Wednesday, August 19, 2020

 

KAKI DAN TANGAN ALLAH AKAN BINASA 


SECARA HARFIYAH

Catatan Kecil Dr. Mura  Muballig

Pekanbaru Riau

 

JANGAN PAHAMI AYAT, TERLALU HARFIYAH

LIDAH KAKU, BERGERAKPUN PAYAH

GUNAKAN ILMU BERBAGAI KAEDAH

ILMU TATABAHASA DAN SASTRA

 

                   SAAT SASTRA ARAB, BERADA DI PUNCAKNYA

                   AL-QURAN DATANG, MEGALAHKANNYA

                   KATA KIASAN DAN BERBAGAI TAKWILNYA

                   MELAMBUNG KE UDARA, DENGAN GAGAHNYA

 

SUARA AZAN DAN KUMANDANG AL-QURAN

MEMBELAI HATI, TIADA TERTAHANKAN

HATI BERGEJOLAK, MENGAGUNGKAN TUHAN

TASBIH DAN TAHLIL, MEMBERI KEKUATAN

 

          Benar, kaki dan tangan Allah akan binasa, jika memahami secara harfiyah, tanpa takwil, karena semua akan binasa kecuali wajah Allah. Hanya dalam hal yang sedikit ini saja yang memerlukan takwil, Takwil menurut kaca mata syara’ adalah mengarahkan sebuah lafadz dari makna harfiah menuju makna lain yang berpotensi dapat dijadikan makna dari lafadz itu dan diyakini sesuai dengan al-Quran dan Hadits. Artinya, mengalihkan pengertian teks-teks ayat Mutasyabihat ( samar maknanya ) dari makna harfiahnya dan meletakkan makna-makna lain yang dipaham darinya kedalam bingkai pengertian yang sejalan dengan ayat Muhkamat ( jelas maknanya ).

         Metodologi takwil ternyata telah dikenal lama sejak zaman Nabi SAW. Bahkan Nabi SAW sendiri telah merestui metodologi itu dengan mendo’akan sahabatnya ( Ibnu ‘Abbas ) supaya dipandaikan dalam masalah takwil sebagaimana dalam hadits

للَّهُمَّ فَقِّهْهُ فِي الدِّينِ وَعَلِّمْهُ التَّأْوِيلَ

“ya Allah, pintarkanlah dia dalam bidang Agama dan takwil”.(HR. Ahmad)

Oleh karena itu, secara tegas asy-Syaikh Badr ad-Din az-Zarkasi menegaskan bahwa metologi takwil dapat dibenarkan dan telah diriwayatkan oleh Ulama-ulama pada generasi sahabat.

            Menurut Bahsul Masail Ahlussunnah, jika kita mengamati pada takwil yang dilakukan oleh sebagian Ulama ahlis sunnah wal-jamaah maka kita akan mengetahui bahwa sebenarnya metodologi ini tidak lain hanya berpegangan pada ayat-ayat al-Quran yg bersifat Muhkamat yang menunjukkan bahwa Allah SWT tidak menyerupai terhadap makhluk , sebagaimana firman Allah

{لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ وَهُوَ السَّمِيعُ الْبَصِيرُ} [الشورى: 11

“tidak ada satu-pun yang menyamai-Nya”.( QS. Asy-syuroo 11)

Dalam konsep pemikiran Ahlussunnah terhadap takwil yang berkenaan dengan al-Quran maupun Hadits, keberadaan metode takwil dalam al-Quran maupun Hadits ini telah diterapkan sejak generasi salaf ash-sholih yang diakui kredibilitas ilmiyahnya ( hasil kajiannya telah dipercaya dan bisa dipertanggung jawabkan ). Metode takwil ini terus berlangsung hingga masa kini, bahkan secara nyata mereka telah melakukan banyak penakwilan terhadap banyak sekali nash-nash yang berkaitan dengan permasalahan peng-Esa-an Dzat Allah SWT dan sifat-Nya. Semua Ulama ahlussunnah wal-jamaah juga sepakat bahwa arti harfiah dari nash-nash ayat yang bersebrangan dengan dalil nash lainnya bukanlah arti / makna hakikat yang dikehendaki ayat tersebut.

            Pen-takwilan yang dilakukan oleh para Ulama bukanlah hal yang baru, namun metode takwil ini adalah hasil penelitian dari apa yang mereka pelajari dan mengacu pada al-Quran dan as-Sunnah, berikut adalah bukti-bukti yang terkait dengan permasalahan tersebut.

Firman Allah

{إِنَّا نَسِينَاكُمْ } [السجدة: 14

“sungguh Kami akan melupakan kalian”.(QS. As-sajdah 14)

{ نَسُوا اللَّهَ فَأَنْسَاهُمْ} [الحشر: 19

“mereka melupakan Allah maka Allah pun akan melupakan mereka”.( QS.al-Hasyr ,19 )

Dalam dua ayat diatas terdapat lafad “lupa” yang dinisbatkan kepada Allah SWT, lantas akankah kita tetap  paksakan untuk menisbatkan sifat “lupa” kepada Dzat Allah yang maha Suci ?? atau akankah dikatakan bahwa  Allah memiliki sifat “lupa” namun tidak seperti yang terjadi pada kita ?? padahal Allah SWT telah menegaskan bahwa Dia tidak memiliki sifat “lupa”, sebagaimana dalam firman-Nya

{وَمَا كَانَ رَبُّكَ نَسِيًّا} [مريم: 64]

“dan Tuhan-mu tidaklah lupa”.(QS. Maryam, 64)

            Lalu kita perhatikan hadits Qudsi berikut ini terkait “ mendekatkan hamba pada-Nya”.

إِنَّ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ يَقُولُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ يَا ابْنَ آدَمَ مَرِضْتُ فَلَمْ تَعُدْنِى. قَالَ يَا رَبِّ كَيْفَ أَعُودُكَ وَأَنْتَ رَبُّ الْعَالَمِينَ. قَالَ أَمَا عَلِمْتَ أَنَّ عَبْدِى فُلاَنًا مَرِضَ فَلَمْ تَعُدْهُ أَمَا عَلِمْتَ أَنَّكَ لَوْ عُدْتَهُ لَوَجَدْتَنِى عِنْدَهُ

“Allah berfirman:”wahai bani Adam,Aku sakit tapi kamu tidak menjenguk-Ku,” anak adam berkata:” wahai Tuhan-ku bagaimana aku menjenguk-Mu sedangkan Engkau adalah Tuhan semesta alam ?? Allah berfirman:”tidakkah engkau tahu bahwa hamba-Ku sakit namun engkau tidak menjenguknya, tidakkah engkau tahu jika engkau menjenguknya niscaya engkau menemukan-Ku disisinya .....”(al-Hadits)

Al-Imam an-Nawawi dalam mengomentari takwil hadits ini mengatakan ; “Ulama berkata bahwa:

1.       penyandaran sifat sakit kepada Allah akan tetapi yang dikehendaki adalah hamba-Nya merupakan bentuk pemulyaan terhadap hamba-Nya.

2.       pendekatan, mengenai yang dikehendaki dengan “ maka engkau temukan Aku disisi hamba-Ku yang sakit” artinya engkau akan dapatkan pahala dan kedermawanan-Ku.”

3.       tidak boleh menetapkan sifat sakit kepada Allah meskipun makna harfiah Hadits mengatakan demikian, karena hal ini bertentangan dengan akidah yang benar.

No comments:

Post a Comment

Komentar Facebook