknik yang dipakai dalam penelitian yang mempunyai
permasalahan serupa atau mirip penelitian yang dihadapi; 3) Mengungkapkan
sumber-sumber data (atau judul -judul pustaka yang berkaitan) yang mungkin belum
kita ketahui sebelumnya; 4) Mengenal peneliti -peneliti yang karyanya penting
dalam permasalahan yang dihadapi (yang mungkin dapat dijadikan nara sumber atau
dapat ditelusuri karya-karya tulisnya yang lain yang mungkin terkait; 5)
Memperlihatkan kedudukan penelitian yang (akan) kita lakukan dalam sejarah
perkembangan dan konteks ilmu pengetahuan atau teori tempat penelitian ini
berada; 6) Mengungkapkan ide-ide dan
pendekatan-pendekatan yang mungkin belum kita kenal sebelumya; 7) Membuktikan
keaslian penelitian (bahwa penelitian yang kita lakukan berbeda dengan
penelitian -penelitian sebelumnya);
[1] Akhir-akhir ini masyarakat dihebohkan dengan maraknya pemberitaan kekerasan terhadap anak-anak di media. Dalam berbagai berita kekerasan terhadap anak dalam segala bentuk dan kualitasnya telah lama terjadi di komunitas kita. Berita-berita tersebut makin marak karena semakin baiknya kinerja wartawan. Kalau dulu ada Arie Hanggara, sekarang muncul kasus-kasus yang sama. Bukan lagi dilakukan oleh bapak/ibu tiri saja tetapi justru dilakukan oleh orang tua kandung. Bentuk kekerasan bisa berupa korban kekerasan, penelantaran, eksploitasi, perlakuan salah, diskriminasi, dan perlakuan tidak manusiawi. Semua tindakan kekerasan kepada anak-anak direkam dalam bawah sadar mereka dan dibawa sampai kepada masa dewasa, dan terus sepanjang hidupnya. Tindakan-tindakan di atas dapat dikategorikan sebagai child abuse atau perlakuan kejam terhadap anak-anak. Child abuse itu sendiri berkisar sejak pengabaian anak sampai kepada perkosaan dan pembunuhan. Ada 4 macam child abuse, yaituemotional abuse, terjadi ketika orang tua setelah mengetahui anaknya meminta perhatian, mengabaikan anak itu. Si ibu membiarkan anak basah atau lapar karena ibu terlalu sibuk atau tidak ingin diganggu pada waktu itu. Si ibu boleh jadi mengabaikan kebutuhan anak untuk dipeluk atau dilindungi. Anak akan mengingat semua kekerasan emosional jika kekerasan emosional itu berlangsung konsisten. Verbal abuse, terjadi ketika si ibu, setelah mengetahui anaknya meminta perhatian, menyuruh anak itu untuk “diam” atau “jangan menangis”. Jika si anak mulai berbicara, ibu terus-menerus menggunakan kekerasan verbal seperti, “kamu bodoh”, “kamu cerewet”, “kamu kurang ajar”, dan seterusnya. Physical abuse, terjadi ketika si ibu memukul anak (ketika anak sebenarnya membutuhkan perhatian). Memukul anak dengan tangan atau kayu, kulit atau logam akan diingat anak itu. Sexual abuse, biasanya tidak terjadi selama delapan belas bulan pertama dalam kehidupan anak. Walaupun ada beberapa kasus ketika anak perempuan menderita kekerasan seksual dalam usia enam bulan. Center for Tourism Research & Development Universitas Gadjah Mada, mengekspos penelitiam tentang child abuseyang terjadi dari tahun 1992–2002 di 7 kota besar yaitu, Medan, Palembang, Jakarta, Semarang, Surabaya, UjungPandang dan Kupang, ditemukan bahwa ada 3969 kasus, dengan rincian sexual abuse 65.8%, physical abuse 19.6%, emotional abuse 6.3%, dan child neglect 8.3%. Berdasarkan kategori usia korban: 1. Kasus sexual abuse: persentase tertinggi usia 6-12 tahun (33%) dan terendah usia 0-5 tahun (7,7%). 2. Kasus physical abuse: persentase tertinggi usia 0-5 tahun (32.3%) dan terendah usia 13-15 tahun (16.2%). 3. Kasus emotional abuse: persentase tertinggi usia 6-12 tahun (28.8%) dan terendah usia 16-18 tahun (0.9%). Tindakan Kekerasan pada Anak dalam Keluarga 4. Kasus child neglect: persentase teringgi usia 0-5 tahun (74.7%) dan terendah usia 16-18 tahun (6.0%). Berdasarkan tempat terjadinya kekerasan : 1. Kasus sexual abuse: rumah (48.7%), sekolah (4.6%), tempat umum (6.1%), tempat kerja (3.0%), dan tempat lainnya-di antaranya motel, hotel dll (37.6%). 2. Kasus physical abuse: rumah (25.5%), sekolah (10.0%), tempat umum (22.0%), tempat kerja (5.8%), dan tempat lainnya (36.6%). 3. Kasus emotional abuse: rumah (30.1%), sekolah (13.0%), tempat umum (16.1%), tempat kerja (2.1%), dan tempat lainnya (38.9%). 4. Kasus child neglect: rumah (18.8%), sekolah (1.9%), tempat umum (33.8%), tempat kerja (1.9%), dan tempat lainnya (43.5%). Data tersebut menunjukkan bahwa tiada tempat yang "aman" bagi anak. “Orang-orang yang mengasihi maka dia akan di-Kasihi oleh Allah swt Dzat Maha Pengasih.” Anak-anak termasuk juga hamba Allah, mereka memiliki hak untuk dikasihi dan dicintai. Kyai Fuad menerangkan, pernah terjadi, pada saat Nabi saw mendirikan shalat dan sedang sujud datanglah Sayyidina Hasan ra dan Sayyidina Husein ra. Keduanya naik ke atas punggung beliau laksana mengendarai tunggangan. Nabi saw lalu memperlama sujudnya. Seusai shalat Nabi saw bersabda, “Sesungguhnya cucu-cucuku tadi jadikanku sebagai tunggangan. Dan aku tidak hendak bangkit dari sujud sampai mereka selesai melampiaskan keinginannya.” Aduhai, betapa lembut dan kasihnya Nabi saw kepada anak-anak kecil. Hadist Riwayat Imam Bukhari dan Imam Muslim dari Abu Hurairah ra di atas terdapat dalil bahwa manusia mesti menggunakan kasih sayang dalam menggauli anak-anaknya. Hadis maupun Qur'an menunjukkan bahwa kekerasan bisa diatasi melalui peran keluarga, terutama pasangan suami dan istri.
[1] Syamsul Anwar, Membangun Good Governance dalam
Penyelenggaraan Birokrasi Publik di Indonesia: Tinjauan dari Perspektif
Syari'ah dengan Pendekatan Ushul Fiqih, Pidato Pengukuhan Guru Besar Ilmu
Usul Fikih, UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta, 2005, hlm. 4-5. Mengenai teori
pertingkatan norma, secara sederhana dapat dijelaskan bahwa teori pertingkatan
norma adalah teori yang mencoba menemukan hukum lewat tiga penjenjangan norma,
yaitu,
pertama, norma-norma
dasar atau nilai-nilai filosofis (al-qiyam al-asasiyyah) seperti kemaslahatan,
keadilan, kesetaraan. Norma-norma tersebut sebahagian sudah ada berdasarkan
fakta-fakta dan sudah diakui.
Kedua, norma-norma
tengah berupa doktrin-doktrin umum hukum Islam yaitu al-nazariyyah al fiqhiyyah dan al-qawa ‘id al-fiqhiyyah.
Ketiga,
peraturan-peraturan hukum kongkret (al-ahkam
al far ‘iyyah). Ketiga lapisan norma ini tersusun secara hierarkis dimana
norma yang paling abstrak dikongkritisasi menjadi norma yang lebih kongkret.
Contoh; nilai dasar kemaslahatan dikonkretisasi dalam norma tengah (doktrin
umum) berupa kaidah fighiyyah yaitu “kesukaran memberi kemudahan”. Norma tengah
ini dikonkretisasi lagi dalam bentuk peraturan hukum konkret misalnya hukum
boleh berbuka puasa bagi musafir. Teori ini mungkin bisa dijadikan sebagai salah
satu pendekatan dalam pengembangan paradigma hukum Islam yaitu paradigma
historis ilmiah yang nanti akan penulis jadikan sebagai paradigma alternatif
dengan mengkombinasikannya dengan metode holistik ( teori induktif/integratit)
Fazlur Rahman sebagai salah satujalan dalam mengoperasionalkan paradigma
tersebut. Mengenai teori pertingkatan norma lihat Syamsul Anwar, “Pengembangan
Metode Penelitian Hukum Islam”, dalam Ainurrafiq (ed.), Mazhab Jogja;Menggagas Paradigma Ushul Fiqih Kontemporer
(Yogyakarta: Ar-Ruzz, 2002), 147-162.
[1] Al-
Syatibi sendiri mengungkapkan bahwa ia memang berupaya menjadikan ushul fiqih
sebagai ilmu burhani yang qat’i sehingga dapat mendatangkan dan menghasilkan
pengetahuan hukum Islam yang valid secara ilmiah. Abu Ishaq asy-Syatibi, al-Muwafaqat fi Ushul al-Ahkam, edisi
Abdullah Darraz (Mesir: tnp., t.t), I,29-34.
[1]
Hadits Riwayat Bukhari no.
6160 dan Muslim no.1322
[1] Hadits
Riwayat al-Tirmizi no.2478
[1] Hadits
Riwayat Bukhari no.6064 dan Hadits Muslim no.2559, dalam Ensiklopedi Anak,(Darussunnah, Jakarta 2007)
hlm 790
[1]
Ibid hlm 701
[1] Hadits
Riwayat Ahmad ini, menurut Al-Bani adalah shahih al-jami'I al-Shaghir, no.5744,
dikatakan lagi bahwa hadits ini hasan.
[1] Teori merupakan salah satu konsep dasar penelitian.
Teori adalah seperangkat konsep/konstruk, defenisi dan proposisi yang berusaha
menjelaskan hubungan sistimatis suatu fenomena, dengan cara memerinci
hubungan sebab-akibat yang terjadi. Erwan dan Dyah (2007) teori
menurut adalah serangkaian konsep yang
memiliki hubungan sistematis untuk menjelaskan suatu fenomena sosial tertentu.
Lebih lanjut beliau mengatakan bahwa teori merupakan salah satu hal yang paling
fundamental yang harus dipahami seorang peneliti ketika ia melakukan penelitian
karena dari teori-teori yang ada peneliti dapat menemukan dan merumuskan
permasalahan sosial yang diamatinya secara sistematis untuk selanjutnya
dikembangkan dalam bentuk hipotesis-hipotesis penelitian.
[1]
Murid yang mengalami hukuman fisik akan memakai kekerasan di
keluarganya nanti, sehingga siklus kekerasan makin kuat. Gershoff, yang
meneliti kasus ini selama 60 tahun sejak 1938, menemukan sejumlah perilaku
negatif akibat dari kekerasan, seperti perilaku bermasalah dalam agresi,
anti-sosial, dan gangguan kesehatan mental. Kekerasan tidak mengajar murid
untuk bisa membedakan mana yang baik dan mana yang buruk, dan tidak
menghentikan perilaku keliru jika mereka ada di luar pantauan orangtua dan guru
Ad hoc Corporal Punishment Committee (2003)
[1] Jumlah kasus kekerasan pada anak di
Indonesia terus meningkat. Data dari Komisi Nasional Perlindungan Anak
mencatat, pada 2007 jumlah pelanggaran hak anak yang terpantau sebanyak
40.398.625 kasus. Jumlah itu melonjak drastis jika dibandingkan dengan tahun
sebelumnya yang mencapai 13.447.921 kasus. Data tersebut berdasarkan laporan
yang masuk kelembaga tersebut, yang tersebar di 30 provinsi.Ketua Umum Komisi
Nasional Perlindungan Anak Seto Mulyadi menjelaskan, kasus pelanggaran hak anak
meliputi kekerasan, penelantaran, eksploitasi, perdagangan anak, dan
penculikan.
[1]
Menurut Kamus Bahasa Indonesia karangan
S.Wojowasito, hukuman berarti siksaan atau pembalasan kejahatan
(kesalahan dosa). Dalam bahasa Arab hukuman disebut dengan iqab dan uqubah,
yang pada dasarnya mempunyai pengertian yang sama. Abdul Qadir Audah memberikan
definisi hukuman sebagai berikut:
“Hukuman adalah pembalasan atas
pelanggaran perintah syara’ yang ditetapkan untuk kemaslahatan masyarakat.” Dari
definisi tersebut, dapat kita kemukakan bahwa hukuman merupakan balasan yang
setimpal atas perbuatan pelaku kejahatan yang mengakibatkan orang lain menjadi
korban akibat perbuatannya. Dalam ungkapan lain, hukuman merupakan penimpaan
derita dan kesengsaraan bagi pelaku kejahatan sebagai balasan dari apa yang
telah diperbuatnya kepada orang lain atau balasan yang diterima si pelaku
akibat pelanggaran (maksiat) perintah syara.
Uqubah atau sanksi hukuman dalam
sistem hukum pidana Islam terbagi kepada tiga kategori utama yaitu uqubah hudud, uqubah qisas dan diat dan uqubah
ta’zir.
Uqubah hudud
dan uqubah qisas serta diat adalah
untuk menjaga tujuan-tujuan utama dari syara’
(maqasid syariah). Uqubah al-riddah (orang-orang murtad) adalah untuk
menjaga agama. Uqubah qisas, diat dan sebagaian dari uqubah perompakan (uqubat had al-hirabah) adalah untuk
menjaga diri dan lainnya. Uqubah zina
dan qazaf adalah untuk menjaga
keturunan. Uqubah mencuri (Uqubah al-sariqah) dan sebagian dari
uqubah perompakan adalah untuk menjaga harta manakala uqubah mabuk (uqubah al-Shurb) adalah untuk menjaga
akal.
[1] Lihat Mohammad Asrori, Psikologi Pembelajaran (Bandung,
2008), 37-38
[1] Muhammad
Quthb, Sistem Pendidikan Islam, terj. Salman Harun (Bandung, 1993),
341
[1] Khalid, Ushul
Al Tarbiyah Al Islamiyah, 400
[1] JP. Chaplin, Kamus
Lengkap Psikologi, terj. Kartini
Kartono (Jakarta, 2006), hal. 410
[1] Lisan Al
‘Arab, I:619
[1] Abdul Mujib,
Jusuf Mudzakkir, Ilmu Pendidikan Islam (Jakarta: Kencana, 2006), h.
206
[1] M. Arifin, Ilmu
Pendidikan Suatu Tinjauan Teoretis dan Praktis (Bumi Aksara: Bandung,
2006), 175-176
[1]
Ushul Al Tarbiyyah Al Islamiyyah, hal. 401
[1] Depag, Al-Qur’an dan Terjemahannya
[1]
Adapun
dasar hukum dera atau cambuk seratus kali adalah firman Allah dalam surah
an-Nur ayat 2: sedangkan
menurut istilah, Pezina perempuan dan laki-laki hendaklah disebat seratus kali dan
janganlah merasa belas kasihan kepada kedua-duanya sehingga mencegah kamu dalam
menjalankan hukum Allah, hal ini jika kamu beriman kepada Allah dan hari akhir. Dan hendaklah dalam menjatuhkan
hukuman (memukul) mereka disaksikan oleh sekumpulan orang-orang yang beriman..Sedangkan
dasar penetapan undang-undang rejam adalah hadis Nabi:
Terimalah
dariku! Terimalah dariku! Sungguh Allah telah memberi jalan
kepada mereka. Bujangan yang
berzina dengan gadis dijilid seratus kali dan diasingkan selama satu tahun. Dan orang yang telah berkahwin yang
berzina didera seratus kali dan direjam.
[1] QS An Nur: 2
[1] Ahmad Fuad,
hal 143
[1] ibid
[1] Ahmad Fuad Al
Ahwany, Al Tarbiyah fi al Islam, hal. 131.
[1] Khalid, Ushul
Al Tarbiyah Al Islamiyah, hal. 403
[1] Ibnu Mandzur, Lisan Al Arab, juz 5: 250
[1] Ibnu Hajar, Fath al Baary, 10: 492
[1] An Nisa: 34
[1] Abu Dawud, Sunan Abu Dawud, (CD
kitab Sembilan Imam), no. 418
[1] Bukhori, Al
Adab Al Mufrod, no. 883, hal. 295
[1] Ibnu Muflih, Al
Adab Al Syar’iyyah, no. 1451
[1] ibid.
no. 451
[1] Bukhori, Shahih
Bukhori, no. 6342
[1] Ibnu Hajar, Fath
al Bary, (Beirut, 1994), juz 12, hal 178
[1] Abdullah Nasih
Ulwan, Pendidikan Anak dalam Islam, terj. Jamaludin Miri (Jakarta,
1994), hal. 325-327
[1]
“Apakah hukum Jahiliyah
yang mereka kehendaki, dan (hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum)
Allah bagi orang-orang yang yakin ?.” (QS. Al Maidah: 50)
[1] http://www.indokado.com/ http://www.balita-anda.com
[1]
"Karya Lengkap"
Driyarkara, 2006 : 422
[1]
Undergraduate Theses from digilib-uinsuka / 2009-11-24
11:50:17
Oleh : Siti Toyibah, Fakultas Tarbiyah UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta .Dibuat : 2009-11-24, dengan 1 file, dengan judul: Efektifitas, Hukuman, disiplin, Santri, Pondok Pesantren.
Oleh : Siti Toyibah, Fakultas Tarbiyah UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta .Dibuat : 2009-11-24, dengan 1 file, dengan judul: Efektifitas, Hukuman, disiplin, Santri, Pondok Pesantren.
[1] Konsep adalah generaliasasi dari sekelompok fenomena
tertentu, sehingga dapat dipakai untuk menggambarkan berbagai fenomena dengan
ciri atau kekhasan yang sama. Jadi konsep harus merupakan atribut dari berbagai
kesamaan fenomena yang diamati. Jika orang berbeda pendapat mengenai rubrik-
rubrik yang dibaca di koran, ada yang suka berita politik, olaharaga atau
rubrik hiburan, pada dasarnya semua perbedaan kebiasaan membaca tersebut dapat
dikonsepkan sebagai “kegemaran membaca koran”. Karena terdapat perbedaan-
perbedaan dalam skala abtraksinya maka konsep memiliki tingkat generalisasi
yang berbeda-beda. Sebagai contoh konsep kepuasan pegawai akan lebih mudah
diukur dibanding dengan konsep kesejahteraan pegawai. Konsep tingkat intensitas
menonton televisi akan lebih mudah diukur dibanding dengan konsep kepuasaan
menonton televisi. Konsep yang bersifat sangat abstrak disebut denganconstruct,
sementara konsep yang empiris (yang dapat diamati, diukur) disebut dengan
konsep.
[1]
Psikologi Hukum
mencakupi sub-sub bidang: (a) Psychology of Law, (b) Psychology in Law, (c)
Psychology and Law, (d) Legal Forensik dan (e) Neuro Science. Oleh karena itu,
dalam Pengantar bukunya yang berjudul "Applying Psychology to Criminal
Justice", editor buku itu, David Carson, et.al, memulai dengan kalimat:
"Few things should go together better than psychology and law. Both are
concerned with human behaviour: analyzing it, predicting it, understanding it
and, sometimes, controlling it. Lawyers may, in the absence of empirical
research, have made assumptions about human behaviour; for example that people
who know they are dying will tell the truth (an exception to the rule against
hearsay evidence). Judges had to make decisions to settle the dispute before
them. But now there is research which can inform the law".
Ada kemiripan objek antara ilmu
hukum dan psikologi. Baik hukum maupun psikologi, keduanya menaruh minat
terhadap perilaku manusia; menganalisis perilaku itu, memprediksinya,
memahaminya dan, kadang-kadang mengendalikan perilaku tersebut. Pakar Psikologi Hukum yang paling terkenal adalah
Lawrence S Wrightsman, dari University of Kansas. Di antara buku-buku
paling populer karya Wrightsman: Psychology and the Legal-System (1988) yang
saking larisnya sekarang sudah terbit edisi keenam; Judicial Decision Making, Is Psychology Relevant? (1999).
[1]
Hermeneutika dapat didefinisikan
secara longgar sebagai suatu teori atau filsafat interpretasi
makna. Kesadaran bahwa ekspresi-ekspresi manusia
berisi sebuah komponen penuh makna, yang harus disadari sedemikian
rupa oleh subjek dan yangdiubah menjadi
system nilai dan maknanya sendiri, telah memunculkan persoalan-persoalan
hermeneutika. Dalam pandangan klasik, hermeneutik mengingatkan kepada apa yang
ditulis Aristoteles dalam Peri Hermeneias atau De Interpretatione.Yaitu bahwa kata-kata yang
di ucapkan adalah simbol dari pengalaman mental pribadi sendiri, dan
kata-kata yang ditulis adalah simbol dari kata-kata yang diucapkan itu.Bahasa
tidak boleh dipikirkan sebagai yang mengalami perubahan. Menurut Gadamer bahasa
harus dipahami sebagai sesuatu yang memiliki ketertujuan(teleologi
di dalam dirinya. Karena kata-kata ataupun ungkapan mempunyai tujuantelos
tersendiri atau penuh dengan maksud, demikian dikatakan Wilhelm Dilthey.Setiap
kata tidak pernah tidak bermakna.
[1] Soerjono Soekanto dan Sri
Mamudji,Penelitian Hukum Normatif, Suatu Tinjauan Singkat PT.GrafindoPersada,(Jakarta,2006)
hlm 29, ditambahkan bahwa, bahan / sumber primer juga, laporan penelitian,majalah,
disertasi atau tesis, paten dan buku-buku.
[1] Ibid,
berisikan informsi tentang bahan primer, menakup : Abstrak, Index,
Bibliografi, Penerbitan Pemerintah dan bahan acuan lainnya.Lihat Amiruddin
dan Zainal Hakim, Pengantar Metode Penelitian Hukum, (Jakarta,Raja
Grafindo,2004) 97
[1] Ibid, h. 71
[1]
Muhammad Abed al-Jabiri, Bun-yah al-‘Aql al’-‘Arabi, 20.
[1]
Muhammad Abed al-Jabiri, Takwin al Aql
al- ‘Arabi (Beirut al-Markaz as-Saqafi al-‘Arabi, 1993), hlm. 96-98. Lihat
juga kutipan Muhyar Fanani terhadap pemikiran al-Jabiri ini dalam Muhyar
Fanani, Menelusuri Epistemologi, h
29.
[1] Al-Juwayni, al-Burhan fi Ushul al-Fiqh, cet. 4, Editor, Abdul Adzim Mahmud ad-Dib
(Manshurah, Mesir: al-Wafa, 1418),I, hlm. 130.
[1] Muhyar Fanani, Pemikiran
Muhammad Syahrur dalam Ilmu Ushul Fikih: Teori Hudud sebagai Alternatif
Pengembangan Ilmu Ushul Fikih, Disertasi, IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, him.
438.
[1] Syamsul Anwar, Epistemologi Hukum Islam dalam al-Musytasyfa
min `Ilm al-Ushul Karya al-Ghazali (450-505/1058-1111), Disertasi, IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, hlm. 163.
[1] Khaled Abou el-Fadl sendiri
mengungkapkan bahwa “Islam mendefenisikan dirinya dengan merujuk kepada sebuah
kitab, dengan demikian, mendefenisikan diri dengan merujuk kepada suatu teks...
karena itu, kerangka rujukan paling dasar dalam Islam adalah teks. Teks itu
dengan sendirinya memiliki tingkat otoritas dan reabilitas yang jelas. Oleh
karena itu peradaban Islam ditandai
dengan produksi literer yang bersifat massif terutama dibidang al-Shari’ah
(hukum Islam). Ada banyak faktor yang turut mendukung proses produksi ini,
tetapi sudah pasti bahwa teks memainkan peran penting dalam penyusunan kerangka
dasar referensi keagamaan dan otoritas hukum dalam Islam”. Khaled M. Abou
el-Fadl, Melawan “Tentara Tuhan”; yang
berwenang dan sewenang-wenang dalam wacana Islam, terj. Kurniawan Abdullah
(Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, 2003), hlm. 54.
[1] Akh. Minhaji membagi model
pendekatan ushul fikih menjadi 2, pertama,
teologis normative deduktif dan kedua, empiris historis induktif Lihat Akh.
Minhaji, “Reorientasi Kajian Ushul Fiqih”, dalam Jurnal al-Jami ‘ah No. 63/VI/1999, h1m. 16. lihat juga tulisannya Hukum
Islam Antara Sakralitas dan Profanitas (Perspektif
Sejarah Sosial), Pidato Pengukuhan Guru Besar Sejarah Sosial Pemikiran
Hukum Islam, UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta, 2004, hlm. 40-46.
[1] Ibid., 40-41. Begitu
rigidnya paradigma literalistik, sehingga menurut Fazlur Rahman ada tiga
kelemahan dari metode studi Islam klasik dan pertengahan yaitu, pertama,
pemahaman yang terpotong-potong. Kedua, kurang memperhatikan unsur sejarah, dan
ketiga, terlalu tekstual. Rahman menyebut kajian Islam klasik dan pertengahan
dengan studi yang atomistis, ahistoris, dan literalistis. Senada dengan Rahman,
Arkoun juga melancarkan kritik terhadap para pemikir hukum Islam yang masih
menyandarkan pendapatnya kepada sistem pemikiran epsitemik Zaman Tengah dengan
ciri, pertama, mencampurkan antara mitos dan sejarah, kedua, menekankan
keunggulan teologis orang Muslim atas non-Muslim, ketiga, pensucian bahasa,
keempat, univokalisasi makna yang diwahyukan Tuhan, kelima, anggapan tentang
nalar pribadi yang transhistoris, dan keenam, diktum hukum diturunkan dalam
bahasa Arab yang jelas. Fazlur Rahman, “Islam: Challenges and Opportunities”,
dalam Islam: Past Influence and Present Challenge, diedit oleh Alford T. Welch
dan Pierre Cachia (Edinburgh: Edinburgh University Press, 1979), h 319-327.
Taufik Adnan
Amal,
Islam dan Tantangan Modernitas: Studi atas Pemikiran Hukum Fazlur Rahman
(Bandung: Mizan, 1993), h1m. 186. Arkoun, “Ke Arah Islamologi Terapan”, alih
bahasa Syamsul Anwar, Al-Jami’ah, No. 53 (1993), hlm. 72.
[1] Syamsul Anwar, Membangun Good Governance dalam
Penyelenggaraan Birokrasi Publik di Indonesia: Tinjauan dari Perspektif
Syari'ah dengan Pendekatan Ushul Fiqih, Pidato Pengukuhan Guru Besar Ilmu
Usul Fikih, UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta, 2005, hlm. 4-5. Mengenai teori
pertingkatan norma, secara sederhana dapat dijelaskan bahwa teori pertingkatan
norma adalah teori yang mencoba menemukan hukum lewat tiga penjenjangan norma,
yaitu,
pertama, norma-norma
dasar atau nilai-nilai filosofis (al-giyam al-asasiyyah) seperti kemaslahatan,
keadilan, kesetaraan. Norma-norma tersebut sebahagian sudah ada berdasarkan
fakta-fakta dan sudah diakui.
Kedua, norma-norma
tengah berupa doktrin-doktrin umum hukum Islam yaitu an-nazariyyah al fiqhiyyah
dan al-qawa ‘id al-fiqhiyyah.
Ketiga,
peraturan-peraturan hukum kongkret (al-ahkam
al far ‘iyyah). Ketiga lapisan norma ini tersusun secara hierarkis dimana
norma yang paling abstrak dikongkritisasi menjadi norma yang lebih kongkret.
Contoh; nilai dasar kemaslahatan dikonkretisasi dalam norma tengah (doktrin
umum) berupa kaidah fighiyyah yaitu “kesukaran memberi kemudahan”. Norma tengah
ini dikonkretisasi lagi dalam bentuk peraturan hukum konkret misalnya hukum
boleh berbuka puasa bagi musafir. Teori ini mungkin bisa dijadikan sebagai
salah satu pendekatan dalam pengembangan paradigma hukum Islam yaitu paradigma
historis ilmiah yang nanti akan penulis jadikan sebagai paradigma alternatif
dengan mengkombinasikannya dengan metode holistik ( teori induktif/integratit)
Fazlur Rahman sebagai salah satujalan dalam mengoperasionalkan paradigma
tersebut. Mengenai teori pertingkatan norma lihat Syamsul Anwar, “Pengembangan
Metode Penelitian Hukum Islam”, dalam Ainurrafiq (ed.), Mazhab Jogja;Menggagas Paradigma Ushul Fiqih Kontemporer
(Yogyakarta: Ar-Ruzz, 2002), h. 147-162.
[1] Asy Syatibi sendiri
mengungkapkan bahwa ia memang berupaya menjadikan ushul fiqih sebagai ilmu
burhani yang qat’i sehingga dapat mendatangkan dan menghasilkan pengetahuan
hukum Islam yang valid secara ilmiah. Abu Ishaq asy-Syatibi, al-Muwafaqat fi Ushul al-Ahkam, edisi
Abdullah Darraz (Mesir: tnp., t.t), I, h. 29-34.
[1]
Pada Penelitian Kuantitatif: Strategi Pendekatannya
Deduktif-Verifikatif. Peneliti bertolak dari konsep-konsep tertentu dan
landasan-landasan teori tertentu. Konsep-konsep tersebut diberi
batasan-batasan operasional, termasuk memecahnya kedalam variabel-variabel,
juga dirumuskan hipotesis-hipotesis. Atas dasar hipotesis (kesimpulan
logis-deduktif) dan batasan konsep/ variabel yang telah dirumuskan,
kemudian dikembangkan alat-alat ukur untuk mendapatkan ukuran dalam kenyataan empiris sekiranya
hipotesis itu benar atau sekiranya hipotesis itu salah.
[1]Al Qawa’id al-Fiqhiyyah (القواعد الفقهيّة) Syaikh
‘Abdurrahman Ibn Nashir As Sa’diy rahimahullah وضِدُّه تزاحُم المَفاسِد
يُرْتكَبُ الأدْنَي مِن المَفاسِد .Sebaliknya, bila sejumlah mafsadat
berbenturan maka diutamakan yang paling ringan mafsadatnya. Mafasid (kerusakan) : bisa haram atau
makruh. Apabila seseorang dihadapkan pada dua pilihan yang jelek, maka diambil
yang paling ringan kerusakannya. Apabila salah satunya haram dan yang lainnya
makruh, maka dikerjakan yang makruh. Maka memakan sesuatu yang masih diragukan
keharamannya lebih didahulukan daripada memakan sesuatu yang pasti haramnya.
Apabila keduanya haram atau keduanya makruh, maka yang dikerjakan adalah yang
paling ringan keharamannya atau kemakruhannya. Kondisi di atas semuanya hanya
dalam kondisi darurat !!
[1]
English
to English,dictionary noun: 1. state of uncertainty or perplexity
especially as requiring a choice between equally unfavorable options 2. An argument which presents an antagonist
with two or more alternatives, but is equally conclusive against him, whichever
alternative he chooses.
[1] Ibnu Hazm
(994-1064 M), salah satu tokoh ulama dari mazhab Zahiri, bahkan menulis satu
pembahasan khusus untuk menolak metode sadd
adz-dzari’ah dalam kitabnya al-Ahkam
fi Ushul al-Ihkam. Ia menempatkan sub pembahasan tentang penolakannya
terhadap sadd adz-dzari’ah dalam
pembahasan tentang al-ihtiyath (kehati-hatian
dalam beragama). Sadd adz-dzari’ah lebih merupakan anjuran untuk
bersikap warga dan menjaga kehormatan agama dan jiwa agar tidak tergelincir
pada hal-hal yang dilarang.
[1] Terkait dengan
kedudukan sadd al-dzari’ah, Elliwarti Maliki, seorang doktor wanita pertama asal Indonesia lulusan
al-Azhar, Kairo, menganggap bahwa sadd
al-dzari’ah merupakan metode istinbath hukum yang mengakibatkan
kecenderungan sikap defensif (mempertahankan diri) di kalangan umat Islam. Pada
gilirannya, hal ini bisa menimbulkan ketidakberanian umat untuk berbuat sesuatu
karena takut terjerumus dalam mafsadah.
Di samping itu, produk-produk fikih dengan berdasarkan sadd al-dzari’ah cenderung menjadi bias gender.
[1]
Departemen
Agama RI QS. 4:34
[1]
Ibnul ‘Arobi berkata, “Atho’ berkata, “Janganlah sang suami memukul
istrinya, meskipun jika ia memerintah istrinya dan melarangnya ia tidak taat,
akan tetapi hendaknya ia marah kepada istrinya” [Ahkamul Qur’an I/536]
Berkata Al-Qodhi, “Ini di antara fakihnya ‘Atho’…ia mengetahui bahwasanya perintah untuk memukul dalam ayat ini adalah untuk menjelaskan bahwa hukumnya adalah dibolehkan (bukan diwajibkan)” [Ahkamul Qur’an I/536
Berkata Al-Qodhi, “Ini di antara fakihnya ‘Atho’…ia mengetahui bahwasanya perintah untuk memukul dalam ayat ini adalah untuk menjelaskan bahwa hukumnya adalah dibolehkan (bukan diwajibkan)” [Ahkamul Qur’an I/536
[1] HR Abi Dawud II/245 no 2146,
Ibnu Majah no 1985 dan dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani, dari hadits sahabat
Abdullah bin Abi Dzubab]
Dalam hadits yang lain Rasulullah shallallahu 'alihi wa sallam bersabda, لَنْ يَضْرِبَ خِيَارُكُمْ “Orang-orang terbaik diantara kalian tidak akan memukul” [HR Al-Hakim dalam Al-Mustadrok II/208 no 2775, Al-Baihaqi dalam Sunan Al-Baihaqi Al-Kubro VII/304 no 14553 dari Shohabiah Ummu Kultsum binti Abu Bakar As-Shiddiq.
Imam Asy-Syafi’I berkata, “Sabda Nabi shallallahu 'alihi wa sallam “Orang-orang terbaik diantara kalian tidak akan memukul” merupakan dalil bahwa memukul wanita hukumnya adalah mubah (dibolehkan) dan tidak wajib mereka dipukul. Dan kami memilih apa yang telah dipilih oleh Rasulullah shallallahu 'alihi wa sallam, maka kami suka jika seorang suami tidak memukul istrinya tatkala mulut istrinya lancang kepadanya atau yang semisalnya” Al-Umm V/194
Dalam hadits yang lain Rasulullah shallallahu 'alihi wa sallam bersabda, لَنْ يَضْرِبَ خِيَارُكُمْ “Orang-orang terbaik diantara kalian tidak akan memukul” [HR Al-Hakim dalam Al-Mustadrok II/208 no 2775, Al-Baihaqi dalam Sunan Al-Baihaqi Al-Kubro VII/304 no 14553 dari Shohabiah Ummu Kultsum binti Abu Bakar As-Shiddiq.
Imam Asy-Syafi’I berkata, “Sabda Nabi shallallahu 'alihi wa sallam “Orang-orang terbaik diantara kalian tidak akan memukul” merupakan dalil bahwa memukul wanita hukumnya adalah mubah (dibolehkan) dan tidak wajib mereka dipukul. Dan kami memilih apa yang telah dipilih oleh Rasulullah shallallahu 'alihi wa sallam, maka kami suka jika seorang suami tidak memukul istrinya tatkala mulut istrinya lancang kepadanya atau yang semisalnya” Al-Umm V/194
[1]
Aunul Ma’bud VI/129
[1]
Berkata Ibnu Hajar, “Jika
sang suami mencukupkan dengan ancaman (tanpa memukul) maka lebih afdhol. Dan
jika masih memungkinkan untuk mencapai tujuan dengan isyarat (perkataan keras)
maka janganlah ia berpindah pada tindakan (pemukulan) karena hal itu
menyebabkan rasa saling menjauh yang bertentangan dengan sikap mempergauli
istri dengan baik” Fathul Bari IX/304
[1] Berkata
Ibnu Hajar, “Jika sang suami mencukupkan dengan ancaman (tanpa memukul) maka
lebih afdhol. Dan jika masih memungkinkan untuk mencapai tujuan dengan isyarat
(perkataan keras) maka janganlah ia berpindah pada tindakan (pemukulan) karena
hal itu menyebabkan rasa saling menjauh yang bertentangan dengan sikap
mempergauli istri dengan baik” [Fathul Bari IX/304
[1]
Ibid
[1]
Lihat Al-Mughni VII/242
[1] Loc Cit,
Al-Mughni VII/243
[1]
HR Muslim III/1673 no 2116
[1]
Al-Minhaj syarh Shahih
Muslim XIV/97
[1]
Ada yang mengatakan maksudnya adalah tidak
mengatakan “Wajahmu jelek” atau mengatakan, “Semoga Allah menjelekkan wajahmu”.
Syaikh Ibnu Utsaimin mengatakan, “Maksudnya adalah janganlah sang suami
mensifati sang istri dengan keburukan. Dan zhohir hadits menunjukan bahwa sang
suami tidak mensifati istrinya dengan keburukan baik yang berkaitan dengan
tubuhnya ataupun dengan akhlaknya. Yang berkaitan dengan tubuhnya misalnya ia
mensifati kejelekan di matanya atau hidungnya atau telinganya atau tingginya
atau pendeknya. Yang berkaitan dengan akhlaknya misalnya ia mengatakan kepada
istrinya, “Kamu goblok”, “Kamu gila” dan yang semisalnya. Karena jika sang
suami mensifatai istrinya dengan keburukan maka hal ini akan menjadikan sang
istri terus mengingat celaannya tersebut hingga waktu yang lama” (Syarah
Bulughul Maram kaset no 12)
[1] HR Abu Dawud no 2142 dan Ibnu
Majah no 1850 dari hadits Mu’awiyah bin Haidah.Ibnu Hajar menyatakan hadits ini
bisa dijadikan hujjah, Al-Fath IX/301
[1]
HR Muslim II/890 no 1218
[1] Asy-Syarhul Mumti’ XII/444
[1]
Ahkamul Qur’an I/535
[1]
Berkata Ibnu Hajar,
“(yaitu) kemungkinan jauhnya terjadi hal ini (digabungkannya) dua perkara dari
seorang yang memiliki akal, yaitu memukul istri dengan keras kemudian
menjimaknya di akhir harinya atau akhir malam. Padahal jimak hanyalah baik jika
disertai kecondongan hati dan keinginan untuk berhubungan, dan biasanya orang
yang dicambuk lari dari orang yang mencambuknya…dan jika harus memukul maka
hendaknya dengan pukulan yang ringan dimana tidak menimbulkan pada sang istri
rasa yang amat sangat untuk lari (menjauh), maka janganlah ia berlebih-lebihan
dalam memukul dan jangan juga kurang dalam memberi pelajaran bagi sang istri”
[Fathul Bari IX/303, lihat juga HR Al-Bukhari V/2009] Barangsiapa yang berbuat aniaya dengan
memukul istrinya padahal istrinya telah taat kepadanya, atau dia memukul
istrinya karena merasa tinggi dan ingin merendahkan istrinya maka sesungguhnya
Allah lebih tinggi darinya dan akan membalasnya. Allah berfirman
فَإِنْ
فَإِنْ
أَطَعْنَكُمْ فَلاَ تَبْغُواْ عَلَيْهِنَّ سَبِيلاً
إِنَّ اللّهَ كَانَ عَلِيّاً كَبِيراً
Kemudian jika mereka mentaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar. (QS. 4:34)
Kemudian jika mereka mentaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar. (QS. 4:34)
[1]
HR Al-Bukhari V/1997 no
4908 dan Muslim IV/2191 no 2855 dari hadits Abdullah bin Zam’ah
[1]
Nur Hidayati, dkk. 2007. Memperkecil Kekerasan Terhadap anak-anak di Madrasah Ibtidaiyah.
Jakarta: Departemen Agama. 24.
[1]
Lihat Office of the High Commisioner for Human
Rights, Convention on the
Eliminationof all Forms of Discrmination againts Women, (Geneva: OHCHR,
1979), h. 1-12. Hasil konvensi ini ditandatangani dan diratifikasi oleh resolusi
Sidang Umum PBB No. 34 /180 tertanggal 18 Desember 1979, dan diberlakukan sejak
3 September 1981. Hasil konvensi ini memuat 30 pasal yang sebagian besar
berisikan perlindungan bagi hak-hak kaum perempuan.
[1]
Lihat Office of The High Commissioner for Human
Rights. Declaration on the Elimination
or All Form of Intolerance and of Discrmination Based on Religion or Belief,
(Geneva: OHCHR)
[1]
KHA pasal 2 ayat (1).
[1]
UU Nomor 23 Tahun 2002 tentang
Perlindungan Anak, pasal 2
[1]
Corporate punishment terbagi atas tiga buah tipe utama:
- Parental Corporate punishment, merupakan kekerasan dalam lingkup keluarga
- Parental Corporate punishment, merupakan kekerasan dalam lingkup keluarga
- School Corporate
punishment, misalnya perilaku kekerasan dari guru terhadap murid di sekolah
- Judicial Corporate
punishment, misalnya pemukulan atau pencambukan baik orang muda maupun
dewasa dalam koridor hokum. Sekretaris Jenderal Komisi Perlindungan Anak
Indonesia, Arist Merdeka Sirait memyatakan kekerasan di dunia pendidikan cukup
banyak terjadi. Dari 1926 kasus yang dilaporkan sepanjang 2008, 28 persennya
terjadi di lingkungan sekolah, sisanya terjadi di lingkungan keluarga, sosial,
dan pekerjaan.
[1]
Daniel Goleman, Emotional Intelligence, (New York Bantam, 1995), h 97. lihat juga
Jeanne. Seagai, “Raising Your Emotional Intelligence” dalam Ary Nilandari
(terj.), Melejitkan Kepekaan Emosional, (Bandung: Kaifa, 1997), h. 138
[1]
Ibid., h.
140-141.
[1]
Lihat KHA pasal 12 (1) dan
penjelasan pasal 2 Undang Undang Nomor 23 Tahun 2002. tentang
Perlindungan Anak.
[1] Di sisi lain,
landasan HAM adalah 4 kebebasan: kebebasan beraqidah, kebebasan memiliki,
kebebasan pribadi (berperilaku) dan kebebasan berpendapat. Melalui dalih
kebebasan ini setiap orang bebas berpindah-pindah dalam menganut agama, siapapun boleh memiliki
apapun dengan cara apapun tanpa lagi memandang apakah yang dimilikinya itu
tergolong pemilikan individu, umum, atau pemilikan negara. Melalui HAM itu pula
legal bagi siapa saja untuk berbuat apapun selama tidak mengganggu orang lain,
dan boleh berpendapat apapun sekalipun menentang, menghina, dan mengolok-olok
hukum Allah SWT karena dijamin oleh kebebasan berpendapat. Padahal, dalam
ajaran Islam, seluruh perbuatan manusia tidaklah bebas, melainkan harus
senantiasa terikat dengan aturan dan hukum dari Allah SWT. Karenanya, dari
bebagai dalil dalam Al Quran maupun As Sunnah para ulama menegaskan satu kaidah
ushul yang berbunyi:“Hukum pokok dari setiap perbuatan adalah terikat dengan hukum syaraâ.”
Ditinjau dari segi politis, slogan HAM merupakan upaya negara-negara imperialis pimpinan Amerika untuk menutup-nutupi kebobrokan mereka sekaligus sebagai sarana untuk mencampurbauri urusan dalam negeri negara lain. Seperti diketahui, persoalan lingkungan hidup, HAM, dan demokrasi di dunia merupakan salah satu kebijakan politik luar negeri Amerika. Dengan demikian, tidak mengherankan bila mereka hendak mengintervensi Indonesia lewat permasalahan Maluku dengan dalih HAM.
Berdasar hal tersebut, berharap kepada Barat dengan konsep HAM-nya untuk menyelesaikan masalah umat Islam hanyalah akan mendatangkan malapetaka dan murka Allah SWT saja.
[1]
Departemen Agama RI,
terjemahan QS Adz Dzariyat [51] : 56
[1]
HR. Muslim
[1]
Dengan diterapkannya
hukum-hukum Islam. Bukan hanya umat Islam yang menikmatinya, melainkan juga non
muslim yang menjadi kafir dzimmi
dalam pemerintahan Islam. Sebab, hak-hak tadi bukan hanya diperuntukkan bagi
kaum muslimin saja melainkan juga bagi non muslim yang menjadi warga negara.
Nampaklah, ketidakberdayaan, ketertindasan, dan tercerabutnya hak-hak umat
Islam di tengah belantara sekularisme ini hanya akan berhenti dengan
ditegakkannya hukum Islam. Inilah langkah strategis yang mutlak terus
diperjuangkan. Namun, tentu saja langkah-langkah praktis untuk menyelesaikan
masalah kekinian perlu diusahakan. Sebab itu, muslim yang berharta meninfakkan
hartanya untuk membantu saudaranya yang tengah terusir dan haknya dirampas.
Mereka yang punya kekuasaan gunakanlah kekuasaannya untuk menghentikan
kezhaliman atas kaum muslimin. Setiap muslim penting dan wajib mencurahkan
kemampuannya untuk menolong saudaranya. Dan doâ kepada Allah SWT demi
ketinggian Islam dan kaum muslimin tidak layak terputus.
[1] Secara terminologis, taqnin al-ahkam berarti
mengumpulkan hukum-hukum dan kaidah-kaidah penetapan hukum (tasyri’) yang
berkaitan dengan masalah hubungan sosial, menyusunnya secara sistematis, serta
mengungkapkannya dengan kalimat-kalimat yang tegas, ringkas, dan jelas dalam
bentuk bab, pasal, dan atau ayat yang memiliki nomor secara berurutan, kemudian
menetapkannya sebagai undang-undang atau peraturan, lantas disahkan oleh
pemerintah, sehingga wajib para penegak hukum menerapkannya di tengah
masyarakat. Sejarah Awal Taqnin al-Ahkam
Menurut hemat penulis, taqnin
al-ahkam juga bisa dirunut jauh ke masa Rasulullah SAW. Artinya, taqnin bukanlah
sesuatu yang betul-betul baru sebagaimana dituduhkan oleh para ulama Wahabi
Arab Saudi. Sebagaimana diketahui oleh sejarah, Nabi Muhammad pernah menetapkan
Piagam Madinah yang mengatur kehidupan masyarakat, baik antara sesama muslim
maupun dengan non muslim. Piagam Madinah tersebut merupakan salah satu bentuk taqnin
yang pernah dilakukan oleh pemerintahan Rasulullah SAW saat itu. Namun
meski ada upaya taqnin tersebut, Rasulullah juga masih membuka
peluang perbedaan pendapat di kalangan para sahabatnya. Sikap akomodatif
Rasulullah terhadap perbedaan pendapat bisa banyak ditemukan dalam sejarah
hukum Islam.
[1] Departemen Agama RI Al-Qur’an dan
Terjemahannya. QS 5:44..
[1]
Departemen Agama RI QS 6;164
[1] Abdullahi
Ahmed An-Na’im, Towards an Islamic Reformation: Civil Liberties, Human
Rights, and International Law (Syracuse: Syracuse University Press, 1996)
hal. 3-4
[1]
Abdullahi Ahmed An-Na’im, Islam and Human Rights: Beyond
The Universality Debate (Washington: The American Society of International
Law, 2000) hal. 95. Bandingkan dengan David Littman, Universal Human Rights
and Human Rights in Islam (New York:
Journal Midstream, 1999) p. 1.
[1] Ann Elizabeth Mayer, Islam and Human Rights: Traditions
and Politics (Colorado: West View Press, 1999) hal. 35.
[1] Stufentheory
diperkenalkan oleh Carl Schmith dan
Adolph Merkel. Keduanya pengikut ajaran hukum murni Hans Kelsen. Teori ini
banyak menjelaskan teori hukum tentang konstitusi. Lihat dalam Lili M. Rasjidi,
Dasar-dasar Filsafat Hukum (Bandung: Alumni, 1985) hal. 43-44.
[1]
Didalam banyak peristiwa, fakta
menunjukkan bahwa ketika umat Islam tertindas, mulai dari lembaga-lembaga lokal
yang mengklaim sebagai ‘pembela’ HAM sampai lembaga internasional diam
seribu bahasa. Sebaliknya, teriakan mereka demikian lantang bila hal yang
sekalipun jauh lebih kecil menimpa umat lain. Lantas, perlukah umat Islam
berharap kepada slogan HAM yang digembar-gemborkan Barat? Bagaimanakah Islam
mensikapi hal ini? HAM Memang Bukan
Untuk Umat Islam
Banyak peristiwa meyakinkan bahwa HAM bukanlah diperuntukkan bagi umat Islam. Kondisi terakhir pemilihan presiden Turki, Kasus FIS yang diberangus atas nama demokrasi, embargo ekonomi terhadap Irak, dan kasus Bosnia Herzegovina merupakan secuil contoh standar ganda HAM. Demikian pula di dalam negeri, hal ini ditunjukkan dengan amat jelas dalam banyak peristiwa seperti peristiwa Doulos, penyelidikan kasus Tanjung Priok, dan peristiwa Maluku. Jelas, dilihat dari segi penerapannya, sesuatu termasuk HAM atau tidak tergantung kepada lembaga yang berwenang memberikan penilaian. Dan secara umum, memang HAM bukan diperuntukkan bagi umat Islam, melainkan bagi Barat imperialis dan para pengikutnya.
Banyak peristiwa meyakinkan bahwa HAM bukanlah diperuntukkan bagi umat Islam. Kondisi terakhir pemilihan presiden Turki, Kasus FIS yang diberangus atas nama demokrasi, embargo ekonomi terhadap Irak, dan kasus Bosnia Herzegovina merupakan secuil contoh standar ganda HAM. Demikian pula di dalam negeri, hal ini ditunjukkan dengan amat jelas dalam banyak peristiwa seperti peristiwa Doulos, penyelidikan kasus Tanjung Priok, dan peristiwa Maluku. Jelas, dilihat dari segi penerapannya, sesuatu termasuk HAM atau tidak tergantung kepada lembaga yang berwenang memberikan penilaian. Dan secara umum, memang HAM bukan diperuntukkan bagi umat Islam, melainkan bagi Barat imperialis dan para pengikutnya.
[1]Ann Elizabeth Mayer, Islam and Human Rights: Traditions
and Politics (Colorado: West View Press, 1999) hal. 35.
[1]
Psikologi
hukum tergolong psikologi khusus, yaitu psikologi yang menyelidiki dan
mempelajari segi-segi kekhususan dari aktifitas psikis manusia.Berdasarkan
hal tersebut menurut Ishaq (2008:241) dalam psikologi hukum akan
dipelajari sikap tindak/ perikelakuan. sikap
tindak perikelakuan hukum yang normal, yang menyebabkan seorang akan mematuhi
hukum. (Soerjono Soekanto 1989:17-18).
[1]
Fungsi dan Kegunaan Ushul Fiqh a. Sebagai
alat, sarana dan metode untuk mendapatkan hukum-hukum syara’
dari Alquran dan hadits baik dalam
masalahaqidah, ibadah, muamalah, uqubah (hukuman-hukuman)ma upun akhlak b.Memelihara agama dari penyimpangan dan
penyalahgunaan dalil. Dengan berpedoman kepada
Ushul Fiqih, hukum yang dihasilkan melalui ijtihad tetap diakui syara’. c.Memberikan pengertian dasar tentang
kaedah-kaedah dan metodologi ulamamujtahid dalam menggali hukum d.Dengan mempelajari ilmu ushul fiqh dapat
diketahui qaidah-qaidah, prinsip-prinsip umum syariat Islam, cara memahami
suatu dalil dan penerapannya dalam kehidupan manusia e.Mengetahui keunggulan dan kelemahan
para mujtahid, sejalan dengan dalil yang mereka gunakan. Dengan demikian, para
peminat hukum Islam (yang belum mampu berijtihad) dapat memilih pendapat mereka
yang terkuat disertai alas an-alasan yang tepat f.Dengan mempelajri ushul fiqh dapat diketahui
persyaratan yang harus dimiliki seorang mujtahid, sehingga orang-orang yang
tidak memenuhi syarat, tidak patut dirujuk fatwanya /pendapatnya.
Adapun contoh mani' yang menghalangi
sebab hukum, ialah tentang hutang. Apabila seseorang mempunyai harta dan
mempunyai hutang sebanyak hartanya, maka tidaklah wajib dia membayar zakat
harta tersebut. Dalam hal ini hutang menjadi mani' bagi sebab wajib zakat. Para ulama ushul Hanafiyah membagi mani' ini
menjadi lima macam, yaitu:
- Mani' yang menghalangi sahnya sebab, umpamanya (yang klasik) menjual orang merdeka. Tidak sah menjual orang merdeka, karena orang merdeka itu bukan harta, bukan sesuatu (barang) yang boleh diperjualbelikan. Menjual itu menjadi sebab berpindah milik, dan membeli itu menjadi sebab boleh menguasai dan mengambil manfaatnya.
- Mani' yang menghalangi sempurnanya sebab terhadap orang yang tidak melakukan akad dan menghalangi sebab bagi yang melakukan akad. Umpamanya si A menjual barang si B tanpa setahu si B. Maka penjualan itu tidak sah jika tidak dibenarkan oleh si B karena ada mani', yaitu menjual bukan haknya.
- Mani' yang menghalangi berlakunya hukum, umpamanya khiyar syarat oleh si penjual. Khiyar itu menghalangi si pembeli melakukan kekuasaannya atas barang pembelian dimaksud, si A menjual barangnya kepada si B (pembeli): "Barang ini saya jual kepadamu tetapi dengan syarat saya dibolehkan berfikir selama tiga hari, jika dalam tiga hari ini saya berubah pendirian maka jual beli ini tidak jadi". Syarat yang dibuat oleh si penjual ini disebut khiyar syarat, selama belum lewat tiga hari, syarat itu menghalangi si pembeli melakukan kehendaknya terhadap barang yang dibelinya.
- Mani' yang menghalangi sempurnanya hukum, umpamanya dalam khiyar ru'yah. Khiyar ini tidak menghalangi memiliki barang, hanya saja milik itu belum sempurna sebelum melihat barang itu oleh si pembeli walaupun sudah diterima. Apabila seseorang menjual barang kepada seseorang, sedang barang tidak tersedia di tempat jual beli, maka penjualan itu dibolehkan dengan mengadakan khiyar ru'yah. Dalam hal ini setelah pembeli melihat barang yang dibelinya boleh merusakkan pembelian dengan mengurungkannya, tanpa meminta persetujuan penjual.
- Mani' yang menghalangi kelaziman (kepastian) hukum, seperti khiyar aib. Si pembeli boleh melakukan kekuasaannya terhadap barang yang dibelinya, sebelum dia periksa barang itu baik atau ada cacatnya. Jika ia mendapatkan cacat pada barang yang dibelinya itu ia berhak membatalkan pembelian, ia kembalikan barang itu kepada penjual melalui perantaraan hakim atau atas kerelaan penjual. Tempo masa khiyar aib ialah tiga hari lamanya.
[1] Qur’an
Surat Al-An’am ayat 57
[1]
Amien Rais, 1988:23-24). Dalam bukunya yang lain, yaitu Islamic Law and
Constitution, 1962:138-139
[1]
Al-Imam Al-Khomeini, “Al-Wilayah At-Takwiniyah”, Al-Hukumah
Al-Islamiyah, h. 52.
[1]
Karena
itulah, pada tahun 1990, negara-negara Islam yang tergabung dalam Organisasi
Konferensi Islam (OKI) menghasilkan ”Deklarasi Kairo” (The Cairo Declaration on
Human Rights in Islam), sebagai ”tandingan” dari DUHAM yang dikeluarkan di San
Francisco pada 24 Oktober 1948. Pasal 25 Deklarasi Kairo
menegaskan: ”The Islamic Syariah is the only source of reference for the
explanation or clarification of any of the articles of this Declaration.”
(Syariat Islam adalah satu-satunya penjelasan atau klarifikasi dari semua
artikel dalam Deklarasi Kairo ini). Jadi, dalam Deklarasi Kairo, negara-negara
Islam telah sepakat untuk meletakkan syariat Islam di atas HAM. Bukan
sebaliknya: meletakkan Islam di bawah HAM. Karena itulah, ada sejumlah pasal Deklarasi
Kairo yang merupakan koreksi terhadap DUHAM. Sebagai contoh, dalam konsep
perkawinan. DUHAM pasal 16 menyatakan: ”Men and women of full age, without
any limitation due to race, nationality or religion, have the right to marry
and to found a family. They are entitled to equal rights as to marriage, during
marriage and at its dissolution.” (Laki-laki dan wanita yang telah
dewasa, tanpa dibatasi faktor ras, kebangsaan atau agama, memiliki hak untuk
menikah dan membentuk keluarga. Mereka mempunyai hak yang sama terhadap
pernikahan, selama pernikahan, dan saat perceraian).
[1]
Departemen Agama RI, Al-Quran dan Terjemahannya. QS
al-Mujadilah:22
[1]
Mengapa
pasal 16 dan 18 DUHAM ditolak oleh Hamka? “Sebab saya orang Islam. Yang menyebabkan
saya tidak dapat menerimanya ialah karena saya jadi orang Islam, bukanlah
Islam statistic. Saya seorang Islam yang sadar, dan Islam saya pelajari dari
sumbernya; al-Qur’an dan al-Hadits. Dan saya berpendapat bahwa saya baru dapat
menerimanya kalau Islam ini saya tinggalkan, atau saya akui saja sebagai orang
Islam, tetapi syari’atnya tidak saya jalankan atau saya bekukan,” demikian
Hamka.Demikianlah, memang ada yang sangat bermasalah dalam konsep HAM
yang tertera dalam DUHAM. Karena itu, konsep HAM justru perlu diletakkan dalam
kacamata Islam. Itulah yang dilakukan Prof. Hamka, dan juga OKI, sehingga
sampai muncul Deklrasi Kairo. Sayangnya, buku Al-Islam dan Kemuhammadiyahan
produksi Maarif Institute ini tidak mengklarifikasi soal HAM terlebih dulu, tetapi
justru mencarikan legitimasinya dalam ajaran Islam. Cara pandang semacam ini
keliru.
[1] Lihat, Siswanto
Masruri, Ki Bagus Hadikusumo, Yogya: Pilar Media, 2005). Tentang meneladani pemimpin kita yang tidak rela
membungkuk kepada “penjajah”. [Jakarta, 30 Oktober 2008/www.hidayatullah.com.
[1] Ibid
No comments:
Post a Comment