Thursday, March 13, 2014

Orientalis Belanda memfokuskan kajian mereka pada fiqh mazhab Syafi’i



 ORIENTALIS DALAM STUDI FIQH DAN USHUL FIQH
Snouck Hurgonje dan Samuel Zwemmer

Analisis  M.Rakib Ciptakarya.Pekanbaru Riau Indonesia

          Orientalisme adalah suatu gerakan yang timbul di zaman modern, pada bentuk lahirnya bersifat ilmiyah, yang meneliti dan memperdalam masalah ketimuran. Tetapi di balik penelitian masalah ketimuran itu mereka berusaha memalingkan masyarakat Timur dari Kebudayaan Timurnya, berpindah mengikuti keinginan aliran Kebudayaan Barat yang sesat dan menyesatkan.
Ayat- pukulan teloak terhadap orientalist
Mengapapa para orientalis tidak mengkritik Bibel?
“Ia melakukan lebih banyak lagi persundalannya sambil teringat kepada masa mudanya, waktu ia bersundal di tanah Mesir. Ia berahi kepada kawan-kawannya bersundal, yang auratnya seperti aurat keledai dan zakarnya seperti zakar kuda.” (Yehezkiel 23:19-20).
“Engkau menginginkan kemesuman masa mudamu, waktu orang Mesir memegang-megang dadamu dan menjamah-jamah susu kegadisanmu.” (Yehezkiel 23:21).
           Orientalis, adalah kumpulan Sarjana-sarjana Barat, Yahudi, Kristen, Atheis dan lain-lain, yang mendalami bahasa-bahasa Timur (bahasa Arab, Persi, Ibrani, Suryani dan lain-lain), temtama mempelajari bahasa Arab secara mendalam. Studi ini mereka gunakan untuk memasukkan ide-ide dan faham-faham yang bathil ke dalam ajaran Islam, agar aqidah, ajaran dan da'wah Islam merosot, berkurang pengaruhnya terhadap masyarakat, tak berbekas dalam kehidupan, tidak mampu mengangkat derajat kemanusiaan,

Paradigma Orientalis dalam mengkaji Hukum Islam didasarkan pada sekularisme dan liberalisme, yang merupakan pangkal peradaban Barat. Ini tampak dalam upaya mereka menjadikan ushul fiqih tunduk di bawah nilai-nilai peradaban Barat. Jadi, secara sengaja ushul fiqh diletakkan sebagai subordinat dari peradaban Barat yang sekular. (Shidiq Al-Jawi)

Berkenaan hukum dan fiqh Islam, orientalis Perancis yang tercatat paling awal menulis adalah M. Perron. Diterjemahkannya Mukhtashar Khalil, sebuah kitab rujukan mazhab Maliki yang masyhur dipakai di wilayah Afrika Utara. Kegiatan mereka mencapai titik puncaknya dengan kemunculan Revue Algérienne, Tunisienne et Marocaine de Législation et Jurisprudence, majalah berkala yang khas menyoroti masalah hukum dan perundang-undangan di wilayah jajahan Perancis tersebut.

Menyusul invasi mereka ke Libya (yang dengan gigih ditentang oleh Sidi Umar Mukhtar), orang-orang Itali tak ketinggalan menyelidiki Islam dan seluk-beluknya. Orientalis mereka dalam hal ini, Ignazio Guidi dan David Santillana, menggarap terjemah Mukhtashar tersebut ke dalam bahasa Itali.

Sementara itu di Spanyol, studi mengenai hukum Islam dipelopori oleh Pascual de Gayangos yang juga mulai dengan penerbitan kitab Isa ibn Jabir dengan judul Tratados de Legislación Musulmana pada tahun 1853. Karya ini bertujuan memenuhi keperluan kaum minoritas Muslim di Spanyol. Namun tak dinafikan terselipnya kepentingan kolonial mereka di Maroko dan Filipina. Kemudian didirikan pula oleh Pemerintah Spanyol sebuah lembaga penelitian bernama Escuelas de Estudios Arabes pada tahun 1931 di Madrid dan Granada yang terkenal melalui jurnalnya:  al-Andalus.

Orientalis Belanda memfokuskan kajian mereka pada fiqh mazhab Syafi’i yang dianut oleh mayoritas penduduk daerah jajahan mereka. Karya perdana muncul pada tahun 1874 dari Lodewijk W.C. Van den Berg yang kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Perancis pada 1896. Namun tokoh terpenting orientalis Belanda tentu saja adalah Christian Snouck Hurgronje. Dikenal produktif menulis, Hurgronje terjun langsung ke dalam, menyamar sebagai mu’allaf, lantas bermukim di Mekkah untuk mempelajari tradisi dan mentalitas orang Islam. Dan secara sadar terlibat dalam politik kolonial Belanda. Tak kalah penting sumbangan Claudius dan Michael de Goeje serta Theodor W. Juynboll. Disamping mempelajari bahasa dan adat istiadat bangsa pribumi, orientalis Belanda juga mengumpulkan dan mengkaji karya tulis yang berpengaruh, semisal matan Ghayatu al-Ikhtishar wa at-Taqrib karya Abu Syuja’ al-Isfahani (w. 593 H/1197 M) yang masyhur di kalangan pondok pesantren di Asia Tenggara.

Hal yang sama berlaku di kalangan orientalis Jerman. Lantaran mereka menduduki sebagian besar wilayah Afrika Timur yang penduduknya kebanyakan bermazhab Syafi’i, maka studi orientalis Jerman pun diarahkan kesana. Sebagai contoh ditunjuknya karya-karya Eduard Sachau, seorang pakar yang cukup disegani, karyanya berisi seputar sejarah hukum Islam dan hukum waris yang diterbitkan Akademi Ilmu Pengetahuan Austria-Jerman antara tahun 1870 dan 1897, juga tulisan-tulisan Heinrich F. Wüstenfeld.

Tak jauh berbeda dengan tetangga mereka, orientalis Inggris , disamping mendalami bahasa, alam pikir dan adat-istiadat, mereka pun berusaha menyelami sistem perundang-undangan Islam yang diamalkan warga India, Pakistan, Bangladesh, dan Malaya. Tokoh pionir dalam bidang ini antara lain Charles Hamilton yang pada tahun 1791 merampungkan terjemah kitab al-Hidayah karya al-Marghinani (w. 593 H/1197 M) ke bahasa Inggris, dan Sir William Jones yang menerjemahkan matan al-Sirajiyyah. Usaha itu diteruskan oleh Neil Benjamin Baillie, William H. MacNaghten, dan Sir Roland K. Wilson – yang pada gilirannya mempelopori lahirnya ‘sistem perundangan gado-gado’ (istilah Syamsudin Arif) bernama Anglo-Muhammadan Law.

Menurut Coulson, yurisprudensi Islam adalah seluruh proses aktivitas intelektual yang memastikan dan menemukan ketentuan-ketentuan kehendak Tuhan dan mentransformasikannya ke dalam sistem hak dan kewajiban yang secara hukum dapat dilaksanakan. Tetapi proses ini tidak menjadi hukum dan tidak pula berlaku sebagai preseden yang harus diikuti dan untuk melaksanakan hak dan kewajiban kecuali jika ia benar-benar sejalan dengan nash (Quran Sunnah).

Di sini ia melakukan kesalahan lagi, karena menyangka pendapat ahli hukum (fiqh) sebagai hukum. Pendapat ahli hukum sama sekali tidak bisa dianggap sebagai hukum, karena itu hanyalah suatu usaha memahami atau menemukan hukum bukan untuk menciptakan atau menentukannya. Mungkin ada perbedaan pendapat dikalangan pakar hukum tergantung pada pemahaman mereka tentang hukum, yang karenanya ijma' harus membuktikan dan menentukan kebenaran hukum yang sesuai dengan nash.



 KAJIAN ORIENTALIS DALAM FIQH ISLAM


Setiap penelitian ilmiah pakai metode, dan setiap metode punya teori, dan setiap teori mengandung hipotesis atau presuposisi –yakni pendapat-pendapat yang kebenarannya memang dianggap tak perlu dan tak boleh sengaja tidak dipertanyakan, sebab jika dipersoalkan niscaya penelitian tersebut mustahil terlaksana, sebab si peneliti harus membuktikan dulu kebenaran presuposisi tersebut sebelum ia dapat memulai risetnya.

Maka untuk menghindari sirkularitas alias ‘muter-muter’, dianggaplah dan diyakini sajalah presuposisi itu seolah-olah sudah atau bahkan pasti benar. Nah, di sinilah letak persoalannya. Berikut ini sejumlah teori dan presuposisi yang mendasari kajian orientalis mengenai Syari’ah dan fiqh Islam.

Pertama, teori evolusi. Adalah Ignaz Goldziher yang sering kali secara panjang lebar menulis bahwasanya hukum Islam itu mengalami perkembangan dan pemekaran. Dalam arti; tidak langsung matang, lengkap atau tertib dari permulaan, akan tetapi melalui proses panjang dari masa pembentukan, kelahiran, pertumbuhan, pematangan dan akhirnya kemerosotan. Semua itu konon terjadi akibat tuntutan zaman dan perubahan masyarakat dari masa ke masa. Teori yang menyertai pendekatan historis ini menjadi ‘rukun iman’ orientalisme yang digigit kuat-kuat oleh para pengkaji sezaman maupun sesudahnya –Alois Sprenger, David Samuel Margoliouth, Duncan B. Macdonald, dan E. Gräf. Padahal realitas saat ini yang dianggap kemerosotan itu adalah aplikasi umat yang kurang sesuai, bukan hukumnya yang tidak sesuai. Fiqh kontemporer yang saat ini digalakkan ulama-ulama merupakan salah satu bentuk usaha untuk menggali hukum untuk problematika baru, dengan tetap berpijak pada Hukum Ashl-nya. Para ulama kontemporer, dengan tetap berpegang pada fiqh yang ada, menggali hukum untuk problematika yang baru, bukan menggali hukum baru.

Kedua, teori pengaruh dan pinjaman yang juga merupakan asas dari metode penelitian sejarah. Teori ini mengandaikan bahwasanya agama –seperti halnya pengetahuan, keterampilan dan seni– adalah hasil budi-daya dan reka-cipta manusia. Ia muncul berasal dari pergaulan antar anggota masyarakat, bangsa tertentu dengan bangsa lainnya. Maka Islam pun beserta segala ajarannya disikapi sebagai bikinan manusia (bukan wahyu samawi). Bertolak dari andaian ini para orientalis mencari-cari apa yang mereka percaya sebagai asal-usul, sumber, atau unsur-unsur asing yang mempunyai kesan atau pengaruh terhadap ajaran-ajaran Islam. Para orientalis umumnya mendakwa sebagian besar ajaran Islam berkenaan aqidah dan ibadah diambil dari doktrin dan tradisi agama Yahudi ataupun Nasrani. Demikian menurut Rudolf Macuch, Carl H. Becker, A.J. Wensinck, I.K.A. Howard, Uri Rubin, Georges Vajda, C.S. Hurgronje, H. Lazarus-Yafeh, dan lain-lain.

Khusus mengenai fiqh dan ushul fiqh sebagai disiplin ilmu, metodologi, dan falsafah perundang-undangan, maka Alfred von Kremer, I. Goldziher, G. Bergsträsser, Joseph Schacht, G.-H. Bousquet, Judith R. Wegner, Patricia Crone, Norman Calder, Harald Motzki, Christopher Melchert, dan Wael B. Hallaq. Semua orientalis ini pada intinya sebulat suara bahwasanya fiqh dan ushul fiqh sebagai suatu bangunan ilmu baru muncul pada abad kedua dan atau ketiga Hijriah, sekitar seratus hingga dua ratus tahun setelah wafatnya Nabi Muhammad saw. Masih menurut mereka, fiqh bermula dari praktik masyarakat yang tetap terpelihara turun-temurun alias living traditions –istilah Schacht- yang kemudian ditulis dan dibincangkan oleh sekelompok cendekiawan hingga lama-kelamaan tersusun and terbentuk menjadi sebuah disiplin ilmu. Hadits beserta sanadnya dicipta sebagai alat justifikasi suatu tindakan atau pendapat tertentu dalam polemik antar mazhab. Imam as-Syafi’i dinilai berjasa sebagai pengasas ushul fiqh akan tetapi juga dituduh bersalah sebagai pengunci pintu ijtihad dan penyebab kemandegan fiqh. Demikian pendapat Schacht dan para pengekornya.

Ketiga, teori kebohongan atau manipulasi, yang menuding adanya semacam konspirasi para cendekiawan pada abad-abad kedua, ketiga dan keempat Hijriah untuk menipu publik dengan ‘menyuapkan’ Hadits dan sebagainya ke ‘mulut’ Nabi saw. Dengan kata lain, orientalis menuduh ulama terdahulu telah melakukan kebohongan publik dengan bersepakat atas hadits yang mereka buat sendiri, tetapi disandarkan kepada Nabi. Sarjana orientalis semisal Motzki memuji seorang rekannya yang katanya telah mendemonstrasikan dengan contoh-contoh bagaimana tradisi sahabat menjadi Hadits dari Nabi.



LIMA TEORI ORIENTALIS TENTANG SYARI’AH

Pandangan orientalis Barat terhadap Syari’at Islam dapat dikategorikan sebagai berikut. Pertama adalah pendapat yang menyatakan bahwa Syariat Islam itu tak lebih dari sekadar wacana, karena tak pernah dilaksanakan dalam kenyataannya. Teori ini dipegang oleh Noel J. Coulson. Pandangan keliru ini jelas sekali mengesampingkan fakta sejarah Umat Islam, seolah-olah kaum Muslimin tidak pernah dan tidak mau mengamalkan Syari’at agamanya. Walaupun benar tidak selamanya dan tidak sepenuhnya hukum-hukum Syari’ah diberlakukan, hal itu tidak berarti ia merupakan idealisme belaka. Semua ulama dan kaum Muslimin dari dahulu hingga sekarang sepakat hukum Allah wajib ditegakkan di muka bumi dan mengabaikannya adalah dosa. Peliknya, teori yang pertama kali dilontarkan oleh Ignaz Goldziher dan diamini oleh Joseph Schacht ini justru disebarkan di Indonesia dalam bentuk dikotomi ‘Islam normatif’ dan ‘Islam historis’. Istilah Amin Abdullah ini penulis pikir hanyalah merupakan sebuah cara untuk memisahkan antara nash yang ideal, dan realitas yang terjadi pada umat Islam secara umum. Seharusnya kita (sebagai orang Indonesia pada khususnya) lebih bijak dengan mengintegrasikan keduanya, dimana historis yang harus mengikuti normatif. Bukannya membenarkan historis dan memegang teguh keyakinan nenek moyang, tetapi harus terus diperbaharui dengan disesuaikan dengan nash Qur’an dan Hadits (normatif).

Pandangan kedua menyifatkan Syariat Islam itu sangat sewenang-wenang –authoritarian to the last degree, kata Hamilton A.R. Gibb. Pendapat miring ini pun mirip dengan tuduhan kaum liberal yang dengan alasan sama menolak mentah-mentah implementasi Syari’ah di Indonesia   -negeri yang lebih dari sembilan-puluh persen penduduknya beragama Islam- karena dinilai menghukum sewenang-wenang. Padahal terdapat seabrek data historis betapa luwes dan luasnya praktek legislasi dan yurisprudensi oleh para khulafa’ dan fuqaha’ sebelum ini, sebagaimana tercermin dalam kumpulan fatwa dan sebagainya.

Teori ketiga disuarakan oleh Snouck Hurgronje. Menurutnya, dari sejak awal telah terjadi perceraian antara Syari’ah (yakni ulama yang mewakili sistem perundangan dan kehakiman) dan Negara (yakni umara’ atau penguasa yang menentukan sistem perpolitikan). Masing-masing berjalan mengikut caranya sendiri. Penguasa tak peduli apa kata ulama, manakala ulama mengecam tirani penguasa dan kerusakan masyarakatnya. Gambaran negatif ini merupakan generalisasi semata. Ia hanya betul untuk beberapa kasus tertentu dan tidak terbukti dalam banyak periode dimana terjadi ‘simbiosis konstruktif’ –meminjam istilah Haim Gerber- yakni masa-masa dimana para ulama’ menyikapi situasi secara bijak dan realistis, bukan karena putus asa, melainkan karena mereka sangat menyadari pentingnya fungsi negara dalam mempertahankan Islam dan menegakkan Syari’ahnya.

Lawrence Rosen mengusung teori yang keempat. Menurut dia, Hukum Islam itu kacaubalau, bersumber dari budaya dan adat istiadat, tidak memiliki standar rasional seperti Hukum Barat (common law Anglo-Amerika atau civil law Eropa) yang tersusun rapi lagi rasional. Teori ini serupa dengan pernyataan seorang tokoh nasional Indonesia bahwa Syari’at Islam itu cermin budaya Arab dan oleh karenanya implementasi Syari’ah itu sama dengan Arabisasi yang berarti mundur ke abad ketujuh Masehi. Dalam bukunya, Rosen mengutip ungkapan beberapa praktisi hukum di Barat yang melecehkan lembaga peradilan masyarakat Islam.Ia sendiri lantas menarik kesimpulan bahwa sistem peradilan hukum Islam sangat tergantung pada budaya masyarakatnya. Pendapat miring Rosen ini memantulkan kembali imej orientalisme klasik tentang Islam sebagai sistem masyarakat primitif berbanding pola pikir Barat modern yang jauh lebih maju dan canggih.

Teori kelima dianjurkan J. Schacht, yang mendakwa Syari’at Islam hanya berjalan selama lebih kurang dua abad untuk kemudian mandeggara-gara Imam as-Syafi’i. Jika sebelumnya ramai orang berijtihad, maka zaman sesudah Imam as-Syafi’i bermulalah era kejumudan alias ankylose. Cukuplah literatur fatwa fuqaha’ sebagai pengejawantahan ijtihad menukas lontaran orientalis tersebut.



No comments:

Post a Comment

Komentar Facebook