|
WAJIB MENEGAKKAN HUKUM ALLAH
M.Rakib Jamari,SH.Riau Indonesia
|
ومن لم يحكم بما أنزل الله فأولئك هم الكافرون (المائدة: 44)……
Barang siapa tidak memutuskan
perkara menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang
yang kafir. (Al-Ma'idah:5:44)
Barangsiapa tidak memutuskan
perkara menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang
yang zalim. (Al-Ma'idah:5:45)
Barangsiapa tidak memutuskan
perkara menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang
yang fasik. (Al-Mai'dah:5:47)
ASBABUN
NUZUL
Imam Ahmad meriwayatkan dari Ibnu
Abbas, ia berkata: Bahwasanya Allah menurunkan tiga ayat di atas ditujukan
kepada dua golongan dari kaum Yahudi. Pada zaman Jahiliyah, salah satunya
menundukkan yang lain. Dan akhirnya mereka sepakat bahwa hukuman orang
bangsawan yang membunuh rakyat jelata adalah 50 gantang, sedang hukuman
rakyat jelata yang membunuh kaum bangasawan adalah 100 gantang. Begitulah
sampai kedatangan Nabi Muhammad SAW di Madinah. Keduanya akhirnya membuat
perjanjian damai dengan Nabi.
Tak lama kemudian timbul satu
kasus, seorang rakyat jelata membunuh seorang bangsawan. Lalu bangsawan yang
lain diutus kepada rakyat jelata tadi, ia berkata: Berikan kepada kami 100
gantang, si rakyat jelata, menjawab," Apakah ada keistimewaan?, kedua
golongan kita agamanya satu, nasab kita satu, negeri kita satu; Kenapa diat
sebagian mereka separoh dari sebagian lainnya? Sesungguhnya kami telah
menyerahkan kezaliman dan diskriminasi kepada kalian. Jikalau Muhammad
datang, maka kami tidak akan memberikannya kepada kalian".
Hampir saja terjadi perang antara
dua golongan (Yahudi) tersebut, lalu kedua golongan sepakat untuk menjadikan
Rasulullah sebagai penengah mereka. Bangsawan berkata: Demi Allah, Muhammad
bukanlah orang yang telah memutuskan suatu yang lemah sebagaimana kalian
memutuskan. Perkataan Bangsawan ini dibenarkan mereka. Bangsawan berkata:
sungguh apa yang telah kami putuskan adalah suatu kelaliman dan penaklukan
atas mereka. Selundupkan seseorang yang mengetahui pendapat Muhammad. Jika Ia
memberikan keputusan yang seperti yang yang kalian kehendaki, maka jadikanlah
ia penengah, tapi jika ia memutuskan yang lain maka janganlah kalian jadikan
dia penengah. Kemudian mereka menyelundupkan orang munafik untuk memberitahu
kepada mereka pendapat Rasulullah. Ketika orang-orang munafik tadi sampai
kepada Rasul, maka Allah memberitahukan tentang urusan mereka semuanya serta
apa sebenarnya yang mereka kehendaki.
PENJELASAN
Terdapat perbedaan pendapat
dikalangan Ulama tentang penafsiran ayat di atas. Fakhr ar- Razi, misalnya,
menyatakan ada dua hal utama dalam memahami ayat-ayat di atas: Pertama, bahwa
yang dimaksud firman Allah di atas adalah ancaman terhadap orang Yahudi atas
keberanian mereka mengingkari hukum Allah yang telah dinashkan dalam Taurat,
mereka berkata: Itu tidak wajib. Karena itulah mereka menjadi kafir secara
mutlak. Mereka tidak berhak lagi menyandang gelar "iman", tidak
berhak atas Musa dan Taurat, serta tidak berhak pula atas Muhammad dan
Al-Qur'an.
Kedua, Kaum Khawarij berpendapat
bahwa setiap orang yang bermaksiat kepada Allah, maka ia kafir. sedangkan
Jumhur berpendapat bahwa ayat tersebut merupakan ancaman bagi orang yang
tidak berhukum dengan hukum Allah, maka ia menjadi kafir, zalim, dan fasik.
Dua hal utama di atas dibahas oleh
para mufassir klasik. Berikut ini ikhtisar pendapar para mufassir :
1) Sebagian Mufassir sepakat bahwa ayat ini khithabnya
khusus. Tetapi mereka berbeda pendapat dalam menafsirkan kekhususannya. Ada
yang berpendapat ayat ini untuk orang Yahudi semata. Pendapat ini didukung
oleh Abdullah bin Abdullah bin Utbah bin Mas'ud. Hasan Basri berkata bahwa
ayat tersebut ditujukan kepada orang Yahudi, tapi bagi muslim tetap wajib
berhukum pada apa yang diturunkan Allah (bi ma anzal Allah). Ibnu Mansur, Abu
Syekh, dan Ibnu Marduwaih meriwayatkan dari Ibnu Abbas bahwa ayat tersebut
diturunkan Allah khusus untuk orang Yahudi. Mufassir yang lain berpendapat
bahwa ayat tersebut untuk Ahli Kitab yakni Yahudi dan Nasrani.
Ibnu Jarir meriwayatkan dari Abu
Sholeh bahwa tiga ayat surat Al-Maidah tersebut tidak berlaku atas kaum
muslimin, tapi untuk orang kafir, yakni Ahli Kitab. Ibnu Abbas berkata:
Sebaik-baik kaum adalah kalian, apa yang baik itu bagi kalian, sedang apa
yang buruk itu adalah buat ahli Kitab. Barangsiapa menentang hukum Allah
sungguh ia telah kafir dan barangsiapa tidak berhukum dengan hukum Allah,
maka ia telah berbuat zalim dan fasik. Ada yang berpendapat bahwa ketiga ayat
tersebut memang bersifat khusus tetapi konteks ketiga ayat itu berbeda.
Asy-Sya'bi, misalnya, ia berkata: Julukan kafir itu bagi orang Islam, zalim
bagi orang Yahudi, dan fasik bagi orang Nasrani. Al-Zamakhsyari berkata bahwa
tiga sifat yang dinisbatkan kepada orang kafir (Ahli Kitab) menunjukkan
penghinaan terhadap mereka karena mereka melampaui batas dalam kekufuran
mereka, perbuatan zalim mereka terhadap ayat-ayat mereka dengan ejekan dan keengganan
mereka lalu mereka berhukum dengan selainnya. Ada juga yang berpendapat bahwa
sifat kufur itu maksudnya adalah kufur nikmat.
Fakhr ar-Razi menyatakan bahwa
pendapat tentang ayat-ayat di atas berlaku khusus adalah lemah. Pertama:
bertentangan dengan kaedah "al-'Ibrah bi 'umum al-lafdzi, la bi khushus
al-sabab". Kedua, pendapat ini juga lemah sebab firman di atas memakai
kata man yang menunjukkan sifat umum (sebagai syarat).
2) Sebagian mufassir berpendapat bahwa ayat di atas umum.
Tetapi itu tidak berarti jika seorang muslim maka ia menjadi kufur. Thawus,
misalnya, berkata: Ia tidak kafir seperti kafirnya orang yang pindah agama
dan seperti orang kafir yang ingkar kepada Allah dan hari kebangkitan. Atha'
berpendapat senada: muslim yang demikian menjadi kufur tetapi tidak kafir
secara hakiki. Mereka seolah-olah menafsirkan yang dimaksud dengan kafir,
zalim dan fasik adalah kafir, zalim dan fasik terhadap nikmat. Pengarang
Tafsir Ruh al-Ma'any menjelaskan bahwa Abu Hamid dan lainnya meriwayatkan
dari asy-Sya'bi, ia berkata tiga ayat di atas dapat dibedakan. Yang pertama
(5:44) berlaku bagi muslim, sedangkan dua ayat berikutnya (5:45;47) Yahudi
dan Nasrani, bahwa jika kufur tersebut dinisbatkan pada orang mukmin
diartikan ancaman dan sikap keras. Tetapi jika sifat fasik dan kufur
dinisbatkan pada orang kafir, hal itu berarti menunjukkan keingkaran dan
keluarnya mereka dari hukum Allah.
Riwayat lain, yaitu Hakim, Abdur
Razak, Ibn Jarir dari Khuzaifah bahwa tatkala ia membacakan ayat di atas,
tiba-tiba seorang laki-laki berdiri dan berkata: Ayat tersebut diperuntukkan
untuk Bani Israel, lalu Huzaifah berkata: Sebaik-baik saudara adalah Bani
Israel, jika kalian bahagia mereka susah. Perkataan Huzaifah di atas
ditafsirkan sebagai kecenderungannya akan umumnya ayat tersebut. Ali Ibnu
Husain meriwayatkan dengan pendapat umumnya ayat tersebut, tapi ia
berkomentar: Kufur di atas bukan berarti kufur syirik, fasik bukanlah fasik
syirik, dan zalim bukanlah zalimnya syirik.
Pendapat yang paling kuat menurut
Fakh ar-Razi adalah pendapat Ikrimah bahwa ayat tersebut umum bagi setiap
orang yang ingkar dalam hatinya dan menentang dengan lisannya. Penulis
sependapat dengan Ikrimah, tetapi persoalannya bagaimana dengan konteks
keindonesiaan.
Untuk menjawab ini, penulis merasa
bahwa kita perlu mengembangkan adanya pendapat di masa kini, yakni lafaz bi
ma anzala Allah dalam ketiga ayat di atas, sesungguhnya layak diperdebatkan.
Apakah bi ma anzala Allah bermakna nashshan (secara teks nash) atau ruuhan
(makna di balik teks nash, jiwa nash). Karenanya bisa saja ada hukum manusia
(siyasah wadh'iyyah) bertentangan dengan hukum Allah secara teks nash; tetapi
bersesuaian dengan ruh nash. Apakah kasus terakhir ini juga tetap terkena
keumuman ketiga ayat di atas? Kemudian apa klasifikasi ruh nash itu? Dan
apakah mungkin teks nash berbeda secara diametral dan konfrontatif dengan ruh
nash? Tentu saja persoalan-persoalan ini membutuhkan kajian khusus yang lebih
mendalam, yang tidak mungkin ada dalam tulisan sederhana ini.
Al-Haq min Allah
Senarai
Rujukan:
Tafsir al-Fakhr ar-Razy, juz 12,
hal. 3 - 18
Tafsir Al-Maraghy, juz 6, hal
122-124
Tafsir Al-Qasimy, juz 6, hal 2000
-2001
Tafsir Ruh Al-Ma'ani (pada
ayat-ayat di atas)
|
|
Nadirsyah Hosen adalah dosen
Fakultas Syariah UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta
|
Sunday, January 18, 2015
WAJIB MENEGAKKAN HUKUM ALLAH
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment