Wednesday, March 19, 2014

HAK ASASI WIDYAISWARA IALAH SELRUH WIDYAISWARA SEHARUSNYA MEMPUNYAI KESEMPATAN YANG SAMA



PERBUKAN DAN POLITIK ADU DOMBA
Drs.H.Mhd.Rakib,S.H.,M.Ag..LPMP RIAU INDONESIA

PERUDAKAN DI KANTOR-KANTOR MODEREN

HAK ASASI WIDYAISWARA IALAH SELRUH WIDYAISWARA SEHARUSNYA MEMPUNYAI KESEMPATAN YANG SAMA
UNTUK DITATAR DAN MENATAR SERTA HONOR-HONOR YANG PATUT DITERIMANYA

        Budak- budak juga dapat diartikan sebagai manusia yang terenggut hak asasinya sebagai manusia bebas dan   bermartabat. Budak adalah manusia yang tereksploitasi secara fisik maupun psikis. Apapun yang dikehendaki oleh tuannya harus diikuti bila tidak, dia akan mendapatkan hukuman. Para budak adalah golongan manusia yang dimiliki oleh seorang tuan, bekerja tanpa gaji dan tiada punya hak asasi manusia. "Slave" berasal dari perkataan slav, yang merujuk kepada bangsa Slavia yang tiada berharta dari Eropa Timur, termasuk Kekaisaran Romawi.
Konsep perbudakan berdiri di atas pengandaian, bahwa ada tingkatan manusia. Kelompok manusia tertentu dianggap lebih unggul daripada kelompok manusia lainnya. Maka kelompok yang lebih kuat punya hak untuk menindas kelompok yang lebih tak berdaya.

“Maka tidakkah sebaiknya (dengan hartanya itu) ia menempuh jalan yang mendaki lagi sukar? Tahukah kamu apakah jalan yang mendaki lagi sukar itu? (Yaitu) melepaskan budak dari perbudakan, atau memberi makan pada hari kelaparan.” (Al Balad: 11-14).

Ayat ini sudah memperjelas sikap Islam terhadap perbudakan, yaitu Islam datang untuk memurnikan penghambaan manusia hanya kepada Alloh swt semata, sehingga penghambaan manusia terhadap manusia lainnya tidaklah dibenarkan. Karena itu Islam pun juga bertujuan untuk menghapus perbudakan.

Dari Abu Hurairoh ra, dari Nabi saw:

“Alloh berfirman: Ada tiga orang yang Aku akan menjadi lawan mereka pada Hari Kiamat kelak, yaitu orang yang memberi janji atas nama-Ku kemudian berkhianat, orang yang menjual orang merdeka dan memakan hasil penjualannya, serta orang yang memperkerjakan seorang pekerja yang pekerja itu telah mengerjakan pekerjaannya dengan baik tetapi orang tersebut tidak mau memberinya upah.” (HR Bukhari).


         Dalam Deklarasi  Emansipasi hampir 150 tahun yang lalu di Amerika Serikat , Presiden Abraham Lincoln, menegaskan komitmen Amerika Serikat untuk mencapai kebebasan.
Sampai saat ini, Amerika tetap teguh dalam memandang bahwa pria, wanita, dan anak-anak memiliki kesempatan yang sama untuk mencapai kesetaraan. Namun jutaan orang di seluruh dunia, termasuk di Amerika Serikat saat ini masih berjuang di bawah tekanan perbudakan modern. Berbagai macam perbudakan modern yang dimaksud adalah kerja paksa, renternir, penjualan anak, dan kekerasan seks.

         “Pria dan wanita dipaksa untuk bekerja di ladang dan pabrik-pabrik atau adanya jasa pemberian hutang yang tidak mungkin bisa dilunasi. Anak-anak dan perempuan dijual menjadi pekerja seks, diculik dan dijadikan sebagai tentara anak atau dipaksa bekerja,” kata Obama, Presiden Amerika Serikat, dalam pernyataan tertulisnya.
Di negara kita sendiri , Indonesia , kita mengalami ini semua. Katanya perbudakan telah dihapus di atas dunia. Namun fakta sehari-hari mengatakan berbeda. Masih banyak saudara kita di pelosok tanah air yang hidup dengan pendapatan amat rendah, bahkan tak dibayar, setelah bekerja seharian untuk pihak yang berkuasa.

           Masih juga banyak orang yang merasa, bahwa mereka lebih mulia dari orang lainnya. Arogansi tercium di udara, walaupun sesungguhnya arogansi itu tidak memiliki dasar yang bermakna. Yang berkuasa secara uang, politik, ataupun agama merasa berhak untuk bertindak seenaknya. Mereka menindas orang-orang yang lemah, tanpa pernah merasa bersalah.
Perbudakan ternyata tak hanya dialami bangsa Afrika yang dibawa ke Benua Amerika, tetapi juga dialami nenek moyang kita. Mereka dipaksa bekerja tanpa upah oleh Belanda. Sekalipun Belanda, yang kala itu menjadi pedagang budak terbesar di dunia, secara resmi menghapus perbudakan di seluruh wilayah jajahannya pada pada 1 Juli 1863.
Sejarawan Universitas van Amsterdam, Lizzy van Leeuwen, mengatakan bahwa penghapusan perbudakan di Oost Indie atau Indonesia, baru berakhir secara resmi 100 tahun lalu saat Belanda menghapus praktek perbudakan yang diterapkan di Kepulauan Sumbawa. "Ini adalah sejarah yang belum terungkap," van Leeuwen seperti dimuat situs Radio Nederland.
Dia menambahkan, hal ini terkait dengan sejarah perbudakan di timur. Tak hanya di Indonesia melainkan juga di wilayah Asia Tenggara. Mencakup jangka waktu yang sangat panjang dan meliputi berbagai bentuk perbudakan. "Mengingat cakupan ini, masalah perbudakan di wilayah sekitar Samudera Hindia sulit sekali untuk diungkap. Sedikit sekali penelitian tentang masalah ini," jelas van Leeuwen. Dalil van Leeuwen diperkuat sebuah penelitian yang dilakukan oleh sejarawan Amerika Serikat, Marcus Vink. Menurut Vink, Belanda juga menjalankan praktek perbudakan di Indonesia.

"Jan Pieterszoon Coen membunuh semua penduduk asli Pulau Banda untuk membuka perkebunan pala. Ia kemudian membeli budak-budak dari wilayah Pulau Banda. Dari situlah dimulai praktek perdagangan budak di Indonesia," jelas Van Leeuw.
Perbudakan, kata dia, sejatinya sudah menjadi bagian dari sistem kemasyarakatan di berbagai wilayah di Indonesia, seperti di Sumbawa, Bali dan Toraja. Penjajah Belanda membiarkan praktek perbudakan itu terus berlangsung karena itu menguntungkan posisi mereka di wilayah jajahan.
Kebanyakan budak dipakai untuk keperluan rumah tangga. "Tapi, bukan berarti budak di sana hidupnya lebih nyaman. Terjadi berbagai hal mengerikan, bagaimana budak-budak rumah tangga itu dihukum dengan sangat kejam. Hal itu bahkan masih terus saja terjadi sampai abad ke-20 di beberapa rumah tangga di Oost Indie."
Sejarah perbudakan secara legal yang dilakukan oleh orang Eropa dimulai pada abad ke 14. Spanyol, Portugis, Inggris, Perancis menancapkan perbudakan sejak abad 14 hingga 18.
Peta jalur perbudakan
Pada awalnya bangsa Afrika adalah bangsa yang berdaya. Potensi kekayaan alam yang melimpah. Sejak jaman dahulu telah melakukan hubungan dagang dengan bangsa Eropa. Ketika abad penjelajahan yang dilakukan oleh Bangsa Eropa melewati samudera Atlantik lalu berlanjut ke semua samudera di Dunia. demi tahapan model hubungan dilakukan oleh Bangsa Eropa. Pada awalnya merupakan Hubungan dagang, lalu menjadi hubungan dengan model penghisapan dengan cara Kolonialisme dan Imperialisme.
Hal ini berlaku pula ketika bangsa Eropa datang ke Benua Afrika. Awalnya hanya menjalin Hubungan dagang. Lalu dengan kecerdasan orang Eropa yang mampu melihat peluang dengan jeli sehingga terjadilah perdagangan budak dan perbudakan menjadi sebuah system yang diskenario secara sistemik.
Awal Perbudakan di Afrika
Mengapa terdapat perbudakan di Afrika? Pada mulanya sebagai bentuk hukuman bagi orang-orang yang telah melakukan perbuatan kriminal dan melanggar hukum yang berlaku. Orang yang terhukum di hukum dengan cara dipaksa untuk melakukan apapun yang disuruh oleh Tuannya atau penguasanya.
Ketika Bangsa Eropa mengunjungi dan mengadakan hubungan dagang dengan penguasa lokal Afrika. Mereka mulai meminta budak sebagai barter dengan alcohol, senjata dan berbagai macam alat yang dibawa Orang Eropa untuk ditukar dengan budak, orang yang terhukum tadi. Kebutuhan akan pekerja manusia untuk dipekerjakan sebagai pekerja kasar terus meningkat, maka Eropa memilih Orang Afrika untuk dijadikan Budak.

Perekrutan Budak

Para budak itu diperoleh dengan cara barter para penguasa local Afrika dengan Orang Afrika. Lalu untuk menambah jumlah budak yang dibutuhkan maka selanjutnya perburuan budak pun dilakukan dengan cara penculikan dan penyerbuan di desa-desa di Benua Afrika.
Orang - orang Afrika yang berhasil di culik memang kalah dalam hal persenjataan dengan Orang Eropa. Selain itu juga politik adu domba dilakukan oleh Orang Eropa untuk menambah budak.
Budak-Budak yang telah didapatkan selanjutnya dibawa ke Benua Amerika untuk dipekerjakan di perkebunan. Sejak itulah fase “Triangular Trade” berkembang.

Sebuah model segitiga perdagangan dan rute (jalur) pelayaran budak dari Afrika ke Benua Amerika melewati samudera Atlantik lalu dipekerjakan di Benua Amerika. Dan Hasil Bumi perkebunan berupa Kopi, Gula, Rum dan  sebagainya dibawa ke Benua Eropa. Dan lalu Bangsa Eropa mengirimkan senjata, alcohol untuk penguasa eropa dan memburu budak hingga hal tersebut terus berlangsung disebut oleh para pedagang Eropa dengan Triangular Trade.
Dan itu berlangsung secara sistemik selama 4 abad. Dari abad ke 14 hingga 18 ketika abolishment (penghapusan perbudakan) terjadi.


Middle Passage adalah sebuah perjalanan yang begitu mengerikan bagi para Budak. Sebuah rute pelayaran para budak dari Benua Afrika ke Benua Amerika melewati samudera Atlantic yang juga terkenal dengan Transatlantic. Perjalanan dengan kapal laut yang membutuhkan waktu selama 8 hingga 10 minggu untuk sampai ke Benua Amerika.
Middle Passage adalah perjalanan yang dehumanis karena:
Perlakuan para pedagang Eropa yang membawa budak diperlakukan secara menyedihkan dengan model “loose Pack”. Para Budak berdesak-desakan di dek kapal. Di beri makan sedikit, tidak ada toilet, sehingga Muntahan, berak, kencing dilakukan di tempat yang sama. Bisa dibayangkan apa terjadi? Banyak Budak yang menderita sakit. Bahkan begitu kejamnya perlakuan ketika “Middle Passage” banyak budak yang stress berupaya untuk bunuh diri dengan cara mogok makan.
Bahkan banyak budak yang berusaha meloncat dari kapal untuk Bunuh diri karena tidak tahan selama perjalanan yang mengerikan. Tetapi cerdasnya para awak kapal Bangsa Eropa, mereka memasang jaring dan jala di sekeliling kapal sehingga para budak tersebut tidak bisa terjun ke laut untuk bunuh diri. Sebab kematian budak adalah kerugian bagi pedagang budak.


Kapal yang berisi budak-budak yang telah merapat di pelabuhan di Benua Amerika oleh selanjutnya dilelang/dijual oleh pedagang budak melalui pelelangan (The Slave Auction). Poster-poster pelelangan budak disebarkan di penjuru kota. Jadwal pelelangan ditetapkan.
Budak yang kuat, sehat merupakan budak dengan harga yang paling tinggi/mahal. Selanjutnya budak yang kecil, muda, tua, sakit terjual paling akhir dengan harga yang murah.
Biasanya budak yang datang dengan keluarganya dipisahkan dan dijual terpisah oleh para pedagang Budak.
Yang mengenaskan bagi para budak adalah  ketika saat pelelangan, mereka tidak paham akan situasi yang mereka hadapi. Pelelangan dilakukan dengan bahasa yang tidak mereka pahami. Dan saat mereka tahu majikan mereka telah berganti.

Kehidupan Para Budak (How Slaved Lived)
Para Budak yang berada di Amerika Utara biasanya dipekerjakan di pabrik. Dan para Budak yang berada di Amerika Selatan dipekerjakan di perkebunan. Kehidupan para budak sungguh menyedihkan.Setiap hari mereka harus bekerja keras dari matahari terbit hingga matahari terbenam tanpa gaji dan perlakuan kasar.Untuk tempat berlindung para budak harus membangun rumahnya sendiri dengan bahan seadanya.Untuk makan, biasanya mereka makan makanan seadanya.Dalam setahun hanya diberikan 3 underwears, sepasang sepatu dan pakaian seadanya oleh Tuannya.Para budak tidak diperkenankan berbicara ketika bekerja dengan bahasa mereka. Bila berbicara akan mendapatkan hukuman.Para budak tidak boleh belajar membaca dan menulis. Tetapi Pada hari minggu mereka diperbolehkan pergi ke Gereja

Kehidupan Budak di Perkebunan
Tembakau, kapas, Gula, kopi adalah hasil perkebunan yang dikerjakan oleh para budak. Selanjutnya hasil bumi tersebut dikirim ke Eropa. Budak adalah orang yang harus menuruti kehendak Tuannya. Bila tidak menuruti kemauan Tuannya. Budak akan mendapatkan hukuman jika mereka tidak bekerja giat, banyak berbicara selama bekerja, mencuri dari tuannya, berupaya melarikan diri atau berupaya mengadakan pemberontakan.
Hukuman para budak dilakukan didepan umum dengan tujuan sebagai bentuk intimidasi kepada para budak agar tidak melakukan pembangkangan.Tingkat dan model Hukuman tergantung dari kesalahan yang telah dilakukan oleh para Budak.
Demikianlah sejarah perbudakan yang telah berlangsung selama 4 abad. Abilitionism (penghapusan perbudakan) mulai terjadi pada abad 18 dan awal abad 19.
Abraham Lincoln adalah tokoh penting yang berupaya untuk menghapuskan perbudakan di Amerika Serikat walaupun akhirnya menyebabkan perang sipil di Amerika.
Tetapi hingga sekarang perbudakan masih terus berlangsung walaupun telah terdapat ratifikasi hak asasi manusia.
Perbudakan di Zaman Modern
Jika pada zaman dahulu perbudakan dilakukan dengan cara yang kasar, eksploitatif, menghisap, menindas dan sewenang-wenang. Maka ciri itu sepertinya masih ada di tengah zaman yang modern ini. Kemiskinan, ketidak berbedayaan, tidak adanya akses terhadap pekerjaan di negeri ini membuat manusia seperti seorang TKW bernama Ruyati yang  nekad mencari pekerjaan di sebuah negeri di timur tengah dengan resiko nyawa menjadi taruhannya.
Dan Ironisnya, saat kita merayakan hari penghapusan perbudakan pada 1 Juli pada saat yang sama di  berbagai belahan dunia masih terjadi praktek-praktek perbudakan.
Para korban perbudakan zaman dulu dilelang dan dijual dari satu majikan ke majikan yang lain. Jangankan untuk hidup bebas, hak atas diri mereka sendiri saja mereka tidak punya.
Perbudakan mengalami metamorfosa dalam bentuk baru yang lebih cerdas, bernama human trafficking atau perdagangan manusia, yang mengarah pada prostitusi, kerja paksa, buruh paksa, dan pekerja anak.
Perbudakan dan perdagangan manusia, dua bentuk yang serupa tapi tak sama. Mereka tetap menjadi budak yang terenggut hak asasinya sebagai manusia bebas dan bermartabat. Mereka dieksploitasi secara fisik maupun psikis, dan apa pun yang dikehendaki tuannya harus diikuti, bila tidak, akan mendapatkan hukuman
Perdagangan manusia atau human trafficking saat ini tidak hanya sebatas perdagangan manusia, tapi juga eksploitasi yang sering melanggar batas - batas kemanusiaan. Mulai dari pemaksaan kerja para pekerja migran, anak-anak yang dipaksa bekerja dengan kondisi yang memprihatinkan; wanita yang diperdagangkan sebagai budak seks; nasib para TKW Indonesia di Arab Saudi juga mengingatkan kita pada kejamnya praktek perbudakan, penculikan bayi untuk diadopsi, eksploitasi seksual terhadap perempuan di bawah umur, hingga penjualan organ tubuh manusia‼. Oleh karena itu, hari penghapusan perbudakan bukan hanya untuk memperingati masa lalu tapi lebih penting untuk menjadi motivasi guna memerangi praktek-praktek perbudakan di masa kini.
Coba kita lihat beberapa contoh peristiwa di beberapa negara ini yang  mencerminkan bagaimana perbudakan dapat terjadi ditengah tengah kita dengan tanpa kita sadari
Jika dirata-rata satu pekerja domestik meninggal tiap minggu di Libanon – baik akibat bunuh diri maupun kecelakaan ketika berusaha melarikan diri dari majikan yang mengurung mereka di dalam rumah.
Kelompok HAM menyatakan, penyiksaan dan isolasi yang diderita perempuan-perempuan ini adalah faktor utama yang mendorong mereka mengambil risiko yang membahayakan nyawa.
Pekerja domestik adalah pemandangan umum di Libanon. Di swalayan banyak gadis Asia yang mendorong kereta belanja untuk “madam” mereka atau gadis-gadis Afrika yang membawa tas besar dan mengasuh balita.
Diperkirakan keluarga Libanon mempekerjakan 200.000 pekerja domestik migran, terutama dari Filipina, Sri Lanka dan Ethiopia. Kebanyakan dari mereka adalah gadis-gadis muda yang meninggalkan keluarga di negeri asal dan memutuskan hidup bersama keluarga Libanon yang belum pernah mereka temui sebelumnya. Semua mereka lakukan demi penghasilan rata-rata 150 dolar per bulan. Majikan mereka menjadi sponsor izin tinggal mereka di Libanon. Ini menyebabkan terbatasnya kebebasan dan mobilitas mereka.
Ketika sejumlah kasus dibawa ke pengadilan, seperti pemukulan terhadap pekerja domestik, pelaku hanya diganjar hukuman ringan. Bahkan majikan yang membunuh pembantunya bisa lolos tanpa hukuman berat. Penelitian sejumlah organisasi HAM mengindikasikan bahwa angka kematian pekerja domestik di Libanon tinggi. Wawancara yang dilakukan HRW menunjukkan, tekanan finansial, pekerjaan yang terlalu berat, ditambah penganiayaan dan isolasi adalah faktor-faktor utama di balik angka ini.
(Sumber: Radio Netherlands)
Di masa lalu para duta besar dan diplomat asing lain di Den Haag terbukti mengeksploitasi dan memenjarakan para pembantu mereka. Demikian pernyataan sejumlah pembantu kepada Radio Nederland Wereldomroep dan harian Trouw.
Menurut pengacara Antoinette Vlieger dari Universiteit van Amsterdam, saat ini terjadi apa yang disebut perbudakan modern. Para diplomat di Den Haag menyukai pembantu Filipina. Mereka penurut dan senang bekerja keras. Para diplomat ini punya kekebalan diplomatik dan tidak pernah diperiksa. Mereka bebas bicara, sementara para pembantunya tutup mulut.
Di sepanjang pantai di belakang perbukitan pasir Den Haag, berdiri villa-villa megah yang disukai para diplomat asing. Mereka ini dipersenjatai sepasukan pelayan, tukang bersih-bersih, penjaga anak dan koki, yang sering kali didatangkan dari luar negeri. Salah satunya adalah Cheryl Barrio *nama samaran* (50 tahun) asal Filipina.
Saat itu awal tahun 2003. Cheryl Barrio tiba di villa milik duta besar baru Arab Saudi di Belanda. Sebelumnya Cheryl sudah bekerja untuk keluarga tersebut di Arab Saudi. Begitu tiba, dia harus menyerahkan paspor kepada sang duta besar dan  Cheryl dilarang meninggalkan rumah.
Cheryl juga memasak untuk seluruh keluarga. Mereka hanya boleh makan makanan sisa, tidak boleh masak sendiri. Pernah Cheryl masak nasi sisa kemarin untuk konsumsi sendiri, istri Pak Dubes dengan berang langsung masuk dapur dan menggatakan makanan sisa yang dimasak kembali itu haram.
Keluarga Filipina itu digaji antara 200 – 400 dolar per bulan. Jauh lebih rendah dari UMR Belanda. Setelah menyisihkan sedikit untuk uang saku, sang dubes mengirim uang ke suami Cheryl dan 5 anak mereka lainnya di Filipina.
 “Mereka bilang sebaiknya saya memang tidak pergi keluar, karena kedutaan besar Filipina tidak mau cari masalah sama Arab Saudi. Mereka bisa saja menghentikan visa kerja untuk orang Filipina lainnya. Pihak kedutaan Filipina malah menyuruh saya untuk minta gaji lebih besar, itu kan tidak realistis.”
Apa yang terjadi pada Cheryl dan putra-putrinya adalah contoh perbudakan moderen, demikian pengacara penyidik Antoinette Vlieger. Para pembantu tiba di rumah majikan baru dengan iming-iming upah tinggi dan kontrak yang sepertinya mengikat. “Tapi begitu tiba di tempat, para majikan merobek-robek kontrak dan menginjak-injak peraturan perburuhan.”
Para pembantu mau tidak mau menerima hal ini, karena keluarga mereka di tanah air sangat mengharapkan upah mereka, dan para majikan tahu betul soal ini. Antoinette mengatakan, “Visa para pelayan ini memang berdasarkan pekerjaan mereka untuk para diplomat. Ini memberi para diplomat kekuasaan yang semakin diperkuat oleh kekebalan diplomatik mereka. Mereka ini kan tidak terjangkau sistem peradilan Belanda, jadi mereka pikir : saya pasti lolos.”
(Sumber: Radio Netherlands)
Ketidakmampuan dalam mengelola sumberdaya manusia di suatu negara menjadikan warganya menyebrang ke negara yang dianggap lebih menjanjikan kehidupan yang layak walaupun penuh resiko. Pemerintah yang seharusnya melindungi warganya di luar negeri seakan hanya mengambil keuntungan dari pajak para pencari kerja di luar negeri. Nasib para pekerja di luar negeri sebagian besar ditentukan oleh baik tidaknya sang Majikan. Jika majikan mereka kejam, maka tamat sudah riwayat untuk bermimpi mendapatkan rezeki untuk keluarga, justru yang didapat adalah penyiksaan, penghisapan, pemerkosaaan hingga nyawa meregang oleh pedang sang algojo.
Perlu upaya yang lebih serius dari masing – masing pemerintah, jika tidak ingin warganya bernasib sebagai “budak” di luar negeri. Peningkatan pendidikan dan keterampilan harus ditingkatkan.
Perbudakan modern bukan hal yang tidak mungkin di tengah-tengah laju pertumbuhan manusia yang sangat tinggi sementara lowongan pekerjaan sangat sempit dikarenakan konsentrasi permodalan hanya ada di segelintir manusia.
Di Indonesia sekarang ini, banyak orang yang hidup dalam situasi yang lebih parah dari perbudakan.
Secara legal perbudakan telah dilarang. Namun faktanya semua itu berlangsung di depan mata kita.
Perbudakan bukan hanya soal ekonomi, tetapi soal harkat dan martabat manusia yang memiliki kebebasan. Walaupun secara ekonomi tampak menguntungkan, namun sistem perbudakan menyangkal status kemanusiaan tiap orang, karena mereka direndahkan semata menjadi harta benda yang bisa dimiliki. Pendapatan yang mereka terima tidak cukup untuk hidup sehari-hari. Mereka bekerja keras dengan upah yang amat tidak manusiawi. Maka itulah sistem perbudakan tidak pernah boleh diterapkan.
Kebebasan adalah prasyarat demokrasi. Tanpa kebebasan tidak akan ada demokrasi. Tanpa demokrasi yang kemungkinan besar tercipta adalah tirani. Di dalam masyarakat seperti itu, penyalahgunaan kekuasaan amat banyak ditemukan. Keadilan akan semakin jauh dari genggaman tangan.
Inilah fenomena perbudakan modern. Prakteknya tidak disebut perbudakan, namun secara langsung mengandung unsur-unsur perbudakan di dalamnya.
Simak saja nasib para TKI, buruh tani, buruh pabrik, apakah mereka sungguh telah keluar dari sistem “perbudakan”? Para TKW/TKI hanya menjadi mesin devisa negara yang tak pernah diperhatikan hak-hak dasarnya.
Selama masalah kemiskinan dan pendidikan belum tuntas perbudakan akan terus terjadi dan bermetaforsis bentuk eksploitasi manusia.
Indonesia sendiri sebagai negara berkembang menjadi lahan subur perdagangan manusia, masalah ini hanya sebagian yang terlihat. Ibarat fenomena gunung es, jauh lebih banyak kasus terjadi yang tidak diketahui. Tingginya angka human trafficking, tak jauh dari masalah ekonomi, baik korban maupun pelaku. Karena desakan ekonomi dan rendahnya pendidikan, banyak pula orang yang menjual anaknya sendiri. Dari sisi pelaku, trafficking dinilai menguntungkan.
Perbudakan atau apa pun namanya, tentu harus diperangi. UUD 1945 secara tegas mengatur tentang pentingnya perlindungan terhadap hak asasi manusia, termasuk perempuan dan anak-anak. Juga diperkuat dengan UU No 21/2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang dan UU No 23/2002 tentang Perlindungan Anak.
Yang jelas, penanggulangan human trafficking harus menyentuh masalah dasarnya, yakni ketidakberdayaan ekonomi dan rendahnya pendidikan. Karena selama dua hal tersebut masih menjadi persoalan, selama itu pula bentuk perbudakan modern tersebut akan terus terjadi. Dan permasalahan ini tidak hanya bisa diatasi oleh satu elemen saja, karena Perdagangan Manusia atau Perbudakan Modern ini sudah layaknya seperti sebuah lingkaran setan yang tidak ada ujung pangkalnya.
Maka cobalah buka mata, dan lihatlah dunia sekitar. Apakah masih ada pola-pola perbudakan yang tersisa? Jika ya nyatakanlah dengan tegas, dan perangilah secara beradab. Hanya dengan begitu kita bisa keluar dari penjara kemunafikan, dan mulai bekerja menciptakan keadilan.
Mari kita lihat nanti, apakah negara ini masih punya hati?

No comments:

Post a Comment

Komentar Facebook