Saturday, March 15, 2014

memberlakukan hukum yang ada sejak semula,



MAQIS ‘ALAIH/ المقيس عليه (PEMBANDING/ALAT UKUR/STANDART), LAWANNYA FURU/CABANG.


M.Rakib Ciptakatya. Pekanbaru Riau Indonesia. 2014

Mustashhab/ المستصحب (memberlakukan hukum yang ada sejak semula, selama tidak ada dalil yang mengubahnya). Contoh:
الاصل بقاءماكان على ماكان
Asal itu adalah tetapnya sesuatu yang telah ada atas sesuatu yang telah ada.
Misalnya, seseorang yang telah berwudhu meragukan apakah ia masih suci atau sudah batal. Tetapi ia merasa yakin betul belum melakukan sesuatu yang membatalkan wudhunya. Atas dasar keyakinannya itu, ia tetap dianggap suci (masih mempunyai wudhu).

USHUL FIQH©
Pengertian dan Ruang Lingkup Ushul Fiqh
A. Pengertian Ushul Fiqh
Ushul fiqh terdiri dari dua kata, yang masing-masing mempunyai pengertian luas, yaitu al-ushul (الاصول ) dan al-fiqh (الفقه). Dalam bahasa Arab, al-ushul merupakan jamak dari al-ashal (الاصل ) yang mengandung arti “fondasi sesuatu, baik yang bersifat materi maupun non-materi”. Dalam bahasa Indonesia diartikan dengan: dasar, asal atau pangkal, yaitu sesuatu yang di atasnya didirikan sesuatu yang lain                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                      (مايبنى عليه شيئ), dan kadang-kadang diartikan dengan: pokok, peraturan atau sumber. Secara terminologi, kata ashal mempunyai beberapa pengertian, yaitu:
1. Dalil/ الدليل (landasan hukum), seperti ungkapan ulama ushul fiqh, “Ashl dari wajibnya shalat adalah firman Allah dan Sunnah Rasul”. Maksudnya, yang menjadi dalil kewajiban shalat adalah ayat al-Qur’an dan Sunnah.
2. Qa’idah Kulliyyah ( القاعدة الكلية )/(ketentuan yang umum).
Sebagai contoh, sebuah kalimat yang berbunyi:   اباحة الميتة للمضطرخلاف الاصل
“Kebolehan memakan bangkai bagi orang yang terpaksa, menyelisihi asal”.
Kata asal dalam kalimat ini adalah ‘ketentuan yang umum’, maksudnya bahwa kebolehan memakan bangkai bagi orang yang terpaksa itu merupakan ketentuan di luar ketentuan umum. Ketentuan ini ditetapkan karena adanya alasan hukum yang dapat memalingkannya dari ketentuan umum, yaitu ‘keadaan terpaksa’. Adapun ketentuan yang secara umum mengatakan:
3. Rajih/ الراجح (yang kuat), seperti ungkapan para ahli ushul fiqh: الاصل في الكلام الحقيقة
Yang terkuat dari (kandungan) suatu ungkapan adalah arti hakikatnya”.
Maksudnya, setiap perkataan yang didengar/dibaca, yang menjadi patokan adalah makna hakikat dari perkataan itu (arti sebenarnya), bukan arti majazinya (kiasannya).
4. Mustashhab/ المستصحب (memberlakukan hukum yang ada sejak semula, selama tidak ada dalil yang mengubahnya). Contoh: الاصل بقاءماكان على ماكان
Asal itu adalah tetapnya sesuatu yang telah ada atas sesuatu yang telah ada.
Misalnya, seseorang yang telah berwudhu meragukan apakah ia masih suci atau sudah batal. Tetapi ia merasa yakin betul belum melakukan sesuatu yang membatalkan wudhunya. Atas dasar keyakinannya itu, ia tetap dianggap suci (masih mempunyai wudhu).
5. Maqis ‘alaih/ المقيس عليه (pembanding/alat ukur/standart), lawannya furu/cabang.
Ashal dimaksudkan sebagai alat pembanding bagi yang lainnya; sesuatu yang belum ada hukumnya dipersamakan hukumnya dengan sesuatu yang telah ada hukumnya secara jelas (dalam pembahasan Qiyas).
Dari kelima pengertian ushul secara lughawi tersebut, maka pengertian yang biasa dipakai dalam ilmu ushul fiqh adalah dalil, yaitu dalil-dalil fiqh.
Adapun kata fiqh (الفقه), secara etimologi berarti pemahaman yang mendalam, yang membutuhkan pengerahan potensi akal.[1]
Secara terminologi, fiqh: العلم بالاحكام الشرعية العملية المكتسب من ادلتهاالتفصيلية
“Mengetahui hukum-hukum syara’ yang bersifat amaliyah yang diperoleh melalui dalil-dalilnya yang terperinci”.
Ulama Syafi’iyyah mendefinisikan ushul fiqh sebagai berikut:
معرفة دلائل الفقه اجمالا وكيفية الاستفادة منهاوحال المستفيد
Mengetahui dalil-dalil fiqh secara global dan cara menggunakannya, serta mengetahui keadaan orang yang menggunakannya (mujtahid).
Definisi ini menjelaskan bahwa yang menjadi obyek kajian ushul fiqh—selanjutnya disingkat dengan UF–adalah: 1. dalil-dalil yang bersifat ijmali (global), seperti kehujjahan ijma dan qiyas, 2. cara mengistinbatkan hukum dari dalil-dalil, seperti kaidah mendahulukan Hadis Mutawatir dari Hadis Ahad dan mendahulukan nash dari zhahir, serta 3. syarat-syarat mujtahid dan persoalan yang berkaitan dengan masalah taklid.
Sedang menurut Jumhur ulama—Hanafiyyah, Malikiyyah, dan Hanabilah, ushul fiqh adalah: القواعد التى يوصل البحث فيهاالى استنباط الاحكام من ادلتهاالتفصيلية
Mengetahui kaidah-kaidah kulli (umum) yang dapat digunakan untuk mengistinbatkan hukum-hukum Syara yang bersifat amaliyah melalui dalil-dalilnya yang rinci.
Definisi ini menekankan bahwa ushul fiqh adalah bagaimana menggunakan kaidah-kaidah umum ushul fiqh. Seperti: al-Qur’an dan Sunnah adalah dalil yang dapat dijadikan hujjah; dalil nash didahulukan dari zhahir; Hadis Mutawatir diutamakan dari Ahad, al-amr lil-wujub, dll. Kaidah umum ini mengandung hukum-hukum rinci yang sangat banyak. Mereka tidak mempersoalkan dalil dan kandungannya itu, tetapi membahas dalil-dalil kulli dan kandungannya sehingga dapat ditetapkan kaidah-kaidah kulli. Nah untuk proses ini semua tentu diperlukan keahlian khusus, sehingga pembahasan tentang mujtahid dan segala aspek yang menyertainya secara implisit terkandung dalam definisi tersebut.[2]
B. Obyek Kajian Ushul Fiqh
Berdasarkan kedua definisi tersebut, menurut Muhammad az-Zuhaili (ahli fiqh dan ushul fiqh dari Syria), obyek kajian ushul fiqh adalah:
1.       Sumber Hukum Islam atau dalil-dalil yang digunakan dalam menggali Hukum Syara’, baik yang disepakati (seperti kehujjahan al-Qur’an dan Sunnah), maupun yang diperselisihkan (seperti kehujjahan istihsan dan maslahah mursalah).
2.       Mencarikan jalan keluar dari dalil-dalil yang secara zhahir dianggap bertentangan, baik melalui al-jam’u wat-taufiq (pengkompromian dalil), tarjih (menguatkan salah satu dari dalil-dalil yang bertentangan), naskh, atau tasaqut ad-dalilain (pengguguran kedua dalil yang bertentangan).
3.       Pembahasan ijtihad, syarat-syarat, dan sifat-sifat orang yang melakukannya (mujtahid), baik yang menyangkut syarat-syarat umum, maupun syarat-syarat khusus keilmuan yang harus dimiliki mujtahid.
4.       Pembahasan tentang hukum syara’, yang meliputi syarat-syarat dan macam-macamnya, baik yang bersifat tuntutan untuk berbuat, tuntutan untuk meninggalkan suatu perbuatan, memilih antara berbuat atau tidak, maupun yang berkaitan dengan sebab, syarat, mani, sah, batal/fasad, azimah, dan rukhsah.[3] Dalam pembahasan hukum ini juga dibahas tentang pembuat hukum (hakim), orang yang dibebani hukum (mahkum alaih), ketetapan hukum dan syarat-syaratnya serta perbuatan-perbuatan yang dikenai hukum.
5.       Pembahasan tentang kaidah-kaidah yang digunakan dan cara menggunakannya dalam mengistinbatkan hukum dari dalil-dalil, baik melalui kaidah bahasa maupun melalui pemahaman terhadap tujuan yang akan dicapai oleh suatu nash (Ayat atau Hadis).
C. Tujuan dan Kegunaan Ilmu Ushul Fiqh
Tujuan utama Ushul fiqh adalah mengetahui dalil-dalil syara’ yang menyangkut persoalan aqidah, ibadah, muamalah, uqubah, dan akhlaq. Pengetahuan tersebut pada gilirannya dapat diamalkan, sesuai kehendak Syari’ (Allah dan Rasul-Nya). Oleh sebab itu ulama ushul fiqh (UF) menyatakan bahwa UF bukan merupakan ‘tujuan’, melainkan sebagai ‘sarana’ untuk mengetahui hukum-hukum Allah pada setiap kasus sehingga dapat dipedomani dan diamalkan sebaik-baiknya, karena yang menjadi tujuan sebenarnya adalah mempedomani dan mengamalkan hukum-hukum Allah yang diperoleh melalui kaidah-kaidah UF tersebut. Secara sistematis, kegunaan UF antara lain untuk:
1.       Mengetahui kaidah dan cara yang digunakan mujtahid dalam memperoleh hukum melalui metode ijtihad yang mereka susun.
2.       Memberikan gambaran mengenai syarat-syarat yang harus dimiliki mujtahid, sehingga dengan tepat ia dapat menggali hukum-hukum syara dari nash. Disamping itu, bagi masyarakat awam, melalui UF mereka dapat mengerti bagaimana para mujtahid menetapkan hukum sehingga dengan mantap mereka dapat mempedomani dan mengamalkannya.[4]
3.       Menentukan hukum melalui berbagai metode yang dikembangkan para mujtahid, sehingga berbagai persoalan baru yang secara lahir belum ada dalam nash; dan belum ada ketetapan hukumnya di kalangan ulama terdahulu dapat ditentukan hukumnya.
4.       Memelihara agama dari penyalahgunaan dalil yang mungkin terjadi. Dalam UF, sekalipun suatu hukum diperoleh melalui hasil ijtihad, statusnya tetap diakui Syara’. Melalui UF, dapat diketahui mana sumber Hukum Islam yang asli yang harus dipedomani dan mana yang merupakan sumber Hukum Islam yang bersifat sekunder yang berfungsi untuk mengembangkan syari’at sesuai dengan kebutuhan masyarakat Islam.
5.       Menyusun kaidah-kaidah umum yang dapat diterapkan guna menetapkan hukum dari berbagai persoalan sosial yang terus berkembang.
6.       Mengetahui kekuatan dan kelemahan suatu pendapat sejalan dengan dalil yang digunakan dalam berijtihad, sehingga dapat dilakukan tarjih salah satunya dengan mengemukakan alasannya.
D. Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan Ushul Fiqh
Pertumbuhan UF tidak terlepas dari perkembangan Hukum Islam sejak zaman Rasul sampai pada masa tersusunnya UF sebagai salah satu bidang ilmu pada abad ke-2 H.
Setelah Islam meluas, banyak terjadi berbagai peristiwa hukum dalam semua lapangan kehidupan, sehingga para ulama berusaha mencari dan menentukan hukum untuk mengakomodir segala permasalahan yang timbul. Sementara para ulama tersebut juga sudah menyebar ke berbagai negeri baru dan telah terpengaruh oleh lingkungan dan pola pemikiran yang berbeda-beda yang sangat berpengaruh terhadap keputusan hukum yang diambilnya; metode yang mereka pergunakan juga berbeda-beda, sehingga muncullah ahli Hadis dan ahli Ra’yi[5], yang pengikut keduanya semakin berani mengeluarkan fatwa untuk mempertahankan pendapat alirannya, padahal hal itu tidak patut dijadikan hujjah.
Kenyataan ini memotifasi disusunnya batas-batas dan bahasan mengenai dalil-dalil syara’ dan syarat-cara-metode istinbat hukum, sehingga dibuatlah aturan main berijtihad agar diperoleh pendapat yang benar dan untuk memperdekat jarak perbedaan di antara mereka; yang dituangkan dalam bentuk kaidah-kaidah yang harus dipegangi oleh semua mujtahid, yaitu UF. Ini terjadi pada abad ke-2 Hijriyyah.
Ibnu an-Nadhim dalam kitab al-Fihrasat, menjelaskan bahwa yang mula-mula menyusun kaidah-kaidah seperti itu adalah Abu yusuf (Wafat 182 H) dan Muhammad Ibn al-Hasan (W. 189 H), keduanya murid Abu Hanifah. Akan tetapi sayang, susunan beliau berdua tidak sampai kepada kita. Sedang orang yang pertama kali membuat kodifikasi kaidah dan bahasan ilmu UF secara sistematis, serta masing-masing kaidah tersebut dikuatkan dengan dalil dan alasan yang mendalam, adalah al-Imam Muhammad ibn Idris asy-Syafi’i (w. 240 H) dalam kitabnya “ar-Risalah”. Dalam kitab itu dibicarakan tentang al-Qur’an dan kehujahannya; al-Hadis dan macam-macamnya; al-Ijma, al-Qiyas dan dasar-dasar mengistinbatkan hukum. Kitab itulah sebagai kodifikasi pertama dalam bidang UF dan yang sampai kepada kita. Oleh karena itu ulama sepakat bahwa peletak batu pertama ilmu UF adalah Imam asy-Syafi’i.
E. Aliran-Aliran Ushul Fiqh
Dalam sejarah perkembangan UF dikenal dua aliran UF yang berbeda. Perbedaan ini muncul akibat perbedaan dalam membangun teori UF masing-masing yang digunakan dalam menggali Hukum Islam.
1.       Aliran/metode Syafi’iyyah dan Jumhur Mutakallimin (dikembangkan oleh golongan Mu’tazilah, Syafi’iyyah, dan Imam Syafi’i sendiri).
Aliran ini membangun UF mereka secara teoritis, tanpa terpengaruh oleh masalah-masalah furu’ (masalah keagamaan yang tidak pokok); Aliran ini menetapkan kaidah-kaidah dengan alasan yang kuat, baik dari dalil naqli maupun aqli, tanpa menghiraukan apakah kaidah itu sesuai dengan pendapat para imam madzhabnya/tidak dan tidak peduli apakah kaidah tersebut sesuai dengan furu/tidak. Setiap permasalahan yang diterima oleh akal (rasional) dan didukung oleh dalil naqli dapat dijadikan kaidah—baik kaidah itu sejalan dengan furu’ atau tidak (teori atau kaidah mereka tidak memperhatikan aplikasinya terhadap masalah fiqh far’iyyah), sehingga teori mereka sering tidak membawa pengaruh pada keperluan praktis.[6]
Di samping itu, sesuai namanya—aliran mutakallimin/ ahli kalam–, maka aspek-aspek bahasa sangat dominan dalam pembahasan UF-nya, sehingga aliran ini sering terjebak pada masalah-masalah yang terkadang mustahil terjadi, seperti persoalan taklif al-ma’dum (pembebanan hukum atas sesuatu yang tidak ada), atau terjebak pada permasalahan aqidah, seperti ke-ma’sum-an (terpelihara dari kesalahan) Rasulullah.
2.       Aliran/Metode Fuqaha/Ahnaf (Ulama Hanafiyyah)
Dinamakan aliran fuqaha, karena aliran ini dalam membangun teori UF-nya banyak dipengaruhi oleh masalah furu dalam mazhab mereka. Artinya, mereka tidak membangun suatu teori kecuali setelah melakukan analisis/istiqra’ (induksi) terhadap masalah-masalah furu yang ada dalam madzhab mereka dan mengumpulkan pengertian makna dan batasan-batasan yang mereka pergunakan kemudian mengambil konklusi darinya. Dalam menetapkan teori, apabila terdapat pertentangan antara kaidah yang ada dengan hukum furu, maka kaidah tersebut diubah dan disesuaikan dengan hukum furu’ tersebut, sehingga tidak ada satu kaidah pun yang tidak bisa diterapkan.[7]
Adapun kitab-kitab UF yang menggabungkan kedua teori tersebut, ialah:
1.       Tanqih al-ushul karya Shadr asy-Syari’ah (w. 747H). Kitab ini merupakan rangkuman tiga buku UF, yaitu Kasyf al-Asrar karya al-Bazdawi, al-Mahshul karya Fakhruddin ar-Razi asy-Syafi’i, dan Mukhtashar ibn al-Hajib karya Ibn al-Hajib al-Maliki.
2.       at-Tahrir karya Kamaluddin ibn al-Humam al-Hanafi (w. 861H)
3.       Jam’ul-Jawami’ karya Tajuddin ‘Abd al-Wahhab as-Subki asy-Syafi’i (w.771H)
4.       Musallam as-Subut karya Muhibbullah ibn ‘Abd asy-Syakur (w. 1119H).
Pada abad ke-8 H muncul Imam Abu Ishaq asy-Syatibi (w. 790H) dengan bukunya al-Muwafaqat fi al-Ushul asy-Syari’ah. Dalam pembahasannya, di samping menguraikan berbagai kaidah yang berkaitan dengan aspek kebahasaan, ia juga mengemukakan maqasid asy-Syari’ah (tujuan-tujuan Syara’ dalam menetapkan hukum), yang selama ini kurang diperhatikan oleh ulama UF. Setiap permasalahan dan kaidah kebahasaan senantiasa dikaitkan dengan maqasid asy-syari’ah. Dengan demikian asy-Syatibi memberikan warna baru, dan kitabnya itu oleh para ahli UF kontemporer dianggap sebagai buku UF yang komprehensif dan akomodatif untuk zaman sekarang.
Adapun ilmu penunjang ushul fikih adalah; ilmu tauhid, ilmu bahasa arab, ilmu asrarur tasyri (mempelajari maksud syari’, kemaslahatan yang diharapkan, dan tujuan pokok adanya taklif; memelihara jiwa, agama,  akal, keturunan, dan harta), dan ilmu qawaidul-fiqhiyyah.
Hubungan ushul fiqh dengan ilmu fiqh adalah bahwa ilmu fikih merupakan produk ushul fiqih. Ilmu fikih berkembang karena berkembangnya ilmu ushul fikih, karena ushul fikih adalah alat yang menjelaskan metode dan sistem penentuan hukum berdasarkan dalil-dalil naqli maupun aqli. Contoh: اقم الصلوة لدلوك الشمس الى غسق الليل… Hukum menunaikan shalat itu belum diketahui, apakah wajib ataukah sunah? Baru setelah ushul fikih memberikan dalil: الاصل فى الامرللوجوب, sholat wajib hukumnya.
BAB II
SUMBER DAN DALIL HUKUM ISLAM
A. Pengertian Sumber dan Dalil
Dalam bahasa Arab, yang dimaksud dengan ‘sumber’ adalah mashdar (المصدر), yaitu asal dari segala sesuatu dan tempat merujuk segala sesuatu. Dalam UF kata “مصادرالاحكام الشرعية “ berarti rujukan utama dalam menetapkan hukum Islam, yaitu al-Qur’an dan Sunnah.
Sedangkan ‘dalil’ dari ‘الدليل‘ , jamaknya’الادلة‘, secara etimologi berarti:
الهادى الى اي شيئ حسي اومعنوي
“Petunjuk kepada sesuatu baik yang bersifat material maupun non material (maknawi).
Secara terminologi, dalil mengandung pengertian:
مايتواصل بصحيح النظرفيه الى حكم شرعي عملي
“Suatu petunjuk yang dijadikan landasan berfikir yang benar dalam memperoleh hukum Syara’ yang bersifat praktis, baik yang statusnya qath’i (pasti) maupun zhanni (relatif)”
Abdul Wahhab Khalaf mengatakan bahwa pengertian ’ادلة الاحكام‘ ini identik dengan ‘اصول الاحكام‘ (dasar-dasar hukum) dan ‘مصادرالاحكام‘. Karenanya, para ulama UF adakalanya menggunakan istilah ‘adillah al-ahkam’ untuk menunjuk ‘mashadir al-ahkam’ dan sebaliknya. Pernyataan ini perlu dikritisi karena dari segi pengertian bahasa keduanya berbeda.  *Mashdar adalah rujukan utama, tempat dikembalikannya segala sesuatu; Atau sumber, asal sesuatu, sehingga mashadir al-ahkam dalam Islam itu hanya al-Qur’an dan Sunnah. Pengertian ini didukung oleh pengertian Allah sebagai Syari[8] (penentu/pencipta Hukum Islam). Di samping itu hanya keduanya yang disepakati oleh seluruh ulama—klasik & kontemporer—sebagai sumber primer Hukum Islam.
*Dalil, dengan pengertian dalil seperti di atas, al-Qur’an dan Sunnah juga disebut sebagai “dalil hukum”. Artinya, ayat-ayat al-Qur’an dan Hadis Nabi di samping sebagai sumber Hukum Islam, sekaligus sebagai dalil (alasan dalam penetapan hukum). Kerena itu dari sisi ini, pernyataan Abdul Wahhab Khalaf di atas ada benarnya. Tetapi dalil lain, seperti Ijma’, Qiyas, Istihsan, dll. tidak dapat dikatakan sebagai sumber Hukum Islam, karena dalil-dalil tersebut hanya bersifat al-kasyf wal-izhar lil-hukm (menyingkap dan memunculkan hukum) yang ada dalam al-Qur’an dan Sunnah. Suatu dalil yang membutuhkan dalil lain untuk dijadikan hujjah tidaklah dapat dikatakan sumber, karena sumber bersifat berdiri sendiri. Oleh karena itu adillah al-ahkam, seperti ijma’ dst lebih tepat disebut sebagai ‘turuq istinbat al-ahkam’ (metode dalam menetapkan hukum).[9]
Untuk menghilangkan kerancuan pengertian mashadir al-ahkam asy-syar’iyyah dan adillah al-ahkam asy-syar’iyyah sebagaimana diuraikan di atas, pembagian yang dipilih seharusnya adalah:
a.       Sumber dan dalil Hukum Islam (yang disepakati), yaitu al-Qur’an dan Sunnah,
b.       Dalil dan metode penggalian Hukum Islam, yaitu Ijma’, Qiyas, Istihsan, dll.
B. Klasifikasi Dalil
Dalalah
Keterangan:
1. Naqli: dari nash secara langsung dan aqli: pikiran manusia yang sejahtera, terlepas dari pengaruh hawa nafsu.
2. Kulli: dalil yang isinya mencakup banyak satuan hukum, bahkan mencakup sebagian besar hukum yang sejenis, seperti “huwal-lazi khalaqa lakum ma fil-ardi jamii’an. Sedang dalil Juz’i (tafsili): menunjuk pada satuan hukum saja, seperti: “wa aqimus-shalata wa atuz-zakata…
3. Qath’i: yang mendatangkan keyakinan (kepastian), baik qath’i wurud-tsubutnya maupun qath’i dalalahnya (dalil yang lafad dan susunan katanya tegas dan jelas menunjukkan arti dan maksud tertentu, seperti ayat-ayat waris. Sedang dalil dhanni; wurud-tsubutnya—dalil yang diduga keras datangnya dari syara karena diriwayatkan dengan cara ahad, dan dhanni dalalahnya, contoh “Quru’”
C. Perincian dalil-dalil Syara’
Maksudnya perincian macam-macam dalil yang banyak dipergunakan oleh para ulama dari berbagai mazhab.
1.    Perincian dalil syar’i menurut Imam Hanafi (Kufah, 80-150 H): al-Qur’an, as-Sunnah, pendapat sahabat, al-Qiyas, Istihsan, Ijma’, dan ‘urf.
2.    Perincian dalil menurut Imam Malik (Madinah, 93-179 H): al-Qur’an, Sunnah rasul yang sah, Ijma’ Sahabat, qiyas, maslahah mursalah (Istislah), amal ahl Madinah, dan pendapat Sahabat.
3.    Perincian dalil menurut Imam Syafi’i (Gaza Palestina, 150 H- Mesir, 204 H): al-Qur’an, as-Sunnah, ijma, qiyas atau Istidlal.
4.    Perincian menurut Imam Ahmad (Baghdad, 164 H- 241 H): Nash (al-Qur’an dan Hadis Marfu’), fatwa sahabat/ Ijma sahabat, Hadis Mursal dan Da’if(Hadis Hasan), dan Qiyas (di kala darurat).[10]
D. Sumber dan Dalil Hukum Islam
1. al-Qur’an
Definisi al-Qur’an
كلام الله تعالى المنزل على محمدصلى الله عليه وسلم باللفظ العربي المنقول الينابالتواتر, المكتوب بالمصاحف, المتعبد بتلاوته المبدوء بالفاتحة والمختوم بسورة الناس
“Kalamullah yang diturunkan kepada Rasulullah, Muhammad saw., dalam bahasa Arab yang dinukilkan kepada generasi sesudahnya secara mutawatir yang ditulis dalam mushhaf, membacanya merupakan ibadah, dimulai dari surat al-Fatihah dan ditutup dengan surat an-Nas”.
Dari definisi ini, maka ciri khas al-Qur’an adalah sebagai berikut:
v      al-Qur’an merupakan kalam Allah yang diturunkan kepada Muhammad saw. Apabila bukan kalam Allah atau tidak diturunkan kepada Muhammad saw., maka tidak dinamakan al-Qur’an, seperti Zabur, Taurat, dan Injil.[11]
v      Al-Qur’an adalah wahyu berupa lafadz (sehingga wahyu yang berupa makna dan diutarakan dengan lafadz beliau sendiri, bukanlah termasuk al-Qur’an) dan dalam bahasa Arab Quraisy. Oleh karena itu, penafsiran dan terjemahan al-Qur’an tidak dinamakan al-Qur’an, tidak bernilai ibadah membacanya, dan tidak sah shalat dengan hanya membaca tafsir atau terjemahannya, karena al-Qur’an itu nama dari struktur bahasa dan makna yang dikandungnya.[12]
v      Al-Qur’an dinukilkan kepada generasi sesudahnya secara mutawatir, tanpa perubahan dan penggantiaan satu kata pun, dan dijamin oleh Allah orisinalitasnya.[13]
v      Membaca setiap kata dalam al-Qur’an itu mendapat pahala dari Allah, baik hafalan maupun membaca langsung dari mushaf.
v      Diawali dengan al-Fatihah dan ditutup dengan an-Nas, merupakan kehati-hatian untuk membedakan al-Qur’an dari kitab yang lain. Tata urutan al-Qur’an adalah sesuai petunjuk Allah, tidak boleh diubah dan diganti letaknya. Dengan demikian, doa-doa yang biasanya ditambahkan di akhir, tidak termasuk al-Qur’an.
Kedudukan al-Qur’an dan kehujjahannya
Para ulama UF dan lainnya sepakat menyatakan bahwa al-Qur’an itu merupakan sumber utama Hukum Islam dan wajib diamalkan, dan seorang mujtahid tidak dibenarkan menjadikan dalil lain sebagai hujjah sebelum membahas dan meneliti ayat-ayat al-Qur’an. Bila hukum permasalahan yang dicari tidak ditemukan dalam al-Qur’an, maka barulah mempergunakan dalil lain. Mengapa wajib berhujjah dengan al-Qur’an?
1. al-Qur’an diturunkan kepada Rasulullah saw. diketahui secara mutawatir, dan ini memberi keyakinan bahwa al-Qur’an itu benar-benar datang dari Allah melalui malaikat Jibril, dan Rasul dikenal sebagai orang yang paling dipercaya.
2. al-Qur’an mempunyai I’jaz, yakni suatu kekuatan yang dapat menunjukkan dan menetapkan kelemahan pihak lawan. Mu’jizat ini bertujuan untuk menjelaskan kebenaran Nabi saw. yang membawa risalah Ilahi.[14] Adapun unsur-unsur I’jaz yang tidak mampu ditandingi akal manusia, antara lain:
Ø      Dari segi keindahan dan ketelitian redaksinya, umpamanya berupa keseimbangan jumlah bilangan kata dengan lawannya, di antaranya: al-hayah (hidup) dan al-maut (mati) dalam bentuk definite sama-sama berjumlah 145 kali; al-kufr (kekufuran) dan al-iman (iman) sama-sama terulang 17 kali.
Ø      Dari segi pemberitaan-pemberitaan ghaib. Seperti dalam Surat Yunus (10): 92, فاليوم ننجيك ببدنك لتكون لمن خلفكءاية , dikatakan bahwa “badan Fir’aun akan diselamatkan Tuhan sebagai pelajaran bagi generasi berikutnya”, yang ternyata pada tahun 1896 ditemukan mummi yang menurut arkeolog adalah Fir’aun yang mengejar-ngejar Nabi Musa.
Ø      Isyarat-isyarat ilmiah yang dikandungnya. Seperti dalam Surat Yunus (10): 5, هوالذى جعل الشمس ضياء والقمرنورا , dikatakan, “Cahaya matahari bersumber dari dirinya sendiri, sedang cahaya bulan adalah pantulan (dari cahaya matahari)”.
Kandungan Hukum dan Penjelasannya
Ulama UF menginduksi hukum-hukum yang dikandung al-Qur’an, terdiri atas:
1.       Hukum-hukum I’tikad, yaitu hukum yang mengandung kewajiban para mukallaf untuk mempercayai Allah, Malaikat, Rasul, Kitab, dan Hari Kiamat.
2.       Hukum-hukum yang berkaitan dengan akhlak dalam mencapai keutamaan pribadi mukallaf.
3.       Hukum-hukum praktis/’Amaliyah (perbuatan–perbuatan manusia), yang meliputi:
  1. Hukum yang mengatur hubungan manusia dengan Tuhannya, yang disebut dengan istilah “Ibadah”, misalnya ibadah badaniyah, maliyah, atau gabungan keduanya;
  2. Hukum-hukum yang mengatur hubungan manusia dengan sesamanya (mu’amalah), yang meliputi:
Ø      Hukum-hukum perorangan (ahwal asy-Syakhshiyyah), seperti kawin, talak, waris, wasiat, wakaf;
Ø      Hukum-hukum perdata (mu’amalah madaniyyah), seperti jual beli, perserikatan dagang, dan transaksi harta dan hak lainnya;
Ø      Hukum  pidana (jinayah wa ‘uqubah);
Ø      Peradilan (ahkam al-Murafa’at/Mukhashamat) baik bersifat perdata maupun pidana;
Ø      Ketatanegaraan (ahkam as-Sulthaniyyah/Dusturiyyah);
Ø      Hubungan antarnegara (ahkam ad-Duwaliyah); dan
Ø      Hukum yang berkaitan dengan masalah ekonomi dan harta benda (ahkam al-Iqtishadiyah wal-maliyah).
Penjelasan al-Qur’an terhadap Hukum-hukum
Sebagai sumber utama hukum Islam, al-Qur’an menjelaskan hukum dengan cara:
1.       Penjelasan rinci (juz’i), seperti yang berkaitan dengan masalah aqidah, hukum waris, pidana hudud, dan kaffarat. Hukum-hukum ini disebut sebagai hukum ta’abbudi yang tidak bisa dimasuki oleh logika.
2.       Penjelasan global (kulli), umum, dan mutlak, seperti dalam masalah shalat—yang tidak dirinci–, zakat—tidak dijelaskan secara rinci benda-benda yang wajib dizakati, berapa nishab dan kadarnya.
Hikmah terbatasnya hukum-hukum rinci dalam al-Qur’an adalah agar hukum-hukum global dan umum tersebut dapat mengakomodasi perkembangan dan kemajuan umat manusia di tempat dan zaman yang berbeda, sehingga kemaslahatan umat manusia senantiasa terayomi oleh al-Qur’an.[15] Oleh karena itu, kesempurnaan kandungan al-Qur’an itu dapat dirangkum dalam tiga hal berikut:
1.      Teks-teks rinci (juz’i) yang dikandung al-Qur’an.
2.      Teks-teks global (kulli) yang mengandung berbagai kaidah dan kriteria umum ajaran-ajaran al-Qur’an. Dalam hal ini al-Qur’an menyerahkan sepenuhnya kepada para ulama untuk memahaminya sesuai dengan tujuan-tujuan yang dikehendaki syara’, serta sejalan dengan kemaslahatan umat manusia di segala tempat dan zaman.
3.      Memberikan peluang kepada sumber-sumber hukum Islam lainnya untuk menjawab persoalan ke-kini-an melalui berbagai metode yang dikembangkan para ulama, seperti melalui Sunnah Rasul, Ijma’, qiyas, istihsan, mashlahah, istishab, urf, dan zari’ah. Semua metode ini telah diisyaratkan al-Qur’an.[16]
Dalalah al-Qur’an terhadap Hukum-hukum
Al-Qur’an yang diturunkan secara mutawatir, dari segi turunnya berkualitas qath’i (pasti benar). Akan tetapi, hukum-hukum yang dikandung al-Qur’an adakalanya bersifat qath’i dan adakalanya bersifat zhanni (relatif benar).
Ayat yang bersifat qath’i adalah lafal-lafal yang mengandung pengertian tunggal dan tidak bisa dipahami makna lain darinya. Seperti ayat-ayat waris, hudud, dan kaffarat. Contoh:
يوصيكم الله فى اولادكم للذكر مثل حظ الانثيين فاءن كن نساء فوق اثنتين فلهن ثلثا ماترك وان كانت واحدة فلها النصف
“Allah mensyari’atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu. Yaitu; bagian seorang anak lelaki sama dengan dua bagian anak perempuan, dan jika anak itu semuanya perempuan lebih dari dua orang, maka bagi mereka dua pertiga dari harta yang ditinggalkan; dan jika anak perempuan itu seorang saja, maka ia memperoleh separoh harta”. (Q.S. an-Nisa’, 4: 11)
الزانية والزانى فاجلدوا كل واحد منهما مائة جلدة
“Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, maka deralah tiap-tiap orang dari keduanya seratus kali dera”.(Q. S. an-Nur, 24: 2)
Dalam kaffarah sumpah, Allah berfirman: فصيام ثلاثة ايام
“…maka berpuasalah selama tiga hari…” (Q.S. al-Maidah, 5: 89)
Bilangan-bilangan dalam ketiga ayat di atas, mengandung hukum yang qath’i dan tidak bisa dipahami dengan pengertian lain.
Adapun ayat yang mengandung hukum zhanni adalah lafal-lafal yang dalam al-Qur’an mengandung pengertian lebih dari satu dan memungkinkan untuk ditakwilkan. Misalnya, lafal musytarak (mengandung pengertian ganda), yaitu kata quru’ (قروء) yang terdapat dalam surat al-Baqarah, 2: 228. Kata quru’ mengandung dua makna, yaitu “suci” dan “haid”.[17] Contoh lain dalam surat al-Ma’idah, 5: 38:
السارق والسارقة فاقطعوا ايديهما جزاء بماكسبا نكالا من الله
Kata “tangan” dalam ayat ini mengandung kemungkinan, yang dimaksud tangan kanan atau kiri, sampai pergelangan atau sampai siku. Penjelasan tentang tangan ini ditentukan dalam Hadis. Kekuatan hukum kata-kata ini—quru’ dan tangan, misalnya—bersifat zhanni (relatif benar). Oleh sebab itu, para mujtahid boleh memilih pengertian yang mana yang terkuat menurut pandangannya serta yang didukung oleh dalil lain.
2. As-Sunnah
Pengertian Sunnah
Sunnah ( السنة) secara etimologis (bahasa) berarti “jalan yang biasa dilalui” atau “cara yang senantiasa dilakukan”, apakah cara itu sesuatu yang baik atau buruk. Sedangkan secara terminologi, Sunnah bisa dilihat dari tiga bidang ilmu, yaitu dari ilmu Hadis, ilmu fiqh, dan ushul fiqh.
Ø      Menurut ahli hadis, Sunnah identik dengan Hadis, yaitu “seluruh yang disandarkan kepada Nabi Muhammad saw., baik perkataan, perbuatan, maupun ketetapan atau sifatnya sebagai manusia biasa, akhlaknya, apakah itu sebelum maupun setelah diangkat menjadi Rasul”.
Ø      Menurut ahli UF, Sunnah adalah segala yang diriwayatkan dari Nabi saw., berupa perbuatan, perkataan, dan ketetapan yang berkaitan dengan hukum.
Ø      Menurut ahli fiqh; di samping pengertian yang dikemukakan para ulama UF di atas, juga dimaksudkan sebagai salah satu hukum taklif, yang berarti “perbuatan yang apabila dikerjakan mendapat pahala dan apabila ditinggalkan tidak berdosa”.[18]
Macam-macam Sunnah dan Klasifikasinya
Penjelasan:
Klasifikasi Hadis berdasarkan Kuantitas
Hadis Mutawatir: yang diriwayatkan oleh orang banyak pada semua tingkatan sanad, yang secara logis dan kebiasaan dapat dipastikan bahwa para rawi hadis itu mustahil bersekongkol untuk berdusta.[19]
Mutawatir lafzi, yang lafalnya banyak dan sama, maknawi yang lafalnya berbeda-beda tetapi semakna, dan amali yaitu perilaku yang sudah diamalkan orang banyak dan diyakini berdasarkan perintah Nabi.
Hadis Ahad: yang diriwayatkan orang per orang (ahad adalah jamak dari ahad = satu) yang tidak mencapai tingkat mutawatir, dan dapat diriwayatkan oleh seorang atau lebih.
Hadis masyhur, diriwayatkan paling tidak oleh tiga jalur rawi dan tidak kurang dari tiga, tetapi tidak sampai derajat mutawatir; hadis aziz, diriwayatkan melalui dua jalur rawi; hadis garib, yang diriwayatkan melalui satu jalur rawi.
Klasifikasi Hadis berdasarkan kualitas
Hadis maqbul: yang diterima
Hadis Sahih: yang sah dan valid karena sanadnya muttasil (tersambung), rawinya adil dan dabit(kuat hafalan), dan matannya tidak syazz (tidak mengandung kejanggalan) serta tidak ber-‘illah (sebab yang membuat cacat hadis).
Sahih lizatihi, yang sahih dengan sendirinya karena terpenuhinya syarat hadis sahih
Sahih lighairihi, yang sahih karena ada keterangan lain yang mendukungnya, atau kurang salah satu syarat  dari hadis sahih, namun bisa ditutupi dengan cara lain.
Hadis Hasan: yang sanadnya bersambung, diriwayatkan oleh rawi yang adil tetapi tidak sempurna dabit-nya, serta matannya tidak syazz dan tidak ber-illah.
Hasan lighairihi, yang hasan karena ada keterangan lain yang mendukungnya atau dalam sanadnya terdapat rawi yang tidak dikenal, namun ia bukan orang yang terlalu banyak membuat kesalahan.
Hadis Mardud atau Daif: yang ditolak atau hadis lemah yang tidak memenuhi syarat sahih dan hasan.
Hadis Mursal: yang diriwayatkan tabi’in langsung dari Rasul (terputus sanad di sahabat)
Hadis Munqati’: yang salah seorang rawinya gugur tidak pada sahabat, tetapi bisa terjadi pada rawi yang di tengah atau di akhir.
Hadis Mu’dal: yang dua rawinya atau lebih hilang secara berurutan dalam sanad.
Hadis Mudallas: yang kelemahannya disebabkan oleh manipulasi perawi, baik pada sanad maupun matan.
Hadis Mu’allaq; yang tidak mempunyai sanad, sehingga terputus sama sekali.
Hadis Mu’allal; yang kelihatannya selamat, tetapi sebenarnya mempunyai cacat, baik pada sanad maupun matan.
Hadis Maudu’; yang disebabkan oleh kedustaan rawi
Hadis Matruk; yang ditinggalkan karena perawinya suka berdusta atau fasik dalam pembicaraan dan perbuatannya atau orang yang banyak salah dan keliru dalam meriwayatkan hadis.
Hadis Munkar: yang diriwayatkan oleh perawi yang lemah isinya, bertentangan dengan riwayat dari perawi yang terpercaya.
Hadis Mudraj; yang di dalamnya ada sisipan perkataan sahabat atau tabi’in.
Hadis Maqlub; yang terbalik matannya atau nama perawi pada sanadnya.
Hadis Mudtarib; yang diriwayatkan melalui cara yang berbeda antara hadis yang satu dengan lainnya, padahal tidak mungkin untuk ditarjih (dipilih mana yang paling kuat).
Hadis Musahhaf; yang ada perubahan titik pada sanad dan huruf pada matan.
Hadis Muharraf, yang berubah syakal (tanda baca).
Hadis Mubham; yang perawinya samara atau tidak jelas.
Hadis Majhul; yang perawinya tidak dikenal, walaupun namanya ada tetapi hanya diriwayatkan oleh seorang perawi.
Hadis Mastur; yang diriwayatkan oleh perawi yang tidak diketahui kejujurannya.
Hadis Syazz; yang diriwayatkan oleh orang yang terpercaya tetapi bertentangan dengan hadis dari orang yang lebih terpercaya.
Hadis Mukhtalit; yang diriwayatkan oleh perawi yang sudah rusak hafalan atau catatannya.
Klasifikasi Sunnah/Hadis berdasarkan Sifat Pembentukannya
Sunnah Fi’liyyah[20], yaitu perbuatan yang dilakukan Nabi saw. yang dilihat, atau diketahui dan disampaikan para sahabat kepada orang lain. Misalnya, tata cara shalat.
Sunnah Qauliyyah, yaitu ucapan Nabi saw. yang didengar oleh dan disampaikan seorang atau beberapa sahabat kepada orang lain.
Sunnah Taqririyyah, yaitu perbuatan atau ucapan sahabat yang dilakukan di hadapan atau sepengetahuan Nabi saw., tetapi Nabi hanya diam dan tidak mencegahnya. Sikap Nabi ini menunjukkan persetujuannya.[21]
Sunnah Hammiyyah, yaitu yang berupa keinginan atau kehendak Nabi saw. yang kuat yang belum sempat terlaksana.
Sunnah Tarkiyyah, yaitu yang berupa hal yang ditinggalkan oleh Nabi saw.
Berdasarkan sandarannya; Marfu, Sunnah yang disandarkan kepada Nabi saw.; Mauquf, disandarkan kepada Sahabat, dan Maqthu’, disandarkan kepada Tabi’in.
Kehujjahan Sunnah
Ulama sepakat bahwa Sunnah merupakan sumber asli dari hukum-hukum syara’ dan menempati posisi kedua setelah al-Qur’an[22]. Bukti/alasannya adalah:
1.       Ayat-ayat al-Qur’an;
v      Q.S Ali Imran (3): 31, ان كنتم تحبون الله فاتبعوني يحببكم الله
v      Q.S. al-Ahzab (33): 21, لقد كان لكم فى رسول الله اسوة حسنة
v      Q.S. al-Hasyr (59): 7, ومااتاكم الرسول فخذوه ومانهاكم عنه فانتهوا
v     Q.S. an-Nisa’ (4): 59, ياايهاالذين امنوا اطيعواالله واطيعواالرسول واولى الامرمنكم فان تنازعتم في شيئ فردوه الى الله والرسول
v      Rasulullah sendiri mengatakan, الا اني اوتيت القران ومثله معه
“Sesungguhnya pada saya telah diturunkan al-Qur’an dan yang semisalnya[23]. (HR.Bukhari & Muslim)
  1. Akal; banyak sekali ayat al-Qur’an yang masih mujmal, oleh karenanya memerlukan tafshil dari Sunnah.
Fungsi Sunnah terhadap al-Qur’an
Sunnah Rasulullah adakalanya berbentuk mendukung/menguatkan hukum-hukum yang ada dalam al-Qur’an (ta’kid), menjelaskan (tabyin), dan mensyari’atkan hukum yang didiamkan al-Qur’an[24]. Penjelasan Rasulullah terhadap al-Qur’an ada beberapa bentuk, yaitu:
  1. Memerinci hukum global, seperti kewajiban shalat. Rasulullah-lah yang menjelaskannya.
  2. Menjelaskan maksud hukum mutlak, seperti perintah memotong tangan pencuri. Rasul menjelaskan bahwa “tangan yang dipotong itu sampai pergelangan tangan dan nisab barang yang dicuri itu seperempat dinar” (HR. al-Bukhari dan Muslim).
  3. Mengkhususkan hukum-hukum yang bersifat umum. Seperti dalam an-Nisa’ (4): 11, يوصيكم الله في اولادكم , kalimat “anak-anakmu” bersifat umum, yaitu seluruh anak. Akan tetapi, apabila anak itu sengaja membunuh ayahnya agar cepat mendapatkan warisan, Rasul menjelaskan bahwa “Pembunuh tidak mendapat pembagian warisan” (HR. Muslim).
E. Dalil dan Metode Penggalian Hukum Islam
1. Ijma’
Secara etimologi, Ijma’ (الاءجماع) berarti “kesepakatan/ konsesus” dan atau العزم على شيئ (ketetapan hati untuk melakukan sesuatu). Sedangkan menurut istilah ahli UF, ijma adalah:
اتفاق جميع المجتهدين من المسلمين فى عصر من العصوربعد وفاة الرسول على حكم شرعي فى واقعة
“Kesepakaan seluruh mujtahid muslim pada suatu masa tertentu setelah wafatnya Rasulullah saw. atas suatu Hukum Syara’ pada peristiwa yang terjadi”[25].
Rukun dan Syarat Ijma’
a.       Yang terlibat dalam ijma’ adalah seluruh mujtahid. Jika ada yang tidak setuju, maka hukum yang dihasilkan itu tidak dinamakan hukum ijma.
b.       Melibatkan seluruh mujtahid yang ada pada masa tersebut dari berbagai belahan dunia Islam.
c.       Kesepakatan itu diawali setelah masing-masing mujtahid mengemukakan pandangannya.
d.       Hukum yang disepakati itu adalah hukum syara yang bersifat aktual dan tidak ada hukumnya secara rinci dalam al-Qur’an.
e.       Sandaran hukum ijma tersebut adalah al-Qur’an dan atau Sunnah.
Adapun syarat-syaratnya, adalah:
a.       Yang melakukan ijma tersebut adalah orang-orang yang memenuhi persyaratan ijtihad.
b.       Kesepakatan itu muncul dari para mujtahid yang bersifat adil (berpendirian kuat terhadap agamanya).
c.       Para mujtahid yang terlibat adalah yang berusaha menghindarkan diri dari ucapan atau perbuatan bid’ah.
Berdasarkan rukun dan syarat ijma tersebut maka untuk masa sekarang, untuk terjadinya ijma sebagaimana ynag didefinisikan jumhur ulama, sangat sulit. Ulama UF kontemporer, seperti Muhammad Abu Zahrah, al-Khudari Bek, Abdul Wahhab Khallaf[26], Fathi ad-Duraini (guru besar fiqh dan UF di Univ. Damaskus, Syiria) dan Wahbah az-Zuhaili, mengatakan bahwa ijma yang mungkin terjadi hanyalah di zaman sahabat. Adapun pada masa sesudahnya, untuk melakukan ijma tidak mungkin, karena luasnya wilayah Islam dan tidak mungkin mengumpulkan seluruh ulama pada satu tempat.[27]
Sebaliknya, mayoritas ulama klasik berpendapat, tidaklah sulit untuk melakukan ijma, bahkan secara aktual ijma itu telah ada. Seperti kesepakatan tentang pembagian waris bagi nenek sebesar seperenam dan larangan menjual makanan yang belum ada di tangan penjual.[28]
Kehujjahan Ijma’
Jumhur ulama UF berpendapat apabila rukun dan syarat ijma telah terpenuhi, maka ijma tersebut menjadi hujjah yang qath’i (pasti), wajib diamalkan dan tidak boleh mengingkarinya; permasalahan yang telah ditetapkan hukumnya melalui ijma, tidak boleh lagi menjadi pembahasan ulama generasi berikutnya, karena telah qath’i dan menempati urutan ketiga sebagai dalil syara.[29]
Akan tetapi, Ibrahim ibn Siyar an-Nazzam (tokoh Mu’tazilah), ulama khawarij dan ulama Syi’ah berpendapat bahwa ijma tidak bisa dijadikan hujjah.[30]
Tingkatan Ijma’
Ditinjau dari segi cara menghasilkannya, ada dua macam ijma, yaitu:
a.       Ijma Sharih, yaitu kesepakatan para mujtahid pada suatu masa atas hukum suatu peristiwa dengan menyampaikan pendapat masing-masing secara jelas, baik dengan perkataan,  tulisan atau juga dengan perbuatan (jika ijma seperti ini dapat terjadi, maka hukum yang dihasilkan dapat dijadikan hujjah dan kekuatan hukumnya bersifat qath’i).[31]
b.       Ijma Sukuti, yaitu pendapat sebagian mujtahid pada satu masa tentang hukum suatu masalah dan tersebar luas, sedangkan sebagian mujtahid lainnya hanya diam saja setelah meneliti pendapat mujtahid yang dikemukakan di atas, tanpa ada yang menolak pendapat tersebut.
Dalam persoalan ijma sukuti ini terdapat perbedaan pendapat, apakah masuk kategori ijma dan bisa dijadikan hujjah?. Ulama Malikiyyah, Syafi’iyyah dan Abu Bakar al-Baqilani (ahli fiqh Maliki), berpendapat tidak termasuk ijma dan tidak bisa dijadikan hujjah[32]. Mayoritas ulama Hanafiyyah dan Imam Ahmad ibn Hanbal[33] mengatakan bahwa termasuk ijma dan bisa dijadikan hujjah yang qath’i; Abu ‘Ali al-Jubba’i (tokoh Mu’tazilah) berpendapat bahwa ijma sukuti dapat dikatakan ijma apabila generasi mujtahid yang menyepakati hukum tersebut telah habis, karena apabila mujtahid lain bersikap diam saja terhadap hukum yang disepakati sebagian mujtahid itu sampai mereka wafat, maka kemungkinan adanya mujtahid yang membantah hukum tersebut tidak ada lagi; dan al-Amidi, Ibn al-Hajib, dan al-Karkhi (ahli ushul Hanafi) berpendapat bahwa ijma sukuti tidak bisa dikatakan ijma’, tetapi dapat dijadikan hujjah (zhanni).
2. Qiyas
Pengertian Qiyas
Menurut bahasa qiyas(القياس)berarti ukuran, mengetahui ukuran sesuatu, membandingkan, atau menyamakan sesuatu dengan yang lainnya. Sedangkan secara terminologi, Wahbah az-Zuhaili menyimpulkan bahwa qiyas :
الحاق امرغيرمنصوص على حكمه الشرعي بامرمنصوص على حكمه لاشتراكهما فى علة الحكم
“Menyatukan sesuatu yang tidak disebutkan hukumnya dalam nash dengan sesuatu yang disebutkan hukumnya oleh nash, disebabkan kesatuan illat hukum antara keduanya”.
Dengan pengertian seperti ini, maka ulama UF sepakat menyatakan bahwa proses penetapan hukum melalui metode qiyas bukanlah menetapkan hukum dari awal (isbat al-hukm wa insya’uh), melainkan hanya menyingkapkan dan menjelaskan hukum (al-kasyf wal-izhhar lil-hukm) yang ada pada suatu kasus yang belum jelas hukumnya. Penyingkapan dan penjelasan ini dilakukan melalui pembahasan mendalam dan teliti terhadap illat dari suatu kasus yang sedang dihadapi. Apabila illat-nya sama dengan illat hukum yang disebutkan dalam nash, maka hukum terhadap kasus yang dihadapi itu adalah hukum yang telah ditentukan nashnya tersebut[34].
Rukun Qiyas dan Syarat-Syaratnya
1.       al-Ashl (الاصل ), merupakan obyek yang telah ditetapkan hukumnya oleh nash dan ijma; obyek ini disebut juga “maqis alaih, musyabbah bih, atau mahmul alaih”. Menurut imam al-Ghazali dan Saifuddin al-Amidi (keduanya Syafi’iyyah), syarat-syarat Ashl adalah:
a.       Hukum ashl itu adalah hukum yang telah tetap dan tidak mengandung kemungkinan di-naskh-kan,
b.      Hukum itu ditetapkan berdasarkan syara’,
c.       Ashl itu bukan merupakan far’u dari ashl lainnya, dan
d.      Dalil yang menetapkan illat pada ashl itu adalah dalil khusus, tidak bersifat umum.
2.  Hukum al-Ashl (حكم الاصل), hukum pada ashl yang berdasarkan nash atau ijma yang akan diberlakukan kepada far’u. Syarat-syaratnya:
a. Tidak bersifat khusus; dalam artian tidak bisa dikembangkan kepada far’u. Misalnya:    من شهد له خزيمة فحسبه Kesaksian Khuzaimah sendirian sudah cukup. (HR. Abu Daud, Ahmad ibn Hanbal, al-Hakim, at-Tirmidzi dan an-Nasa’i)[35].
b. Hukum ashl itu tidak keluar dari ketentuan-ketentuan qiyas. Maksudnya suatu hukum yang ditetapkan berbeda dengan kaidah qiyas, maka hukum lain tidak boleh diqiyaskan kepada hukum itu. Menurut Wahbah az-Zuhaili, hal ini bisa terjadi dalam dua hal, yaitu:
Ø      Hukum yang ditetapkan itu tidak bisa dinalar (gair ma’qulil-ma’na), seperti kesaksian Khuzaimah tadi.
Ø      Hukum itu merupakan hukum pengecualian yang disyari’atkan sejak semula, seperti adanya rukhshah bagi musafir untuk menjamak-qashar shalat.
c.      Tidak ada nash yang menjelaskan hukum far’u yang akan ditentukan hukumnya; apabila hukum ashl mencakup hukum ashl pada satu pihak dan hukum far’u pada pihak lain, maka dalil yang mengandung hukum ashl juga merupakan dalil bagi hukum far’u. Dalam kasus seperti ini tidak diperlukan qiyas.
d.      Hukum ashl itu lebih dahulu disyari’atkan dari far’u. Dalam kaitan ini, tidak boleh mengqiyaskan wudhu pada tayamum, sekalipun illatnya sama, karena syari’at wudhu lebih dahulu daripada tayamum.
e.   Hukum ashl tidak berubah setelah dilakukan qiyas.[36]
3.   al-Far’u (الفرع), adalah obyek (masalah baru) yang belum ada hukumnya. Far’u ini disebut juga “Maqis, mahmul, atau musyabbah”. Syaratnya:
a. Mempunyai kesamaan illat dengan ashl, baik pada zatnya maupun pada jenisnya.[37]
b. Hukum far’u tidak mendahului hukum ashl.
c. Tidak ada nash atau ijma yang menjelaskan hukum far’u.[38]
4.  Illat (العلة), adalah sifat yang  menjadi motiv dalam menentukan hukum.
Kehujjahan Qiyas
Para UF berbeda pendapat. Jumhur ulama berpendirian bahwa qiyas bisa dijadikan sebagai metode atau sarana untuk mengistinbatkan hukum syara’. Bahkan lebih dari itu, Syari’ menuntut pengamalan qiyas. Argumen mereka dari al-Qur’an, Sunnah, ijma dan logika, sebagai berikut:
1.       a.  Surat al-Hasyr (59): 2, فاعتبروا يااولى الابصار
Maka ambillah (kejadian itu) untuk menjadi pelajaran, hai orang-orang yang mempunyai pandangan.[39]
Mengambil pelajaran dari satu peristiwa, menurut jumhur ulama, termasuk qiyas. Oleh sebab itu, penetapan hukum melalui qiyas yang disebut Allah dengan al-i’tibar adalah boleh, bahkan al-Qur’an memerintahkannya.
b.      Seluruh ayat yang mengandung illat sebagai penyebab munculnya hukum (karena inilah makna qiyas) tersebut, misalnya al-Baqarah (2): 179, tentang qisas pembunuhan, al-Baqarah (2): 222, tentang haid, al-Ma’idah (5): 91 tentang haramnya khamr.
2.       Hadis riwayat Mu’az ibn Jabal yang amat populer. Ketika Rasul mengutusnya sebagai hakim di Yaman, Rasul berdialog singkat:
ماذاتصنع ان عرض عليك قضاء؟ قال: اقضى بمافى كتاب الله, قال: فان لم تجد فى كتاب الله؟ قال: فبسنة رسول الله ص.م. قال: فان لم يكن فى سنة رسول الله؟ قال: اجتهد برايى ولاالوا. فضرب رسول الله على صدرمعاذ وقال الحمدلله الذى وفق رسول رسول الله لمايرضى رسول الله – رواه احمدابن حنبل وابوداودوالترمذىوالطبرانى-
Dalam Hadis ini, menurut Jumhur, Rasulullah saw. mengakui ijtihad berdasarkan pendapat akal, dan qiyas termasuk ijtihad melalui akal.[40]
3.       Ijma para sahabat
Dalam prakteknya, para sahabat menggunakan qiyas, seperti pendapat Abu Bakar tentang masalah kalalah, yang menurutnya adalah orang yang tidak mempunyai ayah dan anak laki-laki (pendapat ini berdasarkan pendapat akalnya), dan petunjuk Umar ibn al-Khattab kepada Abu Musa al-Asy’ari ketika ia ditunjuk menjadi hakim di Bashrah Irak. Dalam suratnya yang panjang itu Umar menekankan agar dalam menghadapi berbagai persoalan yang tidak ditemukan dalam nash, agar ia menggunakan qiyas (kisah ini diriwayatkan oleh al-Baihaqi, Ahmad ibn Hanbal, dan al-Daruqutni). Menurut jumhur, terhadap pendapat keduanya, tidak ada satu pun sahabat yang membantah.
4.       Secara logika, menurut jumhur, hukum Allah mengandung kemaslahatan untuk umat manusia dan untuk itulah maka hukum disyari’atkan. Apabila seorang mujtahid menjumpai kemaslahatan yang menjadi illat dalam suatu hukum yang ditentukan oleh nash dan terdapat juga dalam kasus yang sedang ia carikan hukumnya, maka ia menyamakan hukum kasus tersebut dengan hukum yang ada. Dasarnya adalah ada kesamaan illat.
Berbeda dengan jumhur, para ulama Mu’tazilah berpendapat bahwa qiyas wajib diamalkan dalam dua hal saja, yaitu:
1.       Illatnya manshush (disebutkan dalam nash) baik secara nyata maupun melalui isyarat. Misalnya Hadis: انمانهيتكم عن ادخارلحوم الاضاحى لاجل الدافة الافادخروا
“Dahulu saya melarang menyimpan daging kurban untuk kepentingan ad-daffah (para tamu dari perkampungan Badui yang datang ke Madinah dan membutuhkan daging kurban), sekarang simpanlah daging itu (HR al-Bukhari, Muslim, an-Nasa’i, at-Tirmidzi, Abu Dawud, dan Ibn Majah)
2.       Hukum far’u harus lebih utama daripada hukum ashl. Misalnya mengqiyaskan hukum memukul kedua ibu bapak kepada hukum mengatakan “ah” kepada keduanya.
Ulama Zahiriyyah, termasuk Imam asy-Syaukani berpendapat bahwa secara logika, qiyas memang boleh, tetapi tidak ada satu nash pun yang menyatakan wajib melaksanakannya.
Ulama Syi’ah Imamiyyah dan an-Nazzam dari Mu’tazilah menyatakan bahwa qiyas tidak bisa dijadikan landasan hukum dan tidak wajib diamalkan, karena kewajiban ini mustahil menurut akal.
Alasan penolakan mereka terhadap qiyas adalah:
1.       Firman Allah dalam al-Hujurat (49): 1, ياايهاالذين امنوالاتقدموابين يدي الله ورسوله…
Ayat ini menurut mereka melarang seseorang beramal dengan sesuatu yang tidak ada dalam nash. Mempedomani qiyas, merupakan sikap seperti itu, dan karenanya dilarang. Selanjutnya dalam al-Isra (17): 36, ولاتقف ماليس لك به علم
Ayat ini, melarang seseorang beramal dengan sesuatu yang tidak diketahui secara pasti, dan qiyas termasuk sesuatu yang tidak pasti itu. Dan dalam Yunus (10): 36, ان الظن لايغنى من الحق شيا
Menurut mereka, qiyas itu bersifat Zhann (persangkaan), dan karenanya tidak berguna untuk menetapkan hukum.
2.      Hadis, ان الله فرض فرئض فلاتضيعوها, وحدحدودا فلاتعتدوها, وحرم اشياء فلاتنتهكوها, وسكت عن اشياء رحمة لكم غيرنسيان فلاتبحثوا عنها-رواه الدارقطنى-
Sesungguhnya Allah menentukan berbagai ketentuan, maka janganlah kamu abaikan; menentukan beberapa batasan, jangan kamu langgar; Dia haramkan sesuatu, maka jangan kamu langgar larangan itu; Dia juga mendiamkan hukum sesuatu sebagai rahmat bagimu, tanpa unsur kelupaan, maka janganlah kamu bahas hal itu”. (HR al-Daruqutni)
Hadis ini menunjukkan bahwa sesuatu itu adakalanya wajib, haram, dan diamkan saja yang hukumnya berkisar antara dimaafkan dan mubah. Apabila diqiyaskan sesuatu yang diidamkan syara’ kepada wajib, misalnya, maka ini berarti telah menetapkan hukum wajib kepada sesuatu yang dimaafkan atau dibolehkan.
3. Mereka juga beralasan dengan sikap sebagian sahabat yang mencela qiyas, meskipun sebagian sahabat lainnya bersikap diam atas celaan itu. Hal ini menunjukkan para sahabat secara diam-diam sepakat (ijma sukuti) untuk mencela qiyas.[41]
‘Illat
1. Definisi Illat
Secara etimologi, Illat berarti nama bagi sesuatu yang menyebabkan berubahnya keadaan sesuatu yang lain karena keberadaannya. Misalnya penyakit itu dikatakan illat karena dengan adanya penyakit tersebut tubuh manusia berubah dari sehat menjadi sakit. Adapun secara terminologi, terdapat beberapa definisi illat yang dikemukakan oleh ulama UF. Mayoritas ulama Hanafiyyah, sebagian ulama Hanabilah, dan Imam Baidhawi (tokoh UF Syafi’iyyah) merumuskan definisi illah dengan: الوصف المعرف للحكم
“Suatu sifat (yang berfungsi) sebagai pengenal bagi suatu hukum”.
Sebagai pengenal bagi suatu hukum; apabila terdapat suatu illat pada sesuatu, maka hukum pun ada/ karena keberadaan illat itulah hukum itu dikenal. Kalimat “sifat pengenal” dalam rumusan tersebut, menurut mereka sebagai tanda atau indikasi keberadaan suatu hukum. Misalnya khamr itu diharamkan karena adanya sifat memabukkan yang terdapat dalam khamr.
Imam al-Ghazali mengemukakan definisi illat sebagai berikut:
المؤثر فى الحكم بجعله تعالى لابالذات
“Sifat yang berpengaruh terhadap hukum, bukan karena zatnya, melainkan atas perbuatan Syari’”.
Menurut al-Ghazali, pengaruh illat terhadap hukum bukan dengan sendirinya, melainkan harus karena adanya ijin Allah. Allahlah yang menjadikan illat itu berpengaruh terhadap hukum. Definisi ini dibantah oleh kaum Mu’tazilah yang mendefinisikan illat sebagi sifat yang secara langsung mempengaruhi hukum, bukan atas kehendak atau perbuatan Allah.[42]
Terlepas dari perbedaan pendapat mereka, para ulama UF menyatakan bahwa apabila disebut illat, maka biasanya yang dimaksud adalah:
a.       Suatu hikmah yang menjadi motivasi dalam menetapkan hukum, berupa pencapaian kemaslahatan atau menolak mafsadah. Misalnya tercapainya berbagai manfaat bagi orang yang melakukan transaksi jual beli, karena jual beli itu dibolehkan.
b.       Sifat zahir yang dapat diukur dan sejalan dengan suatu hukum dalam mencapai suatu kemaslahatan baik berupa manfaat ataupun menghindarkan kemudharatan bagi manusia.
Pengertian “sifat yang zahir” adalah suatu sifat yang terdapat dalam suatu hukum yang dapat dinalar oleh manusia. Sedangkan pengertian “bisa diukur” adalah berlaku umum untuk setiap individu. Misalnya pencurian, pembunuhan sengaja, dan perzinahan merupakan sifat yang dapat diukur dan dinalar oleh manusia. Berdasarkan sifat itulah disyari’atkan hukuman potong tangan bagi pencuri, qisas bagi pembunuh sengaja, dan dera atau rajam bagi pelaku zina. Kemaslahatan yang akan dicapai dari penerapan  hukuman ini adalah terpeliharanya harta, jiwa, kehormatan seseorang dan lebih jauh lagi terpeliharanya stabilitas masyarakat. Dalam jual beli, walaupun yang menjadi unsur utamanya adalah sukarela antara kedua belah pihak, namun karena sifat sukarela itu termasuk permasalahan batin yang sulit ditangkap, maka syari’at Islam menggantikannya dengan ijab dan qabul. Dari ijab dan qabul inilah diketahui sifat sukarela tersebut, sehingga ia dapat diukur.
2. Hubungan antara Illat, Hikmah, dan Sebab
Para ulama sepakat bahwa yang menjadi pertimbangan dalam menetapkan hukum adalah “hikmah”, dan hikmah itulah illat. Namun ternyata—dalam prakteknya—banyak atau ada sebagian dari hikmah yang tidak konkrit/ wasfun khafiyyun (sebuah sifat atau kualitas yang abstrak dan tersembunyi) sehingga tidak dapat dijadikan bukti. Ini jelas menimbulkan masalah. Bagaimana mungkin mengaitkan atau mengistinbatkan hukum dengan sesuatu yang abstrak?, padahal kita tahu bahwa alasan hukum itu sebuah argumen. Contoh, kebolehan menjamak shalat, apa alasannya? Dijawab, karena adanya masyaqqah. Jawaban ini tidak tepat, karena masyaqqah adalah sesuatu yang abstrak. Maka timbullah ide untuk mencari hal lain yang mendekati dengan wasfun khafiyyun tadi, yaitu
(sesuatu yang diduga ada hikmah di dalamnya). Artinya, kalau wasfun itu ada, maka kuat dugaan kita bahwa hikmah itu ada, seperti melakukan perjalanan/ safar diduga kuat akan menimbulkan masyaqqah. Oleh karena itu jawaban atas kebolehan menjamak shalat adalah karena ‘safar’nya—diduga kuat menimbulkan masyaqqah–, bukan masyaqqah itu sendiri. Jadi, kalau tidak ada ‘wasfun zahir’nya, maka tidak boleh dijadikan illat, karena akan banyak ketetapan hukum yang diputuskan dengan ketidakjelasan.
Namun tidak semua hikmah itu abstrak, karena ada hikmah yang dapat secara langsung mempengaruhi hukum. Contohnya dalam firman Allah surat al-Hasyr (59): 7,
ماافاءالله على رسوله من اهل القرى فلله والرسول ولذى القربى واليتامى والمساكين وابن السبيل كي لايكون دولةبين الاغنياءمنكم
Kalimat bergaris bawah itu jelas sekali. Sehingga berdasarkan ayat ini Umar ibn al-Khattab tidak memberikan tanah pertanian di Iraq (hasil rampasan perang) kepada orang yang ikut berperang.
Jumhur ulama UF juga membedakan antara illat dengan sebab. Menurut mereka, sebab lebih umum kandungannya dari illat. Setiap illat adalah sebab, tetapi tidak setiap sebab adalah illat; apabila suatu sifat sejalan dengan suatu hukum dan dapat ditangkap akal manusia, maka sifat itu disebut sebagai illat sekaligus juga sebab. Misalnya transaksi jual beli yang menunjukkan kerelaan kedua belah pihak untuk memindahtangankan hak milik, disebut illat sekaligus sebab. Namun apabila persesuaian sifat dengan suatu hukum tidak bisa dinalar, maka sifat itu disebut sebab (bukan illat). Misalnya, tergelincirnya matahari dari titik kulminasi atas merupakan penyebab wajibnya shalat dhuhur. Tergelincirnya matahari tersebut dikaitkan dengan kewajiban shalat merupakan keterkaitan yang tidak bisa dinalar. Inilah yang disebut sebab, bukan illat.
3. Macam-macam Illat
Pembagian illat, di antaranya adalah dari segi cara mendapatkannya dan dari segi dapat atau tidaknya illat itu diterapkan pada kasus lain (segi cakupannya).
Cara mendapatkannya              Illah Mansusah (العلة المنصوصة)
Illah Mustanbathah (العلة المستنبطة)
Illat
Cakupannya                             Illah Muta’addiyah (العلة المتعدية)
Illah Qasirah (العلة القاصرة)[43]
Klasifikasi Qiyas[44]
Kekuatan illat yang terdapat pada furu’: Qiyas al-aulawi (القياس الاولوى), qiyas al-musawi (القياس المساوى), dan qiyas al-adna (القياس الادنى).
Kejelasan illat yang terdapat pada hukum: qiyas al-jali (القياس الجلى) dan qiyas al-khafi (القياس الخفى).
Keserasian illat dengan hukum: qiyas al-muassir ( القياس الؤثر) dan qiyas al- mula’im (القياس الملائم)
Dijelaskan/ tidaknya illat pada qiyas: qiyas al-ma’na (القياس المعنى), qiyas al-illat (القياس العلة), dan qiyas ad-dalalah (القياس الدلالة).
Metode pencarian illat: qiyas al-ikhalah (القياس الاخالة) qiyas asy-syabh                        (القياس الشبة), qiyas as-sibr (السبر  القياس),  dan qiyas at-tard (القياس الطرد).
3. ISTIHSAN
Pengertian Istihsan
Secara etimologi, istihsan berarti “menyatakan dan meyakini baiknya sesuatu”. Sedangkan secara terminologi, menurut Imam Abu Hasan al-Karkhi (Hanafiyyah), sebagaimana yang dikutip oleh oleh Abu Zahrah dalam kitab Usul Fiqh-nya, Istihsan adalah “penetapan hukum dari seorang mujtahid terhadap suatu masalah yang menyimpang dari ketetapan hukum yang ditetapkan pada masalah-masalah yang serupa, karena ada alasan yang lebih kuat yang menghendaki dilakukannya penyimpangan itu. Sedangkan Imam Malik, sebagaimana dinukil oleh Imam asy-Syatibi, mendefinisikan istihsan dengan:
الاخذ بمصلحة جزئية فى مقابلة دليل كلي
“memberlakukan kemaslahatan juz’i ketika berhadapan dengan kaidah umum”[45]
Ibn Qudamah (Hanafiyah) mendefinisikan istihsan dengan: “berpaling dari hukum dalam suatu masalah disebabkan adanya dalil khusus yang menyebabkan pemalingan ini, baik dari ayat al-Qur’an maupun dari Sunnah Rasul”.
Dari berbagai definisi tersebut, dapat disimpulkan bahwa esensi dari istihsan, adalah:
1.       mentarjih qiyas al-khafi daripada qiyas al-jali, karena ada dalil yang mendukungnya, dan
2.       memberlakukan pengecualian hukum juz’i dari hukum kulli atau kaidah umum, didasarkan pada dalil khusus yang mendukungnya.
Istihsan bin-nas
Macam-macam Istihsan Istihsan al-qiyas             Istihsan bil-ijma
Istihsan al-istisna’i         Istihsan bil-maslahah
Istihsan bil-urf dan bid-darurat [46]
Kehujjahan Istihsan
Ada perbedaan ulama UF dalam menetapkan istihsan sebagai salah satu metode/ dalil dalam menentukan hukum syara’. Menurut ulama Hanafiyyah, Malikiyyah dan sebagian Hanabilah, istihsan merupakan dalil yang kuat dalam istinbat hukum. Alasan mereka adalah:
1.      ayat-ayat yang mengacu kepada menghilangkan kesulitan dan kesempitan dari umat manusia, yaitu firman Allah, surat al-Baqarah (2): 185, يريدالله بكم اليسر ولايريد بكم العسر
2.      Rasulullah dalam riwayat Abdullah ibn Mas’ud mengatakan:
ماراه المسلمون حسنافهوعندالله حسن
“sesuatu yang dipandang baik oleh umat Islam, maka di hadapan Allah juga adalah baik”
3.      Hasil penelitian dari berbagai ayat dan hadis terhadap berbagai permasalahan yang terperinci, menunjukkan bahwa memberlakukan hukum sesuai dengan kaidah umum dan qiyas adakalanya membawa kesulitan. Sedangkan syari’ah Islam ditujukan untuk menghasilkan dan mencapai kemaslahatan. Oleh karena itu, apabila seorang mujtahid dalam menetapkan hukum memandang bahwa kaidah umum atau qiyas tidak tepat diberlakukan, maka ia boleh berpaling kepada kaidah lain yang akan dapat memberikan hukum lebih sesuai dengan kemaslahatan umat manusia.[47]
Sedangkan ulama Syafi’iyyah, Zahiriyyah, Mu’tazilah, dan Syi’ah tidak menerima istihsan sebagai salah satu dalil. Alasan mereka, sebagaimana yang dikemukakan Imam asy-Syafi’i:
1.       Hukum-hukum syara itu ditetapkan berdasarkan Nas dan pemahamannya melalui kaidah qiyas. Istihsan bukan nas dan bukan pula qiyas. Jika istihsan berada di luarnya, berarti ada hukum-hukum yang belum ditetapkan Allah yang tidak dicakup oleh nas dan tidak bisa dipahami dengan kaidah qiyas. Hal ini tidak sejalan dengan al-Qiyamah (75): 36,
ايحسب الانسان ان يترك سدى
2.       Sejumlah ayat telah menuntut umat Islam untuk taat dan patuh kepada Allah dan Rasul-Nya, dan melarang secara tegas mengikuti hawa nafsu. Dalam berbagai persoalan yang dihadapi, Allah memerintahkan untuk merujuk kepada al-Qur’an dan hadis.
3.       Istihsan adalah upaya penetapan hukum dengan akal dan hawa nafsu saja. Jika boleh meninggalkan nas dan qiyas—dan mengambil dalil lain—maka hal itu berarti membolehkan seseorang yang tidak bisa memahami nas dan qiyas menetapkan hukum berdasarkan istihsan, karena mereka juga mempunyai akal. Akibatnya akan bermunculan fatwa-fatwa hukum yang didasarkan pada pendapat akal semata, sekaligus merupakan upaya pengabaian terhadap nas.
4.       Rasulullah tidak pernah mengeluarkan fatwanya berdasarkan istihsan. Ketika ditanya tentang hukuman suami yang mengucapkan kata-kata zihar, beliau diam saja sambil menunggu turunnya ayat zihar (QS. Al-Mujadilah [58]: 2-4). Begitu juga kasus li’an. Kalau Rasul saja tidak mau menetapkan hukum berdasarkan istihsan, maka sewajarnyalah umat Islam tidak menetapkan hukum atas dasar istihsan.
5.       Rasulullah telah membantah fatwa sebagian sahabat yang berada di daerah ketika mereka menetapkan hukum berdasarkan istihsan. Misalnya kasus Usamah ibn Yazid (tetap membunuh kafir yang sudah bersyahadat dengan alasan syahadatnya hanya pura-pura karena diancam pedang).
6.       Istihsan tidak mempunyai kriteria dan tolok ukur yang jelas dan dapat dipertanggungjawabkan secara syar’i, sehingga tidak dapat dijadikan dalil dalam menetapkan hukum.
Muhammad Abu Zahrah menilai alasan penolakan asy-Syafi’i atas kehujjahan istihsan tersebut tidak bersifat menyeluruh kepada semua bentuknya. Alasan-alasan itu hanya berlaku bagi istihsan yang didasarkan atas urf dan maslahah mursalah (karena keduanya memang diperselisihkan oleh ulama Syafi’iyyah sebagai metode istinbat hukum, apabila tidak didukung oleh nas). Sedangkan untuk istihsan yang didasarkan pada nas, ijma, dan karena darurat, alasan yang dikemukakan oleh Imam asy-Syafi’i tidak tepat, karena istihsan seperti itu tidak lepas dari nas dan ijma, serta tidak terlepas dari kaidah qiyas.
Sekalipun konsep istihsan yang pertama kali dikemukakan oleh Imam Abu Hanifah kurang rinci dan jelas, sehingga mendapat penolakan keras dari Imam asy-Syafi’i—yang menganggap istihsan membuat-buat syara’ sendiri—namun konsep istihsan yang ditawarkan oleh murid-murid dan pengikut Abu Hanifah lebih disempurnakan, diperjelas, dan dirinci secara sistematis. Berdasarkan konsep yang sudah sempurna ini, ulama Malikiyyah dan sebagian Hanabilah pun menerimanya sebagai salah satu metode dalam meng-istinbat-kan hukum.
Bahkan Imam al-Ghazali ketika membahas istihsan menyatakan bahwa perpalingan dari kehendak qiyas kepada dalil lain tersebut, disepakati oleh seluruh ulama UF, namun perpalingan itu tidak dinamakan istihsan. Artinya secara konsep, apa yang dinamakan istihsan itu diterima Imam al-Ghazali, tetapi penamaan konsep itu dengan istihsan tidak diterimanya, karena pemakaian istilah tersebut cenderung mengacu kepada membuat-buat syara sendiri.
Abdul Wahhab Khallaf menyatakan bahwa adanya perbedaan pendapat antara mereka yang menerima dan menolak istihsan terjadi karena mereka tidak sepakat dalam mendefinisikan makna istihsan. Mereka yang menolak istihsan, ternyata dalam prakteknya berpendapat sama dengan ulama yang menerima. Dalam masalah mudarabah, berbuka puasa bagi musafir, dan hukum-hukum lain yang dikemukakan ulama pendukung istihsan, juga diterima oleh para penolak kehujjahannya. Oleh sebab itu tidak ada alasan untuk menolak istihsan apabila dilakukan berdasarkan dalil yang didukung syara, termasuk berdasarkan induksi dari berbagai ayat dan hadis. Adapun istihsan yang dilakukan semata-mata berdasarkan pendapat akal, maka seluruh ulama UF menolaknya, karena dalam masalah hukum syara, pendapat akal harus mendapat legislasi dari nas. Dengan demikian titik perbedaan sebenarnya terletak pada penamaan, bukan pada substansi konsep.
4.      Maslahah
Pengertian Mashlahah
Secara etimologi, maslahah sama dengan manfaat, baik dari segi lafal maupun makna. Maslahah juga berarti manfaat atau suatu pekerjaan yang mengandung manfaat. Apabila dikatakan bahwa perdagangan itu suatu kemaslahatan dan menuntut ilmu itu suatu kemaslahatan, maka hal tersebut berarti bahwa perdagangan dan menuntut ilmu itu penyebab diperolehnya manfaat lahir dan batin.
Secara terminologi, Imam al-Ghazali mengemukakan bahwa pada prinsipnya maslahah adalah “mengambil manfaat dan menolak kemudaratan dalam rangka memelihara tujuan-tujuan syara”. Adapun tujuan syara yang harus dipelihara ada lima bentuk, yaitu: memelihara agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta. Apabila seseorang melakukan suatu perbuatan yang pada intinya untuk memelihara kelima aspek tersebut (begitu juga upaya untuk menolak segala bentuk kemudaratan yang berkaitan sengan kelima aspek), maka dinamakan maslahat. Di samping itu yang dijadikan patokan dalam menentukan kemaslahatan itu adalah kehendak dan tujuan syara, bukan kehendak dan tujuan manusia, karena kemaslahatan manusia tidak selamanya sesuai dengan kehendak syara, tetapi sering didasarkan kepada kehendak hawa nafsu.[48]
Segi kualitas:        Maslahah ad-Daruriyyah (المصلحة الضرورية)
Maslahah al-Hajiyah (المصلحة الحاجية)
Maslahahat-Tahsiniyyah (المصلحة التحسينية)
Maslahah Segi kandungan:         Maslahah al-Ammah (المصلحة العامة)
Maslahah al-Khassah (الخاصة المصلحة)
Berubah/ tidaknya:      Maslahah as-Sabitah (الثابتة المصلحة)
Maslahah al-Mutagayyirah (المصلحة المتغيرة)
Keberadaannya menurut syara’:    Maslahah al-Mu’tabarah(المعتبرة المصلحة)
Maslahah al-Mulgah(المصلحة الملغاة)
Maslahah al-Mursalah(المرسلة المصلحة);
M. al-Garibah & M. al-Mursalah
Keterangan:
Maslahah Daruriyyah, yaitu kemaslahatan yang berhubungan dengan kebutuhan pokok umat manusia di dunia dan akhirat, yaitu memelihara agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta. Kelima kemaslahatan ini disebut al-masalih al-khamsah (المصالح الخمسة).[49]Maslahah Hajiyah, yaitu kemaslahatan yang dibutuhkan dalam menyempurnakan kemaslahatan pokok (mendasar) sebelumnya yang berbentuk keringanan untuk mempertahankan dan memelihara kebutuhan dasar manusia.[50]sedangkan maslahah Tahsiniyyah, yaitu kemaslahatan yang sifatnya pelengkap berupa keleluasaan yang dapat melengkapi kemaslahatan sebelumnya. Misalnya, dianjurkan untuk memakan makanan yang bergizi, berpakaian yang bagus-bagus, melakukan ibadah-ibadah sunnah sebagai amalan tambahan, dan berbagai jenis cara menghilangkan najis dari badan manusia. Ketiga kemaslahatan ini perlu dibedakan, sehingga seorang muslim dapat menentukan prioritas dalam mengambil suatu kemaslahatan. Kemaslahatan Daruriyyah harus lebih didahulukan daripada Hajiyah, dan kemaslahatan Hajiyah lebih didahulukan dari kemaslahatan Tahsiniyyah.
Maslahah Ammah, yaitu kemaslahatan umum yang menyangkut kepentingan orang banyak; tidak berarti untuk kepentingan semua orang, tetapi bisa berbentuk kepentingan mayoritas umat atau kebanyakan umat. Misalnya para ulama membolehkan membunuh penyebar bid’ah yang dapat merusak aqidah umat, karena menyangkut kepentingan orang banyak. Maslahah Khassah, kemaslahatan pribadi dan ini sangat jarang sekali, seperti kemaslahatan yang berkaitan dengan pemutusan hubungan perkawinan seseorang yang dinyatakan hilang (mafqud). Jika terjadi pertentangan antara keduanya, maka kemaslahatan umum harus diprioritaskan dari kemaslahatan pribadi.
Maslahah sabitah, kemaslahatan yang bersifat tetap, tidak berubah sampai akhir zaman. Misalnya berbagai kewajiban ibadah, seperti shalat, puasa, dll; Maslahah Mutagayyirah, kemasalahatan yang berubah-ubah sesuai dengan perubahan tempat, waktu, dan subyek hukum. Kemaslahatan ini berkaitan dengan permasalahan muamalah dan adat kebiasaan. Seperti makanan yang berbeda-beda antara satu daerah dengan lainnya.[51]
Maslahah Mu’tabarah (yang didukung syara). Maksudnya ada dalil khusus yang menjadi dasar bentuk dan jenis kemaslahatan tersebut. Misalnya Umar ibn al-Khattab mengqiyaskan hukuman bagi peminum minuman keras kepada orang yang menuduh berbuat zina, dengan 80 dera (padahal hadis Rasul tentang peminum hanya 40 dera dengan alat yang berbeda-beda; sandal dan pelepah kurma). Alasannya, seseorang yang mabuk, bicaranya tidak terkontrol dan diduga keras akan menuduh orang lain berbuat zina. Inilah yang dimaksud para ulama UF dengan kemaslahatan yang jenisnya didukung oleh syara’.[52] Kemaslahatan yang mendapat dukungan syara—baik jenis maupun bentuknya—menurut kesepakatan ulama, dapat dijadikan landasan hukum; Maslahah Mulgah, yaitu kemaslahatan yang ditolak oleh syara, karena bertentangan dengan ketentuan syara. Misalnya, syara menentukan bahwa orang yang melakukan hubungan seksual di siang hari bulan Ramadhan dikenakan hukuman dengan memerdekakan budak, atau berpuasa dua bulan berturut-turut, atau memberi makan 60 orang fakir miskin (HR, al-Bukhari dan Muslim). Namun al-Laits ibn Sa’ad (ahli fiqh Maliki di Spanyol), menetapkan hukuman puasa dua bulan berturut-turut bagi seorang penguasa Spanyol yang melakukan hal itu. Para ulama memandang hukum ini bertentangan dengan hadis di atas, karena bentuk hukuman itu harus diterapkan secara berurutan. Apabila tidak mampu memerdekakan budak, baru dikenakan hukuman puasa. Kemaslahatan seperti ini, tidak bisa dijadikan landasan hukum. Maslahah Mursalah, yaitu kemaslahatan yang keberadaannya tidak didukung dan tidak pula dibatalkan/ ditolak syara melalui dalil yang rinci; 1. al-Garibah, kemaslahatan yang asing, atau kemaslahatan yang sama sekali tidak ada dukungan dari syara baik secara rinci maupun secara umum (tidak ada contoh pasti; kemaslahatan ini hanya ada dalam teori). 2. al-Mursalah, kemaslahatan yang tidak didukung dalil syara atau nash yang rinci, tetapi didukung oleh sekumpulan makna nas (ayat atau hadis).[53]
Kehujjahan Maslahah
Para ulama UF sepakat menyatakan bahwa maslahah al-mu’tabarah dapat dijadikan sebagai hujjah. Kemaslahatan seperti ini termasuk dalam metode qiyas. Mereka juga sepakat bahwa maslahah al-mulgah tidak dapat dijadikan hujjah dalam menetapkan hukum Islam, demikian juga maslahah al-garibah, karena tidak ditemukan dalam praktek syara. Adapun terhadap kehujjahan maslahah al-mursalah, pada prinsipnya Jumhur Ulama menerimanya sebagai salah satu alasan dalam menetapkan hukum syara, sekalipun dalam penerapan dan penempatan syaratnya, mereka berbeda pendapat.
Ulama Hanafiyyah menerima maslahah al-mursalah dengan syarat sifat kemaslahatan itu terdapat dalam nas atau ijma dan jenis sifat kemaslahatan itu sama dengan jenis sifat yang didukung oleh nas atau ijma[54]. Penerapan konsep maslahah al-mursalah di kalangan Hanafiyyah terlihat secara luas dalam metode istihsan.
Ulama Malikiyyah dan Hanabilah menerima maslahah al-mursalah[55] sebagai dalil dalam menetapkan hukum, bahkan mereka dianggap sebagai ulama fiqh yang paling banyak dan luas menerapkannya. Menurutnya maslahah al-mursalah merupakan induksi dari logika sekumpulan nas, bukan dari nas yang rinci seperti yang berlaku dalam qiyas. Bahkan Imam asy-Syatibi mengatakan bahwa keberadaan dan kualitas maslahah al-mursalah itu bersifat pasti (qath’i), sekalipun dalam penerapannya bisa bersifat zhanni (relatif). Misalnya dalam sebuah hadis, Rasululullah—sebagai pihak penguasa– tidak mau ikut campur/ menentukan harga pasar, karena sikap itu termasuk zalim (HR. al-Bukhari dan Muslim). Akan tetapi, apabila kenaikan harga barang itu bukan karena sedikitnya komoditi, tetapi karena ulah para pedagang, maka  ulama Malikiyyah dan Hanabilah membolehkan pemerintah campur tangan dalam regulasi harga, dengan pertimbangan “untuk kemaslahatan” para konsumen.
Ulama Syafi’iyyah, pada dasarnya juga menjadikan maslahah sebagai salah satu dalil syara. Akan tetapi Imam asy-Syafi’i memasukkannya ke dalam qiyas. Misalnya mengqiyaskan hukuman peminum khamr dengan  hukuman penuduh zina. Al-Gazali bahkan membahas secara luas dalam kitab-kitabnya. Menurut al-Gazali, ada beberapa syarat agar kemaslahatan itu dapat dijadikan hujjah, yaitu:
  1. Maslahah itu sejalan dengan jenis tindakan-tindakan syara
  2. Maslahah itu tidak meninggalkan atau bertentangan dengan nas syara
  3. Maslahah itu termasuk ke dalam kategori maslahah yang daruri, baik menyangkut kemaslahatan pribadi maupun kemaslahatan orang banyak dan universal; berlaku sama untuk semua orang.[56]
Jadi, Jumhur Ulama menerima maslahah al-mursalah sebagai salah satu metode dalam mengistinbatkan hukum. Alasan mereka:
1.       Hasil induksi terhadap ayat atau hadis menunjukkan bahwa setiap hukum mengandung kemaslahatan bagi umat manusia. “wa ma arsalnaka illa rahmatal-lil’alamin” (QS. Al-Anbiya [21]: 107). Rasulullah tidak akan menjadi rahmat apabila bukan dalam rangka memenuhi kemaslahatan umat manusia. Selanjutnya, ketentuan dalam ayat-ayat dan Sunnah, seluruhnya dimaksudkan untuk mencapai kemaslahatan di dunia dan akhirat. Oleh sebab itu, memberlakukan maslahah terhadap hukum-hukum lain yang juga mengandung maslahah adalah legal.
2.       kemaslahatan manusia akan senantiasa dipengaruhi perkembangan tempat, zaman, dan lingkungan mereka sendiri. Jika Syari’at Islam terbatas pada hukum-hukum yang ada saja, akan membawa kesulitan.
3.       Jumhur Ulama juga merujuk kepada perbuatan sahabat.[57]
Penolakan kehujjahan maslahah datang dari ulama Zahiriyyah dan Syi’ah. Menurut mereka, apabila maslahah dapat diterima, maka akan mengakibatkan hilangnya kekudusan dan kesucian hukum-hukum syara disebabkan unsur subyektif yang akan timbul dalam menetapkan suatu kemaslahatan. Di samping itu, kemaslahatan itu sendiri terletak antara dua kemungkinan, yaitu didukung syara/ ditolak. Sesuatu yang keberadaannya masih dalam “kemungkinan”, tidak bisa dijadikan dalil dalam menetapkan hukum.
5. Istishab
Pengertian Istishab
Secara etimologi, istishabالاستصحاب“ berarti “minta bersahabat” atau “membandingkan sesuatu dan mendekatkannya”. Secara terminologi, istishab adalah:
استبقاء الحكم الذى ثبت بدليل فى الماضى قائما فى الحال حتى يوجد دليل يغيره
“Membiarkan berlangsungnya suatu hukum yang sudah ditetapkan pada masa lampau dan masih diperlukan ketentuannya sampai sekarang, kecuali jika ada dalil lain yang merubahnya”.
Misalnya dalam masalah perkawinan. Setelah berlangsungnya pernikahan antara perjaka dan perawan dan telah melakukan hubungan suami-isteri, suami mengatakan bahwa istrinya tidak perawan lagi. Tuduhan suami ini tidak dibenarkan, kecuali ia dapat mengemukakan bukti-bukti yang sah dan kuat, karena seorang perawan pada dasarnya belum melakukan hubungan suami-istri. Oleh karena itu, jika ada tuduhan dari suaminya bahwa ia tidak perawan lagi ketika kawin, maka tuduhan itu harus dibuktikan.
Macam-macam Istishab
a. Istishab hukm al-ibahah al-asliyyah (استصحاب حكم الاباحة الاصلية)
Maksudnya, menetapkan hukum sesuatu yang bermanfaat bagi manusia adalah boleh, selama belum ada dalil yang menunjukkan keharamannya. Istishab ini dikenal juga dengan istishab bara’ah asliyyah.[58]
b. Istishab yang menurut akal dan syara hukumnya tetap dan berlangsung terus.
Ibn Qayyim al-Jauziyyah (ahli UF Hanbali), menyebutnya: وصف الثابت للحكم حتى يثبت خلافه
“sifat yang melekat pada suatu hukum, sampai ditetapkan hukum yang berbeda dengan itu”.
Misalnya, hak milik pada suatu benda adalah tetap dan berlangsung terus, disebabkan adanya transaksi pemilikan, yaitu akad, sampai adanya sebab lain yang menyebabkan hak milik itu berpindah tangan kepada orang lain. Contoh lain hukum wudhu seseorang dianggap berlangsung terus sampai adanya penyebab yang membatalkannya. Apabila seseorang ragu, apakah wudhunya masih ada ataukah sudah batal, maka berdasarkan istishab, wudhunya itu dianggap masih ada, karena keraguan yang muncul itu, tidak bisa mengalahkan keyakinan seseorang bahwa ia masih dalam keadaan berwudhu.[59] Ini sesuai Hadis: اذا وجد احدكم فى بطنه شيئا فاشكل عليه اخرج شيئ منه ام لا فلا يخرجن من المسجد حتى يسمع صوتا او يجد ريحا
c. Istishab terhadap dalil yang bersifat umum sebelum datangnya dalil yang mengkhususkannya dan istishab dengan nas selama tidak ada dalil naskh.
Istishab bentuk ini, dari segi esensinya, tidak diperselisihkan, tetapi dari segi penamaan, terdapat perbedaan ulama; istishab ataukah berdalil berdasarkan kaidah bahasa?[60]
d.  Istishab hukum akal sampai datangnya hukum syar’i
Maksudnya, umat manusia tidak dikenakan hukum-hukum syar’i sebelum datangnya syara’, seperti tidak adanya pembebanan hukum dan akibat hukumnya terhadap umat manusia, sampai datangnya dalil syara yang menentukan hukum. Misalnya bila ada orang digugat bahwa ia berhutang pada penggugat, maka penggugat wajib menunjukkan bukti atas tuduhannya. Apabila tidak sanggup, maka tergugat bebas dari tuntutan.
e. Istishab hukum yang ditetapkan berdasarkan ijma, tetapi keberadaan ijma itu diperselisihkan.
Istishab ini diperselisihkan kehujjahannya. Misalnya, berdasarkan ijma, orang yang shalat dengan tayamum. Jika shalatnya sudah selesai, kemudian melihat air, shalatnya dinyatakan sah. Tetapi jika sedang shalat melihat air, apakah shalatnya harus dibatalkan untuk berwudhu ataukah shalatnya diteruskan?
Menurut Malikiyyah dan Syafi’iyyah, tidak boleh membatalkan shalatnya, karena adanya ijma yang menyatakan bahwa shalat itu sah apabila dikerjakan sebelum melihat air; hukum ijma itu tetap berlaku sampai adanya dalil yang menunjukkan bahwa ia harus membatalkan shalatnya. Sedangkan ulama Hanafiyyah dan Hanabilah mengatakan harus membatalkan shalatnya dan berwudhu. Mereka tidak menerima ijma tentang sahnya shalat orang yang bertayamum sebelum melihat air, karena ijma itu hanya terkait dengan hukum sahnya shalat dalam keadaan ketiadaan air, bukan dalam keadaan tersedianya air.
Kehujjahan Istishab
Para ulama UF berbeda pendapat tentang kehujjahan istishab ketika tidak ada dalil syara yang menjelaskan suatu kasus yang dihadapi.
Pertama, menurut mayoritas mutakallimin, istishab tidak dapat dijadikan dalil, karena hukum yang ditetapkan pada masa lampau menghendaki adanya dalil. Demikian juga untuk menetapkan hukum yang sama pada masa sekarang dan yang akan datang, harus pula berdasarkan dalil. Istishab menurut mereka bukan dalil, karenanya menetapkan hukum yang ada pada masa lampau berlangsung terus untuk masa yang akan datang, berarti menetapkan suatu hukum tanpa dalil. Hal ini tidak dibolehkan syara.
Kedua, menurut mayoritas Hanafiyyah, khususnya muta’akhkhirin (generasi belakangan), istishab bisa menjadi hujjah untuk menetapkan hukum yang telah ada sebelumnya dan menganggap hukum itu tetap berlaku pada masa yang akan datang, tetapi tidak bisa menetapkan hukum yang akan ada. Artinya, istishab hanya bisa dijadikan hujjah untuk mempertahankan hukum yang sudah ada, selama tidak ada dalil yang membatalkan hukum tersebut, tetapi tidak berlaku untuk menetapkan hak yang baru muncul. Inilah yang dimaksudkan ulama Hanafiyyah dengan “استصحاب حجة للدفع لاللاثبات
(Istishab menjadi hujjah dalam mempertahankan hak, bukan untuk menetapkan hak). Gambaran seperti ini dapat dilihat dalam istishab bentuk kedua dan keempat di atas.
Ketiga, ulama Malikiyyah, Syafi’iyyah, Hanabilah, Zhahiriyyah, dan Syi’ah berpendapat bahwa istishab dapat dijadikan hujjah secara mutlak untuk menetapkan hukum yang sudah ada, selama belum ada dalil yang mengubahnya. [61] Alasan mereka, sesuatu yang telah ditetapkan pada masa lalu, selama tidak ada dalil yang mengubahnya, maka semestinya hukum tersebut berlaku terus, karena diduga keras belum ada perubahannya. Menurut mereka, dugaan keras (dzann) bisa dijadikan landasan hukum. Jika tidak, maka akan berakibat kepada tidak berlakunya seluruh hukum yang disyari’atkan Allah dan Rasul-Nya bagi generasi sesudahnya. Bila dikatakan istishab tidak bisa menetapkan hukum, maka ada kemungkinan terjadinya naskh syari’at tersebut. Hal ini akan berakibat munculnya pandangan bahwa tidak bisa dipastikan berlakunya syari’at di zaman Rasul bagi generasi sesudahnya. Oleh sebab itu, alasan yang menunjukkan berlakunya syari’at di zaman Rasul sampai hari kiamat adalah menduga keras—dzann– berlakunya syari’at itu sampai sekarang, tanpa ada dalil yang me-naskh-kannya. Hal ini menurut mereka disebut istishab.
Kaidah-kaidah Istishab
Para ulama UF menetapkan beberapa kaidah umum yang didasarkan kepada istishab, di antaranya adalah:
a.            الاصل بقاء ماكان على ماكان حتى يثبت مايغيره
Maksudnya, pada dasarnya seluruh hukum yang sudah ada dianggap berlaku terus sampai ditemukan dalil yang menunjukkan hukum itu tidak berlaku lagi. Contohnya kasus orang yang hilang—mafqud—di atas.
b.         الاصل فى الاشياء الاباحة
Maksudnya, pada dasarnya dalam hal-hal yang sifatnya bermanfaat bagi manusia hukumnya adalah boleh dimanfaatkan. Melalui kaidah ini, maka seluruh akad/ transaksi dianggap sah, selama tidak ada dalil yang menunjukkan hukumnya batal; sebagaimana juga pada sesuatu yang tidak ada dalil syara yang melarangnya, maka hukumnya adalah boleh.
c.         اليقين لا يزال بالشك
Maksudnya, suatu keyakinan tidak bisa dibatalkan oleh sesuatu yang diragukan. Melalui kaidah ini, maka seseorang yang sedang makan sahur di akhir malam, dia tidak mengetahui apakah sudah terbit fajar atau belum, maka sahurnya dilanjutkan terus dan puasanya sah, karena keyakinan hari masih malam, lebih kuat dibanding keraguan bahwa fajar telah terbit. Begitu juga dalam masalah wudhu seperti yang telah dijelaskan. Akan tetapi ulama Malikiyyah mengecualikan dalam masalah shalat. Artinya jika keraguan itu berkaitan dengan masalah shalat, maka kaidah itu tidak berlaku; ragu wudhunya, maka wajib wudhu lagi.
d.    الاصل فى الذمة البراءة من التكاليف والحقوق
Maksudnya, pada dasarnya seseorang tidak dibebani tanggung jawab sebelum adanya dalil yang menetapkan tanggung jawab seseorang. Oleh sebab itu, seorang tergugat dalam kasus apa pun tidak bisa dinyatakan bersalah sebelum adanya pembuktian yang kuat dan meyakinkan bahwa ia bersalah.
6. ‘Urf
Pengertian ‘Urf
‘Urf menurut bahasa berarti mengetahui, kemudian dipakai dalam arti sesuatu yang diketahui, dikenal, dianggap baik dan diterima oleh pikiran yang sehat. Adapun menurut istilah ahli UF: ما تعارف الناس وساروا عليه من قول اوفعل اوترك ويسمى العادة
“Sesuatu yang telah saling dikenal oleh manusia dan mereka menjadikannya sebagai tradisi, baik berupa perkataan, perbuatan ataupun sikap meninggalkan sesuatu. Disebut juga adat kebiasaan.[62]
Obyeknya: al-‘urf al-lafzi (العرف اللفظى) dan al-‘urf al-‘amali (العملى العرف)
‘Urf Cakupannya: al-‘urf al-‘am (العرف العام) dan al-‘urf al-khas (العرف الخاص)
Keabsahannya: al-‘urf as-sahih (العرف الصحيح) dan al-‘urf al-fasid (العرف الفاسد)
Keterangan:
Al-‘urf al-lafzi adalah kebiasaan masyarakat dalam mempergunakan lafal/ ungkapan tertentu, sehingga makna ungkapan itulah yang dipahami dan terlintas dalam pikiran masyarakat. Misalnya ungkapan “daging”, maka yang dimaksud adalah daging sapi, bukan yang lainnya. Sedangkan al-‘urf al-amali adalah kebiasaan masyarakat yang berkaitan dengan perbuatan biasa atau muamalah keperdataan. Perbuatan biasa, maksudnya perbuatan masyarakat dalam masalah kehidupan mereka yang tidak terkait dengan kepentingan orang lain, seperti kebiasaan libur kerja pada hari-hari tertentu dalam satu minggu, makan-minum-berpakaian khusus dalam acara tertentu. Adapun yang berkaitan dengan muamalah perdata adalah kebiasaan masyarakat dalam melakukan akad/ transaksi dengan cara tertentu. Contoh dalam jual beli dengan cara mengambil barang dan membayar uang, tanpa adanya akad yang jelas, seperti yang berlaku di pasar swalayan. Jual beli seperti ini, disebut bai al-mu’atah.
Al-‘urf al-‘am adalah kebiasaan tertentu yang berlaku secara luas di seluruh masyarakat dan di seluruh daerah. Misalnya dalam jual beli mobil, seluruh alat yang diperlukan untuk memperbaiki mobil seperti kunci, tang, dongkrak dan ban serep, termasuk dalam harga jual, tanpa akad sendiri dan biaya tambahan. Contoh juga, berat barang bawaan setiap penumpang pesawat adalah 20 kg. Adapun al-‘urf al-khas adalah kebiasaan yang berlaku di daerah dan masyarakat tertentu. Seperti penentuan masa garansi terhadap barang tertentu, kebiasaan yang berlaku di kalangan pengacara bahwa jasa pembelaan hukum harus dibayar dahulu sebagian oleh kliennya. (kebiasaan ini sangat banyak dan berkembang terus).
Al-‘urf as-sahih adalah kebiasaan yang berlaku di tengah-tengah masyarakat yang tidak bertentangan dengan nash, tidak menghilangkan kemaslahatan mereka, dan tidak pula membawa mudarat kepada mereka. Misalnya, dalam masa pertunangan pihak laki-laki memberikan hadiah kepada pihak wanita dan hadiah ini tidak dianggap sebagai maskawin. Sedangkan al-‘urf al-fasid adalah kebiasaan yang bertentangan dengan dalil-dalil syara dan kaidah-kaidah dasar yang ada dalam syara. Misalnya kebiasaan yang berlaku di kalangan pedagang dalam menghalalkan riba, seperti peminjaman uang antara sesama pedagang dengan mengembalikan lebih. Contoh lain, praktek suap.
Kehujjahan ‘Urf
Para ulama UF sepakat bahwa urf as-shalih dapat dijadikan hujjah dalam menetapkan hukum syara. Menurut Imam al-Qarafi (ahli fiqih Maliki), seorang mujtahid dalam menetapkan hukum harus terlebih dahulu meneliti kebiasaan yang berlaku dalam masyarakat, sehingga hukum yang ditetapkan tidak bertentangan atau menghilangkan kemaslahatan mereka. Seluruh ulama mazhab, menurut asy-Syatibi dan Ibn al-Qayyim al-jauziyyah (ahli fiqih Hanbali) menerima dan menjadikan urf sebagai dalil syara dalam menetapkan hukum, apabila tidak ada nas yang menjelaskan suatu masalah yang dihadapi.[63]
Dari berbagai kasus ‘urf, ulama merumuskan kaidah-kaidah fiqh yang berkaitan dengan urf, di antaranya yang paling mendasar:
a.   العادة محكمة, “Adat kebiasaan itu bisa menjadi hukum”
b.  لا ينكر تغير الاحكام بتغير الازمنة والامكنة,
“Tidak diingkari perubahan hukum disebabkan perubahan zaman dan tempat”[64]
c.  المعروف عرفا كالمشروط شرطا
“Yang baik itu menjadi ‘urf, sebagaimana yang disyaratkan itu menjadi syarat”
d. الثابت بالعرف كالثابت بالناص
“Yang ditetapkan melalui ‘urf sama dengan yang ditetapkan melalui nas”
Para ulama UF juga sepakat bahwa hukum-hukum yang didasarkan kepada ‘urf dapat berubah sesuai dengan perubahan masyarakat pada zaman dan tempat tertentu.
7. Syar’u Man Qablana
Syar’u man qablana (شرع من قبلنا) berarti syari’at sebelum Islam. Yang dibahas oleh ulama UF adalah, apakah hukum-hukum yang ada bagi umat sebelum Islam menjadi hukum juga bagi umat Islam?
Para ulama sepakat bahwa seluruh syari’at yang diturunkan Allah sebelum Islam melalui para rasul-Nya telah dibatalkan secara umum—tidak secara menyeluruh dan rinci– oleh syariat Islam. Oleh karena itu, syar’u man qablana bisa diklasifikasikan sebagai berikut:
  1. Yang tetap berlaku sampai sekarang berdasarkan pada nas, seperti puasa dalam al-Baqarah (2): 183.
  2. Yang hanya berlaku bagi umat terdahulu saja, karena sudah dinaskh oleh al-Qur’an. Seperti dalam al-An’am (6): 146, tentang keharaman bagi Yahudi semua binatang yang berkuku, lemak sapi dan domba, sebagai hukuman atas kedurhakaan mereka.[65]
  3. Yang disebutkan oleh nas (al-Qur’an maupun sunnah), tetapi tidak secara tegas disebutkan tetap berlakunya dan tidak pula di-naskh, seperti dalam al-Ma’idah (5): 45,
وكتبنا عليهم فيها ان النفس بالنفس والعين بالعين والانف بالانف والاذن بالاذن والسن بالسن والجروح قصاص
“Dan Kami telah tetapkan terhadap mereka di dalamnya (Taurat) bahwa jiwa (dibalas) dengan jiwa, mata dengan mata, hidung dengan hidung, telinga dengan telinga, gigi dengan gigi, dan luka-luka (pun) ada qisasnya.”
Terhadap klasifikasi yang ketiga di atas, terdapat perbedaan pendapat. Menurut Jumhur ulama yang terdiri atas ulama Hanafiyyah, Malikiyyah, sebagian ulama Syafi’iyyah dan salah satu pendapat Imam Ahmad Ibn Hanbal, umat Islam terikat dengan hukum-hukum itu, alasannya:
  1. Syari’at sebelum Islam itu juga syari’at yang diturunkan Allah dan tidak ada indikasi yang menunjukkan pembatalannya, karenanya umat Islam terikat. Banyak sekali ayat yang menyuruh umat Islam mengikuti syari’at para Nabi; seperti syari’at Nabi Ibrahim (dalam an-Nahl [16]:123) dan syari’at Nabi Nuh (dalam asy-Syura [42]: 13.
  2. Rasulullah bersabda: من نام عن صلاة او نسيها فليصلها اذاذكرها قرا قوله تعالى: واقم الصلاة لذكرى –البخارى ومسلم والترمذى والنسائى وابودود-
Menurut Jumhur, ayat yang dibacakan Rasulullah tersebut merupakan ayat yang ditujukan kepada Nabi Musa.
Sedangkan ulama Asy’ariyyah, Mu’tazilah, Syi’ah, sebagian ulama Syafi’iyyah dan salah satu pendapat Imam Ahmad Ibn Hanbal, syari’at sebelum Islam tidak menjadi syari’at bagi Rasulullah dan umatnya. Pendapat ini juga dikemukakan Imam al-Gazali, al-Amidi, Ibn Hazm az-Zahiri, dan Fakhruddin ar-Razi (ahli fiqh Syafi’i). Alasan mereka adalah:
  1. Ketika Rasulullah mengutus Mu’ad Ibn Jabal menjadi qadi di Yaman, terjadi dialog tentang bagaimana memutuskan perkara. Dalam dialog itu, Rasul tidak menganjurkan untuk merujuk ke syari’at sebelum Islam.
  2. Firman Allah dalam al-Ma’idah (5): 48: لكل جعلنا منكم شرعة ومنهاجا
“Untuk tiap-tiap umat di antara kamu, Kami berikan aturan dan jalan yang terang..”
Maksudnya setiap umat mempunyai syari’at sendiri dan suatu umat tidak dituntut untuk mengambil syari’at umat lain.
  1. Syari’at Islam merupakan Syari’at yang berlaku untuk seluruh umat manusia, sedangkan syari’at umat sebelum Islam hanya berlaku bagi kaum tertentu.
Muhammad Abu zahrah, menyatakan apabila syari’at sebelum Islam itu dinyatakan dengan dalil khusus bahwa hukum itu hanya berlaku bagi mereka, maka tidak wajib bagi umat Islam untuk mengikutinya. Tetapi, apabila hukum-hukum itu bersifat umum maka hukumnya juga berlaku umum bagi seluruh umat, seperti hukuman qisas dan puasa yang ada dalam al-Qur’an.
8. Mazhab Shahabi
Pengertian Mazhab Shahabi
Mazhab Shahabi berarti “pendapat para Sahabat Rasulullah saw”. Yang dimaksud ‘pendapat sahabat’ adalah pendapat para sahabat[66] tentang suatu kasus yang dinukil para ulama, baik berupa fatwa maupun ketetapan hukum, sedangkan ayat dan hadis tidak menjelaskan hukum kasus yang dihadapi sahabat itu, di samping belum adanya ijma para sahabat yang menetapkan hukumnya.
Kehujjahan Mazhab Shahabi
Para ulama UF sepakat menyatakan bahwa pendapat sahabat yang dikemukakan berdasarkan hasil ijtihad tidak dapat dijadikan hujjah, baik berupa fatwa maupun ketetapan hukum. Sebaliknya, mereka sepakat bahwa pendapat sahabat yang terkait dengan permasalahan yang tidak bisa dinalar logika atau ijtihad, dapat diterima sebagai hujjah.
Persoalan yang menimbulkan perbedaan pendapat adalah pendapat para sahabat yang berdasarkan ijtihad semata-mata, apakah menjadi hujjah bagi generasi sesudahnya?
Ulama Hanafiyyah, Imam Malik, qaul qadim asy-Syafi’i dan pendapat terkuat dari Imam Ahmad ibn Hanbal, menyatakan pendapat sahabat itu menjadi hujjah dan apabila pendapat sahabat itu bertentangan dengan qiyas, maka pendapat sahabat yang didahulukan. Alasan mereka:
Ø      Ali Imran (3): 110: كنتم خير امة اخرجت للناس تامرون بالمعروف وتنهون عن المنكر
Ø      At-Taubah (9): 100: والسابقون الاولون من المهاجرين والانصار والذين اتبعوهم باحسن رضي الله عنهم
Ø      Hadis: اصحابى كالنجوم بايهم اقتديتم اهتديتم, “Sahabatku ibarat bintang, siapa pun kamu ikuti, maka kamu akan mendapat petunjuk. HR. Abu Dawud.”
Ø      Hadis: اقتدوا بالذين من بعدي…-رواه ابو داود واحمد بن حنبل
Imam Malik dan Imam Ahmad ibn Hanbal mengatakan bahwa sangat mungkin apa yang dikatakan para sahabat itu, datangnya dari Rasulullah, bahkan tidak sedikit pendapat mereka yang didasarkan kepada petunjuk Rasulullah; para sahabat tidak akan mengeluarkan pendapatnya kecuali dalam hal-hal yang amat penting (ini menunjukkan sifat kehati-hatiannya). Di sisi lain, apabila orang awam dibolehkan mengikuti pendapat para mujtahid, maka mengikuti pendapat sahabat tentu akan lebih boleh, karena Rasulullah mengatakan bahwa generasi sahabat adalah generasi terbaik (HR. al-Bukhari)
Sedangkan sebagian Syafi’iyyah, Jumhur Asy’ariyyah, Mu’tazilah, dan Syi’ah mengatakan bahwa pendapat sahabat tidak dapat dijadikan hujjah, karena ijtihad mereka sama dengan ulama lainnya yang tidak wajib diikuti mujtahid lain. Alasannya:
Ø      Al-Hasyr (59): 2: فاعتبروا يااولى الابصار
Implikasi dari perintah melakukan I’tibar (ijtihad) adalah larangan bertaqlid (mengikuti pendapat orang lain tanpa dalil), karena untuk menentukan suatu hukum diperlukan dalil, sedangkan taqlid dikecam syara’.
Ø      An-Nisa (4): 59: … فان تنازعتم فى شيئ فردوه الى الله والرسول
Rujukan yang diperintahkan—bila terjadi perdebatan– adalah al-Qur’an dan Sunnah. Apabila seseorang hanya mengambil pendapat sahabat, maka itu berarti meninggalkan kewajiban untuk merujuk kepada al-Qur’an dan Sunnah.
Selanjutnya ulama Syafi’iyyah mengatakan, dari penelusuran terhadap pendapat para sahabat, ditemukan bahwa sebagian pendapat mereka didasarkan kepada ijtihad, dan terjadinya kesalahan bukan hal yang mustahil, karena tidak ada jaminan mereka pasti benar. Adakalanya mereka juga berbeda pendapat dalam menetapkan hukum suatu kasus, seperti kasus pembagian warisan kakek dengan saudara laki-laki, sehingga sulit diketahui pendapat mana yang benar. Melalui induksi, para pakar UF menetapkan bahwa tidak wajib seorang mujtahid mengikuti hasil ijtihad orang lain. Oleh sebab itu, mengikuti pendapat sahabat pun menjadi tidak wajib.[67]
Akan tetapi, Imam Syafi’i, menurut Mustafa Dib al-Bugha (pakar UF Universitas Damaskus, Syiria), banyak mengambil pendapat para sahabat, bahkan ijma yang ia terima sebagai dalil dalam menetapkan hukum adalah ijma para sahabat. Banyak hukum-hukum parsial (rinci) yang diambilnya dari pendapat para sahabat. Bila terjadi perbedaan pendapat di antara para sahabat, Imam Syafi’i mengambil pendapat yang lebih dekat kepada kandungan al-Qur’an dan Sunnah.[68]
Ulama Hanafiyyah membedakan antara pendapat sahabat yang sama sekali bukan permasalahan ijtihadiyyah dengan pendapat sahabat yang popular (tersebar luas) dan tidak diketahui ada sahabat lain yang menentangnya, serta pendapat sahabat yang didasarkan pada ijtihad tetapi tidak popular.[69]
9. Zari’ah
Pengertian Zari’ah
Secara etimologi, zari’ah (الذريعة)berarti “jalan yang menuju kepada sesuatu” atau identik dengan wasilah (perantara). Ada juga yang mengkhususkan pengertian zari’ah dengan “sesuatu yang membawa kepada yang dilarang dan mengandung kemudaratan”. Tetapi menurut Ibn al-Qayyim al-Jauziyah (pakar fiqh Hanbali) zari’ah berarti umum; zari’ah mengandung dua pengertian, yaitu: yang dilarang, disebut dengan sadd az-zari’ah (سد الذريعة) dan yang dituntut untuk dilaksanakan, disebut fath az-zari’ah (فتح الذريعة).
Sadd az-Zari’ah
Sadd az-zari’ah yang dimaksud oleh para ahli ushul fiqh, adalah:
حسم مادة وسائل الفساد دفعاله او سد الطريق التى توصل المرء الى الفساد.
“Mencegah sesuatu yang menjadi perantara pada kerusakan, baik untuk menolak kerusakan itu sendiri ataupun untuk menyumbat jalan/ sarana yang dapat menyampaikan seseorang kepada kerusakan”.[70]
Misalnya dalam masalah zakat. Sebelum waktu haul (batas waktu perhitungan zakat sehingga wajib mengeluarkan zakatnya) datang, seorang yang memiliki sejumlah harta yang wajib dizakati, menghibahkan sebagian hartanya kepada anaknya, sehingga berkurang nishab harta itu dan ia terhindar dari kewajiban zakat. Perbuatan seperti ini dilarang dengan dasar pemikiran bahwa hibah yang hukumnya sunah menggugurkan zakat yang hukumnya wajib.
Tujuan penetapan hukum atas dasar Sadd az-zari’ah, adalah untuk menuju kemaslahatan, karena tujuan umum ditetapkannya hukum adalah untuk kemaslahatan manusia dan menjauhkan kerusakan. Untuk sampai pada tujuan ini, syara memerintahkan sesuatu dan adakalanya melarang sesuatu. Dalam memenuhi perintah dan larangan ada yang dapat dipenuhi dengan langsung dan ada pula yang harus dipenuhi melalui sarana.
Dalam larangan, ada perbuatan yang dilarang langsung karena perbuatan itu mendatangkan kerusakan, seperti larangan meminum khamr dan berbuat zina. Dan adakalanya dilarang, sekalipun perbuatan itu sendiri tidak langsung mendatangkan kerusakan, tetapi perbuatan itu menjadi jembatan terhadap perbuatan yang secara langsung menimbulkan kerusakan, misalnya menyimpan khamr atau berkhalwat (berdua-duan antara pria dan wanita di tempat yang sunyi).
Larangan terhadap sarana yang mendatangkan pada perbuatan yang dilarang itulah yang disebut dengan penetapan hukum berdasarkan sadd az-zari’ah.
Macam-macam Dzari’ah
Ada dua pembagian zari’ah, yaitu dilihat dari kualitas kemafsadatannya dan dari segi jenis kemafsadatannya.
Dari segi kualitas kemafsadatannya, menurut Imam asy-Syatibi, zari’ah terbagi kepada empat macam:
a.       Perbuatan itu membawa kepada kemafsadatan secara pasti (qath’i). Misalnya seseorang menggali sumur di depan pintu rumah orang lain pada malam hari dan pemilik rumah tidak mengetahuinya. Bentuk kemafsadatannya dapat dipastikan, yaitu pemilik rumah terjatuh ke dalam sumur tersebut. Hal ini dilarang, dan jika pemilik rumah tercebur, maka penggali dikenakan hukuman, karena perbuatannya itu dilakukan dengan sengaja untuk mencelakakan orang lain.
b.      Perbuatan yang dilakukan itu boleh dilakukan, karena jarang membawa kepada kemafsadatan. Misalnya menggali sumur di tempat yang biasanya tidak membahayakan. Perbuatan seperti ini tetap pada hukum asalnya, yaitu mubah.
c.       Perbuatan yang biasanya besar kemungkinan membawa kepada kemafsadatan. Misalnya menjual senjata kepada musuh atau menjual anggur kepada produsen minuman keras. Menjual senjata kepada musuh, sangat mungkin senjata itu akan digunakan untuk berperang atau setidaknya untuk membunuh. Perbuatan ini dilarang, karena dugaan keras membawa kepada kemafsadatan.
d.      Perbuatan yang pada dasarnya boleh dilakukan karena mengandung kemaslahatan, tetapi memungkinkan juga perbuatan itu mendatangkan kemafsadatan. Misalnya kasus jual beli yang disebut bai’ al-ajal, karena jual beli seperti itu cenderung berimplikasi kepada riba.
Poin keempat inilah yang menjadi perbeddaan pendapat para ulama.
Ulama Hanafiyyah dan Syafi’iyyah mengatakan bahwa zari’ah seperti ini tidak dilarang, karena terjadinya kemafsadatan masih bersifat kemungkinan; dugaan tidak bisa membuat perbuatan yang pada dasarnya dibolehkan menjadi dilarang, kecuali apabila kemafsadatan itu diyakini atau diduga keras akan terjadi.[71]
Akan tetapi ulama Malikiyyah dan Hanabilah berpendapat bahwa jual beli seperti itu termasuk dalam perbuatan yang membawa kepada kemafsadatan, oleh karena itu dilarang,. Karena bagi mereka yang menjadi patokan boleh atau tidaknya transaksi/ akad tidak hanya dilihat dari segi niat saja, tetapi juga dari segi akibat yang ditimbulkan. Dari niat, jual beli tersebut memang sulit diduga bertujuan menghalalkan riba. Akan tetapi dari segi akibat, maka secara umum diduga keras membawa kepada kemafsadatan.[72]
Sedangkan dilihat dari jenis kemafsadatan yang ditimbulkan, menurut Ibn al-Qayyim al-Jauziyah, zari’ah dapat dibedakan:
a.       Yang secara sengaja ditujukan untuk suatu kemafsadatan, seperti meminum khamr.
b.       Pekerjaan yang pada dasarnya dibolehkan, tetapi ditujukan untuk melakukan suatu kemafsadatan, seperti nikah at-tahlil. Ini dilarang.
c.       Pekerjaan itu hukumnya boleh dan pelakunya tidak bertujuan untuk suatu kemafsadatan, tetapi biasanya akan berakibat suatu kemafsadatan. Seperti mencaci-maki sesembahan orang musyrik yang diduga keras akan mengakibatkan munculnya cacian yang sama terhadap Allah SWT. Pekerjaan ini dilarang syara.
d.       Suatu pekerjaan yang pada dasarnya dibolehkan, tetapi adakalanya perbuatan itu membawa kepada kemafsadatan, seperti melihat wanita yang dipinang. Dalam kasus ini, kemaslahatannya lebih besar, maka dibolehkan sesuai dengan kebutuhan (seperlunya saja).
Kehujjahan Sadd az-Zari’ah
Terdapat perbedaan pendapat’. Ulama Malikiyyah dan Hanabilah menyatakan bahwa Sadd az-zari’ah dapat diterima sebagai salah satu dalil dalam menetapkan hukum syara. Alasannya:
Ø     Al-An’am (6): 108: ولا تسبو الذين يدعون من دون الله فيسبو الله عدوا بغير علم
Allah melarang untuk memaki sesembahan kaum musyrik, karena kaum musyrik itu pun akan memaki Allah dengan makian yang sama, bahkan lebih.
Ø     Hadis: ان من اكبر الكبائر ان يلعن الرجل والديه, قيل: يارسول الله كيف يلعن الرجل والديه؟ قال: يسب ابا الرجل فيسب اباه ويسب امه –البخارى و مسلم وابو داود-
Hadis ini, menurut Ibn Taimiyyah, menunjukkan bahwa sadd az-zari’ah termasuk salah satu alasan untuk menetapkan hukum syara, karena sabda Rasul tersebut masih bersifat dugaan, namun atas dasar dugaan itu Rasul melarangnya. Dalam kasus lain Rasul melarang memberi pembagian harta warisan kepada anak yang membunuh ayahnya (HR. al-Bukhari dan Muslim), untuk menghambat terjadinya pembunuhan orang tua oleh anak-anak yang ingin segera mendapat harta warisan.
Sedangkan ulama Hanafiyyah, Syafi’iyyah dan Syi’ah dapat menerima Sadd az-Zari’ah apabila kemafsadatan yang akan muncul itu dapat dipastikan akan terjadi, atau sekurang-kurangnya diduga keras (gilbah az-zan) akan terjadi; Artinya ada zari’ah yang diterima dan ada yang ditolak.[73]
Menurut Husain Hamid Hasan (guru besar UF di Fak. Hukum Universitas Cairo, Mesir), ada dua sisi cara memandang zari’ah yang dikemukakan para ulama UF, yaitu:
1.       Dari sisi motivasi yang mendorong seseorang melakukan suatu pekerjaan, baik bertujuan untuk yang halal maupun yang haram. Seperti orang yang menikahi seorang wanita yang telah dicerai suaminya sebanyak tiga kali, dengan tujuan agar wanita ini boleh dikawini kembali oleh suami pertamanya (nikah tahlil). Pada dasarnya nikah dianjurkan oleh Islam, tetapi motivasinya mengandung tujuan yang tidak sejalan dengan tujuan Islam, maka nikah seperti ini dilarang.
2.       Dari sisi akibat suatu perbuatan yang berdampak negatif. Misalnya, seorang muslim yang mencaci-maki sesembahan kaum musyrik. Niatnya mungkin untuk menunjukkan kebenaran aqidahnya yang menyembah Allah Yang Maha Benar. Tetapi, akibatnya bisa lebik buruk, yaitu munculnya cacian yang serupa atau lebih dari mereka terhadap Allah. Karenanya perbuatan ini dilarang.
Terjadinya perbedaan pendapat antara Malikiyyah dengan Hanabilah di satu pihak serta Hanafiyyah dengan Syafi’iyyah di pihak lain dalam berhujjah dengan sadd az-zari’ah, adalah disebabkan perbedaaan pandangan tentang niat dan lafal dalam masalah transaksi. Ulama Hanafiyyah dan Syafi’iyyah mengatakan bahwa dalam suatu transaksi yang dilihat dan diukur adalah akadnya, bukan niat dari orang yang melakukan akad. Jika akad itu telah memenuhi syarat dan rukun, maka sah. Adapun masalah niat yang tersembunyi dalam akad, diserahkan sepenuhnya kepada Allah. Mereka mengatakan bahwa selama tidak ada indikasi yang menunjukkan niat dari pelaku, maka berlaku kaidah:
المعتبر فى اوامرالله المعنى والمعتبر فى امور العباد الاسم واللفظ
“Patokan dasar dalam hal-hal yang berkaitan dengan hak Allah adalah niat, sedangkan yang berkaitan dengan hak-hak hamba (manusia) adalah lafalnya.”
Akan tetapi, jika tujuan orang yang berakad itu dapat ditangkap dengan jelas atau diketahui melalui beberapa indikator yang ada, maka ketika itu berlaku kaidah:
العبرة بالمعانى لا بالالفاظ والمبانى
“Yang menjadi patokan dasar adalah makna/ niat, bukan lafal dan bentuk”.
Ulama Malikiyyah dan Hanabilah mengatakan bahwa untuk mengukur sah atau tidaknya suatu pekerjaan adalah: niat, tujuan dan akibat dari pekerjaan itu. Ibn Qayyim al-Jauziyyah mengatakan apabila niat sejalan dengan perilaku, maka akad itu sah. Apabila tujuan orang itu tidak sesuai dengan semestinya, tetapi tidak ada indikasi yang menunjukkan bahwa niatnya sesuai dengan tujuan tersebut, maka dianggap sah, tetapi antara pelaku dengan Allah tetap ada perhitungan. Apabila ada indikator yang dapat menunjukkan niatnya, dan niat itu tidak bertentangan dengan tujuan syara, maka akadnya sah. Namun jika bertentangan, maka perbuatannya itu fasid (rusak) dan tidak ada efek hukumnya.
Dengan demikain, menurut Wahbah az-Zuhaili, Ulama Malikiyyah dan Hanabilah dalam menilai perbuatan seseorang berpegang kepada tujuan dan akibat hukum dari perbuatan itu, sedangkan Hanafiyyah dan Syafi’iyyah berpegang kepada bentuk akad dan perbuatan yang dilakukuan.
Sedangkan ulama Zahiriyyah tidak menerima sadd az-zari’ah sebagai salah satu dalil dalam menetapkan hukum syara. Penolakan ini sesuai dengan prinsip mereka yang hanya beramal berdasarkan nas secara harfiyyah dan tidak menerima campur tangan logika dalam masalah hukum.
Fath az-Zari’ah
Menurut Ibn al-Qayyim al-Jauziyyah dan Imam al-Qarafi, yang dimaksud fath az-zari’ah adalah: suatu perbuatan yang dapat membawa kepada sesuatu yang dianjurkan, bahkan diwajibkan syara. Misalnya shalat Jum’at itu wajib, maka berusaha untuk sampai ke mesjid dengan meninggalkan segala aktifitas lain juga diwajibkan.
Akan tetapi, menurut Wahbah az-zuhaili, hal itu bukan termasuk dalam az-zari’ah, melainkan termasuk dalam kaidah yang oleh Jumhur ulama UF disebut sebagai muqaddimah (pendahuluan) dari suatu pekerjaan; apabila yang dituju adalah suatu yang wajib, maka seluruh upaya untuk menunaikan yang wajib itu, juga diwajibkan, sesuai dengan kaidah yang mengatakan: مالا يتم الواجب الا به فهو واجب
“Apabila suatu kewajiban tergantung kepada sesuatu yang lain, maka sesuatu yang lain ini pun wajib dikerjakan”.
Contohnya, mengerjakan shalat itu wajib. Sedangkan untuk mengerjakan yang wajib itu harus berwudhu terlebih dahulu. Maka berwudhu itu hukumnya wajib, karena berwudhu wajib, maka upaya mencari air untuk berwudhu pun wajib. Berwudhu dan mencari air dalam contoh inilah yang disebut hukum pendahuluan kepada yang wajib (muqaddimah al-wajibah).
Sebaliknya, مادل على الحرام فهو حرام
“Segala jalan yang menuju terciptanya suatu pekerjaan yang haram, maka jalan itu pun diharamkan”.
Misalnya, berzina adalah haram, maka berkhalwat juga haram. Melihat aurat orang lain juga haram, karena bisa membawa kepada perbuatan zina. Hukum haram terhadap berkhalwat dan melihat aurat ini, menurut ulama UF, disebut sebagai hukum pendahuluan kepada yang haram (muqaddimah al-hurmah).
Terhadap hukum muqaddimah seperti itu, para ulama sepakat untuk menerimanya, tetapi tidak sepakat jika hal tersebut dikategorikan dalam kaidah zari’ah. Ulama Malikiyyah dan Hanabilah memasukkannya dalam kaidah zari’ah dan mereka sebut dengan fath az-zari’ah. Sedangkan ulama Hanafiyyah, Syafi’iyyah dan sebagian Malikiyyah menyebutnya sebagai hukum muqaddimah, tidak termasuk ke dalam kaidah zari’ah. Namun, mereka sepakat menyatakan bahwa hal tersebut—baik dengan nama fathul-zari’ah maupun dengan nama muqaddimah—dapat dijadikan hujjah dalam menetapkan hukum.

© Disusun oleh Imroatul Azizah, M.Ag, sebagai acuan mata kuliah Ushul Fiqh Semester IV dan VI, STAI Sunan Giri Bojonegoro.
[1] Pengertian ini dapat ditemukan dalam Surat Taha (20): 27-28, واحلل عقدة من لسانى يفقهواقولى
juga dalam Hadis:  من يردالله به خيرايفقهه فى الدين“Apabila Allah menginginkan kebaikan bagi seseorang, maka Ia akan memberikan pemahaman agama (yang mendalam)”.
[2] Titik temu kedua pengertian tersebut adalah sama-sama membahas dalil-dalil yang bersifat ijmali/kulli agar dapat dikeluarkan hukum darinya (istinbat hukum).
[3] Secara terminologi, hukum adalah: خطاب الله المعلق بافعال المكلفين اقتضاء اوتحييرااووضعا “Tuntutan Allah yang berkaitan dengan perbuatan orang mukallaf, baik berupa tuntutan, pilihan, atau menjadikan sesuatu sebagai sebab, syarat, penghalang, sah, batal, rukhsah, atau azimah.
[4] Mengetahui UF merupakan syarat mutlak bagi seorang mujtahid, karena ia merupakan alat atau keahlian khusus untuk istinbat hukum (mengeluarkan hukum-hukum baru terhadap permasalahan yang muncul dalam masyarakat dengan melakukan ijtihad berdasarkan dalil-dalil yang ada dalam al-Qur’an dan as-Sunnah). Untuk melakukan istinbat perlu dasar dan sistem yang akurat, dan UF inilah ilmu sistem Hukum Islam dalam menetapkan hukum itu. Bagi orang awam, UF berguna untuk menghindari taqlid (mengikuti pendapat orang lain tanpa mengetahui alasannya). Hal ini jika UF dipergunakan sebagaimana mestinya; yaitu mengambil hukum soal-soal cabang dari soal-soal yang pokok (pekerjaan mujtahid), atau dengan mengembalikan soal-soal cabang kepada soal-soal pokok (pekerjaan muttabi’). Setidaknya setiap orang mencapai derajat muttabi’, yaitu mengikuti pendapat para ahli dengan memahami dan mendalami dasar dan alasannya. Lihat uraian lengkapnya dalam Zarkasji Abdul Salam dan Oman Fathurohman, Pengantar Ilmu Fiqh-Ushul Fiqh, cet. 1 (Yogyakarta: CV. Bina Usaha, 1986), p. 84.
[5] Titik tolak para ulama dalam menetapkan hukum bisa berbeda; yang satu melihat dari sudut maslahat (sebagaimana Sahabat Umar), sementara yang lain menetapkan hukumnya melalui qiyas (sebagaimana Ali ibn Abi Thalib). Ulama UF Iraq lebih dikenal dengan penggunaan Ra’yu; dalam setiap kasus yang mereka hadapi, mereka berusaha mencari illat-nya, sehingga dengan illat itu mereka menyamakan hukum kasus yang dihadapi dengan hukum yang ada nash-nya. Sikap ini terjadi karena minimnya Hadis yang dapat mereka temukan. Adapun ulama Madinah banyak menggunakan Hadis karena mereka dengan mudah dapat melacak Hadis di daerah tersebut. Di sinilah awal perbedaan dalam mengistinbatkan hukum di kalangan ulama fiqh.
[6] Yang termasuk dalam aliran ini ialah kebanyakan ahli UF Syafi’iyyah dan Malikiyyah. Kitab standar aliran ini adalah: ar-Risalah karya Imam asy-Syafi’i, al-Mu’tamad karya Abu al-Husain Muhammad ibn ‘Ali al-Bashri (w. 463H), al-Burhan fi Ushulil-fiqh karya Imam al-Haramain al-Juwaini (w. 487H), dan tiga rangkaian karya Imam Abu Hamid al-Ghazali (450-505/ 1058-1111 M), yaitu: al-Mankhul min Ta’liqatil-Ushul, Syifa al-Ghalil fi Bayan asy-Syabah wal-Mukhil wa Masalik at-Ta’lil dan al-Mustashfa fi ‘Ilm al-Ushul.
[7] Kitab standar aliran ini adalah: Kitab al-Ushul karya Imam Abu al-Hasan al-Karkhi, Kitab al-Ushul karya Abu Bakr al-Jashshash, Ushul as-Sarakhsi karya Imam as-Sarakhsi, Ta’sis an-Nazhar karya Imam Abu Zaid ad-Dabusi (w. 430H), dan Kasyf al-Asrar karya Imam al-Bazdawi.
[8] Para ulama UF menyatakan bahwa Hukum Islam seluruhnya berasal dari Allah, Rasul hanya berfungsi sebagai penegas dan penjelas (al-mu’akkid wal-mubayyin) hukum-hukum yang disampaikan Allah melalui wahyu-Nya; sekalipun terkadang Rasulullah menetapkan hukum tertentu melalui Sunnahnya, ketika wahyu tidak turun, akan tetapi, ketetapan Rasulullah ini juga tidak terlepas dari bimbingan wahyu.
[9] Dalam literatur UF ada pengelompokkan dalil menjadi: 1. adillah al-ahkam al-muttafaq ‘alaiha (dalil-dalil hukum yang disepakati, yang terdiri dari al-Qur’an, Sunnah, ijma, dan qiyas. 2. adillah al-ahkam al-mukhtalaf fiha (dalil-dalil hukum yang diperselisihkan), yaitu istihsan, istishhab, maslahah mursalah, urf, sadd az-zari’ah, mazhab shahabi, dan syar’u man qablana. Pembagian ini—penetapan ijma dan qiyas sebagai dalil yang disepakati—lebih didasarkan statusnya sebagai dalil di kalangan ahlussunnah, karena ulama Zhahiriyyah menolak kehujjahan ijma dan qiyas. Menurut mereka, terhadap pengertian ijma saja para ulama UF tidak sepakat. Contoh asy-Syafi’i hanya menerima ijma apabila hukum ijma tersebut merupakan konsensus para sahabat Rasul (Zahiriyyah juga menerima ijma seperti ini). Penolakannya terhadap qiyas sesuai dengan prinsip mereka dalam memahami nash yang bersifat literal. Ulama Syi’ah—Imamiyyah dan Zaidiyyah—juga menolak ijma dan qiyas, karena bagi mereka ketika suatu hukum tidak ada ketentuannya dalam nash, maka yang berhak menentukan hukum adalah imam mereka.
[10] Nina M.Armando…(et al.), Ensiklopedi Islam, Edisi Baru (Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 2005), VIII: 45.
[11] Bukti bahwa al-Qur’an adalah kalam Allah adalah kemukjizatan yang dikandungnya sendiri, dari struktur bahasa, isyarat-isyarat ilmiah, dan ramalan-ramalan masa depan yang diungkap al-Qur’an.
[12] Ulama Hanafiyyah membolehkan shalat dengan bahasa Parsi, tetapi kebolehan ini hanya bersifat rukhsah (keringanan hukum), karena ketidakmampuan sebagian orang membaca dan menghafal ayat-ayat al-Qur’an, terlebih lagi bagi yang baru masuk Islam.
[13] Mutawatir: dituturkan oleh orang banyak kepada orang banyak sampai sekarang. Mereka itu tidak mungkin sepakat untuk berdusta). Berbeda dengan kitab-kitab samawi (yang datang dari Allah) lain yang ditujukan kepada Rasul Allah sebelum Muhammad, sifatnya tidak mutawatir dan tidak dijamin keasliannya. Oleh sebab itu, apabila tidak bersifat mutawatir, seperti al-qira`ah asy-Syazzah/ القرءة الشاذة (bacaan yang cacat) dan Hadis (termasuk hadis qudsi) tidak dinamakan al-Qur’an.
[14] Mu’jizat al-Qur’an akan terlihat ketika: 1. ada tantangan dari berbagai pihak untuk menandinginya, 2. ada unsur-unsur yang menyebabkan munculnya tantangan tersebut, seperti tantangan orang kafir yang tidak percaya akan kebenaran al-Qur’an dan kerasulan Muhammad saw., 3. tidak ada penghalang bagi munculnya tantangan tersebut.
[15] Persoalan yang muncul karena terbatasnya ayat al-Qur’an yang bersifat rinci ini adalah terjadinya pertentangan antara pernyataan al-Qur’an sendiri yang menyebutnya sebagai syari’at yang telah sempurna dengan kenyataan bahwa hukum-hukum yang dikandung al-Qur’an ada yang rinci dan ada yang global/umum. Dalam kaitan dengan ini, para ulama UF menyatakan bahwa hukum-hukum global dan umum yang dikandung al-Qur’an tersebut telah memberikan kaidah-kaidah, kriteria-kriteria umum, dan dasar-dasar yang penting dalam pengembangan hukum Islam itu sendiri, karena suatu Undang-undang itu harus bersifat singkat, padat, tetapi juga fleksibel. Apabila al-Qur’an menurunkan seluruh peraturannya secara rinci, maka justru akan membuatnya terbatas dan tidak bisa mengayomi perkembangan dan kemajuan manusia. Oleh sebab itu, kaidah-kaidah dan kriteria-kriteria umum yang diungkapkan al-Qur’an menjadi penting artinya dalam mengantisipasi perkembangan dan kemajuan umat manusia di segala tempat dan zaman.
[16] Dengan ketiga unsur ini, maka seluruh permasalahan hukum dapat dijawab dengan bertitik tolak kepada hukum rinci dan kaidah-kaidah umum al-Qur’an itu sendiri. Di sinilah letak kesempurnaan al-Qur’an bagi umat manusia.
[17] Ayat yang dimaksud: والمطلقت يتربصن بانفسهن ثلثة قروء . Oleh sebab itu, apabila kata ini diartikan dengan suci, sebagaimana dianut ulama Syafi’iyyah, adalah boleh (benar), dan jika diartikan dengan haid juga boleh (benar) sebagaimana dianut ulama Hanafiyyah.
[18] Menurut ulama UF, Sunnah adalah: اقواله صلى الله عليه وسلم وافعاله وتقاريره مما يتعلق به حكم بنا , sedangkan menurut ahli fiqh: ماطلب الشارع فعله من المكلف طلبا غيرحتم . Terjadinya perbedaan pengertian Sunnah di antara keduanya, disebabkan perbedaan sudut pandang masing-masing terhadap Sunnah. Ulama UF, Sunnah dipandang sebagai salah satu sumber atau dalil hukum, sedang ulama fiqh menempatkan Sunnah sebagai salah satu hukum taklif.
[19] Para penutur Hadis (sanad) yang dinilai tidak bersepakat berdusta  itu adalah para periwayat Hadis pada tiga generasi, yaitu generasi Sahabat, tabi’in, dan tabi’it-tabi’in, karena setelah itu adalah masa pembukuan Hadis yang secara otomatis Hadis-hadis itu telah tersebar luas ke berbagai belahan dunia sampai generasi sekarang. Hal ini dikatakan juga oleh Muhammad Sa’id Ramadhan al-Buthi—guru besar UF Univ. Damaskus.
[20] Sunnah Fi’liyyah ini dibahas secara khusus oleh ulama UF; apakah seluruh perbuatan Rasulullah wajib diikuti umatnya?. Dalam kaitan ini, para ulama UF membagi Sunnah Fi’liyyah kepada: 1. Perbuatan yang muncul dari Rasulullah sebagai manusia biasa, seperti makan, minum, duduk, dan pakaiannya. Perbuatan seperti ini tidak termasuk Sunnah yang wajib diikuti oleh umatnya, karena hal-hal ini muncul dari Rasul sebagai manusia biasa dengan tabiatnya. Termasuk dalam hal ini adalah perbuatan yang ditunjukkan Rasul sebagai akibat dari keahlian dan pengalaman hidupnya dalam persoalan duniawi, seperti dalam perdagangan, pertanian, peperangan atau masalah pengobatan; 2. Perbuatan yang dilakukan Rasulullah dan ada alasan yang  menunjukkan bahwa perbuatan itu khusus untuk dirinya, seperti shalat tahajud yang beliau lakukan setiap malam, mengawani wanita lebih dari empat sekaligus, dan tidak menerima sedekah dari orang lain. Perbuatan ini khusus untuknya dan tidak wajib diikuti; dan 3. Perbuatan yang berkaitan dengan hukum dan ada alasannya, maka hukumnya berkisar antara wajib, sunat, haram, makruh, dan boleh. Perbuatan seperti ini menjadi syari’at bagi umat Islam.
[21] Misalnya, kasus ‘Amr ibn al-‘Ash yang berada dalam keadaan junub (wajib mandi) pada suatu malam yang sangat dingin. Ia tidak mandi karena khawatir akan sakit. Ia hanya bertayamum. Ketika hal ini disampaikan kepada Nabi, Nabi mengajaknya dialog dan akhirnya Rasul tidak berkomentar apapun. Kasus ini dipandang sebagai pengakuan bolehnya bertayamum bagi orang yang junub dalam keadaan hari yang sangat dingin, sekalipun air untuk mandi ada. Lihat dalam Nasrun Haroen,  Ushul Fiqh, yang dikutipnya dari kitab Ushul Fiqh karya Zakiyuddin Sya’ban, p. 39-40.
[22] Tentang kehujjahan Hadis Ahad, ada banyak perbedaan pendapat. Dalam masalah aqidah, ulama sepakat bahwa Hadis Ahad tidak bisa dijadikan landasan, tetapi dalam masalah hukum, terjadi perbedaan pendapat yang disebabkan status Hadis Ahad yang bersifat zhanni—dari segi periwayatan dan dalalahnya. Jumhur ulama pada prinsipnya menerima, Hadis Ahad sebagai dasar hukum, hanya saja dalam penerapannya ada yang mengemukakan syarat. Ulama Malikiyyah dapat menerima Hadis Ahad jika tidak bertentangan dengan amalan penduduk Madinah. Imam Malik mengatakan, tidak sesuainya suatu Hadis dengan amalan penduduk Madinah menandakan bahwa Hadis itu adalah palsu. Contohnya, dalam jual beli tidak ada khiyar majlis, karena Hadisnya Ahad dan bertentangan dengan amalan Madinah; Membaca salam dalam shalat cukup satu kali yaitu ketika menghadap ke kanan (padahal dalam Hadis riwayat Ahmad ibn Hanbal, Rasulullah mengakhiri shalatnya dengan salam ke kiri dan ke kanan). Ulama Syafi’iyyah menerima sepenuhnya Hadis Ahad sebagai landasan hukum apabila sahih dan muttasil (hanya hadis mursal tertentu yang diterima). Sedang ulama Hanafiyyah menerima Hadis Ahad dengan tiga syarat: 1. Penerima Hadis itu tidak beramal atau memberi fatwa yang bertentangan dengan kandungan Hadis itu. Misalnya Abu Hurairah meriwayatkan,
اذا ولغ الكلب اناء احدكم فليغسله سبع مرات اولاهن بالتراب
sementara dia sendiri berfatwa bahwa untuk membersihkan bejana yang dijilat anjing hanya sebanyak 3 kali, sebagaimana yang diriwayatkan ad-Daruqutni (Hanafiyah memilih pendapat ini); 2. Hadis Ahad itu tidak menyangkut kepentingan orang banyak dan dilakukan oleh orang banyak secara berulang-ulang, karena dalam hal seperti itu tidak mungkin disampaikan Rasul kepada satu atau dua orang saja. Berdasarkan prinsip ini Hanafiyyah tidak mengangkat tangan mereka dalam shalat ketika akan ruku’ dan I’tidal, walaupun Hadisnya ada, tapi Ahad dan kemungkinan palsu, karena ini menangkut penjelasan shalat yang tidak mungkin diabaikan oleh Rasul, begitu juga mereka tidak mengeraskan bacaan ‘bismillahirrahmanirrahim dalam al-fatihah, karena Hadisnya Ahad; 3. Perawi Hadis itu harus seorang faqih (ahli fiqh), dan Hadis itu tidak bertentangan dengan qiyas dan kaidah-kaidah umum syari’at Islam. Alasannya, Hadis itu mayoritasnya diriwayatkan hanya dengan maknanya saja, sehingga kemungkinan terjadinya perubahan makna dari perawi yang bukan faqih sangat besar, sehingga yang disampaikan tidak utuh. Para perawi yang bukan faqih menurut mereka adalah Abu Hurairah, Anas ibn Malik, Salman al-Farisi, dan Bilal ibn Abi Rabah. Namun konsistensi Hanafiyyah dengan prinsipnya ini dipertanyakan para ulama. Zakiyuddin Sya’ban (ahli UF dari Mesir) mengemukakan ketidak-konsisten-an ulama Hanafiyyah. Misalnya terhadap Hadis riwayat Abu Hurairah (menurut mereka bukan faqih)
من نسي وهو صا ئم فاكل وشرب فليتم صومه فاءنما اطعمه الله وسقاه – رواه البخاري ومسلم-
Ulama Hanafiyyah menerima Hadis ini, bahkan Imam Abu Hanifah sendiri mengatakan “Kalaulah bukan karena adanya Hadis ini, saya akan mengamalkan kaidah umum (qiyas)”.
[23] Yang dimaksud dengan perkataan “dan semisalnya” dalam Hadis tersebut, menurut Jumhur ulama adalah Sunnah Rasulullah saw.
[24] Terdapat perbedaan pendapat, apakah Sunnah Rasul boleh menetapkan hukum baru? Menurut Jumhur ulama, Rasulullah boleh menetapkan hukum baru. Dalam hubungan inilah, umat Islam diperintahkan taat kepada Rasul dan ketaatan kepadanya sebanding dengan ketaatan kepada Allah. Contoh hukum baru: tidak bolehnya mengawini seorang wanita sekaligus dengan bibi; tidak boleh memakan daging himar kampung (yang dijadikan tunggangan/pembawa beban) dan binatang buas. Sebagian ahli UF mengatakan bahwa Rasulullah tidak boleh menetapkan hukum yang tidak ada dasarnya dalam al-Qur’an. Karena menurut mereka seluruh hukum yang ditetapkan Rasulullah ada dasarnya dalam al-Qur’an, baik dasarnya itu melalui qiyas, kaidah kemaslahatan, atau kaidah-kaidah umum yang ada dalam al-Qur’an. Jika demikian, maka hukum-hukum tambahan yang dibuat Rasulullah tidak terlepas sama sekali dengan kandungan al-Qur’an. Atas dasar inilah, Muhammad Abu Zahra, Abdul Wahhab Khallaf dan Ali Hasaballah—ketiganya pakar UF dari Mesir—mengatakan bahwa pada dasarnya hukum-hukum tambahan yang dibuat Rasul melalui Sunnahnya tidak terlepas sama sekali dari kandungan atau makna umum yang dikandung al-Qur’an. Misalnya larangan memadu bibi, adalah qiyas terhadap an-Nisa (4):23, وان تجمعوا بين الاختين الاماقدسلف
[25] Muhammad Abu Zahrah menambahkan di akhir definisi tersebut kalimat: “yang bersifat amaliyah”. Hal tersebut mengandung pengertian bahwa ijma hanya berkaitan dengan persoalan-persoalan furu’ (amaliyah praktis). Menurut rumusan jumhur ulama, mujtahid yang melakukan ijma, tidak perlu seluruh mujtahid, tetapi cukup mujtahid yang hidup pada masa tertentu, sehingga para mujtahid pada setiap masa/ generasi boleh melakukan ijma. Namun, bila pada suatu masa ketika dilakukan ijma ada di antara mujtahid yang tidak setuju dengan hukum yang ditetapkan tersebut, maka hukum yang dihasilkan itu tidak dinamakan ijma.
[26] Menurut Abdul Wahab Khallaf, Ijma seperti itu sulit jika diserahkan kepada perorangan, tetapi mungkin terjadi kalau dilaksanakan oleh pemerintah Islam. Masing-masing ditentukan syarat-syarat yang harus dimiliki, kemudian ditanya pendapatnya. Apabila para mujtahid telah menyatakan pendapatnya dan kebetulan pendapatnya itu sama, maka pendapat itu menjadi ijma dan hukum yang di-ijma-kan itu menjadi hukum syara yang wajib diikuti oleh kaum muslimin.
[27] Zakiyuddin Sya’ban mengatakan bahwa apabila didapati dalam kitab-kitab fiqh ungkapan ijma, maka yang mereka maksudkan kemungkinan ijma sukuti atau ijma kebanyakan ulama, bukan ijma sebagaimana yang didefinisikan para ahli UF.
[28] Ulama klasik lainnya, seperti Imam Ahmad ibn Hanbal, tidak sependapat. Menurutnya jika ada yang mengatakan bahwa telah terjadi ijma terhadap hukum suatu masalah, maka ia telah berdusta, karena mungkin saja ada mujtahid yang tidak setuju; sangat sulit untuk mengetahui adanya ijma. Jika ada yang bertanya, apakah ijma itu ada dan secara aktual terjadi, menurutnya, jawaban yang paling tepat adalah “kami tidak mengetahui ada mujtahid yang tidak setuju dengan hukum ini”. Di samping itu, Imam Syafi’i, Ahmad ibn Hanbal, ibn Taimiyyah dan Ibn al-Qayyim al-Jauziyyah (keduanya ahli fiqh Hanbali), tidak menerima ijma kecuali ijma’ yang dilakukan para sahabat.
[29] Alasan Jumhur adalah: 1. ayat ke-59 Surat an-Nisa’. Ulil amri dalam ayai ini bersifat umum, mencakup para pemimpin di bidang agama (para mujtahid dan pemberi fatwa) dan dunia (pemimpin masyarakat, Negara dan perangkatnya). Ibn Abbas menafsirkan ulil amri dengan para ulama; 2. Hadis “  امتي لاتجتمع على الخطاء atau Hadis “لاتجتمع امتي على ضلا لة “.
[30] Menurut an-Nazzam, ijma yang digambarkan jumhur ulama itu, tidak mungkin terjadi, karena tidak mungkin menghadirkan seluruh mujtahid pada satu masa dari berbagai belahan dunia Islam untuk membahas dan menyepakati suatu kasus. Selain itu masing-masing daerah mempunyai struktur sosial dan budaya yang berbeda. Bagi kalangan Syi’ah, ijma tidak bisa mereka terima sebagai hujjah, karena pembuat hukum bagi mereka adalah imam yang mereka anggap ma’sum. Ulama khawarij dapat menerima ijma sahabat sebelum terjadinya perpecahan politik (setelah perpecahan politik, mereka yang tidak sepaham/ tidak seiman dengan mereka, dipandang bukan mukmin, padahal ijma harus disepakati oleh seluruh muslim).
[31] Mayoritas ulama UF mengatakan bahwa landasan ijma itu bisa dari dalil qath’i maupun zhanni. Alasan mereka adalah ijma sahabat tentang mandi wajib setelah bersetubuh, yang berlandaskan Hadis Ahad; penetapan Abu Bakar sebagai khalifah dengan mengqiyaskan kepada sikap Nabi yang menunjukknya sebagai imam shalat; ijma sahabat tentang haramnya lemak babi yang dianalogikan kepada daging babi, dan hukuman dera 80 kali bagi peminum khamr. Sedangkan ulama Zhahiriyyah, Syi’ah, dan ibn Jarir at-Thabari mengatakan bahwa landasannya harus qath’i.
[32] Malikiyyah dan Syafi’iyyah beralasan bahwa ijma sukuti adalah pendapat pribadi yang disebarluaskan, dan mujtahid lainnya diam saja.Diamnya ini tidak dapat ditafsirkan sebagai tanda persetujuannya, karena diamnya itu mungkin disebabkan kondisi pribadi dan lingkungan yang mereka hadapi. Oleh karena itu, posisi ijtihad yang dilakukan seorang atau sekelompok mujtahid itu tidak lebih dari ijtihad yang sifatnya dhanni (relatif) dan tidak wajib diikuti mujtahid lain, karena itu pula maka tidak dikatakan ijma.
[33] Alasan ulama Hanafiyyah dan Hanabilah, menurut Muhammad Abu Zahra adalah: 1. diamnya (as-sukut)  para ulama itu setelah mengetahui, mempelajari dan menganalisis hasil ijtihad itu dari berbagai segi. Adalah wajib bagi para ulama untuk mempelajari hasil ijtihad yang diungkapkan di zaman mereka, jika ternyata diam , maka hal itu menunjukkan persetujuannya. Karenanya, para ulama UF sepakat menyatakan:  السكوت فى موضع البيان بيان “Diam (saja) ketika suatu penjelasan diperlukan, dianggap sebagai penjelasan (atas persetujuan mereka)”; 2.  adalah tidak dapat diterima akal, jika para ahli fatwa diam saja ketika mendengar fatwa ulama lain; Ulama lain harus mempelajari, menganalisis dan membantah suatu fatwa apabila ternyata tidak sejalan dengan nash atau metode yang digunakan tidak sesuai dengan metode yang ada.
[34] Misalnya, seorang mujtahid ingin mengetahui hukum minuman bir atau wisky. Dari hasil penelitian dan pembahasan secara cermat, kedua minuman itu mengandung zat yang memabukkan, seperti yang ada pada khamr. Zat yang memabukkan inilah yang menjadi penyebab diharamkannya khamr, sehingga hukum bir dan wisky sama dengan khamr karena mempunyai kesamaan illat, yaitu memabukkan.
[35] Dalam al-Baqarah (2): 282 dikatakan bahwa sekurang-kurangnya saksi adalah dua orang laki-laki atau satu orang laki-laki dan dua orang perempuan. Hukum kesaksian secara khusus ini tidak dapat dikembangkan dan diterapkan kepada far’u, kerena hukum ini hanya berlaku untuk pribadi Khuzaimah. Demikian juga hukum-hukum yang dikhususkan untuk Rasulullah, seperti kawin lebih dari empat orang tanpa mahar.
[36] Misalnya, tidak boleh mengqiyaskan hukum men-zhihar wanita dzimmi kepada men-zhihar wanita muslimah dalam keharaman melakukan hubungan suami istri. Karena keharaman terhadap muslimah bersifat sementara, sampai suami membayar kaffarat. Sedangkan terhadap dzimmi, keharaman itu bersifat selamanya, karena orang kafir tidak dibebani membayar kafarat dan kafarat merupakan ibadah. Apabila qiyas ini diterapkan, maka menurut Hanafiyah, hukum ashl bisa berubah dan ini tidak boleh. Oleh karena itu men-zhihar dzimmiyyah juga tidak sah. Akan tetapi menurut ulama Syafi’iyyah, hukumnya sah karena orang dzimmi boleh dikenakan kaffarat.
[37] Contoh illat yang sama zatnya adalah mengqiyaskan wisky pada khamr, karena keduanya sama-sama memabukkan dan yang memabukkan itu sedikit atau banyak, apabila diminum hukumnya haram. Sesuai Hadis: كل مسكر خمروكل خمرحرام –رواه عبدالله ابن عمر- . Illat yang ada pada wisky sama zatnya/ materinya dengan illat yang ada pada khamr. Sedangkan contoh illat yang jenisnya sama adalah mengqiyaskan wajib qishash atas perbuatan sewenang-wenang terhadap anggota badan kepada qishash dalam pembunuhan, karena keduanya sama-sama perbuatan pidana. Jika illat keduanya tidak sama, maka jika terjadi qiyas, disebut qiyas ma’al-fariq/ القياس مع الفارق (qiyas yang bersifat paradok).
[38] Artinya tidak ada nash atau ijma yang menjelaskan hukum far’u dan hukum itu bertentangan dengan qiyas, karena jika demikian, maka status qiyas ketika itu bisa bertentangan dengan nash atau ijma (Qiyas fasid= qiyas yang rusak). Misalnya mengqiyaskan hukum meninggalkan shalat dalam perjalanan kepada hukum bolehnya musafir tidak berpuasa, karena qiyas seperti ini bertentangan dengan nash atau ijma.
[39] Ayat ini berbicara tentang hukuman Allah terhadap kaum kafir dari Bani Nadir disebabkan sikap buruk mereka terhadap Rasulullah saw. Di akhir ayat, Allah memerintahkan agar umat Islam menjadikan kisah ini sebagai I’tibar (pelajaran).
[40] Dalam Hadis lain Rasulullah juga menggunakan metode qiyas dalam menjawab pertanyaan yang diajukan kepadanya, seperti anak menghajikan orangtuanya (diqiyaskan dengan kewajiban membayar hutang), dan bolehnya mencium istri di siang hari puasa (yang diqiyaskan kepada berkumur-kumur).
[41]Bahkan menurutnya, Umar ibn al-Khattab pernah berkata “Hindarilah orang-orang yang mengemukakan pendapatnya tanpa alasan, karena mereka itu termasuk musuh Sunnah dan hindarilah orang-orang yang menggunakan qiyas”. Kisah ini diriwayatkan oleh Qasim ibn Muhammad, yang menurut para ahli Hadis, periwayatannya munqati’ (terputus para penuturnya).
[42] Menurut Mu’tazilah, illat itulah yang menyebabkan hukum itu disyari’atkan, sehingga suatu hukum tidak tergantung kepada Syari’ (tetapi kepada illatnya). Contoh dalam kasus pembunuhan disengaja, menurut al-Ghazali, wajibnya qisas itu disebabkan adanya perbuatan membunuh yang dilakukan. Akan tetapi qisas sendiri pada hakikatnya merupakan kehendak Allah, bukan semata-mata karena perbuatan membunuh itu sendiri. Sedangkan menurut Mu’tazilah, pembunuhan sengaja secara logika, menjadi penyebab wajibnya seseorang diqisas. Dalam hal ini tidak perlu campur tangan Syari’, karena berdasarkan akal saja hal ini telah dapat diketahui.
[43]Illah Mansusah adalah illat yang dikandung langsung oleh nas. Misalnya dalam sebuah hadis riwayat Imam as-sittah: نهيتكم عن ادخارلحوم الاضاحى لاجل الدافة كنت. Adapun illat mustanbathah adalah illat yang digali dari nas sesuai dengan kaidah-kaidah yang ditentukan dan kaidah-kaidah bahasa arab. Misalnya, menjadikan perbuatan mencuri sebagai illat bagi hukuman potong tangan. Artinya mujtahid menggali dan berusaha memahami keterkaitan antara hukum potong tangan dengan sifat, yaitu pencurian, baru disimpulkan. Kedua macam illat ini dapat dijadikan sebagai sifat dalam menentukan hukum syara’. Selanjutnya illat muta’addiyah adalah illat yang ditetapkan nas dan bisa diterapkan pada kasus hukum lainnya. Misalnya illat memabukkan pada khamr = dalam wisky; sedangkan illat Qasirah adalah illat yang terbatas pada suatu nas saja, tidak terdapat dalam kasus lain, baik itu mansusah maupun mustanbathah. Misalnya ulama Malikiyyah, Syafi’iyyah, Hanabilah, dan mayoritas ahli kalam, menyatakan bahwa illat riba dalam memperjualbelikan barang yang sejenis adalah nilainya. Illat ini diperselisihkan dalam menetapkan hukum. Menurut Jumhur, illat seperti ini pun dapat dijadikan sifat dalam menentukan hukum lain, tetapi bukan qiyas, sedangkan menurut Hanafiyyah, tidak bisa, karena sifatnya terbatas hanya pada nas itu saja.
[44] Qiyas al-aulawi, yaitu qiyas yang hukumnya pada furu’ lebih kuat daripada hukum ashl, karena illat yang terdapat pada furu lebih kuat dari yang ada pada ashl. Misalnya mengqiyaskan memukul kepada ucapan “ah”, karena illat larangan dalam al-Isra ayat 23 adalah menyakiti orang tua; Qiyas al-musawi, yaitu hukum pada furu’ sama kualitasnya dengan hukum yang ada pada ashl, karena kualitas illat pada keduanya juga sama. Misalnya mengqiyaskan membakar harta anak yatim kepada memakan hartanya secara tidak wajar, karena sama-sama menghabiskan harta mereka (an-Nisa [4]: 2); Qiyas al-adna, yaitu illat yang ada pada furu’ lebih lemah dibandingkan dengan illat yang ada pada ashl. Misalnya mengqiyaskan apel pada gandum dalam hal berlakunya riba fadhl, karena keduanya mengandung illat yang sama, yaitu sama-sama jenis makanan; Qiyas al-jali, yaitu qiyas yang illatnya ditetapkan oleh nas bersamaan dengan hukum ashl (seperti mengqiyaskan memukul orang tua kepada ucapan ‘ah’) atau nash tidak menetapkan illatnya, tetapi dipastikan bahwa tidak ada pengaruh perbedaan antara ashl dengan furu’ (seperti mengqiyaskan budak perempuan kepada budak laki-laki dalam masalah memerdekakan budak. Beda jenis kelamin, tetapi perbedaan ini tidak berpengaruh. Begitu pula dalam kebolehan meng-qashar shalat bagi musafir perempuan/ laki-laki); Qiyas al-khafi, yang illatnya tidak disebutkan dalam nash. Misalnya mengqiyaskan pembunuhan dengan benda berat kepada pembunuhan dengan benda tajam dalam memberlakukan hukuman qishash, karena illatnya sama-sama pembunuhan sengaja dengan unsur permusuhan. Qiyas ini = qiyas al-adna, karena pembunuhan dengan benda tajam lebih kuat; Qiyas al-Muassir, yaitu qiyas yang menjadi penghubung antara ashl dengan furu’ ditetapkan melalui nash sharih atau ijma (misal, mengqiyaskan hak perwalian dalam menikahkan anak di bawah umur kepada hak perwalian atas hartanya, dengan illat ‘belum dewasa’= hasil ijma) atau qiyas yang ain sifat—sifat itu sendiri—yang menghubungkan ashl dengan furu’ berpengaruh pada hukum itu sendiri (mengqiyaskan minuman keras yang dibuat dari bahan selain anggur kepada khamr—dibuat dari anggur—dengan illat sama-sama memabukkan; Qiyas al-mula’im, yaitu yang illat hukum ashlnya mempunyai hubungan yang serasi, seperti mengqiyaskan pembunuhan dengan benda berat kepada benda tajam; Qiyas al-ma’na atau qiyas pada makna ashl, yaitu qiyas yang di dalamnya tidak dijelaskan illatnya, tetapi antara ashl dan furu’ tidak dapat dibedakan, sehingga furu seakan-akan ashl, seperti tentang membakar harta anak yatim tadi; Qiyas al-illat, yaitu yang dijelaskan illatnya dan illat itu sendiri merupakan motivasi bagi hukum ashl, seperti mengqiyaskan nabidz—minuman keras terbuat dari selain anggur—karena kedua minuman tersebut sama-sama memiliki rangsangan yang kuat, baik pada ashl maupun furu; Qiyas ad-dalalah, yaitu qiyas yang illatnya bukan pendorong bagi penetapan hukum itu sendiri, tetapi illat itu merupakan keharusan yang memberi petunjuk adanya illat. Misalnya mengqiyaskan nabidz dengan alasan ‘bau menyengat’ yang menjadi akibat langsung dari sifat memabukkan; Qiyas al-ikhalah, yaitu yang illatnya ditetapkan melalui munasabah dan ikhalah (diduga bahwa suatu sifat itu merupakan illat hukum, atau mengandung maslahat); Qiyas asy-Syabh yang illatnya ditetapkan melalui metode Syabah (sifat yang mempunyai keserupaan, baik dominan dalam hukum dan sifat [hamba sahaya disamakan dengan harta karena statusnya yang dapat dimiliki atau dengan orang merdeka] maupun semata-mata kesamaan bentuk, misalnya kuda dan keledai dalam kaitannya dengan masalah zakat), dan seterusnya. Baca dalam Nasrun Haroen, Op.Cit. p. 95-98.
[45] Kedua definisi ini sesuai dengan azas istihsan, yaitu adanya dictum hukum yang menyimpang dari kaidah yang berlaku, karena ada faktor lain yang mendorong agar keluar dari keterikatannya dengan kaidah itu, yang dipandang justru akan lebih dekat kepada tujuan syara’, dibandingkan jika tetap terpaku dan berpegang teguh pada kaidah di atas. Sehingga dengan demikian, berpegang pada istihsan dalam pemecahan kasus itu lebih kuat daripada menggunakan dalil qiyas. Asy-Syatibi menambahkan bahwa hakikat istihsan itu adalah mendahulukan maslahah mursalah dari qiyas, namun tidak berarti istihsan semata-mata didasarkan kepada logika dan hawa nafsu, melainkan didasarkan kepada dalil yang lebih kuat. Dalil yang menyebabkan pemalingan ini adalah nas, ijma, urf, dan adakalanya melalui kaidah-kaidah yang berkaitan dengan menghilangkan kesulitan. Dengan demikian, kaidah istihsan merupakan penerapan kaidah maslahah yang didukung oleh syara’ melalui induksi sejumlah nas, bukan oleh nas yang parsial. Lihat asy-Syatibi, al-Muwafaqat, IV: 206 dan 208.
[46] Istihsan al-Qiyas, yaitu meninggalkan qiyas jali ke qiyas khafi, karena jika tetap berpegang pada qiyas jali, akan ada dampak negatifnya, menyulitkan, dan meninggalkan maslahah. Contoh, menurut kesimpulan qiyas jali, hak pengairan yang berada di atas tanah pertanian yang diwakafkan, tidak dianggap ikut diwakafkan, kecuali jika ditegaskan dalam ikrar wakaf. Hal ini karena ini disamakan dengan akad/ praktek jual beli karena sama-sama menghilangkan milik (dalam jual beli, hak pengairan tidak termasuk dalam obyek jual). Namun berdasarkan istihsan yang berorientasi kepada kemaslahatan, hak untuk mengairi  itu termasuk ke dalam tanah wakaf, meskipun tidak ditegaskan waktu ikrar wakaf karena diqiyaskan kepada sewa menyewa dengan persamaan illat (sama-sama untuk diambil manfaatnya). Dilihat dari segi manfaatnya itu, qiyas ke-2 ini lebih kuat pengaruh hukumnya karena sejalan dengan tujuan disyari’atkannya wakaf, yaitu untuk diambil manfaatnya; Istihsan al-istisna’i, yaitu pengecualian dari suatu kaidah umum karena ada kondisi khusus yang menghendaki; Istihsan bin-nas maksudnya ada ayat atau hadis tentang hukum suatu kasus yang berbeda dengan ketentuan kaidah umum. Misalnya, dalam masalah wasiyat. Menurut ketentuan umum, wasiyat itu tidak boleh jika sifat pemindahan hak milik itu terjadi ketika orang yamg berwasiyat tidak cakap lagi (sudah meninggal) tetapi kaidah umum ini dikecualikan melalui an-Nisa (4): 11, من بعد وصية يوصى بهااودين . Berdasarkan ayat ini, kaidah umum itu tidak berlaku untuk masalah wasiyat. Dari sunnah Rasul seperti hukum orang berpuasa yang lupa makan di siang hari dengan tidak sengaja; Istihsan bil-ijma/ didasarkan pada ijma. Misalnya, ketetapan ijma tentang sahnya akad istisna (pesanan). Menurut qiyas, semestinya akad itu batal, sebab obyek akad tidak ada ketika akad dilangsungkan. Memperjualbelikan benda yang belum ada dilarang dalam hadis (HR. Abu Dawud), namun hal ini dibolehkan sebagai pengecualian, karena transaksi ini sudah dikenal luas dan tidak diingkari para ulama, maka dipandang sebagai ijma yang dapat mengalahkan dalil qiyas; Istihsan bil-maslahah, misalnya ketentuan umum menetapkan bahwa buruh pabrik tidak bertanggung jawab atas kerusakan produk kecuali atas kelalaian dan kesengajaan mereka. Namun demi kemaslahatan dalam memelihara harta orang lain dari sikap tidak bertanggung jawab dan sulitnya mempercayai sebagian pekerja dalam keamanan produk, maka ulama Hanafiyah menggunakan istihsan dengan menyatakan bahwa buruh harus bertanggung jawab atas kerusakan produk. Ulama Malikiyyah mencontohkannya dengan bolehnya dokter melihat aurat dalam berobat; Istihsan bil-urf, contohnya dalam kasus pemandian umum. Mestinya, jasa pemandian itu harus jelas ketentuan lamanya mandi dan berapa air yang digunakan. Akan tetapi jika hal ini diterapkan, akan menyulitkan banyak orang; Istihsan bid-darurat, misalnya dalam kasus sumur yang kejatuhan najis. Secara umum sumur itu sulit untuk dibersihkan dengan menguras habis sumur itu, maka cukup dengan menambahkan sejumlah air, karena darurat menghendaki kemudahan orang memanfaatkan sumur itu.
[47] Dalam hal ini, Imam asy-Syatibi mengatakan bahwa kaidah istihsan merupakan hasil induksi dari berbagai ayat dan hadis yang secara keseluruhan menunjukkan secara pasti bahwa kaidah ini didukung oleh syara’. Dalam persoalan mudarabah, menurut kaidah umum akad ini tidak diperbolehkan, karena obyek akad ini sesuatu yang belum ada dan imbalan bagi pengelola modal pun masih bersifat spekulatif. Akan tetapi, demi menghindari kesulitan dan untuk kepentingan orang banyak, akad ini dibolehkan. Menjamak shalat pun, apabila mengikuti kaidah umum, tidak boleh. Karena menjamak berarti mengerjakan salah satu shalat tidak pada waktunya, sedangkan penyebab wajibnya shalat adalah datangnya waktu. Akan tetapi demi kepentingan musafir, syara’ membolehkannya. Dari sekumpulan peristiwa itulah dirumuskan kaidah istihsan. Jadi istihsan tidak didasarkan kepada akal semata, tetapi juga kepada nas dan ijma.
[48] Imam asy-Syatibi, mengatakan bahwa kemaslahatan tersebut tidak dibedakan antara kemaslahatan dunia maupun kemaslahatan akhirat, karena keduanya apabila bertujuan untuk memelihara kelima tujuan syara dia atas termasuk ke dalam konsep maslahah. Dengan demikian, kemaslahatan dunia yang dicapai seorang hamba Allah harus bertujuan untuk kemaslahatan di akhirat.
[49] Memeluk agama merupakan fitrah dan naluri insani yang tidak bias dipungkiri dan sangat dibutuhkan manusia, untuk kebutuhan tersebut Allah mensyari’atkan agama yang wajib dipelihara, baik yang berkaitan dengan aqidah, ibadah, maupun muamalah; hak hidup merupakan hak paling asasi. Allah mensyari’atkan qisas; akal merupakan sasaran yang menentukan bagi seseorang menjalani hidup dan kehidupan. Untuk menjaganya Allah melarang minuman keras; berketurunan merupakan masalah pokok untuk memelihara kelangsungan manusia, untuk memelihara dan melanjutkan keturunan tersebut Allah mensyari’atkan nikah dengan segala hak dan kewajiban yang diakibatkan; manusia tidak bias hidup tanpa harta. Untuk mendapatkannya, Allah mensyari’atkan berbagai ketentuan dan untuk memelihara harta, Allah mensyari’atkan hukuman pencuri dan perampok.
[50] Dalam bidang ibadah, diberi keringanan qasar shalat dan berbuka puasa bagi musafir; dalam bidang muamalah dibolehkan berburu binatang dan memakan makanan yang baik-baik, dibolehkan jual-beli pesanan (bai as-salam), kerjasama dalam pertanian (muzara’ah) dan perkebunan (musaqah). Semua ini disyari’atkan untuk mendukung al-masalih al-khamsah di atas.
[51] Pembagian dari tetap/ tidaknya maslahah ini, menurut Muhammad Musthafa asy-Syalabi (Guru Besar UF di Univ. al-Azhar Mesir) dimaksudkan untuk memberikan batasan kemaslahatan mana yang bisa berubah dan yang tidak.
[52] Contoh lain dari bentuk kemaslahatan yang didukung syara adalah seorang pencuri dikenakan hukuman keharusan mengembalikan barang yang ia curi kepada pemiliknya, apabila masih utuh, atau mengganti dengan yang sama nilainya, apabila barang yang dicuri itu telah habis. Hukuman ini dianalogikan kepada hukuman bagi orang yang mengambil harta orang lain tanpa ijin (ghasab). Sesuai sabda Rasul: على اليد مااخذت حتى تؤديه Wajib bagi seseorang yang mengambil (barang orang lain tanpa ijin) untuk mengembalikannya (HR. Ahmad ibn Hanbal, Abu Dawud, at-Tirmizi, an-Nasa’i dan Ibn Majah).
[53] Najm ad-Din at-Tufi (675-716 H/ 1276-1316 M, ahli UF Hanbali), tidak mengklasifikasi maslahah tersebut. Menurutnya, maslahah merupakan dalil yang bersifat mandiri dan menemppati posisi yang kuat dalam menetapkan hukum syara, baik maslahah itu mendapat dukungan dari syara maupun tidak. Pandangannya ini sangat bertentangan dengan paham mayoritas ulama UF yang menyatakan bahwa maslahah—apapun bentuknya—harus mendapat dukungan dari syara, baik melalui nash tertentu maupun melalui makna yang dikandung oleh sejumlah nash. Pendapatnya tentang konsep maslahah bertolak dari hadis: لاضرر ولاضرار فى الاسلام
“Tidak boleh memudaratkan dan tidak boleh (pula) dimudaratkan (orang lain)”. Menurutnya, inti dari seluruh ajaran Islam yang termuat dalam nash adalah maslahah bagi manusia. Karenanya, seluruh bentuk kemaslahatan disyari’atkan dan kemaslahatan itu tidak perlu mendapat dukungan nash. Ada 4 prinsip yang membedakan at-Tufi dengan jumhur ulama berkaitan dengan maslahah: 1. akal bebas menentukan kemaslahatan dan kemafsadatan, khususnya dalam bidang muamalah dan adat; untuk menentukan sesuatu—termasuk maslahah/ tidak—cukup dengan akal. 2. maslahah adalah dalil mandiri dalam menetapkan hukum; untuk kehujjahan maslahah tidak diperlukan dalil pendukung. 3. maslahah hanya berlaku dalam masalah muamalah dan adat kebiasaaan. Adapun dalam masalah ibadah atau ukuran-ukuran yang ditetapkan syara, seperti dhuhur 4 rakaat, puasa selama satu bulan, tidak termasuk obyek maslahah, karena masalah-masalah seperti ini merupakan hak Allah semata. 4. maslahah merupakan dalil syara paling kuat. Apabila nas atau ijma bertentangan dengan maslahah, maka didahulukan maslahah dengan cara takhsis dan bayan (perincian/ penjelasan).
[54] Artinya untuk menjadikan maslahah al-mursalah sebagai dalil disyaratkan maslahah tersebut berpengaruh pada hukum; ada ayat, hadis atau ijma yang menunjukkan bahwa sifat yang dianggap sebagai kemaslahatan itu merupakan illat—motivasi hukum—dalam penetapan suatu hokum, atau jenis sifat yang menjadi motivasi hukum tersebut dipergunakan oleh nas sebagai motivasi suatu hukum. Misalnya, sifat yang berpengaruh pada hukum tersebut adalah, Rasulullah pernah ditanya tentang status sisa makanan kucing, apakah termasuk najis atau tidak. Rasul bersabda: ان رسول الله ص.م. قال عن الهرة: انهاليست بنجس انماهي من الطوافين عليكم والطوافات
“Kucing itu tidak najis, karena sesungguhnya kucing itu termasuk binatang rumah yang senantiasa mengelilingi kamu, tidak (menjadi najis) bagi kamu”. Sifat itu jelas, yaitu tawwaf (hewan yang senantiasa berada di rumah, tidur di rumah dan sulit dipisahkan. Oleh karena itu sisa makanannya juga tidak najis. Jadi, tawwaf merupakan motivasi dari hukum taharah (suci) untuk menghindari kesulitan dari orang-orang yang memelihara kucing di rumahnya. Adapun contoh jenis sifat yang dijadikan motivasi dalam suatu hukum adalah Rasulullah saw melarang pedagang menghambat para petani di perbatasan kota dengan maksud membeli barang mereka, sebelum petani tahu harga pasar (HR. al—Bukhari dan Abu Dawud). Larangan ini dimaksudkan untuk menghindari “kemudaratan bagi petani” dengan terjadinya penipuan harga. Sifat yang membuat larangan ini adalah adanya “kemudaratan” dan aspek kemudaratan ini berpengaruh kepada hukum jual beli. Jenis “kemudaratan” seperti itu juga terdapat pada masalah lain, seperti masalah dinding rumah yang hampir roboh ke jalan. Oleh sebab itu, motivasi hukum dalam masalah dinding ini dapat dianalogikan kepada jenis motivasi hukum dalam masalah jual beli tadi, yaitu sama-sama memberi mudarat..
[55] Menurut Malikiyyah dan Hanabilah, maslahah al-mursalah dapat menjadi dalil dengan 3 syarat: 1. kemaslahatan itu sejalan dengan kehendak syara dan termasuk jenis kemaslahatan yang didukung nas secara umum; 2. kemaslahatan itu bersifat rasional dan pasti, bukan sekedar perkiraan, sehingga hukum yang ditetapkan melalui maslahah al-mursalah itu benar-benar menghasilkan manfaat dan menghindari atau menolak kemudaratan; 3. kemaslahatan itu menyangkut kepentingan orang banyak, bukan kepentingan pribadi atau kelompok kecil tertentu.
[56] Kemaslahatan Hajiyah dapat menjadi daruriyyah apabila menyangkut kepentingan orang banyak.
[57] Contohnya Umar ibn al-Khattab tidak memberi bagian zakat kepada para mu’allaf, karena menurut Umar, kemaslahatan orang banyak menuntut hal itu. Abu Bakar mengumpulkan al-Qur’an atas saran Umar sebagai salah satu kemaslahatan untuk melestarikan al-Qur’an dan menulis al-Qur’an pada satu logat bahasa di zaman Usman ibn Affan demi memelihara tidak terjadinya perbedaan bacaan al-Qur’an itu sendiri.
[58] Misalnya, seluruh pepohonan yang ada di hutan merupakan milik bersama umat manusia dan masing-masing orang berhak untuk menebang dan memanfaatkannya, sampai ada bukti yang menunjukkan bahwa hutan itu telah menjadi milik seseorang/ pemerintah. Hal ini berdasar al-Baqarah (2): 29,”Dialah yang telah menjadikan bagi kamu seluruh yang ada di bumi…”; Memanfaatkan perhiasan dan mencari rizki yang baik merupakan hak setiap orang dan halal, selama tidak ada dalil lain yang menunjukkan bahwa hukum boleh dan halal itu telah berubah.
[59]Terhadap kehujjahan istishab bentuk kedua ini terdapat perbedaan pendapat. Ibn al-Qayyim menyatakan dapat dijadikan hujjah. Al-Gazali, menyatakan dapat dijadikan hujjah bila didukung oleh nas atau dalil; Istishab tidak dapat dijadikan alasan berdasarkan anggapan saja bahwa tidak ada dalil lain yang membatalkan suatu hukum. Ulama Hanafiyyah berpendapat bahwa istishab seperti ini hanya bisa dijadikan hujjah untuk menetapkan dan menegaskan hukum yang telah ada, tapi tidak bisa untuk hukum yang belum ada (akan datang). Sedangkan ulama Malikiyyah menolak istishab sebagai hujjah dalam beberapa kasus, seperti kasus orang yang ragu terhadap wudhunya. Dalam kasus ini, istishab tidak berlaku. Karenanya, apabila seseorang sedang shalat, merasa ragu atas wudhunya, maka shalatnya batal dan ia harus wudhu lagi.
[60] Misalnya dalam al-Baqarah (2): 267: ياايها الذين امنوا انفقوا من الطيبت ماكسبتم ومما اخرجنا لكم من الارض
Kalimat “nafkah” seluruh hasil usaha dan seluruh hasil yang dieksploitasi dari “sumber daya alam” tersebut bersifat umum, baik nafkah wajib itu berbentuk zakat, nafkah keluarga, maupun kaum kerabat. Kalimat “hasil usaha” dan “hasil eksploitasi bumi” juga umum, yaitu seluruh jenis eksploitasi bumi. Kandungan ayat yang umum ini, menurut Jumhur Ulama, tetap berlaku selama tidak ada dalil yang mengkhususkannya, dan ini dinamakan istishab. Tetapi sebagian ulama UF yang lain, seperti Imam al-Haramain al-Juwaini dan Imam asy-Syaukani, hal-hal seperti ini tidak dinamakan istishab, tetapi berdalil berdasarkan kaidah bahasa, yaitu kaidah yang menyatakan: “suatu dalil yang umum tetap berlaku sesuai dengan keumumannya sampai ada dalil yang mengkhususkannya”. Adapun contoh istishab dengan nas selama tidak ada yang me-naskh-kannya adalah kewajiban berpuasa dalam al-Baqarah (2): 183. kewajiban puasa di bulan Ramadhan yang berlaku bagi umat sebelum Islam, tetap wajib bagi umat Islam berdasarkan ayat di atas, selama tidak ada nas lain yang membatalkannya.
[61] Akibat hukum dari perbedaan pendapat di atas, dapat dilihat dalam kasus mafqud (orang hilang yang telah melalui masa bertahun-tahun tidak diketahui keadaan sebenarnya, apakah masih hidup atau sudah wafat). Menurut Malikiyyah dkk—kelompok ketiga–, mafqud berhak menerima warisan, wasiat, hibah dan wakaf. Bagiannya tersebut dan juga hartanya harus disimpan sampai keadaannya diketahui hidup atau mati. Jika mati, baru boleh diberikan kepada ahli warisnya. Akan tetapi ulama Hanabilah membatasi hal tersebut sampai empat tahun setelah kepergiaannya. Sedangkan menurut ulama Hanafiyyah, mafqud tidak bisa menerima warisan, wasiat, hibah dan wakaf, karena mereka belum dipastikan hidup, namun harta mereka belum dapat dibagikan, sampai keadaan orang itu benar-benar terbukti telah wafat, karena penyebab adanya waris mewarisi adalah wafatnya seseorang. Alasan mereka dalam hal ini karena istishab bagi mereka hanya berlaku untuk mempertahankan hak (harta orang hilang itu tidak bisa dibagi), bukan untuk menerima hak atau menetapkan hak baginya (menerima waris, wasiat, hibah, dan wakaf)
[62] Para ulama UF membedakan antara adat dengan ‘urf dalam membahas kedudukannya sebagai salah satu dalil untuk menetapkan hukum syara. Adat didefinisikan dengan: الامر المتكرر من غير علاقة عقلية
“sesuatu yang dikerjakan secara berulang-ulang tanpa adanya hubungan rasional”. Artinya bila suatu pekerjaan dilakukan secara berulang-ulang menurut hukum akal, tidak dinamakan adat. Adat mencakup persoalan yang amat luas, baik pribadi (seperti kebiasaan tidur, makan, dan mengkonsumsi jenis makanan tertentu), maupun permasalahan yang menyangkut orang banyak, yaitu sesuatu yang berkaitan dengan hasil pemikiran yang baik dan buruk. Adat juga bisa muncul dari sebab yang alami, seperti cepatnya anak menjadi baligh di daerah tropis atau cepatnya tanaman berbuah di daerah tropis, dan sebaliknya di daerah dingin. Adat juga dapat muncul dari hawa nafsu dan kerusakan akhlak, seperti korupsi, sebagaimana juga adat bisa muncul dari kasus-kasus tertentu, seperti perubahan budaya suatu daerah disebabkan pengaruh budaya asing. Adapun ‘urf menurut ulama UF adalah: عادة جمهورقوم فى قول اوفعل “Kebiasaan mayoritas kaum baik dalam perkataan atau perbuatan”. Berdasarkan definisi ini, Musthafa Ahmad az-Zarqa (guru besar fiqh di Univ. Amman, Jordania), mengatakan bahwa ‘urf merupakan bagian dari adat. Suatu ‘urf, menurutnya harus berlaku pada kebanyakan orang di daerah tertentu (bukan pada pribadi atau kelompok tertentu) dan urf bukanlah kebiasaan alami sebagaimana yang berlaku dalam kebanyakan adat, tetapi muncul dari suatu pemikiran dan pengalaman, seperti kebiasaaan mayoritas masyarakat pada daerah tertentu yang menetapkan bahwa untuk memenuhi keperluan rumah tangga pada suatu perkawinan biasa diambil dari mas kawin dan penetapan ukuran tertentu dalam penjualan makanan. Dan yang dibahas di sini adalah ‘urf, bukan adat.
[63] Para ulama sepakat menyatakan bahwa ketika ayat-ayat al-Qur’an diturunkan, banyak sekali ayat yang mengukuhkan kebiasaan yang berlaku dalam masyarakat. Begitu juga dengan Hadis Rasul, seperti hadis jual beli pesanan. Ketika Rasul hijrah ke Madinah, beliau melihat penduduk setempat melakukan jual beli tersebut. Lalu Rasul bersabda: من اسلف فى تمر فليسلف فى كيل معلوم ووزن معلوم الى اجل معلوم
“Siapa yang melakukan jual beli salam pada kurma, maka hendaklah ditentukan jumlahnya, takarannya, dan tenggang waktunya (HR. al-Bukhari).
Ulama Malikiyyah banyak menetapkan hukum dengan berdasarkan pada perbuatan-perbuatan penduduk Madinah. Ini berarti menganggap apa yang telah berlaku pada masyarakat dapat diterima, dengan ketentuan tidak bertentangan dengan syara. Perbuatan penduduk Madinah tentu tidak akan menyimpang dari syara; Imam  Syafi’i terkenal dengan qaul qadim dan qaul jadidnya, karena melihat praktek yang berlaku dalam masyarakat Bagdad dan Mesir berlainan.
[64] Kaidah ini hanya berlaku dalam masalah-masalah yang berkaitan dengan adat kebiasaan manusia dan hukum-hukum yang ditetapkan berdasarkan ijtihad, seperti qiyas, istihsan, dan maslahah mursalah. Adapun hukum-hukum yang bersifat mendasar dan ditetapkan dengan dalil qath’i, tidak berubah karena perubahan zaman dan tempat, seperti hukum shalat, zakat, jihad, dan haramnya riba.
[65] وعلى الذين هادوا حرمنا كل ذي ظفر ومن البقر والغنم حرمنا عليهم شحومهما الا ما حملت ظهورهما اوالحوايا اومااختلط بعظم ذالك جوجزينهم ببغيهم وانا لصادقون.
[66] Sahabat adalah “seseorang yang bertemu dengan Rasulullah saw. dan beriman kepadanya serta mengikuti dan hidup bersamanya dalam waktu panjang, dijadikan rujukan oleh generasi sesudahnya dan mempunyai hubungan khusus dengan Rasul, sehingga secara adat dinamakan sebagai sahabat”. Atau dengan lebih singkat, sahabat adalah orang yang bertemu dan beriman kepada Rasulullah serta hidup bersamanya dalam waktu yang cukup lama.
[67] Imam al-Gazali mengatakan, “Terhadap pendapat orang yang tidak terlepas dari suatu kesalahan dan kelalaian, pendapatnya tidak bisa dijadikan hujjah, karena mereka bukanlah orang yang ma’sum. Para sahabat sendiri sepakat untuk berbeda pendapat, sehingga Abu BAkar dan Umar ibn Khattab membiarkan saja orang-orang yang tidak sependapat dengannya, bahkan mereka menganjurkan agar setiap sahabat beramal sesuai dengan hasil ijtihadnya masing-masing”.
[68] Seperti pendapat Ibn Abbas tentang tidak diterimanya kesaksian anak kecil. Dalam hubungan ini Imam Syafi’i mengatakan pendapat Ibn Abbas lebih dekat kepada al-Qur’an dan qiyas. Imam Syafi’i juga mengambil pendapatnya Usman ibn Affan (yang tidak diketahui disepakati oleh lainnya atau tidak) tentang hilangnya kewajiban shalat jum’at bila bertepatan dengan hari raya. Pendapat seperti ini diterima oleh ulama Syafi’iyyah.
[69] Apabila pendapat sahabat tersebut bukan dalam masalah ijtihadiyyah dan tidak diketahui adanya sahabat lain yang tidak menyetujuinya, dapat diterima sebagai hujjah. Alasannya, dalam masalah non-ijtihadiyyah, para sahabat tidak mungkin melakukan ijtihad terhadap masalah itu, juga diduga keras pendapat itu muncul dari petunjuk atau sikap Rasulullah. Pendapat seperti ini statusnya sama dengan Sunnah Taqririyyah (pengakuan Rasulullah terhadap perbuatan para sahabat); pendapat sahabat yang didasarkan ijtihad dan tersebar luas serta tidak diketahui adanya sahabat lain yang tidak menyetujuinya, maka dapat dijadikan hujjah. Pendapat seperti ini statusnya sama dengan ijma sukuti dan dapat dijadikan hujjah. Seperti pendapat Abu Bakar tentang bagian warisan nenek sebanyak 1/6 harta waris; dan terhadap ijtihad sahabat yang tidak popular, tidak dapat dijadikan hujjah. Dalam hubungan inilah Imam Abu Hanifah mengatakan, “Mereka itu—sahabat—laki-laki (pahlawan, mujtahid), kita juga laki-laki”.
[70] Imam asy-Syatibi mendefinisikan zari’ah dengan: التوسل بما هو مصلحة الى مفسدة
“Melakukan suatu pekerjaan yang semula mengandung kemaslahatan untuk menuju kepada suatu kemafsadatan”.
Maksudnya, seseorang melakukan suatu pekerjaan yang pada dasarnya dibolehkan karena mengandung suatu kemaslahatan, tetapi tujuan yang akan ia capai berakhir kepada suatu kemafsadatan. Contoh, dalam bai’ al-ajal: seseorang membeli motor Rp. 30 juta secara kredit. Kemudian motor tersebut dijual kembali kepada penjual pertama dengan harga tunai Rp. 15 juta, selanjutnya ia tetap harus mencicil kreditnya sampai lunas. Pada dasarnya jual beli itu halal dan maslahah (dengan kredit, meringankan pembeli untuk tidak segera melunasi) tetapi  tujuan/ akhirnya malah memberatkan pembeli. Seakan-akan obyek akad tidak ada dan pedagang kendaraan itu tinggal menunggu keuntungan saja. Hali ini, menurutnya, tidak lebih dari pelipatgandaan hutang tanpa sebab, karenanya perbuatan seperti ini dilarang.
[71] Dalam bai al-ajal, secara hukum, pembeli telah membeli barang seharga RP. 1000,- secara kredit. Jual beli ini sah. Kemudian, pembeli menjual kembali barangnya itu, yang secara kebetulan, kepada penjaul semula seharga Rp. 500,-. Ini pun sah. Tidak bisa dikatakan bahwa di antara keduanya ada niat untuk menghalalkan riba, karena hal ini baru bersifat dugaan semata.
[72] Ada tiga alasan yang dikemukakan Imam Malik dan Imam Ahmad ibn Hanbal dalam mendukung pendapatnya, yaitu: 1.dalam bai’ al-ajal perlu dipertimbangkan tujuan yang membawa kepada riba, sekalipun sifatnya gilbah-az-zan (dugaan kuat), karena dalam banyak kasus, Syari’ sendiri sering mengisyaratkan penentuan hukum atas dasar gilbah-az-zan. Di samping itu perlu bersikap ihtiyat/ waspada dalam beramal. Tujuan yang diduga membawa mafsadah, bisa dijadikan dasar untuk melarang bai’ al-ajal, karena: دفع المفاسد مقدم على جلب المصالح
2. dalam bai’ al-ajal terdapat dua dasar yang bertentangan, yaitu bahwa jual beli pada dasarnya boleh, selama rukun dan syaratnya terpenuhi dan bahwa seseorang harus terhindar dari segala bentuk kemudaratan. Dan untuk pemeliharaan orang lain dari kemudaratan itulah, bai al-ajal dilarang (sejalan dengan prinsip sadd az-zari’ah); 3. banyak sekali nas yang menunjukkan dilarangnya perbuatan yang membawa kepada kemafsadatan, sekalipun pada mulanya diijinkan. Misalnya, larangan berkhalwat dan wanita dilarang bepergian sendiri lebih dari tiga hari. Dalam kasus ini, terjadinya fitnah masih dalam status dugaan (zhann), tetapi Rasulullah melarangnya. Larangan mengawini wanita sekaligus dengan saudara/ bibinya, karena hal ini bisa memutus hubungan kekerabatan (dzann), larangan meminang wanita dalam masa iddah, sehingga wanita itu tidak menyembunyikan keadaan yang sebenarnya (semuanya bersifat zann).
[73] Imam Syafi’i membolehkan orang yang udzur untuk meninggalkan shalat Jum’at dan menggantinya dengan shalat dzuhur (tetapi harus sembunyi-sembunyi, agar tidak dituduh menyengaja meninggalkan shalat Jum’at), begitu juga bagi yang tidak berpuasa karena udzur, agar tidak terjadi fitnah. Imam Syafi’i juga sepakat pembunuh tidak mendapat warisan dari orang yang dibunuhnya. Contoh-contoh ini, menurut Mustafa Dib al-Bugha, difatwakan oleh Imam Syafi’i berdasar prinsip sadd az-zari’ah. Ulama Hanafiyyah juga menggunakannya, seperti, mereka mengatakan bahwa orang yang melaksanakan puasa yaum asy-syakk (akhir bulan Sya’ban yang diragukan apakah telah masuk bulan Ramadhan atau belum), sebaiknya dilakukan secara diam-diam, apalagi kalau ia seorang mufti, sehingga ia tidak dituduh melakukan puasa pada hari itu, karena Rasul bersabda:
من صام يوم الشك فقد عصى اباالقاسم
Ulama Hanafiyyah tidak menerima pengakuan orang yang dalam keadaan mard al-maut (sakit atau keadaan yang membawa seseorang kepada kematian), karena diduga bahwa pengakuannya ini akan berakibat pembatalan terhadap hak orang lain dalam menerima warisan. Misalnya orang tersebut mengaku berutang kepada orang lain yang meliputi seluruh atau sebagian hartanya. Pengakuan ini, hanya akan membatalkan hak ahli waris terhadap harta, maka pengakuan ini tidak sah. Ini semua, menurut Muhammad Baltaji, didasarkan atas prinsip sadd az-zari’ah.
KIAS YANG PALING BERMAKNA
Tempat meng-qiyas-kan
M.Rakib Ciptakarya LPMP.Pekanbaru. Riau Indonesia. 2014

         Dalam al-Qur’an dan Sunnah sudah disebutkan hukum beberapa persoalan secara rinci. Hingga dalam pelaksanaannya tidak terjadi persoalan. Tapi kenyataan yang dihadapi umat Islam yang beragam suku, ras, budaya, daerah dan sebagainya, masih sangat banyak hal lain yang tidak dijelaskan dengan rinci dalam kedua sumber itu.

Misalnya dalam al-Qur’an sudah disebutkan bahwa gandum (makanan pokok) wajib dizakatkan ketika panen dilakukan. Sementara gandum hanya hanya menjadi makanan pokok bagi sebagian kecil umat Islam, yang menghuni hampir seluruh permukaan bumi. Sangat banyak umat Islam lain yang makanan pokoknya bukan gandum, seperti padi (beras), jagung, sagu, ubi dan sebagainya, dan itu tidak disinggung sama sekali dalam al-Qur’an. Maka ulama menetapkan bahwa makanan pokok selain gandum itu tetap wajib dizakatkan.

Dalam kasus ini, yang disebut tempat meng-qiyas-kan atau ashl adalah gandum; wajibnya zakat pada gandum yang ditetapkan berdasarkan Sunnah disebut hukum; makanan pokok lainnya disebut yang di-qiyas-kan atau furu’; kesamaannya sebagai “makanan pokok” disebut illat. Untuk wajibnya zakat terhadap makanan pokok lainnya ini, seperti padi atau beras, fuqaha mengatakan:

Wajib zakat pada padi di-qiyas-kan pada gandum.
Maksudnya, ditetapkan wajib zakat pada furu’ di-qiyas-kan pada hukum wajib yang sebelumnya telah ada pada ashl, yaitu tempat meng-qiyas-kan furu’.
Qiyas menurut istilah ahli ilmu ushul fiqh adalah : mempersamakan suatu kasus yang tidak ada nash hukumnya dengan suatu kasus yang ada nash hukumnya, dalam hukum yang ada nashnya, karena persamaan kedua itu dalam illat hukumnya.
Maka apabila suatu nash telah menunjukkan hukum mengenai suatu kasus dan illat hukum itu telah diketahui melalui salah satu metode untuk mengetahui illat hukum, kemudian ada kasus lainnya yang sama dengan kasus yang ada nashnya itu dalam suatu illat yang illat hukum itu juga terdapat pada kasus itu, maka hukum kasus itu disamakan dengan hukum kasus yang ada nashnya, berdasarkan atas persamaan illatnya karena sesungguhnya hukum itu ada di mana illat hukum ada.
1.    B.     Rukun-rukun Qiyas
Setiap qiyas terdiri dari empat rukun yaitu :
1.    Al-ashlu, yaitu : Sesuatu yang ada nash hukumnya. ia disebut juga al-maqis ‘alaih (yang diqiyaskan kepadanya), mahmul ‘alaih (yang dijadikan pertanggungan), dan musyabbah bih (yang diserupakan dengannya).
2.    Al-far’u, yaitu : Sesuatu yang tidak ada nash hukumnya. ia juga disebut al-maqis (yang diqiyaskan), al-mahmul (yang dipertanggungkan), dan al-musyabbah (yang diserupakan).
3.    Hukum Ashl, yaitu : Hukum syara’ yang ada nashnya pada al-ashl (pokok)nya, dan ia dimaksudkan untuk menjadi hukum pada al-far’u (cabangnya).
4.    Al-‘illat, yaitu : Suatu sifat yang dijadikan dasar untuk membentuk hukum pokok, dan berdasarkan adanya keberadaan sifat itu pada cabang (far’u), maka ia disamakandengan pokoknya dari segi hukumnya.
1.    C.    Macam-macam Illat
Dari segi adanya anggapan dan ketiadaan anggapan syar’i terhadap sifat yang sesuai, maka para ahli ilmu ushul fiqh membagi sifat yang sesuai (munasib) menjadi empat macam, yaitu :
1.    Munasib muatstsir (sifat yang sesuai yang memberikan pengaruh).
2.    Munasib mulaim (sifat yang sesuai lagi cocok).
3.    Munasib mursal (sifat yang sesuai lagi bebas).
4.    Munasib mulgha (sifat yang sesuai yang sia-sia).
Berikut ini adalah penjelasan empat macam illat dan contoh-contohnya. :
1.    Munasib muatstsir : yaitu suatu sifat yang sesuai dimana syari’ telah menyusun hukum sebagai illat hukm yang disusun berdasarkan kesesuaiannya dengannya misalnya, Firman Allah SWT :
وَيَسْأَلُوْنَكَ عَنِ اْلمَحِيْضِ.قُلْ هُوَ اَذًى فَاعْتَزِلُوْاالنِّسَاءَ فِى المَحِيْضِ.
Artinya : “Mereka  bertanya kepadamu tentang haidh. Katakanlah haidh itu adalah suatu kotoran, oleh sebab itu, hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita di waktu haidh….” (Qs.  Al-Baqarah (2) : 222).
Shighat nash telah jelas bahwa illathukum ini adalah kotoran tersebut. Oleh karena itu, maka kotoran tersebut yang mewajibkan menjauhkan diri dari wanita pada waktu haidhnya merupakan sifat yang munasib muatstsir.
1.    Munasib mulaim. Yaitu suatu sifat yang sesuai yang mana syari’ telah menyusun hukum yang sesuai dengan sifat itu, namun tidak ada nash maupun ijma’ yang menetapkannya sebagai illat hukum menurut pandangan syari’itu sendiri, yang disusun sesuai dengan sifat itu. Hanya saja berdasarkan nash atau ijma’ diperoleh ketetapan bahwa sifat itu dianggap illat hukum dari hukm sejenis yang oleh syari’ telah disusun hukumnya sesuai dengan sifat itu, “contoh : sifat yang sesuai yang dianggap oleh syari’ sebagai illat hukum dari jenis hukum yang dia telah menyusun hukum sesuai dengannya ialah: keadaan masih kecil bagi tetapnya kewalian seorang ayah dalam mengawinkan anak perempuan yang masih kecil.
2.    Munasib mursal. : Suatu sifat yang mana syari’ tidak menyusun hukum sesuai dengan sifat itu, dan tidak ada dalil syari’ yang menunjukkan akan anggapan-Nya dengan salah satu bentuk anggapan maupun dengan penyia-nyiaan anggapan-Nya. Ia adalah munasib, artinya berusaha mewujudkan kemaslahatan, akan tetapi ia juga mursal, contohnya : maslahatan yang menjadi dasar para sahabat dalam membentuk hukum pembayaran pajak atas tanah pertanian, pembuatan mata uang, pentatwinan Al-qur’an, dan penyabarannya.
3.    Munasib mulgha, yaitu : Suatu sifat yang ternyata bahwasanya mendasarkan hukum atas sifat itu terdapat perwujudan kemaslahatan, namun syari’ tidak menyusun hukum sesuai dengannya, dan syari’ tidak menunjukkan berbagai dalil yang menunjukkan pembatalan anggapannya, misalnya menetapkan hukuman khusus bagi orang yang berbuka puasa dengan sengaja pada bulan ramadhan, untuk masuk menjerakannya.
   Cara Mencari Illat (Masalah Al-Illat)
Illat ialah suatu sifat yang terdapat pada suatu ashl (pokok) yang menjadi dasar daripada hukumnya, dan sifat itulah dapat diketahui adanya hukum itu pada far’ (cabangnya).
Misalnya, memabukkan adalah sifat yang ada pada khamar yang menjadi dasar pengharaman, dan dengan adanya sifat memamukkan inilah diketahui pengharaman terhadap semua minuman keras yang memabukkan. Penganiayaan adalah suatu sifat dalam jual beli seseorang atas jual beli saudaranya, yang menjadi dasar pengharamannya, dan dengan adanya sifaat penganiayaan itulah diketahui pengharaman sewa-menyewa seseorang atas sesuatu yang telah disewa saudaranya. Inilah yang dimaksudkan oleh para ahli usul fiqh dengan perkataan mereka yang artinya:
“Illat adalah sesuatu yang memberitahukan adanya hukum”.
Illat juga disebut juga : Manathul Hukmi (hubungan hukum), dan sebab hukum serta tanda hukum.
Untuk mencari Illat, ada beberapa syarat yang harus kita ketahui yaitu :
Pertama    : Bahwa Illat itu haruslah berupa suatu sifat yang jelas.
Kedua      : Bahwa sifat itu haruslah pasti.
Katiga       : Bahwa sifat itu merupakan hal yang sesuai.
Keempat  : Bahwa ia merupakan suatu sifat yang terbatas pada ashl (pokoknya).
KESIMPULAN

Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa Ijma’ dan Qiyas merupakan hukum islam yang mesti kita ikuti, karena tanpa Ijma’ dan Qiyas kita tidak akan mngetahui hukum dalam suatu permasalahan jikalau kita tidak mendapatkan dalil yang pasti dari Al Qur’an dan Hadits.
DAFTAR PUSTAKA
Pengantar Hukum Islam, Prof. Dr.T.M. Hasbi Ash-Shiddieqy – Jakarta : Bulan Bintang, 1994
Ilmu Ushul Fiqh, Prof. Abdul Wahhab Khallaf – Semarang : Dina Utama, 19

No comments:

Post a Comment

Komentar Facebook