KAKI DAN TANGAN ALLAH AKAN BINASA
SECARA HARFIYAH
Catatan Kecil Dr. Mura Muballig
Pekanbaru Riau
JANGAN PAHAMI AYAT,
TERLALU HARFIYAH
LIDAH KAKU,
BERGERAKPUN PAYAH
GUNAKAN ILMU
BERBAGAI KAEDAH
ILMU TATABAHASA DAN
SASTRA
SAAT SASTRA ARAB, BERADA DI PUNCAKNYA
AL-QURAN
DATANG, MEGALAHKANNYA
KATA
KIASAN DAN BERBAGAI TAKWILNYA
MELAMBUNG KE UDARA, DENGAN
GAGAHNYA
SUARA AZAN DAN
KUMANDANG AL-QURAN
MEMBELAI HATI, TIADA
TERTAHANKAN
HATI BERGEJOLAK,
MENGAGUNGKAN TUHAN
TASBIH DAN TAHLIL,
MEMBERI KEKUATAN
Benar, kaki dan tangan Allah akan
binasa, jika memahami secara harfiyah, tanpa takwil, karena semua akan binasa
kecuali wajah Allah. Hanya dalam hal yang sedikit ini saja yang memerlukan takwil,
Takwil menurut kaca mata syara’ adalah mengarahkan sebuah lafadz dari makna
harfiah menuju makna lain yang berpotensi dapat dijadikan makna dari lafadz itu dan diyakini sesuai dengan al-Quran
dan Hadits. Artinya, mengalihkan pengertian teks-teks ayat Mutasyabihat ( samar
maknanya ) dari makna harfiahnya dan meletakkan makna-makna lain yang dipaham
darinya kedalam bingkai pengertian yang sejalan dengan ayat Muhkamat ( jelas
maknanya ).
Metodologi takwil ternyata telah
dikenal lama sejak zaman Nabi SAW. Bahkan Nabi SAW sendiri telah merestui
metodologi itu dengan mendo’akan sahabatnya ( Ibnu ‘Abbas ) supaya dipandaikan
dalam masalah takwil sebagaimana dalam hadits
للَّهُمَّ فَقِّهْهُ فِي الدِّينِ وَعَلِّمْهُ
التَّأْوِيلَ
“ya Allah, pintarkanlah dia dalam
bidang Agama dan takwil”.(HR. Ahmad)
Oleh karena itu, secara tegas
asy-Syaikh Badr ad-Din az-Zarkasi menegaskan bahwa metologi takwil dapat
dibenarkan dan telah diriwayatkan oleh Ulama-ulama pada generasi sahabat.
Menurut Bahsul Masail Ahlussunnah,
jika kita mengamati pada takwil yang dilakukan oleh sebagian Ulama ahlis sunnah
wal-jamaah maka kita akan mengetahui bahwa sebenarnya metodologi ini tidak lain
hanya berpegangan pada ayat-ayat al-Quran yg bersifat Muhkamat yang menunjukkan
bahwa Allah SWT tidak menyerupai terhadap makhluk , sebagaimana firman Allah
{لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ وَهُوَ السَّمِيعُ
الْبَصِيرُ} [الشورى: 11
“tidak ada satu-pun yang
menyamai-Nya”.( QS. Asy-syuroo 11)
Dalam konsep pemikiran
Ahlussunnah terhadap takwil yang berkenaan dengan al-Quran maupun
Hadits, keberadaan metode takwil dalam al-Quran maupun Hadits ini telah
diterapkan sejak generasi salaf ash-sholih yang diakui kredibilitas ilmiyahnya
( hasil kajiannya telah dipercaya dan bisa dipertanggung jawabkan ). Metode
takwil ini terus berlangsung hingga masa kini, bahkan secara nyata mereka telah
melakukan banyak penakwilan terhadap banyak sekali nash-nash yang berkaitan
dengan permasalahan peng-Esa-an Dzat Allah SWT dan sifat-Nya. Semua Ulama
ahlussunnah wal-jamaah juga sepakat bahwa arti harfiah dari nash-nash ayat yang
bersebrangan dengan dalil nash lainnya bukanlah arti / makna hakikat yang
dikehendaki ayat tersebut.
Pen-takwilan yang dilakukan oleh para
Ulama bukanlah hal yang baru, namun metode takwil ini adalah hasil penelitian
dari apa yang mereka pelajari dan mengacu pada al-Quran dan as-Sunnah, berikut
adalah bukti-bukti yang terkait dengan permasalahan tersebut.
Firman Allah
{إِنَّا نَسِينَاكُمْ } [السجدة:
14
“sungguh Kami akan melupakan
kalian”.(QS. As-sajdah 14)
{ نَسُوا اللَّهَ فَأَنْسَاهُمْ} [الحشر:
19
“mereka melupakan Allah maka
Allah pun akan melupakan mereka”.( QS.al-Hasyr ,19 )
Dalam dua ayat diatas terdapat
lafad “lupa” yang dinisbatkan kepada Allah SWT, lantas akankah kita tetap paksakan untuk menisbatkan sifat “lupa”
kepada Dzat Allah yang maha Suci ?? atau akankah dikatakan bahwa Allah memiliki sifat “lupa” namun tidak
seperti yang terjadi pada kita ?? padahal Allah SWT telah menegaskan bahwa Dia
tidak memiliki sifat “lupa”, sebagaimana dalam firman-Nya
{وَمَا كَانَ رَبُّكَ نَسِيًّا} [مريم:
64]
“dan Tuhan-mu tidaklah lupa”.(QS.
Maryam, 64)
Lalu kita perhatikan hadits Qudsi
berikut ini terkait “ mendekatkan hamba pada-Nya”.
إِنَّ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ يَقُولُ
يَوْمَ الْقِيَامَةِ يَا ابْنَ آدَمَ مَرِضْتُ فَلَمْ تَعُدْنِى. قَالَ يَا رَبِّ كَيْفَ
أَعُودُكَ وَأَنْتَ رَبُّ الْعَالَمِينَ. قَالَ أَمَا عَلِمْتَ أَنَّ عَبْدِى فُلاَنًا
مَرِضَ فَلَمْ تَعُدْهُ أَمَا عَلِمْتَ أَنَّكَ لَوْ عُدْتَهُ لَوَجَدْتَنِى عِنْدَهُ
“Allah berfirman:”wahai bani
Adam,Aku sakit tapi kamu tidak menjenguk-Ku,” anak adam berkata:” wahai
Tuhan-ku bagaimana aku menjenguk-Mu sedangkan Engkau adalah Tuhan semesta alam
?? Allah berfirman:”tidakkah engkau tahu bahwa hamba-Ku sakit namun engkau
tidak menjenguknya, tidakkah engkau tahu jika engkau menjenguknya niscaya
engkau menemukan-Ku disisinya .....”(al-Hadits)
Al-Imam an-Nawawi dalam
mengomentari takwil hadits ini mengatakan ; “Ulama berkata bahwa:
1. penyandaran
sifat sakit kepada Allah akan tetapi yang dikehendaki adalah hamba-Nya
merupakan bentuk pemulyaan terhadap hamba-Nya.
2. pendekatan,
mengenai yang dikehendaki dengan “ maka engkau temukan Aku disisi hamba-Ku yang
sakit” artinya engkau akan dapatkan pahala dan kedermawanan-Ku.”
3. tidak
boleh menetapkan sifat sakit kepada Allah meskipun makna harfiah Hadits
mengatakan demikian, karena hal ini bertentangan dengan akidah yang benar.
No comments:
Post a Comment