Jangan berdakwah, menuduh bid'ah, dengan sisins
Kita
tahu bahwa sikap “berlebihan” adalah masalah yang sangat relatif dan
kondisional. Terbukti, betapa hidup keseharian adalah cermin bagi kita untuk
mengaca diri, betapa kita telah membeda-bedakan cara penyikapan terhadap sekian
banyak jenis manusia. Para orang bijak jaman kuno sudah lama mengingatkan kita
akan perlunya sikap adil: meletakkan sesuatu (atau manusia) pada tempatnya.
Kata Aristoteles dalam Ethica Nicomachea-nya: “Sikap egaliter (musawa)
tidak selamanya cerminan dari sikap adil. Adil adalah sikap proporsional, bukan
egalitarianisme total”. Kebutuhan seorang mahasiswa berbeda dengan seorang
siswa SD, SMP dan seterusnya. Menghadap ke presiden akan berbeda dengan
menghadapi wong cilik. Perbedaan adalah wajar untuk mewujudkan rasa
adil. Tapi bukan berarti berbeda. Wahabi, yang menyamakan Nabi dan orang salih
dengan batu atau sampah, yang dianggap sama-sama makhluknya, kiranya tak tepat
mengartikan makna adil.
Islam
idealis dengan patokan teologi rigid yang diandaikan Wahabi menjadikannya
sebagai sekelompok Serigala berbulu Domba: menawarkan ke-beradaban dengan
cara-cara yang “biadab”. Menyergap kelompok yang lain dan yang berbeda.
Nyatanya, setelah gerakan oposan Wahabi mendapatkan bekingan dari Inggris,
mereka berhasil memisahkan diri dari Dinasti Ottoman, dan kisah pembantaian
terhadap sesama Muslim dimulai. Mekah yang begitu suci dijadikan tempat jagal
penyembelihan orang-orang Muslim, yang dianggap sebagai pelaku bid’ah.
Wahabi merasa tidak puas menghabisi orang-orang Muslim di kandangnya sendiri
(baca; Jazirah Arab), akhirnya Wahabi pun menyembelih orang-orang Muslim Syi’ah
di Karbala.
Jargon
pemurnian Islam yang diusung Wahabi menjadi ironi. Lantaran sejatinya mereka
bukan memurnikan Islam, tapi mengeringkan Islam. Mendesain Islam sebentuk jalan
setapak dan sempit. Sejenis cara berfikir identitas, yang memberikan
ukuran-ukuran pasti dan sekematisasi kaku. Siapa pun harus dibentuk, tidak bisa
membentuk. Jika sekema itu berbentuk kotak, maka dia harus menjadi kotak. Islam
ditonjolkan dalam militansi kesalihan-formalis: bercelana di atas mata kaki,
berjenggot, becadar, dll. Hanya dengan itu pula identitas Wahabi
dimanifestasikan. Dada kita akan semakin sesak jika kita melihat betapa Wahabi
menselaraskan agama dan pemikiran keagamaan. Lantaran Wahabi tak memberikan
sedikit pun hak akal dan intuisi untuk didayagunakan dalam bergumul dengan
agama. Sementara kita tahu, bahwa pemikiran keagamaan adalah produk ijtihadi
penalaran manusia hasil pergumulan dengan agama dan realita. Pemikiran
keagamaan akhirnya akan selamanya majemuk.
Wacana
teologi yang diusung Wahabi adalah sejenis wacana yang absen dari percaturan
ilmiah, dengan mengembalikannya ke dalam wacana “religius murni” yang bertumpu
pada makna literalisme teks-teks primer agama (Quran&hadits), yang bersifat
univositas. Bahasa metafor (majaz) adalah barang haram. Berteologi
dengan berfikir atau penghayatan-intuitif adalah tindakan kriminal! Syahdan,
Wahabi dalam menyikapi ayat-ayat ketuhanan pun tetap berpegang pada makna
literalisnya. Yadu-Allah, semisal, diartikan bahwa Tuhan mempunyai
tangan, seperti pendapatnya para salaf al-salih, demikian Wahabi berkata.
Sejatinya nama besar dan harum “salaf al-salih” di sini sedang dijual sebagai
alat legitimasinya. Terbukti, para salaf al-salih dalam menyikapi ayat-ayat
ketuhanan, semisal Yadu-Allah, dengan tanpa menentukan makna, dan
menyerahkan maknanya kepada Allah. Wa-llahu A’lam. Sementara kita tahu
bahwa Wahabi telah menentukan makna literalisnya, dan terperosok ke dalam tajsiem
(mempersonifikasi Tuhan yang berjasad). Pengakuan Wahabi sebagai madzhab salaf
menjadi musykil. Bahkan, wacana teologi ala Wahabi yang hendak
mensakralkan Tuhan, tapi berujung pada desakralisasi Tuhan, bisa jadi akan
membawa pada agnostisisme.
Prinsip Wahabi ini tak selaras
dengan ujaran Nabi, bahwa: “al-Quran bagaikan intan permata, yang setiap
sisinya memancarkan cahaya yang beragam”. Ini adalah petanda bahwa bahasa
al-Quran adalah bahasa yang ambigu dan bahkan ekuivositas (kemajemukan makna).
Ada lapisan makna yang terkandung dalam bahasa al-Quran. Karena itu, semisal
para teolog, para filsuf dan sufi dalam merumuskan bangunan teologinya dengan
epistemologi filosufis-religius, yang diistilahkan Immanuel Kant dan Heidegger
dengan “onto-teologi”. Piranti “analogi”, semisal, telah digunakan. Penalaran
dan eksperimentasi didayagunakan untuk menyibak kandungan makna al-Quran yang
begitu majemuk, demi meraih penyucian dan pensakralan Tuhan yang jitu.
Muhammad
Abduh sebagai saksi mata menilai Wahabi adalah gerakan pembaharuan yang
paradok: hendak mengibaskan debu taklid yang mengotori, tapi di saat yang sama
menciptakan taklid baru yang lebih menjijikan. Muhammad Abduh dan Wahabi
sejatinya terikat dalam satu mimpi bersama, yaitu mengembalikan Islam pada masa
Islam belum terkotak-kotak dalam beragam sekte. Biasa diistilahkan sebagai
“neo-Salafisme”. Tapi keduanya memilih jalan yang berbeda: Abduh melalui jalan
rasionalis, sehingga diklaim sebagai neo-Muktazilah; Wahabi melewati jalan
literalis, sehingga diklaim sebagai neo-Khawarij. Pangkal paradoksalitas Wahabi
tercium oleh Abduh dalam menjatuhkan pembaharuannya pada jalan literlisme, yang
menghantarkan pada “taklid baru yang menjijikan”. Berimplikasi pada
pendangkalan Islam yang tak bisa dielakkan: menghempas progresif, mendulang
regresif.
No comments:
Post a Comment