Saturday, August 8, 2020

BID’AH YANG BAIK

Catatan Kecil  Dr.Mura  Muballig  Riau.

 

Kitab al-adabus Syar’iyah, bahwa tidak baik memerangi adat, jika akan menimbulkan gejolak, kezaliman dan konflik yang tidak bisa diredakan.

Hal yang dikatakan bid’ah hasanah,

1.            Sepintas lalu, seperti bid’ah, tapi isinya mashlahah mursalah

2.            Sepintas lalu, sepertinya racun padahal obat

3.            Sepintas lalu, sepertinya anti agama, padahal memperkuat agama.

4.            Sepintas lalu, sepertinya dusta, padahal siyasah

5.            Sepintas lalu, sepertinya jahat, padahal baik.

       Waktu masih anak-anak, ada teka-teki, sebanyak-banyak taik, taik apakah yang baik, dan boleh dimakan?, kami terkejut, karena tidak pernah ada taek yang baik. Setlah semua kami mengaku tak bisa menjawab, ada kakak kelas yang memberi tahu, spontan, kamipun tertawa semua, karena secara harfiyah semua tahi itu pasti buruk, jelek, penyakit, kecuali taik minyak kelapa, memang baunya harum, boleh dimakan. Tapi itu logika anak-anak.

 

      Sekarang logika yang bukan logika anak-anak, logika orang intelektual, adakah dusta yang baik?. Bagaimana dengan;

1.       Dusta dengan tujuan menghindarkan konflik dalam rumah tangga atau masyarakat?

2.       Adakah ‘dusta putih’ dalam Islam dan etika?

3.       Apakah niat pelaku dan pertimbangan akibat buruk yang akan muncul dapat dijadikan sebagai dasar menjustifikasi ‘baik’ dan ‘buruk’ setiap perbuatan?

Ternyata dunia ini lebar nian, di luar Quran dan hadits, bertaburan milyaran, hikmah assiyasah yang indah, tapi bagi muslim, tentulah Quran dan hadits, penyaringnya. Banyak sekali dalil-dalil yang menjelaskan tentang  siasat terkait dengan dusta, baik di dalam al-Qur’an maupun al-Hadits.

“Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggung jawabannya”. (QS. 17:36)

“Tiada suatu ucapanpun yang diucapkan melainkan ada di dekatnya malaikat pengawas yang selalu hadir”. (QS. 50:18)

Nabi bersabda, “Ciri-ciri orang munafiq ada tiga: apabila berbicara ia dusta, dan apabila berjanji, ia mengingkari, dan apabila dipercaya dia berkhianat”.

 

Dusta pada dasarnya haram karena konotasi primernya selalu negatif. Ini juga didasarkan pada definisnya yang umum, yaitu mengutarakan atau mengekpresikan sesuatu yang tidak sesuatu dengan kenyataan.

Bila dusta dianggap sebagai sesuatu yang mutlak buruk, maka semua jenis dusta, didasari niat baik maupun buruk, adalah buruk. Artinya, keburukan dusta merupakan sifat substansial, bukan aksidental. Demikian pula, kejujuran. Bila kejujuran dianggap baik secara mutlak, maka kejujuran yang dapat mengakibatkan malapetaka dan akibat buruk adalah baik dan wajib hukumnya.

Yang menggelikan adalah pandangan kaku Ibnu taymiyah, tentang dusta.

1.            Ketika menafsirkan ayat QS Ali Imran [3] ayat 28, Ibn Taymiyyah mengatakan, “Ayat (3:28) bukan hanya sebuah pengecualian, tetapi juga sebuah pengecualian yang terbatas.

2.            Bukan hanya dilarang digunakan terhadap kaum Muslim, tetapi juga tidak diperbolehkan berbohong kepada orang lain (Non Muslim).

3.            Maksudnya adalah bahwa jika engkau menentang perilaku-perilaku tertentu dan engkau berada pada situasi di mana kecaman dapat membahayakan Islam atau kaum Muslim

4.            Engkau boleh tetap diam tetapi engkau mesti menghindari dusta!”

5.            Bila dusta dianggap sebagai sesuatu yang netral, bebas nilai, maka ia bisa menjadi buruk dan bisa juga sangat baik.

ADA 3 DUSTA HASANAH

Nabi bersabda, “Aku tidak pernah mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam memberikan keringanan (rukhshah pada apa yang diucapkan oleh manusia (berdusta) kecuali dalam tiga perkara:

1.            Perang,misalnya mata-mata di medan perang 2. mendamaikan perseteruan di antara manusia, 3. Ucapan pujian  suami kepada istrinya, atau sebaliknya. (HR Muslim).

 

  

No comments:

Post a Comment

Komentar Facebook