Wednesday, August 19, 2020


GAYA KATA SINDIRAN DAN KIASAN DALAM AL-QUR’AN

Catatan Kecil  DR.MURA   PEKANBARU  RIAU

       Gaya bahasa kiasan pada umumnya pertama-tama dibentuk berdasarkan perbandingan atau persamaan. Membandingkan sesuatu dengan sesuatu hal yang lain, berarti mencoba menemukan ciri-ciri yang menunjukkan kesamaan antara kedua hal tersebut. Perbandingan sebenamya mengandung dua pengertian, yaitu perbandingan yang termasuk dalam gaya bahasa yang polos atau langsung, dan perbandirigan yang termasuk dalam gaya bahasa kiasan. Kelompok pertama dalam contoh berikut termasuk gaya bahasa langsung dan kelompok kedua termasuk gaya bahasa kiasan:

(1) Dia sama pintar dengan kakaknya

Kerbau itu sama kuat dengan sapi

(2) Matanya seperti bintang timur

Bibirnya seperti delima merekah

        Perbedaan antara kedua perbandirigan di atas adalah dalam hal kelasnya. Perbandirigan biasa mencakup dua anggota yang termasuk dalam kelas yang sama, sedangkan perbandingan kedua, sebagai bahasa kiasan, mencakup dua hal yang termasuk dalam kelas yang berlainan. Sebab itu, untuk menetapkan apakah suatu perbandingan itu merupakan bahasa kiasan atau tidak, hendaknya diperhatikan tiga hal berikut:

(1) Tetapkanlah terlebih dahulu kelas kedua hal yang diperbandingkan.

(2) Perhatikan tingkat kesamaan atau perbedaan antara kedua hal tersebut.

(3) Perhatikan konteks di mana ciri-ciri kedua hal itu diketemukan. Jika tak ada kesamaan maka perbandirigan itu adalah bahasa kiasan.

         Pada mulanya, bahasa kiasan berkembang dan analogi. Mula-mula, analogi dipakai dengan pengertian proporsi; sebab itu, analogi hanya menyatakan hubungan kuantitatif, misalnya hubungan antara 3 dan 4 dinyatakan sebagai analog dengan 9 dan 12. Secara lebih umum dapat dikatakan bahwa hubungan antara x dan y sebagai analog dengan hubungan antara nx dan ny. Dalam memecahkan banyak persamaan, dapat disimpulkan bahwa nilai dan suatu kuantitas yang tidak diketahui dapat ditetapkan bila diberikan relasinya dengan sebuah kuantitas yang diketahui. Perbandingan dengan analogi ini kemudian muncul dalam bermacam-macam gaya bahasa kiasan.

Semua kitab suci di dunia memakai kata-kata kiasan, lebih-lebih lagi al-Quran. Secara ringkas tentang definisi KIASAN atau majaz. Berikut akan dibawakan definisi majaz yang lebih lengkap.

المجاز هو نقل الكلام من الوضع الأول إلى الوضع الثاني للقرينة مع وجود العلقة

“Majaz adalah berpindahnya makna perkataan dari asal,makna pertama menjadi makna kedua, karena adanya qarinah dan adanya ‘alaqah”

Dikutip dari Hanif Nurfauzi bahwa definisi ini, maka dapat kita simpulkan bahwa pada majaz terdapat 4 rukun, yaitu :

1. Al Wadh’u Al Awwalu (makna asal pertama)

2. Al Wadh’u Ats Tsani (pembanding makna kedua)

3. Al Qorinah (sebab yang menghalangi makna pertama dan mengharuskan dimaknai dengan makna kedua)

4. Al ‘Alaqah (hubungan antara makna pertama dan makna kedua)

          Misalnya kita katakan : “Aku melihat singa naik kuda, sambil menghunuskan pedang”

Maka pada kalimat tersebut, dapat kita katakan rukun-rukun majaz :

– Makna pertama : makna singa, sebagai makna salah satu jenis hewan buas.

– Makna kedua : makna lelaki yang pemberani.

– Al Qorinah : akal sehat mengatakan tidaklah mungkin ada singa yang bisa mengendarai kuda sambil menghunus pedang.

– Al ‘Alaqah : hubungan antara singa dan laki-laki yang pemberani, adalah kekuatan dan keberanian.

           Nah berdasarkan hal ini, tidak bisa kita katakan suatu majaz yang tidak memiliki ‘alaqah. Semisal kita katakan : “Aku makan meja di waktu pagi” (yang dimaksud adalah makan roti). Tidak ada hubungan antara meja dan roti, maka kalimat tersebut tidak bisa kita pakai sebagai majaz.

Kesesatan Mu’tazilah

         Firqah Mu’tazilah telah sesat pada penggunaan majaz dalam aqidah mereka, dimana mereka menggunakan majaz ketika menafsirkan ayat-ayat tentang sifat Allah ‘Azza wa Jalla. Ketika Allah berfirman :

قَالَ يَا إِبْلِيسُ مَا مَنَعَكَ أَنْ تَسْجُدَ لِمَا خَلَقْتُ بِيَدَيَّ أَسْتَكْبَرْتَ أَمْ كُنْتَ مِنَ الْعَالِينَ

Allah berfirman, Wahai Iblis, apakah yang menghalangimu untuk sujud kepada (Adam), yang Aku ciptakan dengan kedua Tangan-Ku, Apakah kamu menyombongkan diri atau kamu merasa termasuk golongan yang (lebih) tinggi. (Shad : 75)”

 

Mereka (mu’tazilah dan yang sejalan dengan meraka), memaknai kata “Tangan Allah” dengan “Kekuatan Allah”. Mereka mengatakan bahwa ada ‘alaqah (hubungan) antara kata “tangan” dan “kekuatan”. Dan mereka juga menetapkan adanya qarinah (penghalang untk memaknai makna haqiqi), yaitu mereka takut untuk menyamakan Allah dengan makhluk-Nya, ketika kata tersebut dimaknai dengan makna haqiqi. Sehingga lengkaplah syarat majaz yang mereka tetapkan, dan terpenuhilah syarat majaz dalam penafsiran meraka.

Maka kita katakan : Memang antara makna tangan dan makna kekuatan memiliki hubungan (Al ‘Alaqah) dan hubungan kedua kata ini lazim digunakan. Akan tetapi qarinah yang mereka jadikan sebagai alasan tahriif (penyimpangan makna) mereka adalah qarinah yang tidak bisa diterima. Mengapa? Karena menetapkan adanya Tangan bagi Allah subhanahu wa ta’ala, bukan berarti menyamakan Tangan Allah dengan tangan makluk-Nya. Kesamaan nama tidak melazimkan kesamaan hakikat.

Berdasarkan hal ini, maka jelaslah bagi kita kesesatan orang mu’tazilah dan orang-orang yang sepemikiran dengan mereka. Mereka telah menetapkan majaz bagi sifat-sifat Allah subhanahu wa ta’ala, padahal pada majaz yang mereka tetapkan tidak terpenuhi syarat-syarat majaz.

Definisi Haqiqi

Makna haqiqi adalah suatu lafadz yang digunakan pada makna aslinya. Dijelaskan oleh para ulama ushul bahwa makna haqiqi ada tiga macam :

1. Haqiqi secara bahasa (lughoh), yaitu kata yang digunakan dalam makna aslinya dari sudut pandang bahasa. Semisal kata sholat/as sholatu (الصلاة) berarti doa/ad du’aau (الدعاء).

2. Haqiqi secara syari’at, yaitu suatu lafadz yang digunakan pada makna sebenarnya dari tinjauan syar’iat. Semisal kata sholat/as sholatu (الصلاة), berarti gerakan dan ucapan yang tertentu diawali dengan takbir dan diakhiri dengan salam, dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah subhanahu wa ta’ala, demikian makna sholat secara syariat.

3. Haqiqi secara adat-istiadat (‘urfiyah), adalah kata yang digunakan pada makna yang sebenarnya dari tinjauan ‘urfiyah. Semisal kata al waladu (الولد) yang secara bahasa artinya anak kecil baik laki-laki maupun perempuan, tetapi makna al waladu secara ‘urfiyah adalah anak kecil laki-laki.

 

No comments:

Post a Comment

Komentar Facebook