RESTORATIF JUSTICE
Perbaikan hukum, diperlukan
Karena dahsyatnya, perubahan zaman
Ahli hukum, harus maju ke depan
Celah yang kosong, banyak ditemukan
Fiat justisia ruat
coelum, pepatah latin ini memiliki arti “meski langit runtuh keadilan harus ditegakkan”.
Pepatah ini kemudian menjadi sangat populer karena sering digunakan sebagai
dasar argumen pembenaran dalam pelaksanaan sebuah sistem peraturan hukum. Dalam
penerapannya, adagium tersebut seolah-olah diimplementasikan dalam sebuah
kerangka pemikiran yang sempit bertopeng dalih penegakan dan kepastian hukum.
Tatanan instrumen hukum acara pidana dan pemidanaan
di Indonesia telah mengatur mengenai prosedur formal yang harus dilalui dalam
menyelesaikan sebuah perkara pidana. Namun sayangnya, sistem formil tersebut
dalam praktiknya sering digunakan sebagai alat represif bagi mereka yang
berbalutkan atribut penegak hukum.
Lihatlah bagaimana contoh kasus yang pernah
ditangani oleh LBH Mawar Saron Jakarta. Kasus dimaksud tentang dua orang
pelajar SMP yang dituduh mencuri. Kedua belah pihak yakni dua pelajar dan
korban pencurian sebenarnya telah berdamai, namun polisi berbalutkan atribut
penegak hukum lebih memilih untuk meneruskan kasus tersebut hingga sampai ke
pengadilan. Sebuah contoh nyata dimana sistem formil pidana telah dijadikan
alat represif tanpa memperhatikan kepentingan si korban dan pelaku.
Contoh lainnya yang mungkin lebih dikenal oleh
masyarakat luas ialah kasus Deli, seorang pelajar SMP yang dituduh mencuri
voucher sehingga harus menjalani proses formil pidana sampai ke pengadilan.
Kemudian kasus nenek Minah yang dituduh mencuri dua biji kakao sehingga harus
duduk di kursi pesakitan dalam menjalani persidangan. Jangan juga kita lupakan
kasus nenek Rasmiah yang dituduh mencuri sop buntut dan piring majikannya yang
kemudian harus berujung di meja hijau.
Kepentingan Korban serta Pelaku
Apa sebenarnya yang menjadi tujuan akhir dalam
sebuah pemidanaan? Apakah untuk menciptakan efek jera? Apakah untuk menciptakan
keteraturan dan keamanan? Apakah untuk menciptakan tegaknya aturan hukum?
Banyak jawaban yang terlontar, namun yang pasti tolak ukur keberhasilannya sebuah
sistem pemidanaan ialah bukan terletak pada banyaknya jumlah tahanan maupun
narapidana yang menghuni rumah tahanan (rutan) dan lembaga pemasyarakatan.
Sistem pemidanaan seakan tidak lagi menciptakan efek
jera bagi para pelaku tindak pidana, over capacity rutan dan lapas malah
berimbas pada banyaknya tindak kriminal yang terjadi di dalam lingkungan rutan
dan lapas. Pengawasan yang lemah tidak berimbang dengan masiv-nya jumlah
tahanan narapidana. Lapasseolah tidak lagi menjadi tempat yang tepat dalam
me-masyarakat-kan kembali para narapidana tersebut, malah seolahlapas telah
bergeser fungsinya sebagai academy of crime, tempat dimana para narapidana
lebih “diasah” kemampuannya dalam melakukan tindakan pidana.
Bagaimana dengan kepentingan korban? Apakah dengan
dipidananya si pelaku, kepentingan dan kerugian korban telah tercapai
pemenuhannya? Belum tentu hal itu dapat dipenuhi dengan cara penjatuhan pidana
terhadap pelaku. Dalam kasus yang pernah dialami oleh LBH Mawar saron Jakarta,
sebagaimana yang diungkapkan di atas, posisi pelaku dan korban yang telah
berdamai seakan tidak digubris sebagai dasar penghentian perkara tersebut.
Pihak penegak hukum seakan tidak melihat kenyataan bahwa pihak korban di sini
telah menyatakan bahwa tidak ada kepentingannya yang dilanggar karena yang
terjadi hanyalah sebuah kesalahpahaman yang melibatkan para pelaku yang
notabene masih berstatus pelajar SMP. Proses formil tersebut harus terus
digulirkan karena sudah termasuk pada ranah hukum acara pidana (criminal justice
system), kilah penegak hukum pada umumnya.
Konsep seperti inilah yang tidak memberi
perlindungan dan penghargaan kepada kepentingan sang korban maupun pelaku. Ini
adalah sebuah mekanisme konvensional yang disandarkan pada tegaknya proses
formil pidana (criminal justice system) tanpa melihat kenyataan di masyarakat,
tanpa melihat kepentingan masyarakat, dan tanpa melihat kemaslahatannya di
masyarakat. Suatu pengantar yang cukup
dalam mempromosikan konsep Restorative Justice dalam proses Criminal Justice
Sytem di Indonesia.
Pendekatan restorative justice
Konsep pendekatan restorative justice merupakan
suatu pendekatan yang lebih menitik-beratkan pada kondisi terciptanya keadilan
dan keseimbangan bagi pelaku tindak pidana serta korbannya sendiri. Mekanisme
tata acara dan peradilan pidana yang berfokus pada pemidanaan diubah menjadi
proses dialog dan mediasi untuk menciptakan kesepakatan atas penyelesaian
perkara pidana yang lebih adil dan seimbang bagi pihak korban dan pelaku.
Restorative justice itu sendiri memiliki makna
keadilan yang merestorasi, apa yang sebenarnya direstorasi? Di dalam proses
peradilan pidana konvensional dikenal adanya restitusi atau ganti rugi terhadap
korban, sedangkan restorasi memiliki makna yang lebih luas. Restorasi meliputi
pemulihan hubungan antara pihak korban dan pelaku. Pemulihan hubungan ini bisa
didasarkan atas kesepakatan bersama antara korban dan pelaku. Pihak korban
dapat menyampaikan mengenai kerugian yang dideritanya dan pelaku pun diberi
kesempatan untuk menebusnya, melalui mekanisme ganti rugi, perdamaian, kerja sosial,
maupun kesepakatan-kesepakatan lainnya. Kenapa hal ini menjadi penting? Karena
proses pemidanaan konvensional tidak memberikan ruang kepada pihak yang
terlibat, dalam hal ini korban dan pelaku untuk berpartisipasi aktif dalam
penyelesaian masalah mereka. Setiap indikasi tindak pidana, tanpa
memperhitungkan eskalasi perbuatannya, akan terus digulirkan ke ranah penegakan
hukum yang hanya menjadi jurisdiksi para penegak hukum. Partisipasi aktif dari
masyarakat seakan tidak menjadi penting lagi, semuanya hanya bermuara pada
putusan pemidanaan atau punishment tanpa melihat esensi.
Dalam proses acara pidana konvensional misalnya
apabila telah terjadi perdamaian antara pelaku dan korban, dan sang korban
telah memaafkan sang pelaku, maka hal tersebut tidak akan bisa mempengaruhi
kewenangan penegak hukum untuk terus meneruskan perkara tersebut ke ranah
pidana yang nantinya berujung pada pemidanaan sang pelaku pidana. Proses formal
pidana yang makan waktu lama serta tidak memberikan kepastian bagi pelaku maupun
korban tentu tidak serta merta memenuhi maupun memulihkan hubungan antara
korban dan pelaku, konsep restorative justice menawarkan proses pemulihan yang
melibatkan pelaku dan korban secara langsung dalam penyelesaian masalahnya.
Proses pidana konvensional hanya menjadikan korban nantinya sebagai saksi dalam
tingkat persidangan yang tidak banyak mempengaruhi putusan pemidanaan, tugas
penuntutan tetap diberikan terhadap Jaksa yang hanya menerima berkas-berkas
penyidikan untuk selanjutnya diolah menjadi dasar tuntutan pemidanaan, tanpa
mengetahui dan mengerti kondisi permasalahan tersebut secara riil, dan sang
pelaku berada di kursi pesakitan siap untuk menerima pidana yang akan
dijatuhkan kepadanya.
Restoratif Justice Sebagai Jalan Alternatif
Penyelesaian Anak Bermasalah
Penyelesaian lewat mikanisme restoratif
justice sangat penting dilakukan sebagai alternatif proses hukum formal
yang selama ini terikat dengan problem pelanggaran hak anak, apalagi dalam
beberapa instrumen nasional dan internasional sudah menegaskan penggunaan
mikanisme jalur formal sebagai jalan keluar terakhir penyelesaian (ultimum
remedium). PPB dalam beberapa instrumen internasional tentang anak telah
menghimbau agar negara-negara pihak di dunia mengakui dan memperjuangkan
pelaksanaan hak-hak anak melaui undang-undang maupun peraturan lainnya yang
sesuai dengan asas-asas perlindungan terhadap hak-hak anak.
Instrumentasi UU No. 3 tahun 1997
tentang Pengadilan Anak sebenarnya mempunyai tujuan mulia untuk memberikan
perlindungan khusus kepada anak yang bermasalah dengan hukum. Namun,
Undang-Undang ini masih mempunyai problem serius, secara substantive
Undang-Undang ini masih terikat pada KUHP dan hanya menyatakan Pasal 45- 47
KUHP saja yang dinyatakan tidak berlaku. Secara juridis pasal-pasal lain
di dalam KUHP tetap berlaku, antara lain ketentuan tentang pidana (Pasal
10-43), ketentuan tentang percobaan (Pasal 53 dan 54), tentang penyertaan
(Pasal 55-56 dst.), tentang concursus, alasan penghapus pidana, alasan
hapusnya kewenangan menuntut dan menjalankan pidana dan beberapa lainnya.
Apalagi khusus dalam Buku II dan III KUHP juga masih berlaku untuk anak yang di
dalamnya ada ketentuan tentang pengulangan (recidive). Sebagian besar
ketentuan KUHP tetap berlaku karena ketentuan-ketentuan itu memang tidak diatur
di dalam UU No. 3/1997.[34]
Kelemahan mendasar UU No. 3 tahun 1997
ialah tidak adanya pengaturan tentang diversi, padahal sistem diversi telah
diakui di tegakkan dan diatur dalam sistem hukum pidana di beberapa negara
internasional seperti Belanda, Australia, Selandia Baru, berbagai negara
bagian di Amerika Serikat dan Jepang. [35]
Diversi ialah kebijakan para penegak hukum untuk mengalihkan penyelesaian jalur
formal hukum menjadi penyelesaian yang non formal (musyawarah) dalam kasus
anak. Diversi bisa dilakukan lewat kewenangan diskresi aparat penegak hukum
(kewenangan meneruskan perkara atau menghentikan).[36]
Diversi lewat diskresi dilakukan semata-mata untuk melindungi hak-hak anak yang
selama ini mengalami stigmatisasi, kekerasan, dan berbagai pelanggaran hak anak
lainnya ketika dalam proses penyelesaian mikanisme formal.
Konsepsi diversi sebenar sebenarnya
mempunyai mikanisme sendiri dan telah dipraktekkan di Indonesia. Sebelum
penjajahan terjadi, masyarakat Indonesia telah memiliki hukum adat yang
penyelesaian perkaranya tidak membedakan antara perkara pidana dengan perkara perdata,
semua perkara dapat diselesaikan secara musyawarah dengan tujuan untuk
mendapatkan keseimbangan atau pemulihan keadaan. Demikian juga diakui dalam
hukum Islam, tidak hanya perkara biasa perkara berat dan dilakukan orang dewasa
sekalipun seperti pembunuhan, apabila keluarga korban telah memaafkan pelaku
kejahatan dan umumnya pelaku membayar uang pengganti (diyat) kepada keluarga
korban, hukum qishasnya tidak dilanjutkan, hal ini sesuai dengan perintah
Al-quran dalam Surat Al Baqarah ayat 178. Pemaafan lebih utama dalam Islam.[37]
Dalam konteks model penyelesaian
perkara anak, Gordon Bazomore memperkenalkan tiga model peradilan anak,
pertama, model pembinaan pelaku perorangan (individual treatment model). Kedua,
model retributive (retributive model). Ketiga, model restorative (restorative
model). Model pembinaan pelaku perorangan (individual treatment model)
dan model retributive (retributive model) mempercayakan campur tangan
peradilan anak dan menetapkan dengan pasti parameter-parameter kebijakan
tentang peradilan anak. Model pembinaan pelaku perorangan, persidangan anak
dilihat sebagai suatu agensi quasi kesejahteraan dengan mandat peradilan yang
samara-samar, pembinaan dilandaskan pada cara medik terapeutik, tentang
sebab-sebab timbulnya delinkuensi anak. Intervensi adalah sarana untuk mencoba
meralat perilaku penyimpangan sosial lewat pemberian sanksi terhadap masalah
personal seseorang dan kebutuhan pembinaan anak pelaku. Model pembinaan pelaku
perorangan dirasakan kelemahannya karena tidak terjaminnya stigmatisasi, paternalistic,
mahal, tidak memadai, dan jaminan hukumnya lemah serta diragukan intensitasnya.[38]
Krisis terhadap model-model
penyelesaian hukum formal mendorong pada tuntutan untuk segera mereformasi
peradilan anak. Peradilan diharapkan menerapkan model restoratif justice. Musa
mengatakan, model peradilan anak restorative berangkat dari asumsi bahwa
tanggapan atau reaksi terhadap perilaku delinkuensi anak, tidak akan efektif
tanpa adanya kerja sama dan keterlibatan dari korban, pelaku dan masyarakat.
Prinsip yang menjadi dasar model peradilan restorative ini bahwa keadilan
paling baik terlayani, apabila setiap pihak menerima perhatian secara adil dan
seimbang, aktif dilibatkan dalam proses peradilan dan memperoleh keuntungan
secara memadai dari interaksi mereka dengan system peradilan anak.
No comments:
Post a Comment