PUISI TENTANG
KOK WAHABI RIGIT
DAN KAKU
Penulis adalah M.Rakib, Widyaiswara
LPMP Riau Indoensia, yang lahir di Kuala Kampar Riau, ingin seperti Omar
Khayyám, yang lahir di Timur tengah. Aku ingin menjadi Penulis dan Penyair
MENGAPA WAHABI, BEGITU RIGIT
By Rakib Jamari.
Mengapa Wahabi, begitu rigit dan kaku?
Sehingga tidak dapat menikmati indahnya seni Ayam Jantan Berkokok.
Seharunya bisa Berdiri Di Muka menikmati merdunya suara musik
sekedarnya.
Berseru - "Bukalah Pintu! /
Engkau Tahu Betapa Sedikit Waktu
Dengarkan suara kami bukan Wahabi Yang suka filsafat, logika dan
majaz.Kami Punyai keinginan Untuk Singga di hatimu,menjadi tamu terhormat di
rumahmu.
Dan Bila Kami Pergi, dari rumahmu,
Mungkin Kami Takkan Kembali Lagi."
Mereka
yang bersiap-siap untuk HARI INI,
Meyangka
setelah ESOK menatap,
Seorang
muazzin berseru dari Menara Kegelapan
"Hai orang bodoh!
ganjaranmu bukan di Sini,
ataupun di Sana!"
Mengapa, wahabi
menyangka sesat, semua orang Suci,
dan orang Bijak yang mendiskusikan.
Tentang
Dua Dunia dengan begitu cerdas,
Disodorkannya Seperti Nabi-nabi menghadapi
orang bodoh; Kata-kata mereka untuk Dicemoohkan
Ditaburkan debu, pasir
Tapi mulut
mereka tidak tersumbat debu.
Oh rupanya
,kini datang dengan Khayyam yang tua,
dan
tinggalkanlah Yang Bijak
Untuk berbicara; satu hal yang pasti,
bahwa Kehidupan berjalan cepat;
Satu hal yang pasti, dan Sisanya adalah Dusta;
Bunga yang pernah sekali mekar,
Lalu, mati
untuk selama-lamanya.
Diriku
ketika masih muda,
begitu bergariah mengunjungi kaum Cerdik
pandai
dan Orang
Suci, dan mendengarkan Perdebatan besar
Tentang
ini dan tentang roh di sebalik alam:
Namun t
Keluar dari Pintu yang sama,
seperti ketika kumasuk pertama kalinya.
Dengan
Benih Hikmat aku menabur,
Dan dengan
tanganku sendiri mengusahakannya,
agar
bertumbuh Dan cuma inilah Panen yang
kupetik –
"Aku datang bagai Air, dan bagaikan angin
aku pergi."
Aku masuk Ke
dalam Jagad ini,
Tanpa
mengetahui, / Entah ke mana,
seperti
Air yang mengalir begitu saja:
Dan dari padanya, seperti Sang Bayu,
yang meniup di Padang lapang,
Aku tak
tahu ke mana lagi, angin itu bertiup sesukanya.
Jariku
yang Bergerak menulis
dan, setelah menulis lagi,
Bergerak terus: bukan Kesalehanmu,
ataupun Kecerdikanmu Yang akan memanggilnya,
kembali untuk membatalkan setengah Garis,
Tidak juga Air matamu menghapuskan,
sepatah Kata daripadanya.
Dan Cawan
terbalik,
yang kita sebut Langit,
Yang di
bawahnya kita merangkak,
hidup dan
mati,
Janganlah
mengangkat tanganmu,
kepadanya meminta tolong –
karena Ia / Bergelung tanpa daya,
seperti Engkau dan Aku.
Penulis tertarik dengan yang
diungkapkan oleh: Mukti Ali, akhir Akidah-Filsafat, Ushuluddin, Univ. Al-Azhar
Kairo…
Kata Mukti “Awalnya Wahabi adalah
sebuah gerakan dakwah, yang diusung oleh Muhammad bin Abdul al-Wahab, seorang Baduwi
Najd. Setelah mendapatkan dukungan politik dari Ibnu Sa’ud, seorang politikus
handal, Muhammad bin Abdul al-Wahab bersekongkol dengannya membentuk arus
oposisi menentang kekuasaan Dinasti Ottoman. Targetnya adalah mewujudkan mimpi
terbentuknya kekuasaan independen, yang mengusung ideologi Islam yang
bercita-rasa literalis, berorientasi ke belakang (semakin ke belakang mendekati
zaman Nabi dianggap semakin murni?), dan mengkebiri cara berfikir religius yang
substansial dan multi-dimensional: mencemooh filsafat, mantik dan tasawuf.
Wahabi telah menitik tekankan pada aspek teologi (tauhid) sebagai arena atau
wilayah “pemurnian”. Ada pembengkakan wilayah teologi yang diupayakannya.
Wahabi berasumsi bahwa ani-tesa tauhid adalah musyrik. Dan musyrik dibagi
menjadi dua, yaitu syirik kecil dan besar. Syirik besar bersifat jahri
(jelas) adalah sikap yang berlebihan terhadap selain Tuhan, dimana sikap itu
sejatinya hanya layak dipersembahkan untuk Tuhan. Jika sikap itu dilakukan,
kata Wahabi, maka terejawantahkannya pemberhalaan (tawtsien). Ziarah dan
tawashul terhadap kuburan Nabi, para sahabat dan orang-orang salih,
sikap memuliakan batu atau sampah, dan mencintai orang-orang salih dianggap
oleh Wahabi adalah sikap yang “berlebihan”, karena itu sebagai wujud
pemberhalaan. Pandangan ini akan berimplikasi mensejajarkan Nabi dan orang salih
dengan batu atau sampah, yang sama-sama tidak boleh disikapi secara berlebihan,
lantaran dianggap sama-sama bukan Tuhan.”
Awalnya Wahabi adalah sebuah gerakan
dakwah, yang diusung oleh Muhammad bin Abdul al-Wahab, seorang Baduwi
Najd. Setelah mendapatkan dukungan politik dari Ibnu Sa’ud, seorang politikus
handal, Muhammad bin Abdul al-Wahab bersekongkol dengannya membentuk arus
oposisi menentang kekuasaan Dinasti Ottoman. Targetnya adalah mewujudkan mimpi
terbentuknya kekuasaan independen, yang mengusung ideologi Islam yang
bercita-rasa literalis, berorientasi ke belakang (semakin ke belakang mendekati
zaman Nabi dianggap semakin murni?), dan mengkebiri cara berfikir religius yang
substansial dan multi-dimensional: mencemooh filsafat, mantik dan tasawuf.
Wahabi
telah menitik tekankan pada aspek teologi (tauhid) sebagai arena atau wilayah
“pemurnian”. Ada pembengkakan wilayah teologi yang diupayakannya. Wahabi
berasumsi bahwa ani-tesa tauhid adalah musyrik. Dan musyrik dibagi menjadi dua,
yaitu syirik kecil dan besar. Syirik besar bersifat jahri (jelas) adalah
sikap yang berlebihan terhadap selain Tuhan, dimana sikap itu sejatinya hanya
layak dipersembahkan untuk Tuhan. Jika sikap itu dilakukan, kata Wahabi, maka
terejawantahkannya pemberhalaan (tawtsien). Ziarah dan tawashul
terhadap kuburan Nabi, para sahabat dan orang-orang salih, sikap memuliakan
batu atau sampah, dan mencintai orang-orang salih dianggap oleh Wahabi adalah
sikap yang “berlebihan”, karena itu sebagai wujud pemberhalaan. Pandangan ini
akan berimplikasi mensejajarkan Nabi dan orang salih dengan batu atau sampah,
yang sama-sama tidak boleh disikapi secara berlebihan, lantaran dianggap
sama-sama bukan Tuhan.
Kita
tahu bahwa sikap “berlebihan” adalah masalah yang sangat relatif dan
kondisional. Terbukti, betapa hidup keseharian adalah cermin bagi kita untuk
mengaca diri, betapa kita telah membeda-bedakan cara penyikapan terhadap sekian
banyak jenis manusia. Para orang bijak jaman kuno sudah lama mengingatkan kita
akan perlunya sikap adil: meletakkan sesuatu (atau manusia) pada tempatnya.
Kata Aristoteles dalam Ethica Nicomachea-nya: “Sikap egaliter (musawa)
tidak selamanya cerminan dari sikap adil. Adil adalah sikap proporsional, bukan
egalitarianisme total”. Kebutuhan seorang mahasiswa berbeda dengan seorang
siswa SD, SMP dan seterusnya. Menghadap ke presiden akan berbeda dengan
menghadapi wong cilik. Perbedaan adalah wajar untuk mewujudkan rasa
adil. Tapi bukan berarti berbeda. Wahabi, yang menyamakan Nabi dan orang salih
dengan batu atau sampah, yang dianggap sama-sama makhluknya, kiranya tak tepat
mengartikan makna adil.
Islam
idealis dengan patokan teologi rigid yang diandaikan Wahabi menjadikannya
sebagai sekelompok Serigala berbulu Domba: menawarkan ke-beradaban dengan
cara-cara yang “biadab”. Menyergap kelompok yang lain dan yang berbeda.
Nyatanya, setelah gerakan oposan Wahabi mendapatkan bekingan dari Inggris,
mereka berhasil memisahkan diri dari Dinasti Ottoman, dan kisah pembantaian
terhadap sesama Muslim dimulai. Mekah yang begitu suci dijadikan tempat jagal
penyembelihan orang-orang Muslim, yang dianggap sebagai pelaku bid’ah.
Wahabi merasa tidak puas menghabisi orang-orang Muslim di kandangnya sendiri
(baca; Jazirah Arab), akhirnya Wahabi pun menyembelih orang-orang Muslim Syi’ah
di Karbala.
Jargon
pemurnian Islam yang diusung Wahabi menjadi ironi. Lantaran sejatinya mereka
bukan memurnikan Islam, tapi mengeringkan Islam. Mendesain Islam sebentuk jalan
setapak dan sempit. Sejenis cara berfikir identitas, yang memberikan
ukuran-ukuran pasti dan sekematisasi kaku. Siapa pun harus dibentuk, tidak bisa
membentuk. Jika sekema itu berbentuk kotak, maka dia harus menjadi kotak. Islam
ditonjolkan dalam militansi kesalihan-formalis: bercelana di atas mata kaki,
berjenggot, becadar, dll. Hanya dengan itu pula identitas Wahabi
dimanifestasikan. Dada kita akan semakin sesak jika kita melihat betapa Wahabi
menselaraskan agama dan pemikiran keagamaan. Lantaran Wahabi tak memberikan
sedikit pun hak akal dan intuisi untuk didayagunakan dalam bergumul dengan
agama. Sementara kita tahu, bahwa pemikiran keagamaan adalah produk ijtihadi
penalaran manusia hasil pergumulan dengan agama dan realita. Pemikiran
keagamaan akhirnya akan selamanya majemuk.
Wacana
teologi yang diusung Wahabi adalah sejenis wacana yang absen dari percaturan
ilmiah, dengan mengembalikannya ke dalam wacana “religius murni” yang bertumpu
pada makna literalisme teks-teks primer agama (Quran&hadits), yang bersifat
univositas. Bahasa metafor (majaz) adalah barang haram. Berteologi
dengan berfikir atau penghayatan-intuitif adalah tindakan kriminal! Syahdan,
Wahabi dalam menyikapi ayat-ayat ketuhanan pun tetap berpegang pada makna
literalisnya. Yadu-Allah, semisal, diartikan bahwa Tuhan mempunyai
tangan, seperti pendapatnya para salaf al-salih, demikian Wahabi berkata.
Sejatinya nama besar dan harum “salaf al-salih” di sini sedang dijual sebagai
alat legitimasinya. Terbukti, para salaf al-salih dalam menyikapi ayat-ayat
ketuhanan, semisal Yadu-Allah, dengan tanpa menentukan makna, dan
menyerahkan maknanya kepada Allah. Wa-llahu A’lam. Sementara kita tahu
bahwa Wahabi telah menentukan makna literalisnya, dan terperosok ke dalam tajsiem
(mempersonifikasi Tuhan yang berjasad). Pengakuan Wahabi sebagai madzhab salaf
menjadi musykil. Bahkan, wacana teologi ala Wahabi yang hendak
mensakralkan Tuhan, tapi berujung pada desakralisasi Tuhan, bisa jadi akan
membawa pada agnostisisme.
Prinsip Wahabi ini tak selaras
dengan ujaran Nabi, bahwa: “al-Quran bagaikan intan permata, yang setiap
sisinya memancarkan cahaya yang beragam”. Ini adalah petanda bahwa bahasa
al-Quran adalah bahasa yang ambigu dan bahkan ekuivositas (kemajemukan makna).
Ada lapisan makna yang terkandung dalam bahasa al-Quran. Karena itu, semisal
para teolog, para filsuf dan sufi dalam merumuskan bangunan teologinya dengan
epistemologi filosufis-religius, yang diistilahkan Immanuel Kant dan Heidegger
dengan “onto-teologi”. Piranti “analogi”, semisal, telah digunakan. Penalaran
dan eksperimentasi didayagunakan untuk menyibak kandungan makna al-Quran yang
begitu majemuk, demi meraih penyucian dan pensakralan Tuhan yang jitu.
Muhammad
Abduh sebagai saksi mata menilai Wahabi adalah gerakan pembaharuan yang
paradok: hendak mengibaskan debu taklid yang mengotori, tapi di saat yang sama
menciptakan taklid baru yang lebih menjijikan. Muhammad Abduh dan Wahabi
sejatinya terikat dalam satu mimpi bersama, yaitu mengembalikan Islam pada masa
Islam belum terkotak-kotak dalam beragam sekte. Biasa diistilahkan sebagai
“neo-Salafisme”. Tapi keduanya memilih jalan yang berbeda: Abduh melalui jalan
rasionalis, sehingga diklaim sebagai neo-Muktazilah; Wahabi melewati jalan
literalis, sehingga diklaim sebagai neo-Khawarij. Pangkal paradoksalitas Wahabi
tercium oleh Abduh dalam menjatuhkan pembaharuannya pada jalan literlisme, yang
menghantarkan pada “taklid baru yang menjijikan”. Berimplikasi pada
pendangkalan Islam yang tak bisa dielakkan: menghempas progresif, mendulang
regresif.
Baru-baru
ini saya mendapatkan buku murah di pasar buku lowak (azbaciah) yang
bertajuk “al-Sa’udiyyun wa al-Irhabi: Ru’yah ‘Alamiyah” (Orang-orang
Saudi dan Terorisme: Sebuah Pandangan Dunia): Riyadh, 2005. Sejenis bunga
rampai, memuat tulisan dari berbagai kalangan. Ada satu sub judul yang
membicarakan relasi terorisme dan Wahabi. Cukup beragam tulisan itu: ada yang
menohok bahwa Wahabi adalah salah satu sumber merebaknya terorisme, dan ada
yang menyucikan Wahabi dari terorisme. Tapi, penyucian Wahabi dari terorisme
menjadi sangsi jika kita melihat kenyataan selalu saja ada pihak yang bergabung
dalam komplotan terorisme berkedok agama, yang telah menyerap doktrin Wahabi.
Dan benarkah kalau mereka hanyalah sekedar oknum?[]
No comments:
Post a Comment