Saturday, January 31, 2015

menutup sesuatu yang menjadi jalan kerusakan



SADD ARTINYA MENUTUP ATAU MENYUMBAT
Apabila gurumu selalu kau tantang
Ditujuk diajar engkau membangkang
Akibatnya buruk bukan kepalang
Ilmu dituntut berkahnya hilang
Sadduz zari’ah

 
 M.Rakib  Muballigh IKMI Riau Indonesia. 2014
        Sadduz zari’ah ialah menghambat/ menutup sesuatu yang menjadi jalan kerusakan untuk menolak kerusakan. Sebagai contoh, melarang orang meminum seteguk minuman memabukkan (padahal seteguk tidak memabukkan) untuk menutup jalan sampai kepada meminum yang banyak. Agar hukum tidak dilanggar, orang Melayu mengedepankan moral adat, bisa dalam bnetuk ceramah lisan, bisa pula dalam bentuk tulisan yang bergaya sastra, misalnya:
Wahai ananda, dengarlah amanat
Terhadap gurumu, hendaklah hormat
Ilmunya banyak,  memberi manfaat
Menyelamatkan hidup,  dunia akhirat

Kepada guru hendaklah sopan
Tunjuk ajarnya ananda dengarkan
Penat letihnya jangan dilupakan
Supaya hidupmu dirahmati Tuhan

Kepada gurumu janganlah durhaka
Jangalah pula berburuk sangka
Tunjuk ajarnya ananda jaga
Supaya manfaatnya dapat dirasa
 
Kepada gurumu eloklah perangai
Apabila disuruhnya janganlah lalai
Tunjuk ajarnya selalu dipakai
Supaya hasratmu cepat tercapai

Apabila gurumu selalu kau tantang
Ditujuk diajar engkau membangkang
Akibatnya buruk bukan kepalang
Ilmu dituntut berkahnya hilang
 
Kepada guru jangan menista
Bercakap kasar bermasam muka
Orang benci Allah pun murka
Hidupmu akan terlunta-lunta

Kepada gurumu nampakkan minat
Petuah didengar petunjuk diingat
Supaya belajar beroleh manfaat
Membawa berkah dunia akhirat

Kepada gurumu hendaklah patuh
Ditunjuk diajar jangan mengeluh
Belajarlah dengan bersungguh-sungguh
Supaya hidupmu menjadi senonoh

Anggaplah guru sebagai ibu bapa
Tempat merunjuk tempat bertanya
Memudahkan ananda memahami ilmunya
Supaya pelajaranmu tak sia-sia
 
Jadikan gurumu contoh teladan
Minta nasihat untuk pegangan
Apa masalahmu boleh disampaikan
Supaya bebanmu menjadi ringan

Kepada gurumu berterus terang
Jangan bercakap main belakang
Supaya belajar hatimu lapang
Guru mengajar hatnya senang
 
Kepada gurumu berterima kasih
Kerana mengajarmu berpenat letih
Sampaikan dengan hati yang bersih
Semoga menjadi amalan soleh

Wahai ananda permata bunda
Gurumu itu juga manusia
Tentulah ada lebih kurangnya
Maafkan olehmu bila ada salahnya

Kepada guru jangan mendendam
Orang pendendam imannya padam
Budi yang baik jadi tenggelam
Hari depanmu menjadi suram

Budi gurumu janganlah dilupakan
Penat letihnya jangan diabaikan
Ilmu diterima engkau amalkan
Semoga pahalanya sama dirasakan
         Saddu Zara’i berasal dari kata sadd dan zara’i. Sadd artinya menutup atau menyumbat, sedangkan zara’i artinya pengantara. Pengertian zara’i sebagai wasilah dikemukakan oleh Abu Zahra dan Nasrun Harun mengartikannya sebagai jalan kepada sesuatu atau  sesuatu yang membawa kepada sesuatu yang dilarang dan mengandung kemudaratan. Sedangkan Ibnu Taimiyyah memaknai zara’i sebagai perbuatan yang zahirnya boleh tetapi menjadi perantara kepada perbuatan yang diharamkan. Dalam konteks metodologi pemikirran hukum Islam, maka saddu zara’i dapat diartikan sebagai suatu usaha yang sungguh-sungguh darri seorang mujtahid untuk menetapkan hukum dengan melihat akibat hukum yang ditimbulkan yaitu dengan menghambat sesuatu yang menjadi perantara pada kerusakan.
         Penetapan hukum Islam berdasarkan pendekatan maqashid syariah pada umumnya sejalan
atau muthabaqah dengan pendekatan kebahasaan. Seperti kewajiban shalat dan puasa yang
difahami dari sejumlah ayat. Menurut pendekatan maqashid, shalat dimaksudkan untuk
memelihara agama(hifzud al-din). Menurut pendekatan kebahasaan (lughawi), shalat menjadi
kewajiban yang mesti dilaksanakan. Namun terkadang, pendekatan maqashid syariah dapat
meninggalkan makna tekstual suatu ayat dan hadits dan dengan sendirinya mengabaikan
pendekatan kebahasaan, dasarnya adalah perti mbangan kemaslahatan dan prinsip-prinsip
umum, seperti keadilan dan kemudahan (taysir). Penerapan maqashid seperti ini selalu terjadi
dalam masalah mu’amalah. Sekalipun secara literal terlihat menyimpang dari teks, namun
berdasarkan prinsip-prinsip umum Al-quran, penetapan suatu hukum tertentu adalah meng amalkan tujuan umum Al-quran. Terlalu banyak contoh dalam masalah ini, sebagaimana
yang akan dijelaskan nanti.


         Beberapa pendapat menyatakan bahwa Dzai’ah adalah washilah (jalan) yang menyampaikan kepada tujuan baik yang halal ataupun yang haram. Maka jalan/ cara yang menyampaikan kepada yang haram hukumnyapun haram, jalan / cara yang menyampaiakan kepada yang halal hukumnyapun halal serta jalan / cara yang menyampaikan kepada sesuatu yang wajib maka hukumnyapun wajib.


         Sebagian ulama mengkhususkan pengetian Dzari’ah dengan sesuatu yang membawa pada perbuatan yang dilarang dan mengandung kemudaratan, tetapi pendapat tersebut ditentang oleh para ulama ushul lainnya, diantaranya Ibnul qayyim Aj-Jauziyah yang menyatakan bahwa Dzari’ah tidak hanya menyangkut sesuatu yang dilarang tetapi ada juga yang dianjurkan. Secara lughawi (bahasa), al-Dzari’ah itu berarti: jalan yang membawa kepada sesuatu baik ataupun buruk. Arti yang lughawi ini mengandung konotasi yang netral tanpa memberikan penilaian kepada hasil perbuatan, pengetian inilah yang diangkat oleh Ibnul Qayyim kedalam rumusan definisi tentang dzari’ah yaitu: apa-apa yang menjadi perantara dan jalan kepada sesuatu. Pendapat ibnu qayyim didukung oleh Wahbah Suhaili. Sedangkan Badran memberikan definisi yang tidak netral terhadap Dzari’ah, ia mengatakan Dzari’ah adalah bahwa apa yang menyampaikan kepada sesuatu yang terlarang dan mengandung kerusakan sedangkan saddu atinya menutup, jadi saddu Dzari’ah berarti menutup jalan terjadinya kerusakan.

Sebagai kesimpulannya adalah bahwa Dzai’ah merupakan washilah (jalan) yang menyampaikan kepada tujuan baik yang halal ataupun yang haram. Maka jalan/ cara yang menyampaikan kepada yang haram hukumnyapun haram, jalan / cara yang menyampaiakan kepada yang halal hukumnyapun halal serta jalan / cara yang menyampaikan kepada sesuatu yang wajib maka hukumnyapun wajib.

        Contohnya adalah: Zina hukumnya haram, maka melihat aurat wanita yang menghantarkan kepada perbuatan zina juga merupakan haram atau shalat jum,at merupakan kewajiban maka meninggalkan segala kegiatan untuk melaksanakan shalat jum’at wajib pula hukumnya.

Kehujjahan dan Kedudukan Saddu Dzari’ah :


Al-dzari’ah sebagai salah satu dalil dalam menetapkan hukum meskipun diperselisihkan penggunaannya, mengandung arti bahwa karena washilah sebagai perbuatan pendahuluan maka ini menjadi petunjuk atau dalil bahwa washilah itu sebagaimana hukum yang ditetapkan syara’ tehadap perbuatan pokoknya.


Masalah ini menjadi perhatian para ulama’ karena banyaknya ayat-ayat Al-Qur’an yang mengisyaratkan kearah itu, umpamanya: Surat Al-An’am ayat 108 yang artinya: Janganlah kamu caci orang yang menyembah selain Allah, karena nanti ia akan memushi tanpa pengetahuan.

Sebenarnya mencaci dan menghina penyembah selain Allah itu boleh-boleh saja, bahkan jika perlu boleh memeranginya, namun karena perbuatan mencaci dan menghina itu akan menyebabkan penyembah selain Allah itu akan mencaci Allah, maka perbuatan mencaci dan menghinanya menjadi dilarang. Surat al-Nur ayat 31 yang artinya: Janganlah perempuan itu menghentakkan kakinya supaya diketahui orang perhiasan yang tersembunyi didalamnya.

Dari ayat yang sudah dibahas diatas juga dapat diketahui bahwa Saddus Zari,ah mempunyai dasar dari al-Qur,an, sedangkan dasar-dasar saddus zari’ah dari sunnah adalah:
  1. Nabi melarang membunuh orang munafik, karena membunuh orang munafik bisa menyebabkan nabi dituduh membunuh sahabatnya.
  2. Nabi melarang kreditor untuk menerima hadiah dari debitor karena cara demikian bisa mengarah kepada riba, atau untuk ikhtiyat.
  3. Nabi melarang memotong tangan pencuri pada waktu perang dan ditangguhkan sampai selesai perang, karena dikhawatikan tentara-tentara lari bergabung bersama musuh.
  4. Nabi melarang melakukan penimbunan barang ketika masih murah, karena penimbunan bisa mengakibatkan kesulitan manusia.
  5. Nabi melarang fakir miskin dari Bani Hasyim menerima bagian dari zakat agar tidak menimbulkan fitnah bahwa nabi memperkaya diri dan keluarganya dari zakat.

Objek Saddu Al-Dzari’ah:
Pada dasaranya yang menjadi objek dzari’ah adalah semua perbuatan ditinjau dari segi akibatnya yang dibagi menjadi empat, yaitu :
  1. Perbuatan yang akibatnya menimbulkan kerusakan/bahaya, seperti menggali sumur di belakang pintu rumah dijalan gelap yang bisa membuat orang yang akan masuk rumah jatuh kedalamnya.
  2. Perbuatan yang jarang berakibat kerusakan/bahaya, seperti berjual makanan yang tidak menimbulkan bahaya, menanam anggur sekalipun akan dibuat khamar. Ini halal karena membuat khamar adalah nadir (jarang terjadi)
  3. Perbuatan yang menurut dugaan kuat akan menimbulkan bahaya; tidak diyakini dan tidak pula dianggap nadir (jarang terjadi). Dalam keadaan ini, dugaan kuat disamakan dengan yakin karena menutup pintu (saddu dzari’ah) adalah wajib mengambil ikhtiat(berhati-hati) terhadap kerusakan sedapat mungkin, sedangkan ihtiat tidak diragukan lagi menurut amali menempati ilmu yakin. Contohnya menjual senjata diwaktu perang/fitnah, menjual anggur untuk dibuat khamar, hukumnya haram.
  4. Perbuatan yang lebih banyak menimbulkan kerusakan, tetapi belum mencapai tujuan kuat timbulnya kerusakan itu, seperti jual-beli yang menjadi sarana bagi riba, ini diharamkan. Mengenai bagian keempat initerjadi perbedaan pendapat dikalangan para ulama, apakah ditarjihkan yang haram atau yang halal. Imam Malik dan Imam Ahmad menetapkan haram.

Kesimpulan :

        Dzari’ah adalah washilah (jalan) yang menyampaikan kepada tujuan, baik yang halal ataupun yang haram. Maka jalan/ cara yang menyampaikan kepada yang haram hukumnyapun haram, jalan / cara yang menyampaiakan kepada yang halal hukumnyapun halal serta jalan / cara yang menyampaikan kepada sesuatu yang wajib maka hukumnyapun wajib.

         Para ulama telah sepakat tentang adanya hukum pendahuluan, walaupun sebagian tidak sepakat dalam menerimanya sebagai Dzari’ah. Ulama Hanafiyah Dan Hanabilah dapat menerima sebagai Fath Az-Dzari’ah, sedangkan ulama Syafi’iyah, Hanafiyyah dan sebagian Malikiyyah menyebutnya sebagai Muqaddimah, tidak termasuk sebagai kaidah dzari’ah. Namun mereka sepakat bahwa hal itu bisa dijadikan sebagai hujjah. Walaupun Golongan Zhahiriyyah tidak mengakui kehujjahan sadduz dzari’ah sebagai salah satu dalil dalam menetapkan hukum syara’. Hal itu sesuai dengan prinsip mereka yang hanya menggunakan nash secara harfiyah saja dan tidak menerima campur tangan logika dalam masalah hukum.


        Banyaknya ayat-ayat Al-Qur’an yang mengisyaratkan kearah saddu al-zari’ah menarik perhatian para ulama’ contoh: Surat Al-An’am ayat 108 yang artinya: Janganlah kamu caci orang yang menyembah selain Allah, karena nanti ia akan memushi tanpa pengetahuan. dan Surat al-Nur ayat 31 yang artinya: Janganlah perempuan itu menghentakkan kakinya supaya diketahui orang perhiasan yang tersembunyi didalamnya. Juga terdapat dalam hadis nabi Muhammad S.A.W. contohnya yaitu Nabi melarang membunuh orang munafik, karena membunuh orang munafik bisa menyebabkan nabi dituduh membunuh sahabatnya dan Nabi melarang kreditor untuk menerima hadiah dari debitor karena cara demikian bisa mengarah kepada riba,




No comments:

Post a Comment

Komentar Facebook