GAYA KATA SINDIRAN DAN KIASAN DALAM AL-QUR’AN
Catatan Kecil
DR.MURA PEKANBARU RIAU
Gaya bahasa
kiasan pada umumnya pertama-tama dibentuk berdasarkan perbandingan atau
persamaan. Membandingkan sesuatu dengan sesuatu hal yang lain, berarti mencoba
menemukan ciri-ciri yang menunjukkan kesamaan antara kedua hal tersebut.
Perbandingan sebenamya mengandung dua pengertian, yaitu perbandingan yang
termasuk dalam gaya bahasa yang polos atau langsung, dan perbandirigan yang
termasuk dalam gaya bahasa kiasan. Kelompok pertama dalam contoh berikut
termasuk gaya bahasa langsung dan kelompok kedua termasuk gaya bahasa kiasan:
(1) Dia sama pintar dengan kakaknya
Kerbau itu sama kuat dengan sapi
(2) Matanya seperti bintang timur
Bibirnya seperti delima merekah
Perbedaan antara kedua perbandirigan di
atas adalah dalam hal kelasnya. Perbandirigan biasa mencakup dua anggota yang
termasuk dalam kelas yang sama, sedangkan perbandingan kedua, sebagai bahasa
kiasan, mencakup dua hal yang termasuk dalam kelas yang berlainan. Sebab itu,
untuk menetapkan apakah suatu perbandingan itu merupakan bahasa kiasan atau
tidak, hendaknya diperhatikan tiga hal berikut:
(1) Tetapkanlah terlebih dahulu kelas
kedua hal yang diperbandingkan.
(2) Perhatikan tingkat kesamaan
atau perbedaan antara kedua hal tersebut.
(3) Perhatikan konteks di mana ciri-ciri
kedua hal itu diketemukan. Jika tak ada kesamaan maka perbandirigan itu adalah
bahasa kiasan.
Pada mulanya, bahasa kiasan berkembang
dan analogi. Mula-mula, analogi dipakai dengan pengertian proporsi; sebab itu,
analogi hanya menyatakan hubungan kuantitatif, misalnya hubungan antara 3 dan 4
dinyatakan sebagai analog dengan 9 dan 12. Secara lebih umum dapat dikatakan
bahwa hubungan antara x dan y sebagai analog dengan hubungan antara nx dan ny.
Dalam memecahkan banyak persamaan, dapat disimpulkan bahwa nilai dan suatu
kuantitas yang tidak diketahui dapat ditetapkan bila diberikan relasinya dengan
sebuah kuantitas yang diketahui. Perbandingan dengan analogi ini kemudian
muncul dalam bermacam-macam gaya bahasa kiasan.
Semua kitab suci di dunia memakai kata-kata kiasan, lebih-lebih
lagi al-Quran. Secara ringkas tentang definisi KIASAN atau majaz. Berikut akan
dibawakan definisi majaz yang lebih lengkap.
المجاز هو نقل الكلام من الوضع الأول إلى الوضع الثاني للقرينة
مع وجود العلقة
“Majaz adalah berpindahnya makna perkataan dari asal,makna
pertama menjadi makna kedua, karena adanya qarinah dan adanya ‘alaqah”
Dikutip dari Hanif Nurfauzi bahwa definisi ini, maka dapat
kita simpulkan bahwa pada majaz terdapat 4 rukun, yaitu :
1. Al Wadh’u Al Awwalu (makna asal pertama)
2. Al Wadh’u Ats Tsani (pembanding makna
kedua)
3. Al Qorinah (sebab yang menghalangi
makna pertama dan mengharuskan dimaknai dengan makna kedua)
4. Al ‘Alaqah (hubungan antara makna
pertama dan makna kedua)
Misalnya
kita katakan : “Aku melihat singa naik kuda, sambil menghunuskan pedang”
Maka pada kalimat tersebut, dapat kita katakan rukun-rukun
majaz :
– Makna pertama : makna singa, sebagai makna salah satu
jenis hewan buas.
– Makna kedua : makna lelaki yang pemberani.
– Al Qorinah : akal sehat mengatakan tidaklah mungkin ada
singa yang bisa mengendarai kuda sambil menghunus pedang.
– Al ‘Alaqah : hubungan antara singa dan laki-laki yang
pemberani, adalah kekuatan dan keberanian.
Nah
berdasarkan hal ini, tidak bisa kita katakan suatu majaz yang tidak memiliki
‘alaqah. Semisal kita katakan : “Aku makan meja di waktu pagi” (yang dimaksud
adalah makan roti). Tidak ada hubungan antara meja dan roti, maka kalimat
tersebut tidak bisa kita pakai sebagai majaz.
Kesesatan Mu’tazilah
Firqah
Mu’tazilah telah sesat pada penggunaan majaz dalam aqidah mereka, dimana mereka
menggunakan majaz ketika menafsirkan ayat-ayat tentang sifat Allah ‘Azza wa Jalla.
Ketika Allah berfirman :
قَالَ يَا إِبْلِيسُ مَا مَنَعَكَ أَنْ تَسْجُدَ لِمَا خَلَقْتُ
بِيَدَيَّ أَسْتَكْبَرْتَ أَمْ كُنْتَ مِنَ الْعَالِينَ
“Allah berfirman, Wahai Iblis, apakah yang menghalangimu
untuk sujud kepada (Adam), yang Aku ciptakan dengan kedua Tangan-Ku, Apakah
kamu menyombongkan diri atau kamu merasa termasuk golongan yang (lebih) tinggi.
(Shad : 75)”
Mereka (mu’tazilah dan yang sejalan dengan meraka), memaknai
kata “Tangan Allah” dengan “Kekuatan Allah”. Mereka mengatakan bahwa ada
‘alaqah (hubungan) antara kata “tangan” dan “kekuatan”. Dan mereka juga
menetapkan adanya qarinah (penghalang untk memaknai makna haqiqi), yaitu mereka
takut untuk menyamakan Allah dengan makhluk-Nya, ketika kata tersebut dimaknai
dengan makna haqiqi. Sehingga lengkaplah syarat majaz yang mereka tetapkan, dan
terpenuhilah syarat majaz dalam penafsiran meraka.
Maka kita katakan : Memang antara makna tangan dan makna
kekuatan memiliki hubungan (Al ‘Alaqah) dan hubungan kedua kata ini lazim
digunakan. Akan tetapi qarinah yang mereka jadikan sebagai alasan tahriif
(penyimpangan makna) mereka adalah qarinah yang tidak bisa diterima. Mengapa?
Karena menetapkan adanya Tangan bagi Allah subhanahu wa ta’ala, bukan berarti
menyamakan Tangan Allah dengan tangan makluk-Nya. Kesamaan nama tidak
melazimkan kesamaan hakikat.
Berdasarkan hal ini, maka jelaslah bagi kita kesesatan orang
mu’tazilah dan orang-orang yang sepemikiran dengan mereka. Mereka telah
menetapkan majaz bagi sifat-sifat Allah subhanahu wa ta’ala, padahal pada majaz
yang mereka tetapkan tidak terpenuhi syarat-syarat majaz.
Definisi Haqiqi
Makna haqiqi adalah suatu lafadz yang digunakan pada makna
aslinya. Dijelaskan oleh para ulama ushul bahwa makna haqiqi ada tiga macam :
1. Haqiqi secara bahasa (lughoh), yaitu kata yang digunakan
dalam makna aslinya dari sudut pandang bahasa. Semisal kata sholat/as sholatu (الصلاة)
berarti doa/ad du’aau (الدعاء).
2. Haqiqi secara syari’at, yaitu suatu lafadz yang digunakan
pada makna sebenarnya dari tinjauan syar’iat. Semisal kata sholat/as sholatu (الصلاة),
berarti gerakan dan ucapan yang tertentu diawali dengan takbir dan diakhiri
dengan salam, dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah subhanahu wa ta’ala,
demikian makna sholat secara syariat.
3. Haqiqi secara adat-istiadat (‘urfiyah), adalah kata yang
digunakan pada makna yang sebenarnya dari tinjauan ‘urfiyah. Semisal kata al
waladu (الولد) yang secara bahasa artinya anak kecil baik laki-laki maupun
perempuan, tetapi makna al waladu secara ‘urfiyah adalah anak kecil laki-laki.
No comments:
Post a Comment