DESKRIPSI HADITS ABU DAUD
Tak Ragu dengan Kebenaran Alquran
Penelitiannya
tentang Mumi Firaun membawanya pada kebenaran Alquran.
Di pertengahan tahun 1975, sebuah tawaran dari pemerintah Prancis datang kepada pemerintah Mesir. Negara Eropa tersebut menawarkan bantuan untuk meneliti, mempelajari, dan menganalisis mumi Firaun. Tawaran tersebut disambut baik oleh Mesir. Setelah mendapat restu dari pemerintah Mesir, mumi Firaun tersebut kemudian digotong ke Prancis. Bahkan, pihak Prancis membuat pesta penyambutan kedatangan mumi Firaun dengan pesta yang sangat meriah.
Mumi itu pun dibawa ke ruang khusus di Pusat Purbakala Prancis, yang selanjutnya dilakukan penelitian sekaligus mengungkap rahasia di baliknya oleh para ilmuwan terkemuka dan para pakar dokter bedah dan otopsi di Prancis. Pemimpin ahli bedah sekaligus penanggung jawab utama dalam penelitian mumi ini adalah Prof Dr Maurice Bucaille.
Bucaille adalah ahli bedah kenamaan Prancis dan
pernah mengepalai klinik bedah di Universitas Paris. Ia dilahirkan di
Pont-L'Eveque, Prancis, pada 19 Juli 1920. Bucaille memulai kariernya di bidang
kedokteran pada 1945 sebagai ahli gastroenterology. Dan, pada 1973, ia ditunjuk
menjadi dokter keluarga oleh Raja Faisal dari Arab Saudi.Di pertengahan tahun 1975, sebuah tawaran dari pemerintah Prancis datang kepada pemerintah Mesir. Negara Eropa tersebut menawarkan bantuan untuk meneliti, mempelajari, dan menganalisis mumi Firaun. Tawaran tersebut disambut baik oleh Mesir. Setelah mendapat restu dari pemerintah Mesir, mumi Firaun tersebut kemudian digotong ke Prancis. Bahkan, pihak Prancis membuat pesta penyambutan kedatangan mumi Firaun dengan pesta yang sangat meriah.
Mumi itu pun dibawa ke ruang khusus di Pusat Purbakala Prancis, yang selanjutnya dilakukan penelitian sekaligus mengungkap rahasia di baliknya oleh para ilmuwan terkemuka dan para pakar dokter bedah dan otopsi di Prancis. Pemimpin ahli bedah sekaligus penanggung jawab utama dalam penelitian mumi ini adalah Prof Dr Maurice Bucaille.
Tidak hanya anggota keluarga Raja Faisal yang menjadi pasiennya. Anggota keluarga Presiden Mesir kala itu, Anwar Sadat, diketahui juga termasuk dalam daftar pasien yang pernah menggunakan jasanya.
Namanya mulai terkenal ketika ia menulis buku tentang Bibel, Alquran, dan ilmu pengetahuan modern atau judul aslinya dalam bahasa Prancis yaitu La Bible, le Coran et la Science di tahun 1976.
Ketertarikan Bucaille terhadap Islam mulai muncul ketika secara intens dia mendalami kajian biologi dan hubungannya dengan beberapa doktrin agama. Karenanya, ketika datang kesempatan kepada Bucaille untuk meneliti, mempelajari, dan menganalisis mumi Firaun, ia mengerahkan seluruh kemampuannya untuk menguak misteri di balik penyebab kematian sang raja Mesir kuno tersebut.
Ternyata, hasil akhir yang ia peroleh sangat mengejutkan! Sisa-sisa garam yang melekat pada tubuh sang mumi adalah bukti terbesar bahwa dia telah mati karena tenggelam. Jasadnya segera dikeluarkan dari laut dan kemudian dibalsem untuk segera dijadikan mumi agar awet.
( Dalam Sunan
Abu Daud juz I Hadits No.494 )
A.
Teks Hadits dan Terjemah
حد ثنا محمد بن عيسى – يعني ابن الطباع
– حدثنا إبراهيم بن سعد
عن عبد الملك بن الربيع بن سبرة عن
أبيه عن جده قال قال رسول
الله صلى الله عليه وسلم : (مروا
الصبي بالصلاة إذا بلغ سبع سنين،
وإذا بلغ عشر سنين فاضربوه عليها).
(رواه ابو داوود) 1
"Kami mendapatkan Hadits
dari Muhammad bin Isa yaitu Ibn Al Thaba’, kami
mendapatkan Hadits dari Ibrahim
bin Sa’ad dari Abdul Malik bin Al Rabi’ bin
Sabrah dari ayahnya dari
kakeknya berkata Rasulullah SAW
bersabda:Suruhlah anak-anak
mengerjakan shalat, apabila telah berumur tujuh
tahun dan pukullah dia karena
meninggalkan apabila berumur sepuluh tahun".
(HR. Abu Dawud Hadits No.494)
B. Kandungan
Hadits
Secara umum pokok pikiran dalam
Hadits diatas adalah berkenaan
dengan perintah mengajarkan
atau mendidik shalat seorang anak. Dalam
Hadits diatas juga mengandung
maksud bahwa seorang anak kecil yang telah
sampai umur 7 tahun, jika
mumayyiz diperintah atas dasar sunnah
mengerjakan shalat. Dan jika
mereka telah berumur 10 tahun , maka wajiblah
diperintahkan untuk mengerjakan
shalat dan jika mereka dengan enggan maka
dipukul.
Al-Hafidh Ibn Al Qoyyim al-Jauziyah
dalam karyanya sejarah sunan
Abu Daud, yaitu ‘Aun al-Ma’bud
Syarh Sunan Abu Daud2, menjelaskan
bahwa yang dimaksud مروا الصبي adalah
perintah supaya menyuruh anak-
1Imam Abu Daud, Sunan Abu Daud , Juz., I,
(Beirut: Darul Fikr,tth), hlm.119.
2A Haffidh Ibn Al Qoyyim Al
Jauziyah,
‘Aun Al-Ma’bud,
(Beirut: Dar Al-Fikr, tth), hlm.
123-124.
35
anak kalian untuk melaksanakan shalat
adalah suatu bentuk amar atau perintah
bagi orang tua, wali atau
pendidik untuk mendidik anak-anaknya, baik lakilaki
maupun perempuan untuk
melaksanakan shalat (berkaitan dengan syaratsyarat
hingga rukun melaksanakan
shalat). Bukan hanya anak kecil yang
harus diperintah melaksanakan
shalat oleh walinya, tetapi wali juga wajib
menyuruh shalat kepada semua
orang yang mempunyai kewajiban hak
kewalian, yaitu dari saudara
yang dekat atau jauh.
Adapun di dimaksud dengan lafal
فا
ضربوه عليها adalah
ketika
mereka meninggalkan shalat,
tatkala usia mereka sudah menginjak 10 tahun
atau sudah mendekati, maka
pukullah mereka sebagai hukuman atau pelajaran.
Hal tersebut berkenaan dengan
masa usia balig, sehingga taklif (pemberian
beban syari'at agama yang harus
dilaksanakan oleh setiap muslim dan ketika
meninggalkan syari'at tersebut,
maka berhak mendapatkan dosa atau
hukuman) sudah diberlakukan.
Jumhur ulama juga berpendapat
bahwa perlunya perintah
melaksanakan (pendidikan)
shalat sejak dini, yaitu umur 10 tahun dan
memukulnya ketika
meninggalkannya adalah sebagai bentuk pengajaran serta
hukuman bagi siapa saja yang
meninggalkan syari'at (shalat) yang telah
diperintahkan Allah kepada
hamba-Nya, tanpa alasan yang jelas dan dapat
diterima.
Hadits diatas memerintahkan
bahwa anak umur 10 tahun yang belum
mau mengamalkan shalat harus
dipukul. Pukulan itu adalah sebagai hukuman.
Ini bukannya suatu tindakan
yang kejam, karena menurut penjelasan para ahli
agama hukuman pukul bagi anak
tersebut tidak boleh lebih dari tiga kali dan
dengan alat pemukul yang kecil
sehingga tidak sampai membawa penderitaan
fisik bagi si anak 3. Lagi pula,
sebelum hukuman pukul itu dilaksanakan,
hendaklah telah dipergunakan
segala cara dan taktik bagaimana agar si anak
mau shalat. Ia diberi
kesempatan untuk memperbaiki kesalahannya, sehingga
cara-cara yang keras dari orang
tua dihindari terlebih dahulu.
3Umar Hasyim, Cara Mendidik
Anak dalam Islam, (Surabaya
: Bina Ilmu, 1982), hlm.109.
36
C. Kualitas
Hadits Menurut Ahli Hadits
Meneliti suatu kebenaran hadits
(berita), merupakan sebagian dari
upaya membenarkan yang benar
dan membatalkan yang batil. Kaum muslimin
sangat besar perhatiannya dalam
segi ini, baik penetapan suatu pengetahuan
atau pengambilan suatu dalil.
Apalagi jika hal itu berkaitan dengan riwayat
hidup Nabi mereka, atau ucapan
dan perbuatan serta ketetapan yang
dinisbahkan kepada beliau yang
pada tahap selanjutnya oleh muhadditsin
disebut hadits.
Sejak masa-masa yang lama
sekali, umat Islam memelihara
peninggalan Nabi Muhammad saw.,
menjaganya dari segala persangkaan
negatif dan menganggap
kebohongan yang dilakukan oleh siapa saja berkaitan
dengan beliau sebagai jalan
menuju azab yang kekal di neraka. Hal ini
mengingat hal itu adalah bagian
dari pemalsuan terhadap agama serta
pendustaan keji terhadap Allah
dan Rasul-Nya. Nabi saw. bersabda :
Kebohongan yang
dilakukan berkaitan dengan aku (yakni tentang ucapan dan
perkataan beliau) tidaklah sama
dengan kebohongan yang berkaitan dengan
siapapun selain
aku. Barang siapa berbohong tentang aku secara sengaja,
hendaknya ia
bersiap-siap menduduki tempatnya di neraka.
Para ulama sepakat bahwa hadits
Nabi saw., adalah sumber ajaran
Islam yang kedua setelah
al-Qur’an.4
Ditinjau
dari segi periwatannya, hadits
Nabi berbeda dengan al-Qur’an.
Untuk mengetahui apakah hadits tersebut
berasal dari Nabi saw. atau
tidak, maka perlu adanya suatu penelitian terhadap
hadits tersebut. Hal itu
dilakukan untuk mengetahui keorisinilannya atau
keotentikannya serta sejauh
mana periwayatannya dapat
dipertanggungjawabkan, baik
dari segi sanad
(periwayatannya)
maupun
matannya (materinya).
4Untuk Al-Qur’an, semua
periwayatan ayat-ayatnya berlangsung secara mutawatir, yaitu
tatabu’ (berurut),
sedangkan hadits Nabi saw., sebagian periwayatannya berlangsung secara
mutawatir, yaitu berita yang
diriwayatkan oleh orang banyak pada setiap tingkat periwayat, mulai
dari tingkat sahabat sampai
dengan mukharrij, yang menurut
ukuran rasio dan kebiasaan mustahil
para periwayat yang jumlahnya
banyak itu bersepakat terlebih dahulu untuk berdusta. Sebagian
lagi diriwayatkan secara ahad, yaitu apa
yang diberitakan oleh orang-orang yang tidak mencapai
tingkat mutawatir. Lihat M.
Syuhudi, Ismail, Metodologi
Penelitian Hadits, Jakarta,
Bulan
Bintang, 1992, hal. 3-4
37
Hal ini diperlukan mengingat
pada dasarnya hadits-hadits yang ditulis
dalam beraneka macam “Kitab Hadits”, serta
beraneka macam metode atau
sistematika penulisan yang
berupaya mengungkapkan bahasa lisan, perbuatan,
dan ketetapan Nabi saw—yang
pada saat itu belum dibukukan—menjadi
bahasa tulisan. Pada masa itu
Nabi saw. mengucapkan, melakukan dan
menetapkan segala sesuatu yang
bersifat informal (uswatun
hasanah) yang
disaksikan oleh para sahabat
yang tidak menutup kemungkinan adanya salah
penafsiran atau interpretasi
terhadap Hadits Nabi saw. atau hadits itu
diungkapkan dengan bahasa yang
tidak sama dengan bahasa Nabi saw. serta
adanya Hadits-hadits palsu
bahkan adanya periwayatan Hadits secara makna.
Inilah yang melatarbelakangi
perlunya penelitian Hadits, yang nantinya akan
kita jadikan hujjah; apakah Hadits
tersebut dapat kita jadikan sebagai hujjah
atau tidak.
Para muhadditsin telah
menetapkan lima persyaratan untuk menerima
Hadits-hadits Nabi saw. tiga
syarat berkenaan dengan sanad (mata rantai para
perawi) dan dua berkenaan
dengan matan
(materi
hadits).
1. Setiap perawi dalam sanad
suatu hadits haruslah seorang yang dikenal
sebagai penghafal yang cerdas,
teliti, dan benar-benar memahami apa yang
didengarnya. Kemudian ia
meriwayatkannya setelah itu, tepat seperti
aslinya.
2. Perawi haruslah orang yang
mempunyai kepribadian yang baik, bertakwa,
serta menolak dengan setiap
pemalsuan dan penyimpangan.
3. Kedua syarat di atas
haruslah dimiliki oleh perawi. Jika hal itu tidak
terdapat padanya maka hadits
yang diriwayatkan tidak dianggap shahih.
4. Matan tidak syadz (yaitu
perawinya bertentangan dalam periwayatannya
dengan perawi lainnya yang
dianggap lebih akurat dan lebih terpercaya).
5. Hadits yang diriwayatkan
harus bersih dari ‘illah
qadihah (yakni
cacat
yang di ketahui oleh
muhadditsin).5
Dalam penelitian hadits,
penulis merasa tertarik untuk meneliti satu
Hadits tentang “metode
pendidikan yang terdapat dalam perintah melakukan
5Syaikh Muhammad Al-Ghazali, Studi Kritis Atas
Hadits, Mizan,
Bandung, 1996, hal.25-6
38
shalat terhadap
anak”. Penelitian
ini hanya meliputi penelitian sanadnya saja,
yang dilakukan terhadap satu
mata rantai dari Sulaiman bin Al-Asy’ats Al-
Sijistani (Abu Daud). Setelah
dilakukan takhrij ternyata Hadits di atas terdapat
dalam “Sunan Abu Daud
Hadits No.494”
juz I halaman 119 serta dalam kitab
“‘Aun Al-Ma’bud:
Syarah Sunan Abu Daud” juz 1 halaman 114.
1. Bagan Sanad Hadits
Riwayat Hadits di atas diawali
dengan Hadatsana, yang
menyatakan kata itu adalah
Sulaiman bin Al-Asy’ats Al-Sijistani. Ia
adalah orang yang menyusun Kitab Sunan Abu
Daud. Pada
penelitian
sanad ini kami membatasi sanad
dari Sulaiman bin Al-Ays’ats Al-Sijistani
yang selanjutnya ia dinamakan
Abu Daud (kunyah) dengan alasan bahwa
banyak kitab-kitab hadits yang
mana di dalamnya dijumpai Abu Daud
menjadi periwayat terakhir.
Oleh karena itu Abu Daud di sini kami anggap
sebagai Mukharijul
Hadits,
maka dia dalam hal ini berkedudukan sebagai
periwayat terakhir untuk Hadits
yang dikutip di atas.
Lambang-lambang periwayatan (shighah
al-tahammul wa al-ada’)
yang terdapat dalam Hadits di
atas adalah Hadatsana
yang
diucapkan oleh
Abu Daud, Muhammad bin Isa, dan
Ibrahim bin Sa’ad. Itu berarti metode
periwayatan yang digunakan oleh
para periwayat dalam sanad
hadits
tersebut adalah al-Asma’, yakni
penerimaan Hadits dengan cara
mendengar langsung lafadz
Hadits dari gurunya. Selanjutnya periwayatan
itu menggunakan ‘An yang diucapkan
oleh Abdul Malik bin Al-Rabi’ bin
Sabrah, Al-Rabi’ bin Sabrah,
dan Sabrah bin Ma’bad Al-Juhani. Ini berarti
bahwa hadits tersebut adalah
hadits Mu’an
‘an.
Penelitian Hadits dalam makalah
penelitian hadits ini hanya pada
satu mata rantai sanad saja,
dimulai dari periwayat terakhir, yaitu Abu
Daud hingga Sabrah. Dalam
mengemukakan riwayat, Abu Daud
menyandarkan riwayatnya kepada Muhammad bin
Isa, maka
dengan
demikian Muhammad bin Isa
adalah
sanad pertama, sedangkan sanad
terakhir adalah Sabrah, yakni
periwayat pertama dalam hadits tersebut.
Untuk lebih jelasnya dapat
dilihat bagan di bawah ini:
39
2. Persambungan Sanad Dan
Kualitas Hadits
a. Abu Daud
(202-275)
Abu Daud adalah Kunyah dari
Sulaiman bin Al-Asy’ats.6
Adapun nama lengkapnya adalah
Sulaiman bin Al-Asy’ats bin
Syaddad bin Amr bin Amir.
Menurut Ibn Dasah dan Al-Ajri, nama
lengkap dari Abu Daud adalah
Sulaiman bin Al-Asy’ats bin Ishaq bin
Basir bin Syaddad yakni Abu
Daud Al-Sijistani Al-Hafidz. Ia lahir
pada tahun 202 hijriah di
Baghdad dan wafat pada tahun 275 hijriah.
6Al-Asqalani, Tahdzib
Al-Tahdzib, ,
(Bairut Libanon: Dar Al-Kutub Al-Ilmiyah,, 1994), juz
12 hal. 80
رسول الله
سبرة
الربيع بن سبرة
عبدالملك بن الربيع بن سبرة
ابراهيم بن سعد
محمد بن عيسي
ابوداود
قال
عن
عن
عن
حدثنا
حدثنا
40
ia meriwayatkan hadits dari Abu
Salamah Al-Tabudzaki, Abu Al-
Walid Al-Thayalisi, Muhammad
bin Katsir Al-Abdi, Muslim bin
Ibrahim, Abu Umar Al-Haudi, Abu
Taubah Al-Halabi, Sulaiman bin
Abdurrahman Al-Damasqi, Sa’id
bin Sulaiman Al-Wasithi, Shafwan
bin Shalih Al-Damasqi, Abu
Ja’far Al-Nafili, Ahmad, Ali, Yahya,
Ishaq, Qatn bin Nasir, dan
lain-lain yakni para muhadditsin dari
Irak, Khurasan,
Syam, Mesir, dan muhadditsin dari Jazirah Arab.
Sedangkan orang-orang yang
meriwayatkan darinya adalah
Abu Ali Muhammad bin Ahmad bin
Umar, Abu Al-Thayyib Ahmad
bin Ibrahim bin Abdurrahman
Al-Asynani, Abu Amr Ahmad bin Ali
bin Al-Hasan Al-Bashri, Abu
Sa’id Ahmad bin Muhammad bin Ziyad
Al-A’Rabi, Abu Bakar Muhammad
bin Abdul Razaq bin Dasah, Abu
Al-Hasan Ali bin Al-Hasan bin
Al-‘Abd Al-Anshari, dan lain-lain.
* Penilaian
ulama terhadap dirinya:
Para ulama muhadditsin sepakat
bahwa Sulaiman bin Al-
Asy’ats Al-Sijistani adalah
salah seorang ulama hadits kenamaan serta
penyusun kitab Sunan Abu Daud.
Berkaitan dengan hal tersebut
di atas, maka ia tidak terlepas
dari kritikus yang
mengomentarinya. Di antara para kritikus tersebut
antara lain adalah:
Abu Bakar Al-Khilal mengatakan
ia adalah imam pada
masanya, Wara’. Ahmad bin
Muhammad bin Yasin Al-Harwi
menegaskan bahwa ia adalah
salah satu ulama penghafal hadits,
mengerti ‘illat dan sanad
hadits dari yang tertinggi hingga yang
terendah, serta rajin beribadah,
‘Iffah,
bagus
dan wara’. Sejalan
dengan ini Abu Hatim bin Hibban
mengatakan bahwa ia adalah salah
satu imam dunia yang faqih,
alim, hafal Hadits, rajin beribadah, wara’,
dan bertaqwa. Hal senada juga
diungkapkan oleh Maslamah bin Qasim
41
bahwa ia (Abu Daud) adalah
orang yang tsiqah, zahid, ‘arif bi al-hadits
(mengerti tentang hadits), dan
imam pada masanya.7
b. Muhammad bin
Isa (w.224)
Nama lengkapnya adalah Muhammad
bin Isa bin Najih Al-
Baghdadi, Abu Hafs bin
Al-Thaba’. Ia adalah saudara Ishaq bin Isa
dan Yusuf bin Isa. Ia meninggal
pada tahun 224 hijriah.
Ia meriwayatkan Hadits
(guru-guru beliau) dari Ibrahim bin
Sa’ad, Ishaq bin
Sulaiman Al-Razy, Ishaq bin Najih, Ismail bin
Aliyyah, Ismail bin Iyas,
Asyasy bin Al-Mishaishy, Ayyub bin Sayyar,
Bakar bin Abdul Aziz bin Abi
Bakrah, Jarir bin Abdul Hamid,
Juwairiyah bin Asma’, Al-Harits
bin Murrah Al-Hanafy, Hajjaj bin
Muhammad Al-Mishaishy, Hassan
bin Ibrahim Al-Kirmany, Hamad
bin Zaid, Salim Abi Jumaih,
Sufyan bin Uyainah, Sallam bin Abi
Muti’, dan lain-lain.
Haditsnya diriwayatkan oleh
Al-Bukhari, Abu
Daud,
Ibrahim
bin Ya’qub Al-Juzjany, Abu
Al-Azhar Ahmad bin Al-Azhar Al-
Naisaburi, Ahmad bin Khulaid
Al-Kindi Al-Halabi, Abu Zaid Ahmad
bin Abdul Rahim Al-Hauthy,
Ahmad bin Abdul Wahhab bin Najdah
Al-Hauthy, Ahmad bin Mas’ud,
Ja’far bin Muhammad bin Isa bin Al-
Thaba’, Ja’far bin Muhammad bin
Isa bin Nuh Al-Adzany, Al-Hasan
bin Ali Al-Khallal, Sahl bin
Shalih Al-Anthaqy, Thalib bin Qurrah Al-
Adzany, dan lain-lain.
* Penilaian
ulama terhadap dirinya :
Abu Hatim berkata: “Ibn
Al-Thaba’ (Muhammad bin Isa)
adalah orang yang al-tsiqah (terpercaya),
al-ma’mun. saya tidak
melihat dari golongan
muhadditsin (ulama-ulama hadits) yang lebih
ahfazd (lebih hafal)
bab-bab hadits daripada dia”.
Berkaitan dengan kredibilitas
Muhammad bin Isa,
Abdurrahman bin Abu Hatim
berkata: “Ayahku pernah ditanya tentang
Ishaq, serta kedua anaknya
Al-Thaba’ (anak Al-Thaba’ ini keduanya
7Al-Asqalani, Tahdzib
Al-Tahdzib, juz
4 hal 153-6
42
sama-sama bernama Muhammad).
Dan ayahku menjawab:
Muhammad lebih aku senangi, dan
Ishaq lebih agung sedangkan
Muhammad lebih taqwa“.
Sedangkan Abu Daud berkata:
:Saya telah mendengar
Muhammad bin Bakkar bin
Al-Rayyan berkata: “ Muhammad bin Isa
lebih utama dari Ishaq bin
Isa”. Ia juga menambahkan bahwa
Muhammad bin Isa adalah orang
yang faqih, ia menghafal hadits
sebanyak empat puluh Hadits.
An-Nasa’i juga berkata bahwa ia adalah
orang yang tsiqah.8
c. Ibrahim bin
Sa’ad (108-183)
Nama lengkapnya adalah Ibrahim
bin Sa’ad bin
Abdurrahman bin Auf Al-Qurasyi
Al-Zuhri, Abu Ishaq Al-Madani. Ia
adalah ayah dari Ya’qub bin
Ibrahim dan Sa’ad bin Ibrahim. Ia lahir
pada tahun 108 hijriah dan
wafat pada tahun 183 hijriah.
Ia meriwayatkan Hadits dari
ayahnya yaitu Sa’ad bin
Ibrahim, dari sepupunya yakni
Salim bin Shalih bin Ibrahim bin
Abdurrahman bin Auf, Abu Shahr
Humaid bin Ziyad Al-Madani,
Syuhbah bin Al-Hajjaj, Shalih
bin Kisan, Shafwan bin Sulaim, Ja’far
Al-Makhrami, Abdullah bin
Abdurrahman bin Sa’ad bin Makhramah,
Abdullah bin Muhammad bin Aqil
bin Abi Thalib, Abdul
Malik bin
Al-Rabi’ bin
Sabrah Al-Juhani,
Muhammad bin Ishaq bin Yasar,
Muhammad bin Abdullah bin Amr
bin Hisyam Al-Amiri, Muhammad
bin Abdullah bin Muslim bin
Syihab, dan lain-lain.
Sedangkan orang-orang yang
meriwayatkan hadits darinya
yaitu Ibrahim bin Hamzah
Al-Zubairi, Ibrahim bin Ziyad Al-Khayyath
Al-Bagdadi, Ibrahim bin Mahdi
Al-Mishaishi, Ahmad bin Abdullah
bin Yunus, ahmad bin Abdul
Malik bin Waqid Al-Harrani, Ahmad bin
Muhammad bin Ayyub (pengarang
kitab Al-Maqhazi), Ahmad bin
Muhammad bin Hanbal, Ahmad bin
Muhammad bin Al-Walid Al-
8Jamal Al-Din Abi Al-Hajjaj Yusuf
Al-Mazzi, Tahdzi
Al-Kamal Fi Asma Al-Rijal (Bairut
Libanon,, Dar Al-Fikr,
1994). Juz 17 hal. 138-141
43
Azraqi, Ishaq bin Mansur
Al-Saluli, Abu Ma’mar Ismail bin Ibrahim
Al-Hudzali, Ismail bin Musa
Al-Fazari ibn binti Al-Sudi, Abu Tsabit
Muhammad bin Ubaidillah
Al-Madini, Abu Marwan Muhammad bin
Usman Al-Usmani, Muhammad bin Isa
ibn Al-Thaba’,
dan lain-lain.
* Penilaian ulama
tentang dirinya :
Abdullah bin Ahmad bin Muhammad
bin Hanbal dari
ayahnya berkata: “Ia adalah
orang yang tsiqah”.
Telah berkata Shalih bin Ahmad
bin Muhammad bin Hanbal
dari ayahnya: “Hadits-hadits
yang diriwayatkan oleh Ibrahim bin Sa’ad
adalah mustaqimah”.
Ahmad bin Sa’id bin Abi Maryam,
Al-Mufaddal bin Ghassan
Al-Ghalabi, dan Yahya bin Ma’in
berkata: “Ia adalah orang yang
tsiqah”. Ibn Abi
Maryam menambahkan bahwa hadits yang
diriwayatkannya dapat dijadikan
hujjah.
Berkata Ahmad bin Abdullah bin
Shalih Al-Ijli: “Ia adalah
salah satu penduduk Madinah
yang terpercaya”.
Ali bin Al-Husain bin Hibban
berkata: “Saya telah
menemukan dalam kitab ayahku
keterangan yang sumbernya datang
dari Yahya bin Ma’in yang
menjelaskan bahwa Ibrahim bin Sa’ad
lebih atsbat dari Al-Walid bin
Katsir dan Ibn Ishaq”.
Abu Hatim berkata: “Ia adalah
orang yang tsiqah”.
Sedangkan Abdurrahman bin Yusuf
bin Sa’id bin Khirasy berkata: “Ia
shaduq”9
d. Abdul Malik
bin Al-Rabi’ bin Sabrah
Nama lengkapnya adalah Abdul
Malik bin Al-Rabi’ bin
Sabrah bin Ma’bad Al-Juhaniy.
Ia meriwayatkan Hadits dari Ayahnya
Al-Rabi’
bin Sabrah
bin Ma’bad
Al-Juhaniy. Sedangkan
orang yang meriwayatkan hadits
dari dia adalah kedua
keponakannya yang bernama Sabrah dan
9Al-Mazzi, Tahdzi Al-Kamal… juz 1 hal.
353-349
44
Harmalah, juga dua orang anak
Abdul Aziz, Ibrahim
bin Sa’ad, Zaid
bin Al-Hubbab, Ya’qub bin
Ibrahim bin Sa’ad, dan Al-Waqidi.
* Pujian ulama
terhadap kredibilitasnya:
Al-Ijliy menganggap ia adalah
orang yang tsiqah.
Abu Khaitsamah berkata: “ Yahya
bin Main ditanya tentang
beberapa hadits Abdul Malik bin
Al-Rabi’ yang diriwayatkan dari
ayahnya diriwayatkan dari
kakeknya, Yahya bin Main menjawab:
“Dli’Afun”. Ibn Al-Jauzi
menceritakan dari Ibn Main berkata: “Abdul
Malik dla’if”.
Abu Al-Hasan Ibn Al-Qaththan
menjelaskan bahwa keadilan
Abdul Malik tidak tetap. Al-Hasan
juga menjelaskan bahwa Muslim
mengambil satu Hadits dari
Abdul Malik tentang Mut’ah
(nikah
mut’ah). 10
e. Al-Rabi’ bin
Sabrah
Nama lengkapnya adalah Al-Rabi’
bin Sabrah bin Ma’bad,
dikatakan pula namanya Ibn
‘Ausajah Al-Juhaniy Al-Madiniy. Ia dalah
ayah dari Abdul Aziz bin
Al-Rabi’ bin Sabrah dan Abdul Malik bin
bin Al-Rabi’ bin Sabrah.
Ia meriwayatkan Hadits dari
ayahnya Sabrah
bin Ma’bad,
Umar bin Abdul Aziz, Amr bin
Murrah Al-Juhaniy, dan Yahya bin
Sa’id bin Al-‘Ash.
Sedangkan haditsnya
diriwayatkan oleh kedua putranya yang
bernama Abdul Aziz bin Al-Rabi’
bin Sabrah dan Abdul
Malik bin bin
Al-Rabi’ bin
Sabrah, Abdullah
bin Luhai’ah, Abdul Aziz bin Umar
bin Abdul Aziz, Umarah bin
Ghaziyyah Al-Anshari, Umar bin Abdul
Aziz, Amr bin Al-Harits
Al-Mishriy, Amr bin Abi Amr Maula Al-
Muthallib, Al-Laits bin Sa’ad,
Muhammad bin Muslim bin Syihab Al-
Zuhri, Yazid bin Habib
Al-Mishriy, dan Yunus bin Abdullah bin Abi
Faurah Al-Syami.
10Al-Asqalani, Tahdzib
Al-Tahdzib, juz
6 hal. 349-350
45
* Penilaian
ulama berkaitan dengan dirinya:
Ahmad bin Abdullah Al-‘Ijliy
berkata: “ Al-Rabi’ bin Sabrah
adalah penduduk Hijaz juga
golongan tabi’in yang terpercaya
(tsiqah)”.
An-Nasa’I mengatakan bahwa ia
adalah orang yang tsiqah.
Ibn Hibban dalam kitabnya yang
bernama “Al-Tsiqah”
menyebutkan
ia sebagai orang yang tsiqah.11
f. Sabrah
Nama lengkapnya adalah Sabrah
bin Ma’bad, dikatakan
bahwa namanya adalah Sabrah bin
‘Ausajah. Dikatakan pula nama
lengkapnya adalah Sabrah bin
Ma’bad bin ‘Ausajah bin Harmalah bin
Sabrah bin Khadij bin Malik bin
Amr Dzahal bin Tsa’labah bin
Rifa’ah bin Nasr bin Sa’ad bin
Dzubyan bin Risydan bin Qais bin
Juhainah Al-Juhaniy Abu
Tsuraiyah. Ia bertempat tinggal di Madinah
dan meninngal pada masa
pemerintahan Muawiyah.
Ia meriwayatkan Hadits dari
Nabi Muhammad saw., dan Amr
bin Murrah Al-Juhaniy.
Sedangkan Haditsnya diriwayatkan oleh
putranya yang bernama Al-Rabi’ bin
Sabrah Al-Juhaniy. 12
Dari paparan diatas, sanad
Hadits ini bersambung (ittishal).
Kebersambungan tersebut
setidak-tidaknya bisa dilihat dari tiga hal,
yaitu:
Pertama, dari segi
usia. Usia perawi pertama, Sabrah bin
Ma’bad, yang menerima Hadits
tersebut langsung dari Nabi
Muhammad saw. hingga Abu Daud
secara hirarkis bersambung.
Artinya, secara usia, para
perawi dapat mendengar langsung Hadits
tentang perintah menyuruh anak
melakukan shalat ini dari gurunya
masing-masing.
Kedua, pengakuan guru
dan murid. Semua perawi yang ada
dalam Hadits ini memiliki
hubungan guru dan murid yang jelas. Sebab
11Al-Mazzi, Tahdzi Al-Kamal… Juz 1 hal. 138
Lihat juga Al-Asqalani, Tahdzib Al-Tahdzib,
(Bairut Libanon
:Dar Al-Kutub Al-Ilmiyah, 1994), juz 3 hal. 212
12Al-Mazzi, Tahdzib Al-Kamal…
juz
7 hal. 50
46
semua perawi disini disebutkan
diantara nama-nama para guru atau
murid mereka. Artinya, hadits
yang mereka riwayatkan memang
benar-benar berasal dari guru
mereka. Namun yang jelas pengakuan
guru atau murid disini harus
diselaraskan dengan kesamaan masa
hidup. Taruhlah perawi A, yang
lahir tahun 2000, mengklaim bahwa ia
pernah berguru pada perawi B
yang meninggal dunia setahun
sebelumnya, 1999. Jelas klaim
ini tertolak, sebab dari sisi usia mereka
tidak mungkin dan tidak akan
pernah mungkin terjadi hubungan guru
dan murid. Sebab, ketika perawi
A baru lahir, perawi B sudah
meninggal dunia.
Ketiga, masing-masing
periwayat dalam hadits ini
menggunakan kata-kata
penghubung (sighat
tahamul) yang
sudah
disepakati ulama, yaitu: 1) Abu
Daud, menggunakan kata
“haddatsana”, 2) Muhammad
bin Isa, menggunakan kata
“haddatsana”, 3) Ibrahim bin
Sa’ad dengan kata “’an”, 4) Abdul
Malik bin Al-Rabi’ bin Sabrah
menggunakan kata “’an”,
5)
Al-Rabi’
bin Sabrah dengan kata “’an”, 6) Sabrah bin
Ma’bad menggunakan
“qala”,
Ditinjau dari segi kualitas Rijal al-Hadits,
penilaian
para
kritikus Hadits terhadap
periwayatan Hadits di atas adalah memiliki
kualitas pribadi dan kapasitas
intelektual yang tinggi, yaitu bersifat
Dhabith (kuat
hafalannya dan cerdas) dan Tsiqah (terpercaya).
Berdasarkan alasan di atas,
dapat diambil kesimpulan bahwa
sangat kecil kemungkinan bahwa
Hadits ini mengandung syadz
(janggal) dan ‘illat (cacat).
Karena jika sanadnya muttashil
(bersambung) dan para perawinya
tsiqah
dan
dhabith,
maka
hal ini
telah mencukupi syarat yang
telah ditetapkan ulama Hadits. Oleh
karena itu dapatlah dikatakan
bahwa hadits tersebut dapat diterima dan
dapat dijadikan hujjah serta
berkualitas Shahih.
47
3. Kajian Hadits Lain
Untuk memperkuat hadits di
atas, maka perlu kiranya
membandingkan dengan Hadits
lain yang secara sanad dan matan tidak
diragukan, sehingga penelitian
Hadits ini tidak terkesan parsial, yang
terbatas pada satu Hadits dari
satu jalur periwayatan Hadits.
حدثناوكيع حدثناسواربن داود عن عمروبن
شعيب عن أبيه عن جده قال
رسول الله صلى الله عليه وسلم مروا
صبيانكم بالصلاة إذابلغوا سبعا
واضربوهم عليها إذابلغوا عشرا وفرقوا
بينهم في المضاجع قال أبي وقال
الطفاوي محمد بن عبدالرحمن في هذا
الحديث سوار أبو حمزة وأخطأ فيه(رواه
احمد)
Kami mendapatkan hadits dari
Waki’ dari Sawwar bin daud dari Umar bin
Syu’aib dari bapaknya dari
kakaknya mengatakan bahwa Rasulullah
pernah bersabda:” perintahkan
anak-nakmu mengerjakan shalat ketika
berumur 7 tahun dan pukullah
mereka karena tidak mengerjakannya ketika
berumur 10 tahun dan
pisahkanlah diantara mereka dari tempat
tidurnya”.(H.R. Ahmad)
* Mengenai Bagan
Sanadnya:
رسول الله
عبدالله
شعيب بن محمد
عمروبن شعيب
48
سوار
وآيع
إمام أحمد
Adapun untuk mengetahui
bagaimana kualitas Hadits tersebut dari
segi matan maupun sanadnya, di
bawah ini akan dijelaskan bagaimana
para kritikus Hadits menilai
tentang ke-tsiqah-an, ke-adil-an, serta kedlabit-
an sehingga terhindar dari
’illat dan syadz.
a. Waki’.
Nama lengkapnya adalah Waki’
bin al- Jarrah bin Malih. Ia
lahir di Kufah dan wafat di
’Ainul Wardah. Ia termasuk tabi’in kecil,
yang mempunyai nama panggilan
Abu Sufyan.
Semasa hidupnya kecintaan
terhadap ilmu sangat luar
biasa,terutama dalam ilmu
Hadits.Hal tersebut dibuktikan, ia pernah
berguru kepada Sawwar bin Daud
dan Sufyan bin ‘Uyainah. Di
samping sibuk dengan
pengembaraan intelektualnya, ia juga
menyebarkan ilmu yang
diperolehnya. Di antara muridnya adalah
Imam Ahmad bin Muhammad bin
Hanbal bin Hilal bin As’ad serta
anaknya sendiri yaitu Sufyan
bin Waki’ bin al-Jarrah.
b. Sawwar bin Hamzah.
Nama lengkapnya adalah Sawwar
bin Daud, tanggal dan
tempat kelahirannya tidak
diketahui pasti. Demikian juga dengan
tanggal wafatnya, akan tetapi
sebagai tempat disemayamkan jasadnya
adalah di Basrah. Ia termasuk
pembesar dari para tabi’in. Ia
mempunyai nama panggilan Abu
Hamzah. Di samping nama
panggilan ia juga mendapatkan
julukan Shahibul
Huliy. Dibidang
49
ilmu pengetahuan, terutama ilmu
Hadits, ia pernah berguru pada ‘Amr
bin Syu’aib bin Muhammad bin
Abdillah bin ‘Amr.
Di samping aktif menuntut ilmu,
ia juga menyebarkan ilmunya
kepada para muridnya. Di antara
muridnya adalah Ismail bin Ibrahim
bin Muqsam. Ia termasuk perawi
yang Shaduq.hal tersebut
berdasarkan pada analisa dari
kritikus Hadits yang menyatakan bahwa
ia adalah perawi yang dapat
dipertanggung jawabkan apa yang
disampaikannya.
Di antara kritikus Hadits yang
berpendapat tentang karakter
dirinya adalah Ahmad bin
Hanbal, ia menyatakan bahwa Sawwar
adalah perawi yang tidak ada
kecacatan pada dirinya. Hal tersebut
diperkuat oleh Yahya bin main
yang menyatakan bahwa ia adalah
perawi yang tsiqah.
c. ‘Amr bin Syau’aib.
Ia lahir di Moro Roudz,
sedangkan wafatnya pada tahun 118 H.
Nama lengkapnya adalah ‘Amr bin
Syu’aib bin Muhammad bin
Abdillah bin ‘Amr. Ia termasuk
tabi’in kecil, yang mempunyai nama
panggilan Abu Ibrahim. Dibidang
intelektual, ia banyak belajar dari
ayahnya yaitu Syu’aib bin
Muhammad bin Abdillah bin Amr bin a-
Ash.
Di samping sibuk mencari ilmu
ia juga aktif mengajar,di antara
muridnya adalah Sawwar bin
Daud. Namanya termasuk salah satu di
antara deretan perawi yang
shaduq. Hal tersebut berdasarkan dari
analisa para kritikus.
Dan antara para kritikus Hadits
yang mengungkap karakter
dirinya dalam hal periwayatan
Hadits adalah Yahya bin Said a-Qathan
yang menyatakan bahwa dirinya
adalah perawi yang tsiqah, karena apa
yang telah diriwayatkan adalah
dapat dipercaya.hal senada juga
disampaikan oleh Yahya bin
Ma’in yang mengatakan bahwa dia
termasuk rawi yang tsiqah.
Demikian juga Yahya bin Ma’in yang
menyebutkan dirinya sebagai
perawi yang tsiqah, sehingga apa yang
50
menjadi tulisannya adalah benar
adanya.(mempunyai tingkat validitas
yang tinggi).
51
d. Ayahnya ‘Amr bin Syu’aib
Nama lengkap ayahnya Amr bin
Syu’aib adalah Syu’aib bin
Muhammad bin Abdillah bin ‘Amr
bin ‘Ash. Dia di lahirkan di Hijaz,
akan tetapi tahun kapan
dilahirkannya tidak diketahui pasti. Demikian
juga kapan tahun tempat
wafatnya tidak juga diketahui dengan jelas. Ia
termasuk generasi tabi’in
pertengahan.
Dalam bidang ilmu pengetahuan,
terutama bidang Hadits, ia
banyak mendapatkan dari
kakaknya, yaitu ‘Amr bin ‘Ash bin Wa’il
bin Hasyim. Sedangkan orang
yang pernah mengenyam ilmu darinya
adalah anaknya sendiri, yaitu
‘Amr bin Syu’aib bin Muhammad bin
Abdillah bin ‘Amr. Oleh
karenanya ia termasuk rawi yang shaduq.
Hal tersebut berdasarkan dari
pengamatan dan analisa kritikus
Hadits yang menobatkannya
sebagai perawi dengan validitas tinggi.
diantaranya adalah Ibnu Hibban
yang menyatakan bahwa ia adalah
perawi yang tsiqah.Hal tersebut
juga disampaikan oleh adz-Dzahabi,
bahwa dia merupakan perawi yang
shaduq.
e. Kakeknya Syu’aib
Nama lengkapnya adalah Abdullah
bin ‘Amr bin ‘Ash bin
Wail.Ia dilahirkan di Moro dan
wafat di Thaif pada tahun 63 H.Ia
termasuk bagian dari sejumlah
sahabat. Dia mempunyai nama
panggilan Abu Muhammad.
Walaupun ia termasuk sahabat besar ,
akan tetapi ia juga pernah
berguru pada Ali bin Abi Thalib, Umar bin
khattab serta ayahnya sendiri
yaitu ‘Amr bin ‘Ash bin Wail bin
Hasyim.
Dengan demikian antara perawi
tingkat pertama dengan tingkat
terakhir adalah ada
ketersambungan sanad (ittishal as-sanad). Hal
tersebut disandarkan pada
analisa bahwa kakeknya Syu’aib adalah
generasi shahabat yang dapat
dipastikan bertemu langsung kepada
Rasulullah, sedangkan ayahnya
‘Amr hingga Muammal bin Hisyam
juga ada ketersambungan antara
perawi satu dengan perawi lainnya
dimasing-masing tingkatan.
52
Di samping itu juga, hasil dari
pengamatan dan analisa para
kritikus Hadits juga mengatakan
bahwa masing-masing perawi
disemua tingkatan tidak
terdapat cacat (‘illat) atau kejanggalan (Syadz)
berkenaan dengan keberadaan
serta karakteristik para perawi.
Dengan demikian kualitas Hadits
tersebut adalah valid atau
shahih, artinya marfu’ ila Rasulullah,
yang dapat dijadikan hujah untuk
bersandar hukum.13
Dari kedua Hadits tersebut,
yaitu dari sanad Abu Daud serta
Imam Ahmad, maka dapat
disimpulkan bahwa Hadits tersebut adalah
shahih, karena kedua Hadits
tersebut saling menguatkan secara isi dan
secara makna, tidak ada yang
janggal dan dari segi sanad tidak ada
yang cacat.
Dengan demikian, ketika dilihat
dari matan atau isi Hadits
tersebut ternyata mencakup
makna yang luas, di antaranya:
Pertama, pembahasan
tentang kedudukan ibadah dan
pengaruhnya sangat besar
terhadap pendidikan.
Kedua, Memberi
petunjuk dan mengandung hikmah serta
tujuan yang sangat dalam
Secara rasional, ibadah berupa
shalat, puasa maupun yang
lainnya, berperan mendidik
pribadi manusia, hingga kesadaran dan
pikirannya terus menerus
berfungsi dalam semua pekerjaan, Artinya
secara sosial, ibadah dapat
mendidik manusia agar memiliki solidaritas
dan kepedulian sosial yang
tinggi dan selalu merasa bahwa dirinya ada
keterikatan dengan sesama
muslim.Rasa ukhuwah bisa tumbuh
berkembang dalam hatinya, kapan
pun dan di manapun. Sebagian
besar ibadah yang dilakukan
secara rutin, didirikan secara berjama’ah
dan teratur, dalam suasana yang
penuh kecintaan dan kasih sayang
adalah mempunyai satu tujuan,
yakni memperkuat ukhuwah serta
memperkokoh persatuan dan
kesatuan di antara mereka.
13Global Islamic Software Company,
Mausu’ah
al-Hadits al-Syarif,
Global Islamic
Software Company, t.tp., 2000.
53
Oleh karena itu ketika agama
memerintahkan untuk memukul
anak ketika tidak melakukan
shalat, itu adalah benar. secara sekilas
perintah tersebut memang kejam
dan bertentangan dengan kebiasaan
yang berlaku dalam dunia
pendidikan, sehingga cara atau metode
tersebut dinggap bertolak belakang
dengan cara mendidik yang halus
dan dapat memikat hati.14
D. Asbab Al
–Wurudz
Selain sanad dan matan,
komponen yang terpenting dalam hadits Nabi
adalah asbabul wurudz yaitu
merupakan bentuk dari sebab-sebab
disampaikannya Hadits atau
dalam hal ini mengacu pada kajian historis Hadits
sehingga setting sosial akan
jelas bagaimana kondisi sosial dan lingkungan
pada waktu Hadits disampaikan,
apakah masih relevan dengan keadaan sosial
pada waktu sekarang, sehingga
memungkinkan Hadits untuk dijadikan sebagai
referensi dari sebuah hukum.
Dari semua Hadits yang ada,
tidak semua Hadits mempunyai asbabul
wurudz pada waktu Hadits
disampaikan.Seperti yang disampaikan oleh
Nuruddin ITR bahwa
kadang-kadang sebab-sebab itu tidak disebutkan dalam
Hadits yang bersangkutan, namun
dijelaskan pada sebagian jalurnya15 Hal
yang sama diungkapkan oleh
Munzeir Suparto bahwa Asbabul Wurudz
mempunyai beberapa faedah
diantaranya adalah dapat mentakhsis arti yang
umum, mambatasi arti yang
mutlak, menunjukkan perincian arti yang mujmal,
menjelaskan kemusykilan dan
menunjukkan illat suatu hukum Maka dengan
memahami asbabul wurudz Hadits
dengan mudah memahami apa yang
dimaksud atau yang dikandung
oleh suatu Hadits.16
Sejauh penelusuran penulis
dalam kitab-kitab yang membahas tentang
Hadits batasan usia anak
diperintahkan shalat tidak ada kitab asbabal Wurudz
yang membahasnya. Namun Hadits
ini sudah masyhur dikalangan masyarakat
terutama dalam melaksanakan
pendidikan terhadap anak-anaknya dan
digunakan sebagai cara orang
tua dalam mendidik anak.
14Abi Firdaus al-Halwani, Malahirkan Anak
Shalih Kajian Psikologi dan Agama,
(Yogyakarta: al-Mahali
Press,1995),hlm.102-103.
15Nuruddin, Ulum Hadits, (Bandung:
Remaja Rosda Karya,1994), hlm.110.
16Munzier Suparto, Ilmu
Hadits, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002), hlm.40
No comments:
Post a Comment