PUKUL ANAK UMUR 13 TAHUN DAN NIKAHKAN
KETIKA BERUMUR 16 TAHUN
Oleh M.Rakib Muballigh IKMI Riau Indonesia
Di dalam hadits dinyatakan:
Seorang anak diakikahkan pada
hari ketujuh dan diberi nama, dibersihkan dari penyakit, maka apabila dia sudah
berumur enam tahun hendaklah dididik, apabila sudah berumur sembilan tahun
hendaklah dipisahkan tempat tidurnya, apabila sudah berumur “ tiga belas tahun”, hendaklah dipukul apabila
meninggalkan shalat dan puasa, dan apabila sudah berumur 16 tahun hendaklah
dinikahkan, kemudian dia memegang tangannya seraya mengatakan: aku telah
mendidik dan mengajarmu dan juga menikahkanmu, aku berlindung dari fitnah yang
kau bawa di dunia dan siksaanmu di akhirat.[1]
Di dalam hadits ini dinyatakan:
Apabila sudah berumur “ tiga belas
tahun”, hendaklah dipukul apabila
meninggalkan shalat dan puasa.Segala
sesuatu selain dari zikir
adalah sia-sia, atau melalaikan,
kecuali empat hal: 1. Perjalan seorang dengan
dua tujuan. 2. Memanah,
3. Mendidik
kuda tunggangan, bersenda-gurau dengan keluarganya, dan 4. Mengajarinya anak berenang.[2]
Kesalahan besar orang tua, jika berpendirian
bahwa anak tidak boleh mengungkapkan pendapat! Penerapannya bisa saja keliru
bahwa haram hukumnya anak tidak melaksanakan perintah orang. Apakah jika
seorang anak yang harus menururti keinginan orang tua jika tidak boleh memilih
jurusan sekolah sesuai kemampuan anak dan hanya menuruti ego orang tua agar
bersekolah sesuai keinginan nya? Ada pula tindakan orang tua yang selalu
mengumpat anaknya,[3] dan selalu marah-marah? Bagaimana orang tua yang sibuk bekerja lalu
saat pulang ke rumah menumpahkan kekesalan, sementara anak tidak boleh melawan,
tidak boleh sakit hati.
Makna Menghukum Anak Yang Tidak Shalat
Setiap
yang diperintahkan Allah dan Rasul-Nya pasti memiliki maqashid,[4] atau hikmah dan tujuan. Dalam hal
perintah dan larangan Allah, secara umum manusia terbagi menjadi dua golongan,
yaitu (1) orang yang cukup menerima nasihat dengan dalil kitab dan sunnah dan
(2) orang yang membangkang. Golongan yang kedua inilah yang perlu diterapkan
hukuman padanya. Maqashid itu di antaranya bermakna manfaat, misalnya manfaat
besi adalah untuk memerangi orang-orang kafir dan untuk menegakkan qishash. Ini adalah manfaat yang sangat
nampak, sebab manusia akan takut pada pedang sehingga mereka pasrah pada agama
Allah. Maqashid atau manfaat memukul anak
karena meninggalkan sholat, bertujuan untuk antara lain:
1) Memberi pelajaran kepada anak bahwa
hak Allah adalah sangat lebih besar, dibandingkan hak manusia, misalnya Ibrahi yang
mengorbankan anaknya, menjadi contoh bahwa segala sesuatu akan menjadi hina di hadapan-Nya. Tubuh yang seharusnya dipelihara dan tidak boleh (haram) disakiti, tapi demi hukum, menjadi halal dan harus merasakan
sakit lantaran meremehkan hak Penciptanya.
2) Menampakkan kepada anak bahwa orang
tua memiliki kekuasaan dalam melazimkan hukum-hukum Allah kepada mereka,
sehingga tidak ada pilihan baginya kecuali pasrah dan menyerah kepada Rabbnya.
3) Memberi pelajaran kepada anak bahwa
manusia setinggi apapun kedudukannya, status sosialnya dan nasab keturunannya,
tidak memiliki kebebasan mutlak dalam mengikuti kehendaknya yang bertentangan
dengan kehendak Allah.
Analisis Terhadap Hukuman Fisik Yang Sesuai Dengan Syari’ah
a. Memukul anak
Penulis merasa berkewajiban
memberikan catatan bahwa, ada
perbedaan yang sangat prinsipil, antara memukul biasa, dengan memukul yang diatur oleh syari’at.[5] Memukul menurut kebiasaan sebagian
orang tua atau pendidik yang mudah emosi dan suka memukul. Suka memukul adalah
akhlaq tercela. Perhatikan nasehat Rasulullah SAW., kepada Fatimah binti Qais,
ketika mengabarkan kepada beliau bahwa dirinya dilamar oleh dua orang sahabat,
salah satunya adalah Abu Jahm. Karenanya Rasulullah bersabda,”Adapun Abu
Jahm, sebenarnya suka memukul wanita (maksudnya selalu memberikan hukuman fisik, akhlaqnya tidak baik).”[6]
Nilai filosofis dari memukul anak secara ringan, hanyalah agar anak takut, sehingga tunduk kepada perintah
Allah bukan agar si anak takut kepada bapaknya semata, sehingga makin
berwibawa. Maksud memukul adalah agar anak mengamalkan perintah Allah dengan
ikhlas karena-Nya. Sesungguhnya tidak ada manfaatnya bila seorang anak nampak
taat kepada Allah di hadapan orang tuanya sementara di balik itu ia tidak
bertaqwa kepada-Nya.
b. Memukul Yang
Melampaui Batas
Orang-orang yang memukul
anak-anak hendaknya takut kepada Allah. Jangan sampai termasuk golongan orang-orang yang tidak
masuk surga bahkan tidak mencium baunya. Di antaranya sekelompok manusia yang memiliki cambuk
seperti ekor sapi untuk memukul manusia.[7] Ada ulama fiqih yang menyatakan
bahwa yang dimaksud orang yang boleh memukul, bisa saja guru, para polisi,
satpam, mandor-mandor pada jaman sekarang ini.[8] Mereka berkeliling dengan tongkat
lalu memukuli dan menendang siapa saja, hanya karena mengatur dan megamankan.
Lalu bagaimana caranya mereka dapat mengamankan dan mengatur tanpa berbuat
aniaya? Jawabnya, dengan anjuran taqwa kepada Allah, nasihat dan pengarahan
dengan lisan, dengan cara yang baik atau dengan tangan tanpa menyakiti karena kezhaliman adalah kegelapan di akhirat!
Aturan
yang paling populer selama ini adalah anak-anak harus berhati-hati dengan
‘kekeramatan’ orang tua. Tapi patut diingat,
secara religi ada lima,[9] kejahatan orang tua yang
wajib dihindarkan. Pertama, apabila suka memaki. Kedua menghina anak sendiri.
Ketiga melebihkan anak dari yang lain. Keempat mendoakan keburukan anak. Kelima
tidak memberi pendidikan anak. Merupakan
kemuliaan bangsa, jika orang tua dan guru, mampu menjadikan generasi muda,
cerdas lahir batin, bermoral mulia dan berbhakti kepada orang tua, sesama,
bangsa dan semesta.
Hukuman itu untuk menyadarkan bukan untuk melakukan pembalasan. Hukuman itu agar anak-anak menyadari kekeliruan mereka dan agar tidak mengulangi perbuatan jeleknya, bukan untuk melakukan balas dendam. Hukuman dalam pendidikan jangan dikelirukan dengan balas dendam. Jean Soto menulis, "Semua penderitaan manusia, ketidakadilan, dan sebagainya berakar dari hukuman dan kekerasan-kekerasan yang diterima oleh anak-anak dari orangtua mereka. Karena itu hukuman-hukuman itu harus dihapus sama sekali agar penderitaan umat manusia ini bisa sirna."
[1]H.R.Ibnu
Hiban. Bandingkan pula hadits Rasulullah secara rinci tentang fase-fase
perkembangan anak sekaligus cara atau metode yang harus diterapkan sesuai
dengan perkembangan anak. Rasulullah SAW bersabda artinya : “Berkata Anas
bersabda Nabi Muhammad SAW, anak itu pada hari ketujuh dari lahirnya
disembelihkan aqiqah, diberi nama dan dicukur rambutnya. Kemudian setelah umur
6 tahun dididik kesusilaan, setelah umur 9 tahun dipisahkan tempat tidurnya,
bila telah berumur 13 tahun dipukul karena meninggalkan sholat dan puasa, serta
umur 16 tahun hendaklah orang tua mengawinkannya, kemudian orang tua berjabatan
tangan dan berikrar, saya telah mendidik, mengajar dan mengawinkan kamu, ya
Allah lindungilah aku dari fitrahmu di dunia dan siksaanmu di akhirat”.
[3]Pakar
pendidikan ini ingin mengatakan bahwa hukuman memang merupakan bagian yang
tidak terpisahkan dalam membina anak-anak, malahan dalam situasi tertentu
mutlak diperlukan sekali. Tetapi pada saat yang sama ia sama sekali tidak
setuju secara mutlak dengan hukuman fisik. Ia tidak Dia keberatan dengan
hukuman-hukuman non-fisik tapi bukan hukuman non-fisik yang berat.Ia
menambahkan, “Perlu diingat bahwa jangan sekali-kali memberikan hukuman yang
akan merendahkan harga diri anak, seperti hukuman badan, ancaman dengan siksaan
atau apa saja demi menghancurkan keinginan buruknya. Kemudian, jangan menghukum
anak di saat marah. Lihat Ayah Edi Wahono, Mengapa
Anak Saya Suka Melawan dan Susah Diatur, (PT.Gramedia Widiasarana
Indonesia, 2010), hlm. 31.
[4]Sudah tidak asing di kalangan para ulama yang
berkecimpung dalam juresprudensi Islam (ushul al-fiqh) mengenai
teori maqashid al-Syari’ah yang disistematisasi dan
dikembangkan oleh al-Syathibi. Bahkan Musthafa Said al-Khin dalam bukunya al-Kafi
al-Wafi fi Ushul al-Fiqh al-Islamy membuat kategorisasi baru dalam
aliran Ilmu Ushul Fiqh. Bila sebelumnya hanya dikenal dua aliran saja,
yaitu Mutakallimin dan fuqahaatau Syafi’iyyah dan Hanafiyyah,
maka al-Khin membaginya menjadi lima bagian:Mutakallimin, Hanafiyyah, al-Jam’i, Takhrij
al-Furu’ ‘alal Ushul dan Sya-thibiyyah (al-Khin, 2000:
8). Dengan demikian, pembagian tersebut telah menempatkan pemikiran Imam
al-Syathibi dalam al-Muwafaqat menjadi salah satu bagiatn
corak aliran yang terpisah dari aliran ushul fiqih lainnya. Hal ini karena dalam
coraknya, al-Syathibi mencoba menggabungkan teori-teori (nadhariyyat)
ushul fiqh dengan konsep maqashid al-syari’ah sehingga
produk hukum yang dihasilkan lebih hidup dan lebih kontekstual. Menurut
Darusmanwiati, Ada dua nilai penting apabila model al-Syathibi ini dikembangkan
para ulama sekarang dalam menggali hukum: Pertama, dapat men-jembatani
antara “aliran kanan” dan “aliran kiri”. “Aliran kanan” yang dimaksud adalah
mereka yang tetap teguh berpegang pada konsep-konsep ilmu ushul fiqh sedangkan
“aliran kiri” adalah mereka yang terakhir ini vokal dengan idenyatajdid
ushul al-fiqh dalam pengertian perlu adanya dekonstruksi ushul fiqih
demi menghasilkan produk fiqih yang lebih kapabel …. Kedua, model
al-Syathibi ini akan lebih menghasilkan produk hukum yang dalam istilah Ibnu
al-Qayyim, al fiqh al-hayy, fiqih yang hidup. Karena itu, fiqih
yang terlalu teksbook yang penulis istilahkan dengan Fiqh
Ushuly akan berubah menjadi Fiqh Maqashidy Darusmanwiati,
Islamlib: 309.
[5]Suruhlah
anak-anakmu untuk melaksanakan shalat pada usia tujuh tahun, dan pukullah
mereka jika tidak mau melaksanakannya pada usia sepuluh tahun, serta
pisahkanlah tempat tidur mereka.”[Hadits shahih, diriwayatkan oleh Ahmad
(II/ 180, 187), Abu Dawud (no. 495), Al-Hakim (I/197), Al-Baihaqi (III/84),
Ibnu Abi Syaibah (no. 3482), Ad-Daruquthni (I/230), Al-Khathib (II/278), dan
Al-‘Uqaili (II/167), dari ‘Abdullah bin ‘Amr radhiyallahu’anhuma.
Lihat juga Shahihul Jami’ (no. 5868)] Ada beberapa syarat
yang harus dipenuhi berkaitan dengan pukulan kepada anak ini, yaitu:
a. Anak mengerti atas alasan apa dia dipukul. b. Orang yang memukulnya adalah walinya, misalkan ayahnya. c. Tidak boleh memukul anak secara berlebihan. d. Kesalahan yang dilakukan oleh sang anak memang patut untuk mendapatkan hukuman. e. Pukulan dimaksudkan untuk mendidik anak, bukan untuk melampiaskan kemarahan.[Lihat Al-Qaulul Mufid (II/473-474) dan Bekal Menanti Si Buah Hati tt, hlm. 55-56.
a. Anak mengerti atas alasan apa dia dipukul. b. Orang yang memukulnya adalah walinya, misalkan ayahnya. c. Tidak boleh memukul anak secara berlebihan. d. Kesalahan yang dilakukan oleh sang anak memang patut untuk mendapatkan hukuman. e. Pukulan dimaksudkan untuk mendidik anak, bukan untuk melampiaskan kemarahan.[Lihat Al-Qaulul Mufid (II/473-474) dan Bekal Menanti Si Buah Hati tt, hlm. 55-56.
[9] Tribun Pontianak.Co.id - Peristiwa kaburnya model cilik, Ruvita Sari Siahaan,
9 Januari 2012. Ada pelajaran bagi
orangtua di tengah kehidupan global yang "lebih" mendewakan materi
daripada nilai-nilai religi dan budaya. Vita, sapaan akrab Ruvita Sari, nekat kabur ke Sorong, Papua Barat bukan
tanpa sebab. Kenekatan model iklan berusia 13 tahun ini, berlatar tekanan
psikis hebat dari ibunya, Ny Lily.Setelah ditemukan polisi di rumah orangtua
angkatnya, Bunda Maya di Sorong, Kamis (26/1/2012) sore, Vita mengaku sering
dipukul ibunya kalau menolak syuting.Tidak sampai di situ, sang ibunda
"terlalu" mengatur selera dan kehidupan anak. Mulai urusan busana
hingga rileks (jalan-jalan), Vita perlu menangis. Vita pun mengalami memar
akibat pukulan sang ibu, manakala model iklan cokelat pasta itu pulang pukul
21.00 WIB. Sang Ibu tak mengelak,
mengakui pernah juga menarik rambut Vita dan menjepret kaki putrinya
menggunakan karet. Benarkah cara orangtua pada buah hatinya ini? Prinsipnya,
tak seorang orangtua pun di muka bumi, ingin menzalimi anak kandungnya.Harimau
yang paling buas sekalipun, tak pernah memakan anak-anaknya, meski kelaparan.
Kaum sufi psikologi maupun agama, justru meyakini cinta orangtua kepada anak,
lebih besar dibanding cinta anak kepada orangtuanya. Editor Tribun Pontianak.Co.id - Peristiwa kaburnya model cilik, Ruvita Sari Siahaan,
9 Januari 2012.
No comments:
Post a Comment