HADHANAH (Hak Asuh Anak)
M.Rakib
Lpmp Riau Indonesia
Masalah hadhonah
dan perlindungan terhadap anak, begitu lengkap di dalam Hukum Islam[1] karena menjadi manifestasi
kehendak Syari’ dalam realitas kehidupan manusia
menuntut terjadinya dialektika antara teks dan realitas. Karena itu, para fuqaha’ berusaha menemukan inovasi dan progresifitas, untuk mewujudkan
kemashlahatan universal manusia dunia
akhirat. Karakter Hukum Islam tidak saja ma’qûl sekaligus ma’mûl.[2] Sebagai upaya menjadikan hukum Islam inovatif
progresif. Berbagai langkah ditempuh agar hukum Islam tidak menjadi asing, pada
lingkungan yang mengitarinya.[3]
Hukum Islam, tidak hanya eksis
pada ranah normatif (law
in book) juga riil (law
in action)
historis kritis, memperjuangkan nasib
anak-anak dan emansipasi dengan melepaskan tradisi
perbudakan dalam budaya Arab melalui sanksi memerdekakan budak. Tidak bisa dipisahkan dengan lingkungan hidup masyarakatnya. Hukum
Islam dituntut berdialektika, sesuai dengan tingkat berfikir masyarakat dan lingkungan sosial, budaya maupun politik,[4]secara simultant dan continue. Kemandekan pada salah satu sisinya akan menjadikan pincang dan
problematik dalam segala sisi kehidupan sosial maupun kebangsaan.[5] Berdasarkan
kajian segala segi Hukum Islam, sudah banyak dilakukan oleh para ulama, dapat menjadi bahan
kajian yang dinamis. Dalam kehidupan manusia, tidak ada ide hukum yang bersifat final, maka kesinambungan kajian tentang
pemikiran yang berkembang, menjadi suatu keniscayaan dan sebagai bagian dari sunnatullah di alam ini. Formulasi
pemikiran yang sistematis dan benar tentunya sangat membutuhkan akan artikulasi
dan kontribusi yang dialogis. Dengan demikian prospek dan perspektif hukum
Islam yang akomodatif-transformatif akan bisa terwujud secara sistematis, jelas dan komprehensif. [6]
Indonesia sebagai negara hukum, memiliki hukum nasional
sendiri, dimaksudkan sebagai pedoman untuk melaksanakan sistem pemerintahan. Dalam
membentuk hukum nasional, bangsa Indonesia mengambil dari tiga sumber hukum, yaitu hukum adat, hukum Islam dan
hukum eks-Barat. Masyarakat Indonesia yang mayoritas menganut agama Islam, tentu harus senantiasa
melaksanakan ajaran ajaran itu. Namun sebagai bangsa yang berpalsafahkan Pancasila juga harus dapat mengakomodir seluruh kepentingan
komponen bangsa, di antaranya
kepentingan umat beragama.[7]
Pengertian
hadhanah
Kata hadhanah
adalah bentuk mashdar dari kata hadhnu ash-shabiy, atau mengasuh
atau memelihara anak. Mengasuh (hadhn) dalam pengertian ini tidak
dimaksudkan dengan menggendongnya dibagian samping dan dada atau lengan.
Secara
terminologis, hadhanah adalah menjaga anak yang belum bisa mengatur dan
merawat dirinya sendiri, serta belum mampu menjaga dirinya dari hal-hal yang
dapat membahayakan dirinya. Hukum hadhanah inihanya dilaksanakan ketika
pasangan suami istri bercerai dan memiliki anak yang belum cukup umur untuk
berpisah dari ibunya. Hal ini diseabkan karena sianak masih perlu penjagaan,
pengasuhan, pendidikan, perawatan dan melakukan berbagai hal demi
kemaslahatannya. Inilah yang dimaksu dengan perwalian (wilayah).
Hukum Hadhanah
Hadhanah (pengasuhan
anak) hukumnya wajib, karena anak yang masih memerlukan pengasuhan ini akan
mendapatkan bahaya jika tidak mendapatkan pengasuhan dan perawatan, sehingga
anak harus dijaga agar tidak sampai membahayakan. Selain itu ia juga harus
tetap diberi nafkah dan diselamatkan dari segala hal yang dapat merusaknya.
Hadhanah sangat terkait dengan tiga hak:
- Hak wanita yang mengasuh.
- Hak anak yang diasuh.
- Hak ayah atau orang yang menempati posisinya.
Jika
masing-masing hak ini dapat disatukan, maka itulah jalan yang terbaik dan harus
ditempuh. Jika masing-masing hak saling bertentangan, maka hak anak harus
didahulukan daripada yang lainnya. Terkait dengan hal ini ada beberapa hal yang
perlu diperhatikan.
pertama, pihak ibu terpaksa harus mengasuh anak jika
kondisinya memang memaksa demikian karena tidak ada orang lain selain dirinya
yang dipandang pantas untuk menasuh anak.
kedua,
si ibu tidak
boleh dipaksa mengasuh anak jika kondisinya memang tidak mengharuskan demikian.
sebab mengasuh anak itu adalah haknya dan tidak ada mudharat yang dimungkinkan
akan menimpa sianak karena adanya mahram lain selain ibunya.
ketiga, seorang ayah tidak berhak merampas anak dari
orang yang lebih berhak mengasuhnya (baca: ibu) lalu memberikannya kepada
wanita lain kecuali ada alsan syar’i yang memperbolehkannya.
keempat, jika ada wanita yang bersedia menyusui selain
ibu si anak, maka ia harus menyusui bersama (tinggal serumah) dengan si ibu
hingga tidak kehilangan haknya mengasuh anak.
Urutan Orang
yang Berhak Mengasuh Anak.
Mengingat bahwa
wanita lebih memahami dan lebih mampu mendidik, disamping lebih sabar, lebih
lembut, lebih leluasa dan lebih sering berada bersama anak, maka ia lebih
berhak mendidik dan mengasuh anak dibandingkan laki-laki. Hal ini berlangsung
hanya pada usia-usia tertentu, namun pada fase-fase berikutnya laki-laki yang
lebih mampu mendidik dan mengasuh anak dibandingkan wanita.
Ibu adalah
wanita yang paling berhak mengasuh anak
Jika wanita lebih
berhak mendidik dan mengasuh anak daripada laki-laki, maka -sesuai ijma
ulama- ibu kandung sianak tentu lebih berhak mengasuh anaknya setelah
terjadi perpisahan (antara suami dan istrinya), baik karena talak, meninggalnya
suami atau suami menikah dengan wanita lain, karena ibu jauh memiliki
kelembutan dan kasih sayang, kecuali jika ada penghalang yang menghapuskan hak
si ibu untuk mengasuh anak.
Diriwayatkan
dari Amr bin Syu’aib dengan menukil dari ayahnya, dari : “rkakeknya bahwa ada seorang wanita yang mengadu
kepada Rasulullah Wahai RAsulullah, anak ini dulu pernah menjadikan perutku
sebagai wadahnya, payudaraku sebagai sumber minumnya dan kamarku sebagai
rumahnya. Kini ayahnya telah menceraikanku dan ingin merampasnya dariku.
bersabdar” Rasulullah kepada wanita ini “Kamu lebih berhak
terhadapnya selama kamu belum menikah lagi“. (hasan HR Abu Daud, Ahmad
dan Al-Baihaqi)
Urutan orang
yang berhak mengasuh anak setelah ibu kandung
Ulama berbeda
pendapat siapa yang paling berhak mengasuh anak setelah ibu kandung atau urutan
hak asuh anak jika ternyata ada penyebab yang menghalangi ibu kandung untuk
mendapatkan hak asuhnya. Perbedaan pendapat ini disebabkan tidak adanya dalil qath’i
yang secara tegas membahas masalah ini. Hanya saja ke-empat imam madzhab lebih
mendahulukan kalangan kerabat dari pihak ibu dibandingkan dari kalangan kerabat
dari pihak ayah dalam tingkat kerabatan yang sama (misalnya mendahulukan nenek
dari pihak ibu dari pada nenek pihak ayah).
Kalangan
Madzhab Hanafi berpendapat
bahwa orang yang palin berhak mengasuh anak adalah:
1.
Ibu kandungnya
sendiri
2.
Nenek dari
pihak ibu
3.
nenek dari
pihak ayah
4.
saudara
perempuan (kakak perempuan)
5.
bibi dari pihak
ibu
6.
anak perempuan
saudara perempuan
7.
anak perempuan
saudara laki-laki
8.
bibi dari pihak
ayah
Kalangan
Madzhab Maliki berpendapat
bahwa urutan hak anak asuh dimulai dari:
1.
Ibu kandung
2.
nenek dari
pihak ibu
3.
bibi dari pihak
ibu
4.
nenek dari
pihak ayah
5.
saudara
perempuan
6.
bibi dari pihak
ayah
7.
anak perempuan
dari saudara laki-laki
8.
penerima wasiat
9.
dan kerabat
lain (ashabah) yang lebih utama
Kalangan
Madzhab Syafi’i berpendapat
bahwa hak anak asuh dimulai dari:
1.
Ibu kandung
2.
nenek dari
pihak ibu
3.
nenek dari
pihak ayah
4.
saudara
perempuan
5.
bibi dari pihak
ibu
6.
anak perempuan
dari saudara laki-laki
7.
anak perempuan dari
saudara perempuan
8.
bibi dari pihak
ayah
9.
dan kerabat
yang masih menjadi mahram bagi sianak yang mendapatkan bagian warisan ashabah
sesuai dengan urutan pembagian harta warisan. Pendapat Madzhab Syafi’i sama
dengan pendapat madzhab Hanafi.
Kalangan
Madzhab Hanbali
1.
ibu kandung
2.
nenek dari
pihak ibu
3.
kakek dan ibu
kakek
4.
bibi dari kedua
orang tua
5.
saudara
perempuan se ibu
6.
saudara
perempuan seayah
7.
bibi dari ibu
kedua orangtua
8.
bibinya ibu
9.
bibinya ayah
10.
bibinya ibu
dari jalur ibu
11.
bibinya ayah
dari jalur ibu
12.
bibinya ayah
dari pihak ayah
13.
anak perempuan
dari saudara laki-laki
14.
anak perempuan
dari paman ayah dari pihak ayah
15.
kemudian
kalangan kerabat dari urutan yang paling dekat.
SYARAT
MENDAPATKAN HAK ASUH ANAK (HADHANAH)
Kalangan ahli
fiqih menyebutkan sejumlah syarat untuk mendapatkan hak asuh anak yang harus
dipenuhi. Jika syarat ini tidak terpenuhi, maka hak asuh anak hilang,
syarat-syarat tersebut adalah:
Syarat
pertama dan kedua, berakal dan
telah baligh, sebab kelompok ini masih memerlukan orang yang dapat menjadi wali
atau bahkan mengasuh mereka. Jika mereka masih membutuhkan wali dan membutuhkan
pengasuha, maka merekpun tidak pantas untuk menjadi pengasuh untuk orang lain.
Syarat
kedua, Agama yang
mengasuh haruslah sama dengan agama anak yang diasuh, sehingga orang kafir
tidak berhak mengasuh anak Muslim. Hal ini didasarkan pada dua hal:
- Orang yang mengasuh pasti sangat ingin anak yang diasuhnya sesuai dengan ajaran agama yang dianutnya. dan ini adalah bahaya terbesar yang dialami sianak. Dan telah dijelaskan dalam :“rsabda Rasulullah Setiap anak lahir dalam keadaan fitrah (suci), maka kedua orangtuanyalah yang menjadikan dia sebagai Yahudi, Nashrani atau Majusi.” (HR Bukhari dan Muslim) Hadits ini menunjukkan bahwa agama anak tidak aman jika diasuh oleh orang kafir.
- Hak asuh
anak itu sama dengan perwalian. berfirman :IAllah
“dan Allah sekali-kali tidak akan memberi jalan kepada orang-orang kafir untuk memusnahkan orang-orang yang beriman.” (QS Ani-Nisaa’:141)
Syarat
ke empat, mampu
mendidik, sehingga orang yang buta, sakit, terbelenggu dan hal-hal lain yang
dapat membahayakan atau anak disia-siakan maka tidak berhak mengasuh anak.
Syarat
kelima, ibu kandung
belum menikah lagi dengan lelaki yang lain, berdasarkan sabda rNabi : “Kamu lebih berhak
dengannya selama kamu belum menikah lagi” (hasan. ditakhrij oleh Abud Dawud
2244 dan An-Nasa’i 3495)
Berakhirnya
Masa Pengasuhan dan Konsekuensinya.
Jika si anak
sudah tidak lagi memerlukan bantuan orang lain untuk memenuhi kebutuhan
pribadinya sehari-hari, telah mencapai usia mumayyiz dan sudah dapat memenuhi
kebutuhandasarnya seperti makan, minum memakai pakaian dan lain-lainnya, maka
masa pengasuhan telah selesai.
Manakala masa
pengasuhan ini telah berakhir, apakah yang harus dilakukan si anak ? Jika kedua
orang tua sepakat untuk mengikutkan anak tinggal bersama salah seorang dari
kedua orang tua, maka kesepakatan ini dapat dilaksanakan. tetapi jika kedua
orangtua masih berselisih, maka ada duahal yang harus diperhatikan:
Pertama, anak yang diasuh adalah laki-laki. Terkait
dengan anak laki-laki yang telah selesai masa pengasuhannya, muncul tiga
pendapat dikalangan ulama:
- Madzhab Hanafi, Ayah lebih berhak mengasuh si anak. dengan alasan bahwa jika seorang anak laki-laki sudah bisa memnuhi kebutuhan dasarnya, maka yang ia butuhkan adalah pendidikan dan perilaku seorang laki-laki. Dalam hal ini si ayah lebih mampu dan lebih tepat.
- Madzhab Maliki, Ibu lebih berhak selama si anak belum baligh.
- Madzhab Asy-syafi’i dan Ahmad, Anak diberi kesempatan untuk memilih salah satu diantara keduanya, berdasrkan hadits Abu Hurairah: Seorang perempuan datang menghadap dan berkata, “rNabi Wahai Rasulullah. suamiku ingin membawaserta anakku dan anakku telah meminumiku dari sumur Abu Inabah serta memberi manfaat padaku. bersabda: “r” Rasulullah Berundilah kalian berdua untuknya.” Si suami menukas “Siapa yang lebih berhak daripada aku terhadap anakku? bersabda pada sianak agar memilih, “r” Nabi Ini ayahmu dan ini Ibumu. Ambillah tangan salah satu dari keduanya yang kamu suka” Ia meraih tangan ibunya, dan lantas si ibupun pergi dan mebawanya. (Haduts shahih, ditakhrij oleh Abu Dawud 2277, An-Nasa’i 3496 dan At-Tirmidzi 1357). Dari hadits diatas diketahui bahwa konsep pengundian (qur’ah) harus didahulukan daripada memberikan kesempatan memilih. Akan tetapi dengan melihat apa yang dilakukan oleh para khalifah, memberikan kesempatan memilih lebih didhalukan daripada cara pengundian. Diriwayatkan bahwa ada orang yang mengadukan perselisihan . Ia menjawab, “tmasalah anak kepada Umar Ia sebaiknya tinggal bersama ibunya sampai ia pandai berbicara, kemudian ia diberi kesempatan untuk memilih.“(Sanad shahih, ditakhrij oleh Abdurrazaq 12606 dan Sa’id bin Manshur 2263).
Diriwayatkan telah memberikan kesempatantjuga dari Imarah bin Ru’aibah bahwasannya Ali kepadanya untuk memilih antara (ikut) dengan
ibunya atau pamannya. Imarah lebih memilih ikut ibunya. Ali berkata “Kamu
dapat hidup bersama ibumu. Nanti jika saudaramu (baca:adikmu) telah mencapai
usia seperti usiamu saat ini, maka berikanlah kesempatan kepadanya untuk
memilih seperti yang kau lakukan ini.” Imarah berkata, “Ketika itu saya
sudah beranjak remaja (ghulam).” (Sanadnya Dha’if ditakhrij oleh Abdurrazaq
12609, Sa’id bin Manshur 2265 dan al-Baihaqi 8/4).
Ibnu Qayyim
menyebutkan bahwa memberi kesempatan memilih dan mengundi hanya dapat dilakukan
apabila kedua cara ini memberikan kemaslahatan bagi si anak. Kalau memang ibu
dipandang lebih dapat melindungi anak dan lebih bermanfaat dibanding ayahnya,
maka dalam kasus ini merawat anak harus didahulukan tanpa harus
mempertimbangkan cara mengundi dan memilih.
Kedua, anak yang diasuh adalah anak perempuan. Para
Ulama berbeda pendapat, Kalangan Madzhab Maliki
berpendapat bahwa anak tetaptinggal bersama ibunya hingga anaka perempuan
tersebut menikah dan telah berhubungan intim dengan suaminya. Dengan mengacu
padapendapat Imam Ahmad, kalangan madzhab Hanafi berpendapat bahwa manakala
telah mengalami menstruasi anak perempuan diserahkan kepada ayahnya. Kalangan
Madzhab Hanbali berpendapat bahwa anak diserahkan kepada ayahnya apabila telah
mencapai usia 7 tahun.
Ketiga Imam
madzhab sepakat bahwa anak ini tidak diberi kesempatan untuk menentukan
pilihan. Sementara itu Syafi’i berpendapat bahwa perempuan diberi kesempatan
menentukan pilihan seperti anak laki-laki dan dia berhak untuk hidup bersama
orang yang menjadi pilihannya (ayahnya atau ibunya).
Ibnu Taimiyyah
lebih memilih berpendapat bahwa anak perempuan tidak diberi kesempatan memilih.
Ia bisa hidup bersama salah satu dari keduanya apabila orangtua yang ia
ikuti ini taat kepada Allah dalam mendidik anak. (Majmu Fatawa Ibnu Taimiyyah)
(Dalam abiyazid.wordpres: syarat mendapatkan hak asuh anak hadhanah)
[1] Istilah hukum Islam terdiri dari dua kata: hukum dan Islam, dan secara mendasar tidak terlalu salah jika
dikatakan bahwa kedua kata tersebut berasal dari bahasa Arab yang kemudian
telah meng-Indonesia. Dalam bahasa Latin lainnya, hukum Islam itu dikenal
dengan Islamic law (Inggris), droit musulman (Prancis), Islam-recht (Belanda), Lihat
Akh. Minhaji, Hukum Islam: Antara Sakralitas dan
Profanitas (Perspektif Sejarah Sosial),Pidato Pengukuhan Guru Besar Sejarah Sosial Pemikiran
Hukum Islam Pada Fakultas Shari’ah Tanggal 25 September (Yogyakarta: UIN, 2004) , 30.
[3] Yayan Sopyan, Tarkh Tasyari’,
Sejarah Pembentukan Hukum Islam. Lihat juga Joseph Scacht, An Introduction to Islamic Law (London: Clarendon Press, 1996), 1. Pernyataan
senada, yang menunjukkan arti penting hukum bagi orang Muslim, juga dilontarkan
oleh Frederick M. Denny, “Islamic Theology in the New World, Some Issues and
Prospects,” dalam Journal of the American
Academy of Religion, Vol.
LXII, No. 4 (1994), 1069; Liebesny, The Law of the Near and Midle East,
Readings, Cases, and Materials (New York: State University of New York Press, 1975),
3; J.N.D. Anderson, Law Reform in the Muslim World (London: The Clarendone Press, 1976), 1; dan
H.R. Gibb, Mohammedanism (Oxford: Oxford University Press, 1967),
7.
[5] Untuk kajian tentang
masyarakat Madani (civil society), baca beberapa tulisan misalnya,
Nurcholis Madjid, “Menuju Masyarakat Madani,” dalam Ulumul Qur’an, No. 2/VII
(1996), 51-55; Muhammad AS Hikam, Demokrasi
dan Civil Society ((Jakarta:
LP3ES, 1999); Dawam Rahardjo, “Masyarakat Madani di Indonesia: Sebuah
Penjajakan Awal,”; Bahtiar Effendy, “Wawasan al-Qur’an tentang Masyarakat
Madani: Menuju Terbentuknya Negara-Bangsa yang Modern,” dan Muhammad AS Hikam,
“Wacana Intelektual tentang civil Society di Indonesia, “ dalam Jurnal Pemikiran Paramadina, Vol.1, No.2 (1999), 7-87; Ahmad
Syafi’i Ma’arif, Universalisme Nilai-Nilai Politik Islam Menuju Masyaakat
Madani,” dalam Profetika, Vol. 1, No.2 (1999), 165-176;
Ahmad Basho, Civil Society
Versus Masyarakat Madani: Arkeologi Pemikiran “Civil Society” dalam Islam
Indonesia(Bandung: Pustaka Hidayah, 1999),
[7]
Hairul Sani,
Peranan hukum Islam dalam
pembinaan hukum nasional, Undergraduate es Dissertation from LAPTIAIN /
2002-06-21 10:00:00IAIN Raden Intan Bandar Lampung
2001-05-31, dengan 1 file. Internet. Lihat juga Muhammad Khubairi, Kecerdasan Fuqaha’dan Kecerdikan Khulafa’(terj), (Jakarta, Pustaka Al-Kautsar, 2007), 91.
2001-05-31, dengan 1 file. Internet. Lihat juga Muhammad Khubairi, Kecerdasan Fuqaha’dan Kecerdikan Khulafa’(terj), (Jakarta, Pustaka Al-Kautsar, 2007), 91.
No comments:
Post a Comment