Tuesday, March 18, 2014

rasa malu, iffah ( menjauhi yang syubhat),,ucapan jorok, termasuk dalam kenifakan



SESUNGGUHNYA RASA MALU, IFFAH
( MENJAUHI YANG SYUBHAT)

Sesungguhnya ucapan jorok, perangai kasar dan kekikiran termasuk dalam kenifakan (prilaku kemunafikan)

            Ketika Abu Qilabah keluar untuk sholat berjamaah, bertemu dengan Umar bin Abd Al Aziz yang juga sedang menuju masjid untuk jama’ah sholat ashar. Beliau kelihatan membawa secarik kertas, maka Abu Qilabah bertanya: Wahai Amirul mukminin, geranga kertas apakah ini ? Beliau menjawab ini adalah secarik kertas berisi sebuah hadits yang aku riwayatkan dari Aun bin Abdillah. Aku tertarik sekali dengan hadits ini maka aku tulis dalam secarik kertas ini dan sering aku bawa. Abu Qulabah berkata; ternyata di dalamnya tertera sebuah hadits sbb. “Diriwayatkan dari Aun bin Abdillah, ia berkata: Aku berkata kepada Umar bin Abdil Aziz bahwa aku telah meriwayatkan hadits dari seorang sahabat nabi saw yang kemudian diketahuinya oleh Umar. Aku berkata, ia telah meriwayatkan bahwa Rasulullah saw telah bersabda: “Sesungguhnya rasa malu, iffah ( menjauhi yang syubhat) , dan diamnya lisan bukanlah diamnya hati, serta pemahaman (agama) adalah termasuk dalam keimanan.

    Semuanya itu termasuk yang menambah dekat kepada akhirat dan mengurangi keduniaan, dan termasuk apa-apa yang lebih banyak menambah keakhiratan.Tapi Sebaliknya, Sesungguhnya ucapan jorok, perangai kasar dan kekikiran termasuk dalam kenifakan (prilaku kemunafikan) dan semuanya itu menambah dekat dengan dunia dan mengurangi keakhiratan serta lebih banyak merugikan akhirat.

(Sunan Ad Darami)
Kejadian di atas menunjukkan betapa besar perhatian Umar bin Abdil Aziz terhadap masalah yang mendorongnya untuk meningkatkan masalah keakhiratannya. Hadits tentang rasa malu ini mendapat perhatian khusus sehingga ditulis dalam secarik kertas yang sering dibawa kemana-mana. sampai waktu berangkat sholat jamaahpun dibawa pula. Di antara isi dari inti hadits ini bahwa rasa malu adalah sebagian dari iman dan bisa menambah urusan keakhiratannya..
Definisi rasa malu
Ketika seorang mau melanggar aturan agama misalnya, maka ia merasakan dalam dirinya sesuatu yang tidak enak, merasa malu ataupun rasa takut. Karena pelanggaran agama atau menentang disiplin bertentangan dengan fitrahnya sehingga menimbulkan rasa malu. Seorang yang ingin mencuri kemudian tidak jadi mencuri, karena dalam dirinya masih ada rasa malu. Namun bila rasa malu ini dikikis terus dengan pelanggaran maka hilanglah rasa malunya dan akhirnya menjadi orang yang memalukan, contohnya seorang wanita yang berpakaian ketat, pada awalnya ada rasa malu yang kemudian lama kelamaan menjadi hilang rasa malunya.


NINIAK MAMAK  WAK  INDAK   DI  SIKO  DO,
KA SIA  PULO WAK  KA  MALU

https://fbcdn-profile-a.akamaihd.net/hprofile-ak-prn1/t1.0-1/c12.19.155.155/s50x50/400362_109703199155280_905196490_a.jpg
Adat basandi syara’. Syara’ basandi kitabullah
Dalam Adaik, ado sopan santun, dalam kitabullah ada akhlak dan rasa malu

KALAU ANDA, TIDAK BERMALU
JADI PENCOPET, JAHAT TERLALU
DI RANTAU ORANG, JANGAN BEGITU
INGAT TUHANMU, INGAT AYAH IBU



 Peribahasa Melayu Menyatakan:
 “Malu berkayuh perahu hanyut, malu bertanya sesat jalan”.
 Sifat malu seperti ini tidaklah kita kehendaki dalam masyarakat kerana disebabkan terlalu pemalu sehingga menyusahkan diri sendiri. Apa yang ditegaskan ialah sifat malu melakukan sesuatu bertentangan ajaran Islam. Sifat malu seperti ini amat dituntut dalam pendidikan rohani.
Rasulullah SAW adalah seorang yang terlalu baik perangainya, seorang paling mulia akhlaknya, tinggi ketaatan kepada perintah Allah dan segala tugas kewajipan kemasyarakatannya serta selalu menahan diri daripada segala larangan-Nya.
Diriwayatkan daripada Abi Sa’id al-Khudri, ia berkata yang maksudnya: “Rasulullah SAW adalah lebih pemalu daripada gadis dalam pingitan. Dan apabila terjadi sesuatu yang tidak disukainya, kami dapat mengenal daripada wajahnya.” (Hadis riwayat Bukhari dan Muslim)
Malu sebenar-benarnya adalah ikatan yang tidak dapat dipisahkan dalam hidup beragama kerana antara iman dan malu itu suatu ikatan yang utuh dan tidak dapat dipisahkan antara satu dengan lain.
Kajian ahli psikologi menyatakan, sifat malu dapat membantu membaiki akhlak seseorang, sementara sifat pemalu yang tidak betul pada tempatnya boleh menjejaskan imej seseorang. Jika rasa malu hilang maka secara beransur-ansur sifat insannya menurun, sampai kepada darjat yang paling rendah.
Oleh itu, asuhan sejak kecil penting kepada anak supaya mereka memiliki sifat malu positif iaitu mengikut ajaran Islam. Tugas ibu bapa mendidik anak dengan menanamkan rasa dan sifat malu dalam diri mereka.
Sudah menjadi fitrah kejadian manusia itu sendiri, apabila manusia diberi akal sempurna hilang daripadanya sifat malu, maka ia akan menjadi ganas bahkan lebih ganas daripada haiwan tidak berakal.
Manusia yang hilang rasa malu akan berbuat semahunya tanpa mempedulikan adanya aturan dan kesopanan dalam masyarakat, menjadi liar, rakus dan kurang ajar. Tidak hairanlah jika kita mendengar gejala bohsia, lari dari rumah, bersekedudukan, melakukan perbuatan maksiat, terbabit penagihan dadah, pil khayal yang mengancam remaja dewasa ini.
Sudah tentu perkara seumpama tidak akan berlaku jika remaja mempunyai sifat malu, berbudi bahasa, berakhlak mulia dan menjauhkan perbuatan keji ini.
Sifat malu memang identiti dengan wanita karena merekalah yang dominan memilikinya. Namun sebenarnya sifat ini bukan hanya milik kaum hawa. Laki-laki pun disukai bila memiliki sifat malu. Bahkan sifat mulia ini termasuk salah satu cabang keimanan dan menjadi salah satu faktor kebahagiaan seorang insan. Karena dengan sifat ini, hanya kebaikanlah yang bakal diraupnya, sebagaimana beritanya tercatat dalam lembaran sunnah Rasul shallallahu ‘alaihi wasallam:
الْحَيَاءُ لاَ يَأْتِي إِلاَّ بِخَيْرٍ
“Malu itu tidaklah datang kecuali dengan kebaikan.”
Dalam satu riwayat:
الْحَيَاءُ خَيْرٌ كُلُّهُ
“Malu itu baik seluruhnya.” (Shahih, HR. Al-Bukhari dan Muslim)
Saudariku muslimah…
Adanya sifat malu pada diri seseorang akan mendorongnya kepada kebaikan dan mencegahnya dari kejelekan. Bila malu ini hilang dari diri seseorang, ia akan jatuh dalam perbuatan maksiat dan dosa, ketika sendirian maupun di hadapan kerabat dan tetangga. Karena itulah bersabda Rasul shallallahu ‘alaihi wasallam:
إِنَّ مِمَّا أَدْرَكَ النَّاسُ مِنْ كَلاَمِ النُّبُوَّةِ الأْوْلَى: إِذَا لَمْ تَسْتَحِ فَافْعَلْ مَا شِئْتَ
“Termasuk yang diperoleh manusia dari ucapan kenabian yang pertama adalah: jika engkau tidak malu, berbuatlah sekehendakmu.” (Shahih, HR. Al-Bukhari)
Adalah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sangat pemalu sehingga shahabat yang mulia Abu Sa’id Al-Khudri radhiallahu ‘anhu berkata:
كَانَ رَسُوْلُ الله صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَشَدُّ حَيَاءً مِنَ الْعُذَرَاءِ فِي خِدْرِهَا
“Adalah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sangat pemalu dibandingkan dengan gadis perawan yang berada dalam pingitannya.” (Shahih, HR. Al-Bukhari dan Muslim)
Semoga Allah merahmati Abu Sa’id Al-Khudri, di mana beliau membuat permisalan untuk kita dengan gadis perawan. Lalu apa gerangan yang akan beliau katakan bila melihat pada hari ini gadis perawan itu telah menanggalkan rasa malunya dan meninggalkan tempat pingitannya? Ia pergi keluar rumahnya dengan hanya ditemani sopir pribadi. Ia pergi ke pasar, berbincang-bincang akrab dengan para pedagang dan penjahit, dan sebagainya. Demikian kenyataan pahit yang ada.
Sebagian kaum muslimin juga membiarkan putri-putri mereka bercampur baur dengan laki-laki di sekolah-sekolah dan di tempat kerja. Karena telah tercabut dari mereka rasa malu dan sedikit ghirah (kecemburuan) yang tertinggal.
Bila malu ini telah hilang dari diri seorang insan, ia akan melangkah dari satu kejelekan kepada yang lebih jelek lagi, dari satu kerendahan kepada yang lebih rendah lagi. Karena malu pada hakekatnya adalah menjauhkan diri dari hal-hal yang Allah ta`ala haramkan dan menjaga anggota tubuh agar tidak digunakan untuk bermaksiat kepada-Nya. Apakah pantas seseorang disifati malu sementara matanya digunakan untuk melihat perkara yang Allah haramkan? Apakah pantas dikatakan malu, bila lidah masih digunakan untuk ghibah, mengadu domba, dusta, mencerca, dan mengumpat? Apakah pantas digelari malu, bila nikmat berupa pendengaran digunakan untuk menikmati musik dan nyanyian?
Saudariku muslimah… wajib bagi kita untuk terus merasakan pengawasan Allah dan malu kepada-Nya di setiap waktu dan tempat.
Kala dikau sendiri dalam kegelapan
Sedang jiwa mengajakmu tuk berbuat nista
Maka malulah dikau dari pandangan Al-Ilah
Dan katakan pada jiwamu:
Dzat yang menciptakan kegelapan ini senantiasa melihatku
Seorang muslim yang jujur dalam keimanannya akan merasa malu kepada Allah jika melanggar kehormatan orang lain dan mengambil harta yang tidak halal baginya. Sementara orang yang telah dicabik tirai malu dari wajahnya, ia akan berani kepada Allah dan berani melanggar larangan-Nya.
Saudariku muslimah… bila engkau telah mengetahui pentingnya sifat malu, maka berupayalah untuk menumbuhkannya di hati keluarga dan anak-anak. Karena ketika malu ini masih ada, maka akan terasa betapa besar dan jelek perbuatan yang mungkar, sementara kebaikan senantiasa mereka agungkan. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pernah melewati seseorang yang tengah mencela saudaranya karena sifat malunya, maka beliau bersabda:
دَعْهُ فَإِنَّ الْحَيَاءَ مِنَ الإِيْمَانِ
“Biarkan dia, karena malu itu termasuk keimanan.” (HR. Al-Jama`ah)
Saudariku muslimah… perlu engkau ketahui bahwa Allah tidaklah malu dari kebenaran. Maka bukan termasuk sifat malu bila engkau diam ketika melihat kebatilan, engkau enggan menolong orang yang terzalimi, dan berat untuk mengingkari kemungkaran. Dan bukan pula termasuk sifat malu bila engkau tidak mau bertanya tentang perkara agama yang samar bagimu, karena Allah ta`ala berfirman:
فَسْأَلُوْا أَهْلَ الذِّكْرِ إِنْ كُنْتُمْ لاَ تَعْلَمُوْنَ
“Maka tanyakanlah kepada ahlu dzikr (orang yang memiliki ilmu), jika kalian tidak mengetahui.” (An-Nahl: 43)
Ummu Sulaim radhiallahu ‘anha pernah datang kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Ia berkata ketika itu: “Ya Rasulullah, sesungguhnya Allah tidak malu dari kebenaran. Apakah wajib bagi wanita untuk mandi bila ia ihtilam (mimpi bersetubuh)?” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menjawab:
نَعَمْ, إِذَا رَأَتِ الْمَاءَ
“Ya, jika ia melihat keluarnya air mani.” (Shahih, HR. Al-Bukhari)
Apakah tidak sepantasnya Ummu Sulaim menjadi contoh bagi para wanita dalam bertanya tentang perkara agamanya? Terkadang pemahaman ini menjadi terbalik. Wanita malu untuk bertanya hal-hal yang berkaitan dengan agamanya, akan tetapi ia tidak malu untuk berdua-duaan dengan sopir dan berbincang-bincang dengan pedagang, ataupun memperlihatkan auratnya di hadapan laki-laki yang bukan mahramnya.
Ketahuilah wahai saudariku…tidak sepantasnya kita malu dari suatu perkara yang bisa membawa kepada kebaikan. Anas bin Malik radhiallahu ‘anhu menceritakan: “Datang seorang wanita menemui Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam guna menawarkan dirinya kepada beliau agar diperistri oleh beliau. Wanita itu berkata: “Apakah engkau, wahai Rasulullah, punya keinginan terhadap diriku?”
Seorang putri Anas, ketika mendengar kisah ini, berkomentar tentang wanita itu: “Alangkah sedikit rasa malunya!”
Anas berkata: “Wanita itu lebih baik darimu, dia menawarkan diri kepada orang yang paling mulia dan paling baik (Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam).” (Shahih, HR. Al-Bukhari secara makna)

No comments:

Post a Comment

Komentar Facebook