MEMUKUL ANAK
SEBHAGIAN DARI HUKUMAN FSIK.
By M.Rakib LPMP Riau
Indonesia.2014
Di antara sekian banyak ketentuan Hukum Islam, penulis
tertarik meneliti tentang hukuman fisik terhadap anak-anak, berupa hukuman ta’zir,[1]
terhadap anak-anak yang masih terus berlangsung di madrasah dan pesantren,
bahkan dalam rumah tangga, yang tujuannya untuk mencegah kenakalan mereka. Lebih-lebih lagi Al-Quran secara filosofis,[2]
menyatakan bahwa di antara anakmu ada kemungkinan menjadi musuhmu, karena itu
hati-hatilah menghadapi mereka. Selama ini, setiap orang tua dan guru merasa berhak,
memberikan hukuman fisik terhadap anak-anak mereka dengan tujuan mendidik, tapi
hal ini, merupakan suatu yang dilematis. Apakah tindakan memukul anak,
bertentangan dengan ketentuan hukum nasional dan hukum Islam. Sebaliknya, tidak
sedikit pula anak-anak yang memusuhi orang tuanya, bahkan ada tega membunuh
orang tuanya. Firman
Allah sudah mengingatkan sejak 15 abad yang lalu, melalui
al-Quran sebagai
berikut:
Wahai orang-orang yang beriman, sesungguhnya di antara
isteri-isterimu dan anak-anakmu ada yang menjadi musuh bagimu, maka
berhati-hatilah kamu terhadap mereka; dan jika kamu memaafkan dan tidak
memarahi serta mengampuni (mereka) maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi
Maha Penyayang.[3]
Menarik
untuk diteliti, apa hukumnya memukul anak, demi menegakkan disiplin, karena dianggap melanggar hak asasi manusia. Terjadi pro kontra tentang
penggunaan kekerasan berupa hukuman fisik.[4] Bagi anak yang nakal, hukuman itu bisa
saja tidak berguna. Menggunakan hukuman omelan
berlebihan akan melukai harga diri anak, membuat jurang antara anak dan
orang tua. Akhirnya seperti kata pepatah, bagaikan memakan buah semalakama.[5]
Penjelasan yang
gamblang tentang hukuman yang diberikan,
menurut para ahli, sebaiknya orang tua atau guru memberikan penjelasan mengapa
mereka dihukum dan dilarang melakukan sesuatu, sehingga hasilnya akan lebih
baik, selain mendidik anak untuk mengatasi masalah.[6] Ironisnya,
beberapa tindak kekerasan, disangkal oleh
pihak sekolah yang menyatakan tindakan itu, bukan bermaksud
melakukan penganiayaan.[7]
Hal ini kemudian ditunjang dengan
pengunaan kekerasan dalam membina sikap disiplin di dunia militer, khususnya
pendidikan kemiliteran. Ketika kemudian
cara-cara pendidikan kemiliteran diadopsi oleh dunia pendidikan sipil, maka
cara kekerasan juga ikut diambil alih. Berbagai tindakan kekerasan oleh guru
seakan menjadi cara-cara biasa dalam membina kedisiplinan anak didik, khususnya
di bidang pelajaran yang melatih fisik, seperti olahraga. Tidak ada maksud
untuk mengatakan bahwa semua guru olahraga suka main pukul, tetapi sejarahnya
sering kali mengidentikkan guru olahraga dengan guru yang suka menghukum push up atau lari keliling
lapangan dan suka menampar, memukul yang
dianggap bandel.[8]
Dalam budaya pendidikan, hukuman
fisik masih dianggap sebagai sebuah kewajaran ketika siswa melakukan kesalahan.
Pandangan yang dikemukakan Freud tentang
kekerasan yang dilakukan guru terhadap siswanya, akan terekam dalam alam bawah
sadarnya yang sesekali bisa muncul dengan tindakan destruktif yang jauh lebih hebat dari apa yang
dialaminya di sekolah. Membaca berita tentang tindakan guru olahraga di Sragen,
membuat sebagian orang tua siswa merasa ngeri dan khawatir, karena tindakan
seorang guru yang menampar siswanya jelas memberikan dampak psikologis yang tidak baik,[9]
yang dapat berujung pada traumatik.
Penulis tertarik dengan apa yang diulas
oleh: Al-Ustadzah Ummu Abdirrahman Anisah bintu ‘Imran)
Anak tak selamanya harus disikapi
lembut. Terkadang kita perlu menghukumnya karena kenakalan atau kesalahan
mereka. Tentunya semua itu dalam bingkai pendidikan. Sehingga tidak bertindak
berlebihan yang justru mempengaruhi kejiwaan si anak.
Anak, bagaimanapun juga tak terlepas
dari berbagai macam tingkah dan polahnya. Beragam perilaku dapat kita saksikan
pada diri mereka. Masing-masing anak dalam satu keluarga pun seringkali berbeda
perangainya. Terkadang di antara mereka ada yang nampak amat patuh dan sangat
mudah diatur. Sedangkan yang lain, demikian bandel atau sering melakukan
berbagai pelanggaran.
Yang demikian ini tentu tak boleh dibiarkan. Mau tak mau, orang tua harus mengetahui seluk-beluk mengarahkan anak. Haruskah segala keadaan dihadapi dengan kelemahlembutan dan penuh toleransi? Atau sebaliknya, selalu diatasi dengan hardikan dan wajah yang garang?
Selayaknya orang tua mengetahui sisi-sisi yang perlu dipertimbangkan ketika hendak menghukum anak, karena setiap keadaan menuntut sikap yang berbeda. Orang tua perlu meninjau, apakah permasalahan yang terjadi merupakan sesuatu yang betul-betul tercela atau tidak? Apakah si anak yang melakukannya mengetahui akan kejelekan dan bahaya hal tersebut, ataukah dia dalam keadaan tidak mengerti tentang hal itu maupun hukumnya?
Pada dasarnya, orang tua perlu menyertakan kelemahlembutan dalam mengarahkan anak-anaknya. Demikianlah contoh yang dapat ditemukan dari sosok Rasulullah n dalam mengarahkan dan membimbing umat beliau. Bahkan demikianlah sifat Rasulullah n yang disebutkan dalam Kitabullah:
Yang demikian ini tentu tak boleh dibiarkan. Mau tak mau, orang tua harus mengetahui seluk-beluk mengarahkan anak. Haruskah segala keadaan dihadapi dengan kelemahlembutan dan penuh toleransi? Atau sebaliknya, selalu diatasi dengan hardikan dan wajah yang garang?
Selayaknya orang tua mengetahui sisi-sisi yang perlu dipertimbangkan ketika hendak menghukum anak, karena setiap keadaan menuntut sikap yang berbeda. Orang tua perlu meninjau, apakah permasalahan yang terjadi merupakan sesuatu yang betul-betul tercela atau tidak? Apakah si anak yang melakukannya mengetahui akan kejelekan dan bahaya hal tersebut, ataukah dia dalam keadaan tidak mengerti tentang hal itu maupun hukumnya?
Pada dasarnya, orang tua perlu menyertakan kelemahlembutan dalam mengarahkan anak-anaknya. Demikianlah contoh yang dapat ditemukan dari sosok Rasulullah n dalam mengarahkan dan membimbing umat beliau. Bahkan demikianlah sifat Rasulullah n yang disebutkan dalam Kitabullah:
“Maka karena rahmat Allah-lah engkau
bersikap lembut terhadap mereka. Seandainya engkau bersikap kaku dan keras
hati, tentu mereka akan menjauhkan diri dari sekelilingmu.” (Ali ‘Imran: 159)
Al-Hasan Al-Bashri t mengatakan: “Ini adalah akhlak Muhammad n yang Allah I utus dengan membawa akhlak ini.” (Tafsir Ibnu Katsir, 2/106)
Bukankah termasuk kewajiban terbesar dan perkara terpenting bagi seseorang untuk meneladani akhlak beliau yang mulia ini? Serta bergaul dengan manusia sebagaimana beliau bergaul, dengan sikap lembut, akhlak yang baik dan melunakkan hati mereka, dalam rangka menunaikan perintah Allah I dan memikat hati hamba-hamba Allah I untuk mengikuti agama-Nya? (Taisirul Karimir Rahman, hal. 154)
Begitu banyak anjuran Rasulullah n untuk bersikap lemah lembut. Di antaranya disampaikan oleh istri beliau, ‘Aisyah x, ketika beliau bersabda:
Al-Hasan Al-Bashri t mengatakan: “Ini adalah akhlak Muhammad n yang Allah I utus dengan membawa akhlak ini.” (Tafsir Ibnu Katsir, 2/106)
Bukankah termasuk kewajiban terbesar dan perkara terpenting bagi seseorang untuk meneladani akhlak beliau yang mulia ini? Serta bergaul dengan manusia sebagaimana beliau bergaul, dengan sikap lembut, akhlak yang baik dan melunakkan hati mereka, dalam rangka menunaikan perintah Allah I dan memikat hati hamba-hamba Allah I untuk mengikuti agama-Nya? (Taisirul Karimir Rahman, hal. 154)
Begitu banyak anjuran Rasulullah n untuk bersikap lemah lembut. Di antaranya disampaikan oleh istri beliau, ‘Aisyah x, ketika beliau bersabda:
“Wahai ‘Aisyah, sesungguhnya Allah
itu Maha Lembut dan menyukai kelembutan. Allah memberikan pada kelembutan apa
yang tidak Dia berikan pada kekerasan dan apa yang tidak Dia berikan pada yang
lainnya.” (HR. Muslim no. 2593)
Maknanya, Allah I memberikan pahala atas kelembutan yang tidak Dia berikan pada yang lainnya. Al-Qadhi mengatakan bahwa maknanya, dengan kelembutan itu akan dapat meraih berbagai tujuan dan mudah mencapai apa yang diharapkan, yang tidak dapat diraih dengan selainnya. (Syarh Shahih Muslim, 16/144)
Demikian pula ‘Aisyah x mengisahkan bahwa Rasulullah r pernah memerintahkan kepadanya:
Maknanya, Allah I memberikan pahala atas kelembutan yang tidak Dia berikan pada yang lainnya. Al-Qadhi mengatakan bahwa maknanya, dengan kelembutan itu akan dapat meraih berbagai tujuan dan mudah mencapai apa yang diharapkan, yang tidak dapat diraih dengan selainnya. (Syarh Shahih Muslim, 16/144)
Demikian pula ‘Aisyah x mengisahkan bahwa Rasulullah r pernah memerintahkan kepadanya:
“Hendaklah engkau bersikap lembut.
Karena tidaklah kelembutan itu ada pada sesuatu, kecuali pasti memperindahnya.
Dan tidaklah kelembutan itu tercabut dari sesuatu, kecuali pasti
memperjeleknya.” (HR. Muslim no. 2594)
Maksudnya, hendaklah engkau bersikap lembut dengan berlemah lembut kepada siapa pun yang ada di sekitarmu, sederhana dalam segala sesuatu dan menghukum dengan bentuk yang paling ringan dan paling baik. (Faidhul Qadir, 4/334)
Dalam riwayat dari Jarir bin Abdillah z, Rasulullah n bersabda:
Maksudnya, hendaklah engkau bersikap lembut dengan berlemah lembut kepada siapa pun yang ada di sekitarmu, sederhana dalam segala sesuatu dan menghukum dengan bentuk yang paling ringan dan paling baik. (Faidhul Qadir, 4/334)
Dalam riwayat dari Jarir bin Abdillah z, Rasulullah n bersabda:
“Barangsiapa yang terhalang dari
kelembutan, dia akan terhalang dari kebaikan.” (HR. Muslim no. 2592)
Oleh karena itu, apabila orang tua ingin memperbaiki keadaan anaknya, hendaknya menggunakan kata-kata yang lembut dan berbagai bentuk anjuran. Apabila tidak memungkinkan menggunakan kata-kata yang baik, maka dapat digunakan ucapan yang mengandung hardikan, juga ancaman sesuai dengan kesalahan dan perbuatan dosa yang dilakukan. Apabila hal itu tidak dapat dilakukan dan tidak memberi manfaat, maka saat itulah dibutuhkan pukulan.
Namun bagaimanapun, keadaan setiap anak berbeda. Demikian pula tabiat mereka. Di antara mereka ada yang cukup dengan pandangan mata untuk mendidik dan memarahinya, dan hal itu sudah memberikan pengaruh yang cukup mendalam serta membuatnya berhenti dari kesalahan yang dilakukannya. Ada anak yang bisa mengerti dan memahami maksud orang tua ketika orang tua memalingkan wajahnya sehingga dia berhenti dari kesalahannya. Ada yang cukup diberi pengarahan dengan kata-kata yang baik. Ada pula anak yang tidak dapat diperbaiki kecuali dengan pukulan. Tidak ada yang memberi manfaat padanya kecuali sikap yang keras. Saat itulah dibutuhkan pukulan dan sikap keras sekedar untuk memperbaiki keadaan si anak dengan tidak melampaui batas. Ibarat seorang dokter yang memberikan suntikan kepada seorang pasien. Suntikan itu memang akan terasa sakit bagi si pasien, namun itu hanya diberikan sesuai kadar penyakitnya. Sehingga boleh seseorang bersikap keras terhadap anak-anaknya manakala melihat mereka lalai atau mendapati kesalahan pada diri mereka. (Fiqh Tarbiyatil Abna`, hal. 170-171)
Rasulullah r memerintahkan orang tua untuk memukul anaknya apabila mereka enggan menunaikan shalat ketika telah berusia 10 tahun. Demikian yang disampaikan Abdul Malik bin Ar-Rabi’ bin Sabrah dari ayahnya dari kakeknya, bahwa Rasulullah r bersabda:
Oleh karena itu, apabila orang tua ingin memperbaiki keadaan anaknya, hendaknya menggunakan kata-kata yang lembut dan berbagai bentuk anjuran. Apabila tidak memungkinkan menggunakan kata-kata yang baik, maka dapat digunakan ucapan yang mengandung hardikan, juga ancaman sesuai dengan kesalahan dan perbuatan dosa yang dilakukan. Apabila hal itu tidak dapat dilakukan dan tidak memberi manfaat, maka saat itulah dibutuhkan pukulan.
Namun bagaimanapun, keadaan setiap anak berbeda. Demikian pula tabiat mereka. Di antara mereka ada yang cukup dengan pandangan mata untuk mendidik dan memarahinya, dan hal itu sudah memberikan pengaruh yang cukup mendalam serta membuatnya berhenti dari kesalahan yang dilakukannya. Ada anak yang bisa mengerti dan memahami maksud orang tua ketika orang tua memalingkan wajahnya sehingga dia berhenti dari kesalahannya. Ada yang cukup diberi pengarahan dengan kata-kata yang baik. Ada pula anak yang tidak dapat diperbaiki kecuali dengan pukulan. Tidak ada yang memberi manfaat padanya kecuali sikap yang keras. Saat itulah dibutuhkan pukulan dan sikap keras sekedar untuk memperbaiki keadaan si anak dengan tidak melampaui batas. Ibarat seorang dokter yang memberikan suntikan kepada seorang pasien. Suntikan itu memang akan terasa sakit bagi si pasien, namun itu hanya diberikan sesuai kadar penyakitnya. Sehingga boleh seseorang bersikap keras terhadap anak-anaknya manakala melihat mereka lalai atau mendapati kesalahan pada diri mereka. (Fiqh Tarbiyatil Abna`, hal. 170-171)
Rasulullah r memerintahkan orang tua untuk memukul anaknya apabila mereka enggan menunaikan shalat ketika telah berusia 10 tahun. Demikian yang disampaikan Abdul Malik bin Ar-Rabi’ bin Sabrah dari ayahnya dari kakeknya, bahwa Rasulullah r bersabda:
“Perintahkanlah anak untuk shalat
ketika telah mencapai usia tujuh tahun. Dan bila telah berusia sepuluh tahun,
pukullah dia bila enggan menunaikannya.” (HR. Abu Dawud no. 494, dan dikatakan
Asy-Syaikh Al-Albani dalam Shahih Sunan Abi Dawud: hasan shahih)
Banyak contoh yang dapat dilihat dari para pendahulu kita yang shalih. Di antaranya dikisahkan oleh Nafi’ t, maula (bekas budak) Abdullah bin ‘Umar c:
Banyak contoh yang dapat dilihat dari para pendahulu kita yang shalih. Di antaranya dikisahkan oleh Nafi’ t, maula (bekas budak) Abdullah bin ‘Umar c:
“Bahwasanya Abdullah bin ‘Umar z
apabila mendapati salah seorang anggota keluarganya bermain dadu, beliau
memukulnya dan memecahkan dadu itu.” (HR. Al-Bukhari dalam Al-Adabul Mufrad no.
1273. Asy-Syaikh Al-Albani t berkata dalam Shahih Al-Adabul Mufrad: shahihul
isnad mauquf)
Begitu pula Ummul Mukminin ‘Aisyah x, sebagaimana penuturan Syumaisah Al-’Atakiyyah:
Begitu pula Ummul Mukminin ‘Aisyah x, sebagaimana penuturan Syumaisah Al-’Atakiyyah:
“Pernah disebutkan tentang
pendidikan bagi anak yatim di sisi ‘Aisyah x, maka beliau pun berkata,
‘Sungguh, aku pernah memukul anak yatim yang ada dalam asuhanku hingga dia
telungkup menangis di tanah.” (HR. Al-Bukhari dalam Al-Adabul Mufrad no. 142,
dan dikatakan Asy-Syaikh Al-Albani t dalam Shahih Al-Adabul Mufrad: shahihul
isnad)
Akan tetapi, ada yang perlu diperhatikan dalam hal ini. Orang tua tidak diperkenankan memukul wajah. Hal ini secara umum dilarang Rasulullah r, sebagaimana dalam hadits Abi Hurairah z:
Akan tetapi, ada yang perlu diperhatikan dalam hal ini. Orang tua tidak diperkenankan memukul wajah. Hal ini secara umum dilarang Rasulullah r, sebagaimana dalam hadits Abi Hurairah z:
“Apabila salah seorang di antara
kalian memukul, hendaknya menghindari wajah.” (HR. Al-Bukhari no. 2559 dan
Muslim no. 2612)
Para ulama mengatakan bahwa ini adalah larangan memukul wajah secara tegas. Karena wajah merupakan sesuatu yang lembut yang terkumpul padanya seluruh keindahan. Anggota-anggota tubuh yang ada di wajah demikian berharga, dan sebagian besar penginderaan seseorang diperoleh dengan anggota tubuh tersebut. Sehingga terkadang pukulan di wajah bisa menghilangkan atau mengurangi fungsi anggota tubuh itu, terkadang pula menjadikan wajah cacat. Sementara cacat di wajah itu sendiri demikian buruk karena nampak jelas dan tidak mungkin ditutupi. Dan pada umumnya pukulan di wajah itu tidak lepas dari kemungkinan timbulnya cacat. Termasuk pula dalam larangan ini seseorang yang memukul istri, anak, ataupun budaknya dalam rangka mendidik, hendaknya dia hindari wajah. (Syarh Shahih Muslim, 16/164)
Hal lain yang perlu diperhatikan pula, pukulan pada si anak adalah semata-mata dalam rangka mendidik. Yang dimaksud dengan pukulan yang mendidik adalah pukulan yang tidak membahayakan. Sehingga tidak diperkenankan seorang ayah memukul anaknya dengan pukulan yang melukai, tidak boleh pula pukulan yang bertubi-tubi tanpa ada keperluan. Namun bila dibutuhkan, misalnya sang anak tidak mau menunaikan shalat kecuali dengan pukulan, maka sang ayah boleh memukulnya dengan pukulan yang membuat jera, namun tidak melukai. Karena Rasulullah r memerintahkan orang tua untuk memukul bukan untuk menyakiti si anak, melainkan untuk mendidik dan meluruskan mereka. (Syarh Riyadhish Shalihin, Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin, 2/123-124)
Semua ini perlulah kiranya untuk diketahui oleh orang tua yang hendak mengarahkan anak-anak mereka, mengingat tanggung jawab yang dibebankan ke pundak mereka, manakala Rasulullah r bersabda:
Para ulama mengatakan bahwa ini adalah larangan memukul wajah secara tegas. Karena wajah merupakan sesuatu yang lembut yang terkumpul padanya seluruh keindahan. Anggota-anggota tubuh yang ada di wajah demikian berharga, dan sebagian besar penginderaan seseorang diperoleh dengan anggota tubuh tersebut. Sehingga terkadang pukulan di wajah bisa menghilangkan atau mengurangi fungsi anggota tubuh itu, terkadang pula menjadikan wajah cacat. Sementara cacat di wajah itu sendiri demikian buruk karena nampak jelas dan tidak mungkin ditutupi. Dan pada umumnya pukulan di wajah itu tidak lepas dari kemungkinan timbulnya cacat. Termasuk pula dalam larangan ini seseorang yang memukul istri, anak, ataupun budaknya dalam rangka mendidik, hendaknya dia hindari wajah. (Syarh Shahih Muslim, 16/164)
Hal lain yang perlu diperhatikan pula, pukulan pada si anak adalah semata-mata dalam rangka mendidik. Yang dimaksud dengan pukulan yang mendidik adalah pukulan yang tidak membahayakan. Sehingga tidak diperkenankan seorang ayah memukul anaknya dengan pukulan yang melukai, tidak boleh pula pukulan yang bertubi-tubi tanpa ada keperluan. Namun bila dibutuhkan, misalnya sang anak tidak mau menunaikan shalat kecuali dengan pukulan, maka sang ayah boleh memukulnya dengan pukulan yang membuat jera, namun tidak melukai. Karena Rasulullah r memerintahkan orang tua untuk memukul bukan untuk menyakiti si anak, melainkan untuk mendidik dan meluruskan mereka. (Syarh Riyadhish Shalihin, Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin, 2/123-124)
Semua ini perlulah kiranya untuk diketahui oleh orang tua yang hendak mengarahkan anak-anak mereka, mengingat tanggung jawab yang dibebankan ke pundak mereka, manakala Rasulullah r bersabda:
“Ketahuilah, setiap kalian adalah
penanggung jawab dan akan ditanyai tentang tanggung jawabnya. Seorang pemimpin
yang memimpin manusia adalah penanggung jawab dan kelak akan ditanya tentang
mereka. Seorang laki-laki adalah penanggung jawab atas keluarganya dan kelak
dia akan ditanya tentang mereka. Seorang istri adalah penanggung jawab rumah
tangga dan anak-anak suaminya, dan kelak akan ditanya. Seorang hamba sahaya
adalah penanggung jawab harta tuannya dan kelak dia akan ditanya tentangnya.
Ketahuilah, setiap kalian adalah penanggung jawab dan kelak akan ditanyai
tentang tanggung jawabnya.” (HR. Al-Bukhari no. 5188 dan Muslim no. 1829)
Wallahu ta’ala a’lamu bish-shawab.
Wallahu ta’ala a’lamu bish-shawab.
[1] Ta’zir
boleh dilakukan terhadap anak dan istrinya -dengan syarat mereka tidak
melakukannya dengan berlebih-lebihan. Dibolehkan menambah ta’zir untuk mencapai maksud (dalam memberi pelajaran) atas suatu
kesalahan. Tetapi jika menambah ta’zir bukan
untuk tujuan mendidik, berarti dia telah melampaui batas dan menimpakan hukuman
yang menyebabkan binasanya seseorang.Lihat Sa’id Abdul ‘Adhim (penerjemah: Abu
Najiyah Muhaimin bin Subaidi) Kafarah Penghapus Dosa, penerbit:,( Malang, Cahaya Tauhid Press : 2005)73-76.
[2]Kata falsafah atau filsafat dalam bahasa Indonesia merupakan kata serapan dari bahasa Arab فلسفة, yang juga diambil dari bahasa Yunani;
Φιλοσοφία philosophia.
Dalam bahasa ini, kata ini merupakan kata majemuk dan berasal dari kata-kata (philia = persahabatan, cinta.) (sophia = "kebijaksanaan"). Sehingga
arti harafiahnya adalah seorang “pencinta kebijaksanaan ”.Kata filosofi yang dipungut dari bahasa Belanda juga dikenal
di Indonesia. Bentuk terakhir ini lebih mirip dengan aslinya. Dalam bahasa
Indonesia seseorang yang mendalami bidang falsafah disebut "filsuf".
[3] QS al-Taghabun
(64): 14. Yang terkait dengan ayat ini, dikisahkan Surat kabar Sijori, Batam, Selasa, 03 November 2009, yang menggambarkan tentang suatu
yang amat senjang.Seaharusnnya guru tidak boleh menghukum muridnya,m dengan
hukuman fisik. Hal ini jelas merukan suatu contoh dari hal yang bertentangan antara das sein dan das Sollen. Das Sein berarti "kenyataan",
"keadaan factual". Das Sollen berarti "norma
moral" atau "yang seharusnya dilakukan". Pasangan kata Jerman
ini sering dipakai dalam konteks bahwa das Sein bertolak belakang
dengan das Sollen. Sudah jelas apa yang harus dilakukan, tetapi dalam
kenyataan tidak dilakukan juga. Sebuah kesenjangan menganga antara das Sein
dan das Sollen. Kasus hukuman fisik terhadap anak-anak ,
yang paling mengejutkan di Riau, yaitu
kasus oknum guru yang memaksa
muridnya, minum air liur. Air liur yang
sengaja dikumpulkan gurunya di dalam
gelas bekas air mineralitu, berasal dari air liur teman sekelasnya dan
air liur ibu guru. Akibat pemberian hukuman
itu, oknum guru dipindahkan ke sekolah
lain yang lebih jauh letaknya sebagai hukuman pula baginya.[3] Kemudian
ada pula kasus pemukulan murid. Jika murid nakal, tidak dipukul, tingkahnya
semakin nakal. Jika dipukul, gurunya
bisa masuk penjara, karena melanggar UU Perlindungan Anak (UU.RINo.23 Tahun
2002).Inilah kasus yang sangat dilematis. Ada kesenjangan antara kepentingan
peserta didik dengan kepentingan pendidik. Seharusnya tidak
ada lagi kekerasan di sekolah.Timbul masalah, hukuman ta’zir, yang
dijalankan kepada peserta didik sebagai kewajiban guru mempertahankan disiplin, bertentangan
dengan hakikat
pendidikan
dan hak azasi anak, tentulah tidak sesuai dengan
harapan.Saat ini , para pembela hak asasi berkoar dengan teori psikologi hukum Barat,
dan membuat konsep baru tentang
larangan memukul anak. Hasilnya,
mungkin munculnya tawuran dan
perkelahian pelajar.
[4] Batas-batas kekerasan
menurut Undang-undang perlindungan anak nomor 23 tahun 2002 ini, tindakan yang
bisa melukai secara fisik maupun psikis yang berakibat lama, dimana akan
menyebabkan trauma pada anak atau kecacatan fisik akibat dari perlakuan itu.
Dengan mengacu pada defenisi, segala tindakan apapun yang seakan-akan harus
dibatasi, dan anak-anak harus dibiarkan berkembang sesuai dengan hak-hak yang
dimilikinya (Hak Asasi Anak), hak anak untuk menentukan nasib sendiri tanpa
intervensi dari orang lain. Lihat pasal 64 ayat (2), (Jakarta, Sinar Grafika :2008), 23
[5] Bagai makan buah simalakama: gambaran suatu keadaan yang serba salah. Biasanya
digunakan untuk orang yang sedang menghadapi dua pilihan, dan kedua-duanya akan
menyebabkan orang tersebut mengalami hal yang buruk. Pengambil keputusan akan berada diantara dua
sisi mata uang yang sangat mustahil untuk di pilih tetapi ketika kita
menyadarinya bahwa keduanya perlahan - lahan membunuh kita secara menyakitkan.Buah
Simalakama ikhtisar dari kejadian Baginda Nabi Adam beserta istri beliau Siti
Hawa tatkala beliau memakan buah kuldi terlena dengan kalam - kalam syaitanbuah
ini terlalu indah untuk dilihat, terlalu nikmat untuk dimakan, terlalu sempurna
untuk dimiliki, ketika manusia telah menguasai buah tersebut sesungguhnya
secara perlahan-lahan buah ini telah menyiksanya hingga tanpa sadar akan terasa
menyedihkan di akhirnya.Lihat Arini el-Ghaniy, Saat Anak Harus Dihukum, , (Jogjakarta, Power Books Ihdina : 2009),
40
[8] Hakekat pelanggaran
hukum oleh siswa di sekolah, terbentuknya pertahanan diri apabila diserang,
dimana pertahanan itu berupa ,balas membentak apabila dimarahi, melawan dengan
fisik kalau disakiti, lari bila dia merasa tidak mempunyai kemampuan membalas,
atau melaporkan kepada orangtuanya di rumah atas peristiwa yang dialaminya.
Cara pendidikan dengan kekerasan, ibaratnya digambarkan sebagai sebuah pilihan
bagi seorang guru pendidik yang melihat kesalahan seorang siswa, apakah dia
akan menyalahkannya, menggunakan kekerasan untuk memaksa siswa memperbaiki
kesalahan itu atau sekedar menasehati siswa tanpa kekerasan. Bandingkan
dengan Anri Priyana, op.cit., 84.
No comments:
Post a Comment