Sunday, January 25, 2015

RESTORATIF JUSTICE



RESTORATIF JUSTICE

 
Perbaikan hukum, diperlukan 
Karena dahsyatnya, perubahan zaman
Ahli hukum, harus maju ke depan
Celah yang kosong, banyak ditemukan

Fiat justisia ruat coelum, pepatah latin ini memiliki arti “meski langit runtuh keadilan harus ditegakkan”. Pepatah ini kemudian menjadi sangat populer karena sering digunakan sebagai dasar argumen pembenaran dalam pelaksanaan sebuah sistem peraturan hukum. Dalam penerapannya, adagium tersebut seolah-olah diimplementasikan dalam sebuah kerangka pemikiran yang sempit bertopeng dalih penegakan dan kepastian hukum.


Tatanan instrumen hukum acara pidana dan pemidanaan di Indonesia telah mengatur mengenai prosedur formal yang harus dilalui dalam menyelesaikan sebuah perkara pidana. Namun sayangnya, sistem formil tersebut dalam praktiknya sering digunakan sebagai alat represif bagi mereka yang berbalutkan atribut penegak hukum.



Lihatlah bagaimana contoh kasus yang pernah ditangani oleh LBH Mawar Saron Jakarta. Kasus dimaksud tentang dua orang pelajar SMP yang dituduh mencuri. Kedua belah pihak yakni dua pelajar dan korban pencurian sebenarnya telah berdamai, namun polisi berbalutkan atribut penegak hukum lebih memilih untuk meneruskan kasus tersebut hingga sampai ke pengadilan. Sebuah contoh nyata dimana sistem formil pidana telah dijadikan alat represif tanpa memperhatikan kepentingan si korban dan pelaku.



Contoh lainnya yang mungkin lebih dikenal oleh masyarakat luas ialah kasus Deli, seorang pelajar SMP yang dituduh mencuri voucher sehingga harus menjalani proses formil pidana sampai ke pengadilan. Kemudian kasus nenek Minah yang dituduh mencuri dua biji kakao sehingga harus duduk di kursi pesakitan dalam menjalani persidangan. Jangan juga kita lupakan kasus nenek Rasmiah yang dituduh mencuri sop buntut dan piring majikannya yang kemudian harus berujung di meja hijau.



Kepentingan Korban serta Pelaku

Apa sebenarnya yang menjadi tujuan akhir dalam sebuah pemidanaan? Apakah untuk menciptakan efek jera? Apakah untuk menciptakan keteraturan dan keamanan? Apakah untuk menciptakan tegaknya aturan hukum? Banyak jawaban yang terlontar, namun yang pasti tolak ukur keberhasilannya sebuah sistem pemidanaan ialah bukan terletak pada banyaknya jumlah tahanan maupun narapidana yang menghuni rumah tahanan (rutan) dan lembaga pemasyarakatan.



Sistem pemidanaan seakan tidak lagi menciptakan efek jera bagi para pelaku tindak pidana, over capacity rutan dan lapas malah berimbas pada banyaknya tindak kriminal yang terjadi di dalam lingkungan rutan dan lapas. Pengawasan yang lemah tidak berimbang dengan masiv-nya jumlah tahanan narapidana. Lapasseolah tidak lagi menjadi tempat yang tepat dalam me-masyarakat-kan kembali para narapidana tersebut, malah seolahlapas telah bergeser fungsinya sebagai academy of crime, tempat dimana para narapidana lebih “diasah” kemampuannya dalam melakukan tindakan pidana.



Bagaimana dengan kepentingan korban? Apakah dengan dipidananya si pelaku, kepentingan dan kerugian korban telah tercapai pemenuhannya? Belum tentu hal itu dapat dipenuhi dengan cara penjatuhan pidana terhadap pelaku. Dalam kasus yang pernah dialami oleh LBH Mawar saron Jakarta, sebagaimana yang diungkapkan di atas, posisi pelaku dan korban yang telah berdamai seakan tidak digubris sebagai dasar penghentian perkara tersebut. Pihak penegak hukum seakan tidak melihat kenyataan bahwa pihak korban di sini telah menyatakan bahwa tidak ada kepentingannya yang dilanggar karena yang terjadi hanyalah sebuah kesalahpahaman yang melibatkan para pelaku yang notabene masih berstatus pelajar SMP. Proses formil tersebut harus terus digulirkan karena sudah termasuk pada ranah hukum acara pidana (criminal justice system), kilah penegak hukum pada umumnya.



Konsep seperti inilah yang tidak memberi perlindungan dan penghargaan kepada kepentingan sang korban maupun pelaku. Ini adalah sebuah mekanisme konvensional yang disandarkan pada tegaknya proses formil pidana (criminal justice system) tanpa melihat kenyataan di masyarakat, tanpa melihat kepentingan masyarakat, dan tanpa melihat kemaslahatannya di masyarakat.  Suatu pengantar yang cukup dalam mempromosikan konsep Restorative Justice dalam proses Criminal Justice Sytem di Indonesia.



Pendekatan restorative justice

Konsep pendekatan restorative justice merupakan suatu pendekatan yang lebih menitik-beratkan pada kondisi terciptanya keadilan dan keseimbangan bagi pelaku tindak pidana serta korbannya sendiri. Mekanisme tata acara dan peradilan pidana yang berfokus pada pemidanaan diubah menjadi proses dialog dan mediasi untuk menciptakan kesepakatan atas penyelesaian perkara pidana yang lebih adil dan seimbang bagi pihak korban dan pelaku.



Restorative justice itu sendiri memiliki makna keadilan yang merestorasi, apa yang sebenarnya direstorasi? Di dalam proses peradilan pidana konvensional dikenal adanya restitusi atau ganti rugi terhadap korban, sedangkan restorasi memiliki makna yang lebih luas. Restorasi meliputi pemulihan hubungan antara pihak korban dan pelaku. Pemulihan hubungan ini bisa didasarkan atas kesepakatan bersama antara korban dan pelaku. Pihak korban dapat menyampaikan mengenai kerugian yang dideritanya dan pelaku pun diberi kesempatan untuk menebusnya, melalui mekanisme ganti rugi, perdamaian, kerja sosial, maupun kesepakatan-kesepakatan lainnya. Kenapa hal ini menjadi penting? Karena proses pemidanaan konvensional tidak memberikan ruang kepada pihak yang terlibat, dalam hal ini korban dan pelaku untuk berpartisipasi aktif dalam penyelesaian masalah mereka. Setiap indikasi tindak pidana, tanpa memperhitungkan eskalasi perbuatannya, akan terus digulirkan ke ranah penegakan hukum yang hanya menjadi jurisdiksi para penegak hukum. Partisipasi aktif dari masyarakat seakan tidak menjadi penting lagi, semuanya hanya bermuara pada putusan pemidanaan atau punishment tanpa melihat esensi.



Dalam proses acara pidana konvensional misalnya apabila telah terjadi perdamaian antara pelaku dan korban, dan sang korban telah memaafkan sang pelaku, maka hal tersebut tidak akan bisa mempengaruhi kewenangan penegak hukum untuk terus meneruskan perkara tersebut ke ranah pidana yang nantinya berujung pada pemidanaan sang pelaku pidana. Proses formal pidana yang makan waktu lama serta tidak memberikan kepastian bagi pelaku maupun korban tentu tidak serta merta memenuhi maupun memulihkan hubungan antara korban dan pelaku, konsep restorative justice menawarkan proses pemulihan yang melibatkan pelaku dan korban secara langsung dalam penyelesaian masalahnya. Proses pidana konvensional hanya menjadikan korban nantinya sebagai saksi dalam tingkat persidangan yang tidak banyak mempengaruhi putusan pemidanaan, tugas penuntutan tetap diberikan terhadap Jaksa yang hanya menerima berkas-berkas penyidikan untuk selanjutnya diolah menjadi dasar tuntutan pemidanaan, tanpa mengetahui dan mengerti kondisi permasalahan tersebut secara riil, dan sang pelaku berada di kursi pesakitan siap untuk menerima pidana yang akan dijatuhkan kepadanya.



Restoratif Justice Sebagai Jalan Alternatif Penyelesaian Anak Bermasalah
Penyelesaian lewat mikanisme restoratif justice sangat penting dilakukan sebagai alternatif proses hukum formal yang selama ini terikat dengan problem pelanggaran hak anak, apalagi dalam beberapa instrumen nasional dan internasional sudah menegaskan penggunaan mikanisme jalur formal sebagai jalan keluar terakhir penyelesaian (ultimum remedium). PPB dalam beberapa instrumen internasional tentang anak telah menghimbau agar negara-negara pihak di dunia mengakui dan memperjuangkan pelaksanaan hak-hak anak melaui undang-undang maupun peraturan lainnya yang sesuai dengan asas-asas perlindungan terhadap hak-hak anak.
Instrumentasi UU No. 3 tahun 1997 tentang Pengadilan Anak sebenarnya mempunyai tujuan mulia untuk memberikan perlindungan khusus kepada anak yang bermasalah dengan hukum. Namun, Undang-Undang ini masih mempunyai problem serius, secara substantive Undang-Undang ini masih terikat pada KUHP dan hanya menyatakan Pasal 45- 47 KUHP saja yang dinyatakan tidak berlaku.  Secara juridis pasal-pasal lain di dalam KUHP tetap berlaku, antara lain ketentuan tentang pidana (Pasal 10-43), ketentuan tentang percobaan (Pasal 53 dan 54), tentang penyertaan (Pasal 55-56 dst.), tentang concursus, alasan penghapus pidana, alasan hapusnya kewenangan menuntut dan menjalankan pidana dan beberapa lainnya. Apalagi khusus dalam Buku II dan III KUHP juga masih berlaku untuk anak yang di dalamnya ada ketentuan tentang pengulangan (recidive). Sebagian besar ketentuan KUHP tetap berlaku karena ketentuan-ketentuan itu memang tidak diatur di dalam UU No. 3/1997.[34]
Kelemahan mendasar UU No. 3 tahun 1997 ialah tidak adanya pengaturan tentang diversi, padahal sistem diversi telah diakui di tegakkan dan diatur dalam sistem hukum pidana di beberapa negara internasional seperti  Belanda, Australia, Selandia Baru, berbagai negara bagian di Amerika Serikat dan Jepang. [35] Diversi ialah kebijakan para penegak hukum untuk mengalihkan penyelesaian jalur formal hukum menjadi penyelesaian yang non formal (musyawarah) dalam kasus anak. Diversi bisa dilakukan lewat kewenangan diskresi aparat penegak hukum (kewenangan meneruskan perkara atau menghentikan).[36] Diversi lewat diskresi dilakukan semata-mata untuk melindungi hak-hak anak yang selama ini mengalami stigmatisasi, kekerasan, dan berbagai pelanggaran hak anak lainnya ketika dalam proses penyelesaian mikanisme formal.
Konsepsi diversi sebenar sebenarnya mempunyai mikanisme sendiri dan telah dipraktekkan di Indonesia. Sebelum penjajahan terjadi, masyarakat Indonesia telah memiliki hukum adat yang penyelesaian perkaranya tidak membedakan antara perkara pidana dengan perkara perdata, semua perkara dapat diselesaikan secara musyawarah dengan tujuan untuk mendapatkan keseimbangan atau pemulihan keadaan. Demikian juga diakui dalam hukum Islam, tidak hanya perkara biasa perkara berat dan dilakukan orang dewasa sekalipun seperti pembunuhan, apabila keluarga korban telah memaafkan pelaku kejahatan dan umumnya pelaku membayar uang pengganti (diyat) kepada keluarga korban, hukum qishasnya tidak dilanjutkan, hal ini sesuai dengan perintah Al-quran dalam Surat Al Baqarah ayat 178. Pemaafan lebih utama dalam Islam.[37]
Dalam konteks model penyelesaian perkara anak, Gordon Bazomore memperkenalkan tiga model peradilan anak, pertama, model pembinaan pelaku perorangan (individual treatment model). Kedua, model retributive (retributive model). Ketiga, model restorative (restorative model). Model pembinaan pelaku perorangan (individual treatment model) dan model retributive (retributive model) mempercayakan campur tangan peradilan anak dan menetapkan dengan pasti parameter-parameter kebijakan tentang peradilan anak. Model pembinaan pelaku perorangan, persidangan anak dilihat sebagai suatu agensi quasi kesejahteraan dengan mandat peradilan yang samara-samar, pembinaan dilandaskan pada cara medik terapeutik, tentang sebab-sebab timbulnya delinkuensi anak. Intervensi adalah sarana untuk mencoba meralat perilaku penyimpangan sosial lewat pemberian sanksi terhadap masalah personal seseorang dan kebutuhan pembinaan anak pelaku. Model pembinaan pelaku perorangan dirasakan kelemahannya karena tidak terjaminnya stigmatisasi, paternalistic, mahal, tidak memadai, dan jaminan hukumnya lemah serta diragukan intensitasnya.[38]
Krisis terhadap model-model penyelesaian hukum formal mendorong pada tuntutan untuk segera mereformasi peradilan anak. Peradilan diharapkan menerapkan model restoratif justice. Musa mengatakan, model peradilan anak restorative berangkat dari asumsi bahwa tanggapan atau reaksi terhadap perilaku delinkuensi anak, tidak akan efektif tanpa adanya kerja sama dan keterlibatan dari korban, pelaku dan masyarakat. Prinsip yang menjadi dasar model peradilan restorative ini bahwa keadilan paling baik terlayani, apabila setiap pihak menerima perhatian secara adil dan seimbang, aktif dilibatkan dalam proses peradilan dan memperoleh keuntungan secara memadai dari interaksi mereka dengan system peradilan anak.

No comments:

Post a Comment

Komentar Facebook