KEKERASAN SEKSUAL
m.rakib
lpmp riau indonesia
2014
Menurut KH Sayid Agil Siradj, ada hasil
penelitian BF Musallam menunjukkan, bahwa di lingkup bangsa Arab abad
Pertengahan, telah beredar cerita-cerita tentang munculnya gejala homoseksual
dan lesbian sebagai akibat takut hamil. Arkian, seperti ditulis oleh al-Kathib
dalam kitab Jawami’ dikisahkan, ada seorang pelacur terkenal yang menanyai
salah seorang wanita lesbian, ”Apa sebabnya anda memilih lesbian?” Jawab wanita
itu, “Lebih baik begini dari pada hamil yang mendatangkan skandal.”
Dalam puisi Arab klasik juga
terlantun kidung-kidung puitis yang mengungkap tentang pilihan jadi lesbian
karena takut hamil. Ibnu Qayyim juga mencatat dalam kitabnya Ighatsat, ada
beberapa pria homoseksual mempertahankan diri mereka dengan dalih, “Ini lebih
aman daripada kehamilan, kelahiran, beban perkawinan dan sebagainya.”
Seperti juga dalam kitab al-Wasa’il
Fi Musamarah al-Awa’il karya Jalaluddin al-Suyuthi, homoseksual ternyata telah
mewarnai kehidupan masyarakat pada awal-awal kehadiran Islam. Beberapa penyebab
yang disebutkan diantaranya adalah, terjadinya banyak peperangan; lamanya waktu
suami meninggalkan keluarga; sibuknya kaum Muslimin mempersiapkan kemenangan;
adanya pencercaan terhadap keluarga kaum musyrik yang ditaklukkan yang kemudian
banyak dijadikan pelayan; timbulnya perasaan keterasingan, serta pergaulan yang
lebih banyak dengan laki-laki.
Faktor-faktor inilah yang kemudian
melahirkan laki-laki yang bersifat kewanita-wanitaan. Dalam lingkungan seperti
ini, hubungan homoseksual lambat laun terjadi. Disebutkan juga, bahwa perempuan
yang pertama kali berani menampakkan praktik lesbian pada masa itu adalah
istrinya Nu’man ibn Mundzir.
Keberadaan kaum homoseks senantiasa
dihubungkan dengan contoh historis kisah perilaku umat Luth. Dikemukakan bahwa
Tuhan sangat murka terhadap kaum Nabi Luth yang berperilaku homoseksual.
Kemurkaan Tuhan itu diwujudkan dengan menurunkan hujan batu dari langit dan
membalikkan bumi. Akhirnya kaum Luth hancur lebur, termasuk istrinya, kecuali
pengikut yang beriman pada Luth.
Kisah ini dipaparkan dalam al-Quran
surah al-’Araf ayat 80-84, al-Syu’ara ayat 160, al-‘Ankabut ayat 29 dan
al-Qamar ayat 38. Praktik homoseksual umat Nabi Luth ini, seperti juga
dinyatakan oleh Ali al-Shabuni dalam kitabnya Qabas Min Nur al-Quran, dianggap
perilaku umat yang paling rusak sepanjang sejarah umat para nabi.
Praktik homoseksual, dise-butkan
oleh kalangan ahli tafsir diantaranya al-Thabathaba’i dalam kitab al-Mizan,
untuk pertama kalinya dilakukan oleh kaum Nabi Luth. Dalam Hadits juga
dikatakan, “Yang mengawali perbuatan homoseksual adalah kaum Nabi Luth”. Dalam
al-Quran, kaum Luth dilukiskan sebagai penyembah berhala, penyamun, dan
menjalankan praktik homo-seksual, sehingga menjadi adat kebiasaan masyarakat.
Dari kisah kaum Luth inilah kemudian
ditegaskan hukum keharaman perilaku homoseksual yang terus berurat berakar di
benak masyarakat Muslim. Ulama tafsir, Fakhruddin al-Razi berkesimpulan bahwa
homoseksual adalah perbuatan keji berdasar pada keputusan alami tanpa
memerlukan alasan-alasan yang lebih konkrit. Al-Razi hanya menunjukkan bahwa
larangan homoseksual, meskipun bisa mencapai kenikmatan, tetapi menghalangi
tujuan mempertahankan keturunan. Padahal, Allah menciptakan kenikmatan senggama
untuk meneruskan keturunan.
Homoseks dalam Fikih
Dalam fikih, praktik homoseksual dan
lesbian mudah dicari rujukannya. Seks sesama jenis ini sering disebut
al-faahisyah (dosa besar) yang sangat menjijikkan dan bertentangan dengan
kodrat dan tabiat manusia.
Kalau ditelusuri secara gramatikal,
tidak ada perbedaan penggunaan kata antara homoseksual dan lesbian. Dalam
bahasa arab kedua-duanya dinamakan al-liwath. Pelakunya dinamakan al-luthiy.
Namun Imam Al-Mawardi dalam kitabnya al-Hawi al-Kabir menyebut homoseksual
dengan liwath, dan lesbian dengan sihaq atau musaahaqah. Imam Al-Mawardi
berkata, “Penetapan hukum haramnya praktik homoseksual menjadi ijma’, dan itu
diperkuat oleh nash-nash Al-Quran dan Al-Hadits”.
Ibnu Qudamah Al-Maqdisi dalam al-Mughni
juga menyebutkan, bahwa penetapan hukum haramnya praktik homoseksual adalah
ijma’ (kesepakatan) ulama, berdasarkan nash-nash Al-Quran dan Hadits.
Fikih, di samping membahas perilaku
seks sejenis ini dalam kaitan dengan hukuman (bab al-hadd), juga melibatkannya
dalam bahasan soal tata cara shalat jamaah, masalah peradilan dan pemerintahan.
Pada pokoknya, fikih memang
menegaskan bahwa manusia hanya memiliki dua jenis kelamin, yaitu laki-laki
dengan penis (dzakar) dan perempuan dengan vagina (farji).
Fikih juga mengenal istilah khuntsa,
yang kalau diartikan menurut kosa kata bahasa Arab adalah seorang waria atau
banci. Pada dasarnya, istilah khuntsa ini menempel pada seorang yang secara
fisik-biologis laki-laki, tetapi mempunyai naluri perempuan.
Dalam kamus al-Munjid dan Lisan
al-Arab, kata-kata khuntsa diartikan sebagai seseorang yang memiliki anggota
kelamin laki-laki dan perempuan sekaligus. Bahasa medis mengenalnya dengan
istilah hermaprodite atau orang yang berkelamin ganda. Jenis kelompok ini, yang
populer juga dengan sebutan waria, dimasukkan dalam kelompok transeksual, yaitu
seseorang yang memiliki fisik berbeda dengan keadaan jiwanya. Istilah ini
dikenakan pada seseorang yang secara fisik laki-laki, tapi berdandan dan
berperilaku perempuan. Begitupun sebaliknya, pada kenyataannya ada sesorang
yang secara fisik perempuan, tapi berpenampilan laki-laki.
Dalam hal ini, ulama fikih
memilahnya menjadi dua jenis. Pertama, yang disebut khuntsa musykil, yaitu
seseorang yang memiliki penis dan vagina secara sekaligus pada bagian luar
(hermaprodite). Jenis homoseksual yang seperti ini memang sangat langka.
Kedua, yang disebut khuntsa ghairu
musykil, yaitu seseorang yang sudah jelas dihukumi sebagai laki-laki atau
perempuan. Untuk menentukan kedua jenis ini, maka yang menjadi penentu secara
fisik adalah bentuk kelamin dalamnya. Jika di dalam tubuhnya terdapat rahim,
maka ia dihukumi sebagai perempuan. Sebaliknya, jika pada kelamin dalam tidak
ada rahim, maka ia dihukumi sebagai laki-laki.
Tipe seseorang yang berpenis dan
tidak punya rahim inilah yang bisa disebut dengan gay. Istilah gay biasanya
merujuk pada homoseksual laki-laki. Gay memang secara fisik berpenampilan
laki-laki.
Dalam penelusuran terhadap
kitab-kitab klasik, tipe homoseks telah menjadi kajian khusus. Misalnya, kita
baca dalam kitab fikih klasik al-Iqna’, karya Syarbini Khathib, menjelaskan
bahwa seseorang yang bertipe khuntsa musykil tidak sah bermakmum shalat, baik
kepada wanita maupun laki-laki. Berbeda dengan khuntsa yang sudah jelas keperempuanannya,
maka boleh bermakmum dan mengimami shalat perempuan normal. Demikian pula,
khuntsa yang sudah jelas kelaki-lakiannya boleh bermakmum dan mengimami shalat
laki-laki normal.
Di dalam fikih, biasa diajukan
sebuah kasus, misalnya bagaimana hukum seorang laki-laki normal yang bermakmum
pada seseorang khuntsa yang dikira laki-laki tulen. Setelah selesai, baru
diketahui ternyata imamnya itu khuntsa yang lebih cenderung ke kewanitaan.
Menurut Zakariya al-Anshari dan pendapat yang lebih kuat lainnya menyatakan,
bahwa hukum shalat bermakmum itu sah saja, serta tidak perlu diulangi
shalatnya.
Dalam kitab Nihayat al-Zain, karya
Imam Nawawi, tidak ada pemilahan soal khuntsa ini. Lagi-lagi, pembahasannya
dikaitkan dengan shalat jamaah. Shalat jamaah, menurut pendapat sebagian besar
ulama, hukumnya adalah fardhu kifayah. Ada juga pendapat Mawardi dan Rafi’i
yang menetapkan hukumnya sunnah mu’akkad. Tetapi hukum ini berlaku hanya bagi
laki-laki. Sedang khuntsa dan wanita tidak ada pembebanan hukum. Bagi khuntsa
lebih utama shalat berjamaah di rumah daripada di masjid. Kedudukan khuntsa
dalam konteks ini disamakan dengan hukum yang diberlakukan bagi wanita.
Khuntsa juga didudukkan sama dengan
anak laki-laki tampan yang tidak dianjurkan untuk salat jamaah di masjid. Mengajak
anak-anak ke masjid sangat dianjurkan, kecuali anak laki-laki yang tampan,
supaya tidak menimbulkan fitnah.
Yang membikin ulama fikih saling
berseberangan lagi adalah menyangkut sosok gay yang nota bene bernaluri atau
berkecenderungan perempuan. Kalau dikembalikan pada pengertian dasar
homoseksual, sebenarnya adalah seseorang yang bangkit berahinya dengan melihat,
mengkhayal, dan melakukan aktivitas seksualnya dengan sesama jenis. Secara
psikologis, homoseksual ini berkait dengan orientasi dan aktivitas seksual.
Orientasi seksual mengacu pada obyek dari rangsangan seksual seseorang.
Sedangkan, ak-tivitas seksual adalah senggama itu sendiri dengan berbagai
variasinya.
Para ulama fikih terbelah menjadi
dua pendapat yang berbeda. Sebagian bersiteguh bahwa naluri gay itu
sesungguhnya adalah hasil bentukan lingkungan. Solusinya hanya melalui terapi
psikologis agar naluri yang bersangkutan bisa berubah. Sebagian lagi
berpendapat, jika memang sudah semenjak kecil dan sudah ‘given’ naluri gay itu,
maka tidak ada persoalan serius. Karena itu, hukumnya halal bila yang
bersangkutan misalnya, ingin melakukan ganti kelamin. Cara ini bertujuan untuk
menghilangkan kesamaran identitas gendernya atau kejelasan anatomi seksnya.
Sejatinya, telaah fikih mengenai
homoseksualitas berpang-kal pada hakikat orientasi seksual itu sendiri. Apabila
orientasi seksual disebabkan oleh faktor-faktor yang bersifat biologis, seperti
ketidakseimbangan susunan hormonal atau perbedaan kromosom lainnya, maka bila
seseorang menjadi gay, lesbian atau lainnya, sifatnya sangat kodrati. Dalam hal
ini, tidak ada keputusan apa-apa, kecuali melihatnya dalam perspektif kekuasaan
Tuhan. Kecuali, ada temuan baru yang mampu memengaruhi susunan hormonal seseorang
sehingga orientasi seksualnya berubah.
Demikian juga apabila orien-tasi
seksual disebabkan oleh faktor non-biologis, misalnya sosial, budaya, politik
ataupun lainnya, maka ini sama dengan jender. Perubahan orientasi seksual dalam
kasus ini bisa diambil kebijakan, mengingat bukan karena hal-hal yang
adikodrati.
Dalam kitab-kitab fikih, tindakan
hukum terhadap homoseks atau penyimpangan seks lainnya tidak dibahas secara
khusus. Kasus-kasus yang berhubungan de-ngan sanksi hukum terhadap kaum
homoseks, baik yang dilakukan dengan paksa maupun suka sama suka, berada dalam
pembahasan umum kasus-kasus pelanggaran susila. Meskipun secara umum disepakati
bahwa tindakan homoseks dilarang, bentuk sanksi hukumnya tetap kontroversial.
- See more at: http://puanamalhayati.or.id/archives/948#sthash.nmpZRiOS.dpuf
Pengertian Kekerasan
Pengertian kekerasan terhadap anak
adalah segala sesuatu yang membuat anak tersiksa, baik secara fisik, psikologis
maupu mental. Oleh para ahli, pengertian kekerasan terhadap anak ini banyak
definisi yang berbeda-beda. Di bawah ini akan diberikan beberapa definisi
pengertian kekerasan terhadap anak oleh beberapa ahli.
Kempe, dkk (1962) dalam
Soetjiningsih (2005) memberikan pengertian kekerasan terhadap anak adalah
timbulnya perlakuan yang salah secara fisik yang ekstrem kepada
anak-anak.Sementara Delsboro (dalam Soetjiningsih, 1995) menyebutkan bahwa
seorang anak yang mendapat perlakuan badani yang keras, yang dikerjakan
sedemikian rupa sehingga menarik perhatian suatu badan dan menghasilkan
pelayanan yang melindungi anak tersebut.
Fontana (1971) dalam Soetjiningsih
(2005) memberikan pengertian kekerasan terhadap anak dengan definisi yang lebih
luas yaitu memasukkan malnutrisi dan menelantarkan anak sebagai stadium awal
dari sindrom perlakuan salah, dan penganiayaan fisik berada pada stadium akhir
yang paling berat dari spektrum perlakuan salah oleh orang tuanya atau
pengasuhnya.
David Gill (dalam Sudaryono, 2007)
mengartikan perlakuan salah terhadap anak adalah termasuk penganiayaan,
penelantaran dan ekspoitasi terhadap anak, dimana hal ini adalah hasil dari
perilaku manusia yang keliru terhadap anak. Bentuk kekerasan terhadap anak
tentunya tidak hanya berupa kekerasan fisik saja, seperti penganiayaan,
pembunuhan, maupun perkosaan, melainkan juga kekerasan non fisik, seperti
kekerasan ekonomi, psikis, maupun kekerasan religi.
Kekerasan terhadap anak menurut
Andez (2006) adalah segala bentuk tindakan yang melukai dan merugikan fisik,
mental, dan seksual termasuk hinaan meliputi: Penelantaran dan perlakuan buruk,
Eksploitasi termasuk eksploitasi seksual, serta trafficking/ jual-beli anak.
Sedangkan Child Abuse adalah semua bentuk kekerasan terhadap anak yang
dilakukan oleh mereka yang seharusnya bertanggung jawab atas anak tersebut atau
mereka yang memiliki kuasa atas anak tersebut, yang seharusnya dapat di
percaya, misalnya orang tua, keluarga dekat, dan guru.
Sedangkan Nadia (2004) memberikan
pengeritian kekerasan terhadap anak sebagai bentuk penganiayaan baik fisik
maupun psikis. Penganiayaan fisik adalah tindakan-tindakan kasar yang
mencelakakan anak, dan segala bentuk kekerasan fisik pada anak yang lainnya.
Sedangkan penganiayaan psikis adalah semua tindakan merendahkan atau meremehkan
anak. Alva menambahkan bahwa penganiayaan pada anak-anak banyak dilakukan oleh
orangtua atau pengasuh yang seharusnya menjadi seorang pembimbing bagi anaknya
untuk tumbuh dan berkembang.
Menurut WHO (2004 dalam Lidya, 2009)
kekerasan terhadap anak adalah suatu tindakan penganiayaan atau perlakuan salah
pada anak dalam bentuk menyakiti fisik, emosional, seksual, melalaikan
pengasuhan dan eksploitasi untuk kepentingan komersial yang secara nyata atau
pun tidak dapat membahayakan kesehatan, kelangsungan hidup, martabat atau perkembangannya,
tindakan kekerasan diperoleh dari orang yang bertanggung jawab, dipercaya atau
berkuasa dalam perlindungan anak tersebut.
Berdasarkan beberapa pengertian di
atas dapat disimpulkan pengertian kekerasan terhadap anak adalah perilaku salah
baik dari orangtua, pengasuh dan lingkungan dalam bentuk perlakuan kekerasan
fisik, psikis maupun mental yang termasuk didalamnya adalah penganiayaan,
penelantaran dan ekspoitasi, mengancam dan lain-lain terhadap terhadap anak.
Kekerasan adalah
pemakaian kekuatan yang tidak adil, dan tidak
dapat dibenarkan, yang disertai dengan emosi yang hebat atau kemarahan yang
tidak terkendali, tiba-tiba, bertenaga, kasar dan menghina.
Dalam masyarakat diusahakan agar konflik yang terjadi tidak
berakhir dengan kekerasan. Oleh karena itu diperlukan adanya suatu prasyarat,
yaitu sebagai berikut.
a. Setiap kelompok yang terlibat dalam konflik harus
menyadari akan adanya situasi konflik di antara mereka.
b. Pengendalian konflik-konflik tersebut hanya mungkin dapat
dilakukan apabila berbagai kekuatan sosial yang saling bertentangan itu
terorganisir dengan jelas.
c. Setiap kelompok yang terlibat dalam konflik harus
mematuhi aturan-aturan permainan tertentu yang telah disepakati bersama. Aturan
tersebut pada saatnya nanti akan menjamin keberlangsungan hidup kelompok-kelompok
yang bertikai tersebut.
Apabila prasyarat di atas tidak dipenuhi oleh pihak-pihak
yang terlibat konflik, maka besar kemungkinan konflik akan berubah menjadi
kekerasan. Secara umum, kekerasan dapat didefinisikan sebagai perbuatan
seseorang atau sekelompok orang yang menyebabkan cedera atau hilangnya nyawa
seseorang atau dapat menyebabkan kerusakan fisik atau barang orang lain.
Sementara itu, secara sosiologis, kekerasan dapat terjadi di saat individu atau
kelompok yang melakukan interaksi sosial mengabaikan norma dan nilai-nilai
sosial yang berlaku di masyarakat dalam mencapai tujuan masing-masing. Dengan
diabaikannya norma dan nilai sosial ini akan terjadi tindakan-tindakan tidak
rasional yang akan menimbulkan kerugian di pihak lain, namun dapat menguntungkan
diri sendiri.
Menurut Soerjono Soekanto, kekerasan (violence) diartikan
sebagai penggunaan kekuatan fisik secara paksa terhadap orang atau benda.
Sedangkan kekerasan sosial adalah kekerasan yang dilakukan terhadap orang dan
barang, oleh karena orang dan barang tersebut termasuk dalam kategori sosial
tertentu.
2. Bentuk-Bentuk Kekerasan
Dalam kehidupan nyata di masyarakat, kita dapat menjumpai
berbagai tindak kekerasan yang dilakukan oleh anggota masyarakat yang satu
terhadap anggota masyarakat yang lain. Misalnya pembunuhan, penganiayaan,
intimidasi, pemukulan, fitnah, pemerkosaan, dan lain-lain. Dari berbagai bentuk
kekerasan itu sebenarnya dapat digolongkan ke dalam dua bentuk, yaitu kekerasan
langsung dan kekerasan tidak langsung. Tahukah kamu apakah kekerasan langsung
dan kekerasan tidak langsung itu? Mari kita bahas bersama pada uraian berikut
ini.
a. Kekerasan langsung (direct violent)
adalah suatu Bentuk kekerasan yang dilakukan secara langsung
terhadap pihakpihak yang ingin dicederai atau dilukai. Bentuk kekerasan ini
cenderung ada pada tindakan-tindakan, seperti melukai orang lain dengan
sengaja, membunuh orang lain, menganiaya, dan memperkosa.
b. Kekerasan tidak langsung (indirect violent)
adalah suatu bentuk kekerasan yang dilakukan seseorang
terhadap orang lain melalui sarana. Bentuk kekerasan ini cenderung ada pada
tindakan-tindakan, seperti mengekang, meniadakan atau mengurangi hak-hak
seseorang, mengintimidasi, memfitnah, dan perbuatan-perbuatan lainnya. Misalnya
terror bom yang dilakukan oleh para teroris untuk mengintimidasi pemerintah
supaya lebih waspada akan bahaya yang dilakukan oleh pihak asing terhadap
negara kita.
Sehubungan dengan tindak kekerasan yang telah dilakukan oleh
anggota masyarakat yang satu terhadap anggota masyarakat yang lain, pada
dasarnya di dalam diri manusia terdapat dua jenis agresi (upaya bertahan),
yaitu sebagai berikut.
a. Desakan untuk melawan yang telah terprogram secara
filogenetik sewaktu kepentingan hayatinya terancam. Hal ini dimaksudkan untuk
mempertahankan hidup individu yang bersifat adaptif biologis dan hanya muncul
apabila ada niat jahat. Misalnya si A melakukan pencurian karena adanya desakan
kebutuhan ekonomi, seperti makan.
b. Agresi jahat melawan kekejaman, kekerasan, dan
kedestruktifan ini merupakan ciri manusia, di mana agresi tidak terprogram
secara filogenetik dan tidak bersifat adaptif biologis, tidak memiliki tujuan,
serta muncul begitu saja karena dorongan nafsu belaka. Misalnya aksi kerusuhan
yang dilakukan oleh para suporter sepak bola. Kamu telah belajar mengenai
konflik dan kekerasan yang terjadi di masyarakat. Dapatkah kamu membedakan
kedua hal tersebut?
Ada banyak
pendapat mengenai definisi kekerasan, yaitu sebagai berikut:
Menurut Black (1951) kekerasan adalah pemakaian kekuatan yang tidak adil, dan
tidak dapat dibenarkan, yang disertai dengan emosi yang hebat atau kemarahan
yang tidak terkendali, tiba-tiba, bertenaga, kasar dan menghina.
Menurut Salim dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (1991) istilah “kekerasan”
berasal dari kata “keras” yang berarti kuat, padat dan tidak mudah hancur,
sedangkan bila diberi imbuhan “ke” maka akan menjadi kata “kekerasan” yang
berarti: (1) perihal/sifat keras, (2) paksaan, dan (3) suatu perbuatan yang
menimbulkan kerusakan fisik atau non fisik/psikis pada orang lain.
Menurut UU
Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, nomor 23 tahun 2004 pasal 1
ayat (1), kekerasan adalah perbuatan terhadap seseorang yang berakibat timbulnya
kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, psikologis, dan atau penelantaran
rumah tangga, termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau
perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkungan rumah tangga.
Menurut KUHP
pasal 89, kekerasan adalah mempergunakan tenaga atau kekuatan jasmani yang
tidak kecil atau sekuat mungkin secara tidak sah sehingga orang yang terkena
tindakan itu merasakan sakit yang sangat.
Berdasarkan definisi-definisi tersebut maka pendapat Salim-lah yang menurut
peneliti paling tepat karena paling lengkap dan merangkup keseluruhan definisi
diatas dengan kalimat yang ringkas namun padat, yaitu bahwa kekerasan adalah
suatu perbuatan yang dapat menimbulkan kerusakan fisik atau non fisik/psikis pada
orang lain. Hal ini juga sesuai dengan tema penelitian, yaitu tentang kekerasan
yang dilakukan oleh guru terhadap muridnya.
Definisi
kekerasan yang dilakukan guru terhadap muridnya ini apabila merujuk pada
definisi kekerasan versi Salim, maka kekerasan yang dilakukan guru terhadap
muridnya bermakna: suatu perbuatan yang dilakukan guru, yang dapat menimbulkan
kerusakan fisik atau non fisik/pasikis pada murid-muridnya. Definisi inilah
yang akan seterusnya peneliti gunakan dalam penelitian ini.
Azizul Awalludin,
38, dan istrinya Shalwati Norshal dihukum masing-masing 10 dan 14 bulan penjara
karena memukul anak mereka yang berusia antara tujuh sampai 14 tahun dengan
tongkat, gantungan baju dan tangan karena menolak diajak shalat.
Swedia adalah negara pertama di dunia yang melarang hukuman fisik terhadap anak pada 1979 dan sejak itu langkah ini diikuti oleh 36 negara lain.
"Saya telah berbicara dengan klien saya (Awalludin) dan dia tentu saja sangat kecewa dan menyanggah dakwaan itu," kata kuasa hukum, Jonas Tamm kepada kantor berita AFP.
Pengadilan menolak klaim kuasa hukum bahwa anak tertua yang melakukan pemukulan yang disebutkan terjadi dalam periode tiga tahun.
Pasangan Malaysia itu berada di Swedia dalam tugas untuk Pariwisata Malaysia namun tidak memiliki kekebalan diplomatik.
Mereka ditahan di Stockholm sejak Desember 2013 setelah staf di sekolah anak-anak mereka melaporkan kecurigaan kepada dinas sosial.
Kasus itu mengejutkan pegiat hak anak di Swedia. Namun di Malaysia, kasus itu menimbulkan kemarahan karena memukul anak bukan kejahatan di negara itu.
Perdana Menteri Malaysia, Najib Razak, menyambut anak-anak itu kembali ke Malaysia tanggal 1 Februari lalu dan menawarkan bantuan untuk pasangan suami istri itu.
Sebelumnya, pasangan suami istri warga negara Malaysia didakwa melakukan "pelanggaran berat" di Swedia karena memukul empat anak mereka. Hukuman fisik terhadap anak memang dilarang di Swedia, namun di Malaysia hukuman pencambukan masih berlaku di sekolah-sekolah.
Azirul Raheem Awaluddin, direktur badan Pariwisata Malaysia, tinggal di Swedia bersama keluarganya dalam tiga tahun terakhir. Ia dan istrinya Shalwati Norshal, ditahan di Stockholm sejak Desember lalu setelah diduga berulang kali memukul tangan putranya karena menolak sembahyang. Sejak penahanan itu, jaksa Swedia mengatakan mereka menemukan insiden pemukulan lain terhadap anak pasangan itu.
Salah satu hukuman fisik terhadap empat anak mereka yang dilakukan antara 2011 dan 2012 termasuk dengan menggunakan tali pinggang dan juga kayu. Kasus itu mengejutkan banyak pihak di Malaysia karena hukuman fisik merupakan hal yang tergolong biasa di negara itu.
Keempat anak pasangan itu telah dikembalikan ke Malaysia dan diasuh oleh sanak saudara mereka atas permintaan Perdana Menteri Najib Razak. (*)
Sumber: BBC
This comment has been removed by the author.
ReplyDelete