Wednesday, March 19, 2014

HAKEKAT AGAMA, MENCEGAH KONFLIK DEKAT DENGAN MANUSIA, DAN SANG KHALIK



MEMBURU HAKEKAT SEMUA AGAMA
 HAKEKAT AGAMA, MENCEGAH KONFLIK
             DEKAT DENGAN MANUSIA, DAN SANG KHALIK
 SEIMBANG DALAM, MENTAL DAN FISIK
JAUH DARI, SIKAP MUNAFIK
 Analisis  M.Rakib Ciptakarya.Pekanbaru Riau Indonesia


          Memburu  Hakekat Filsafat Agama  itu perkara mahal, sebab dia menyita banyak kesempatan anda. Berfilsafat itu menghabiskan bertahun2 waktu didalam pembacaan dan refleksi meningkatkan pemahaman. Otak adalah konsumen oksigen terbesar dalam tubuh manusia. Berat total massa otak hanya sekitar dua persen, namun konsumsi oksigen otak mencapai 20%. Berfilsafat adalah aktifitas kinerja otak yang sangat melelahkan dan menguras energi penting, itu sebabnya kita wajib memperoleh asupan gizi dari bahan2 yang mahal serta kaya kandungan gizinya. Itu sebabnya Berfilsafat dibutuhkan fondasi ketercukupan materi, diantaranya tempat tinggal, pakaian, makanan dan semuanya itu hanya dapat diperoleh lewat kekuatan Keuangan yg memadai. Nah saudara Ikhwan filah yang saya hormati, semoga kita senantiasa ada dalam ridho dan lindungan-Nya. Maka satu hal penting, ya kalian harus Kaya Raya dulu agar bisa nyaman dalam berfilsafat. Berfilsafat dengan perut lapar adalah kejahilan, merupakan sikap frustasi yang mendorong keputusasaan serta dorongan bunuh diri, ini sudah banyak buktinya.


           Hakekat AGAMA muncul sebagai ekspresi penghambaan seorang terhadap Tuhannya. Ekspresi itu diejawantahkan melalui pelbagai bentuk ritual keagamaan. Lewat aneka ritus tersebut, agama menjelma laksana obor penerang di tengah kecamuk kesesatan, sebagai peneduh jiwa yang gersang, dan petunjuk arah jalan keselamatan. Dengan kata lain, agama berperan dalam membantu manusia untuk menyadari hakikat akan keberadaannya di dunia.


          Namun, pada tataran praktisnya, agama ternyata tak selalu identik dengan kebaikan. Ia terkadang menampilkan wajahnya yang ganda. Pada satu sisi, tiap agama, apa pun namanya, tentu membawa misi perdamaian, menyerukan persaudaraan, dan melarang permusuhan. Tapi, di sisi lain, agama turut pula menampilkan keberingasan, menjadi penyebab konflik, bahkan tak jarang menjadi pemantik api peperangan.

          Simbol-simbol agama pun kerap dijadikan perisai oleh sebagian pemeluknya untuk melegalkan tindakan kekerasan yang sejatinya bertentangan dengan ajaran agama itu sendiri. Buku Agama dan Konflik Sosial karangan Afif Muhammad ini merupakan rekaman atas wajah ganda dan paradoks agama tersebut dan dapat diharapkan memberikan sejumput jawaban atas konflik sosial berbalut agama yang akhir-akhir ini marak terjadi.


Buku ini terbagi menjadi tiga tema besar yang masing-masing mendedahkan pelbagai persoalan konflik agama di Indonesia. Pada bagian awal, Afif Muhammad menyoal tentang merebaknya radikalisme agama-agama abad ke-21. Menurutnya -- dengan menyitir ungkapan Erich Fromm -- industrialisasi yang ditopang oleh kemajuan sains dan teknologi telah melahirkan agama baru: "agama industri".

Dengan menjelmakan kapitalisme sebagai Tuhannya dan sekulerisasi sebagai ajaran intinya, agama ditempatkan secara terpisah dari pelbagai kegiatan ekonomi, sosial, politik, dan segi kehidupan lainnya. Akibatnya, agama menjadi terasing dari kehidupan sosial.


Hal ini membuat agama-agama semakin menonjolkan dirinya sebagai institutionalized religions yang bercorak tertutup. Keeksklusifan yang melahirkan kefanatikan dan menolak nilai-nilai yang datang dari luar sehingga lahirlah sikap ekstrem yang akan jadi bom waktu yang setiap saat akan meletuskan api konflik.

          Di bagian lain, Afif Muhammad pun menyodorkan hasil penelitiannya tentang konflik antarumat beragama di Indonesia. Seperti telah diketahui bersama, kemajemukan agama tak jarang memunculkan persoalan-persoalan sosial di tengah masyarakat. Menurut Afif, rivalitas antaragama mulai mencuat pada dekade tahun 1960-an. Pada periode ini, selain Partai Komunis Indonesia (PKI) dibubarkan oleh pemerintah, karena dipandang sebagai partai antidemokrasi; ribuan anggotanya juga dinilai ateis (tidak beragama) yang pada akhirnya "diperebutkan" sebagai sasaran dakwah atau misi para dai atau penyebar agama. Di antara agama-agama yang ada, Afif Muhammad menilai penganut Kristen/Katolik-lah yang paling ekstensif menebar jala untuk menjaring penganut-penganut baru. Afif menjelaskan gerakan kristenisasi tersebut dianggap telah menyinggung perasaan umat Islam.


Penetrasi Kristen/Katolik ke wilayah Islam yang menyalahgunakan diakonia dengan dalih memberikan bantuan, khususnya bagi masyarakat miskin yang diikuti oleh ajakan memeluk agamanya, ditambah lagi pembangunan gereja di tengah perkampungan muslim, misalnya, merupakan faktor utama penyulut konflik antaragama.


Menurut cendekiawan yang juga menulis buku Geneologi Pemikiran Islam ini, konflik beragama memang tidak saja murni disebabkan rivalitas semangat menyebarkan agama. Menurutnya, pecahnya konflik antaragama juga dipicu oleh kesenjangan sosial dan ekonomi. Ketimpangan ini ternyata didasarkan pada hal yang sebenarnya remeh temeh. Misalnya, perebutan lahan parkir, masalah asmara muda-mudi antardesa, atau dominasi pasar yang dikuasai oleh suatu etnis.


Keadaan menjadi makin keruh ketika hal sepele itu dikait-kaitkan dengan pelecehan agama sehingga agama menjadi kambing hitam dan kerusuhan pun tak dapat terelakkan. Setelah memaparkan beberapa kasus konflik antaragama, Afif Muhammad akhirnya menawarkan dua tawaran solusi dalam usaha meredakannya. Pertama, menyelenggarakan dialog dan musyawarah antarumat beragama. Kedua, menetapkan peraturan-peraturan tentang hubungan antarumat beragama. Tawaran yang pertama sangat relevan karena setiap agama memang memiliki doktrin yang selalu dipegang teguh oleh para pemeluknya.

Karena itu, untuk menjaga kekhasan tersebut diperlukan prinsip keterbukaan yang tak mungkin lahir secara kebetulan, tetapi harus melalui jembatan dialog yang menghubungkan interaksi untuk saling memahami satu sama lain. Di sisi lain, solusi kedua yang ditawarakan juga tidak kalah relevannya. Sebab, peraturan-peraturan yang mengakomodasi semua pihak merupakan conditio sine qua non yang menjamin terselenggaranya dialog sebagai jembatan untuk meretas konflik-konflik yang sering terjadi itu.

Karena itu, terlepas dari beberapa kekurangan seperti pengulangan sumber-sumber rujukan yang agak sedikit mengganggu kenyamanan membaca, buku tipis ini tetap bisa ditempatkan sebagai bahan bacaan penting untuk membuka diskusi yang lebih serius dalam menyoal sekaligus mencari jawaban: mengapa selama ini agama sering dijadikan topeng untuk melakukan kekerasan dan jalan ideal apa yang bisa ditempuh untuk mengakhirinya.

            Dalam pandangan Islam, keberagamaan adalah fithrah (sesuatu yang melekat pada diri manusia dan terbawa sejak kelahirannya):

"Fitrah Allah yang menciptakan manusia atas fitrah itu"
(QS Ad-Rum [30] : 30)


Ini berarti manusia tidak dapat melepaskan diri dari agama. Tuhan menciptakan demikian, karena agama merupakan kebutuhan hidupnya. Memang manusia dapat menangguhkannya sekian lama --boleh jadi sampai dengan menjelang kematiannya. Tetapi pada akhirnya, sebelum ruh rmeninggalkan jasad, ia akan merasakan kebutuhan itu. Memang, desakan pemenuhan kebutuhan bertingkat-tingkat. Kebutuhan manusia terhadap agama dapat ditangguhkan, tetapi tidak untuk selamanya.

          Tadinya manusia menjadikan "hati nurani" sebagai alternatif pengganti agama. Namun tidak lama kemudian mereka menyadari bahwa alternatif ini, sangat labil, karena yang dinamai "nurani" terbentuk oleh lingkungan dan latar belakang pendidikan, sehingga nurani Si A dapat berbeda dengan Si B, dan dengan demikian tolok ukur yang pasti menjadi sangat rancu.
Setelah itu lahir filsafat eksistensialisme, yang mempersilakan manusia melakukan apa saja yang dianggapnya baik, atau menyenangkan tanpa mempedulikan nilai-nilai.


          Namun, itu semua tidak dapat menjadikan agama tergusur, karena seperti dikemukakan di atas ia tetap ada dalam diri manusia, walaupun keberadaannya kemudian tidak diakui oleh kebanyakan manusia itu sendiri. Beberapa ilmuwan berpandangan bahwa, "Selama manusia masih memiliki naluri cemas dan mengharap, selama itu pula ia beragama (berhubungan dengan Tuhan)." Itulah sebabnya mengapa perasaan takut merupakan salah satu dorongan yang terbesar untuk beragama.

Ilmu mempercepat kita sampai ke tujuan, agama menentukan arah yang dituju. Ilmu menyesuaikan manusia dengan lingkungannya, dan agama menyesuaikan dengan jati dirinya. Ilmu hiasan lahir, dan agama hiasan batin. Ilmu memberikan kekuatan dan menerangi jalan, dan agama memberi harapan dan dorongan bagi jiwa. Ilmu menjawab pertanyaan yang dimulai dengan "bagaimana", dan agama menjawab yang dimulai dengan "mengapa." Ilmu tidak jarang mengeruhkan pikiran pemiliknya, sedang agama selalu menenangkan jiwa pemeluknya yang tulus. Demikian Murtadha Muthahhari menjelaskan sebagian fungsi dan peranan agama dalam kehidupan ini, yang tidak mampu diperankan oleh ilmu dan teknologi.

No comments:

Post a Comment

Komentar Facebook