Oleh
M.R.Jamari SH,. Muballigh IKMI Riau
Indonesia. 2014
Di dalam Islam, tradisi hukum merupakan tradisi yang sangat
kaya. Tradisi ini telah melahirkan beribu-ribu kitab fiqh yang mengatur setiap
aspek permasalahan. Islam merupakan agama ketiga yang sangat legalistik setelah
Yahudi dan Kristen. Meskipun umat Islam meyakini bahwa tradisi Islam Merupakan
Tradisi Pertengahan Antara Tradisi Yahudi yang legalistik dan tradisi nasrani
yang non-legalistik, akan tetapi kecenderungan pertama nampaknya lebih
menonjol. Bebarapa kelompok dari umat ini meyakini bahwa hanya dengan
menerapkan hukum-hukum tersebut umat Islam mampu meraih kejayaan sebagai khairu
ummah seperti yang dijanjikan tuhan. Lihatlah Bank Syari’ah kini, digemari
di seluruh dunia, bagi hasil, tanpa riba.
Dalam benak positif beberapa kelompok, Hukum Islam memiliki
kesakralan(kesucian) yang tidak bisa diganggu gugat, tidak kaku. Terutama
menyangkut hukum yang diatur dengan ayat-ayat yang qath’i. Melawan atau memberikan tafsiran lain terhadap ayat-ayat
tersebut jika sembarangan seperti yang dilakukan JIL, bisa dianggap sebagai
kekufuran. Meski demikian, masyarakat islam secara luas kurang begitu
bersemangat dengan isu penerapan Hukum Islam ini.
Di dunia islam sendiri, beberapa negara yang mencoba
menerapkan syariat islam dalam ruang publik selalu menghadapi banyak pergolakan
yang akhirnya diterima dengan baik. Tidak jarang penerapan hukum islam harus
dikawal dengan pemerintahan yang represif agar tidak menimbulkan banyak
pertentangan di awal, tapi indah di akhir..
Kenyataan lain yang juga merupakan pil pahit bagi masyarakat
muslim adalah: keberadaan rival mereka di Barat. Masyarakat disana bisa
mencapai kemajuan tanpa harus mengait-ngaitkan dengan agama apalagi hukum tuhan,
tapi setelah mereka sangat gelisah, akhirnya mencari agama juga. Masyarakat Barat
sudah lama meninggalkan keterkaitan agama dengan hal-hal duniawi. Bagi beberapa
kelompok islamis, kenyataan ini merupakan aib bagi islam dan agama itu sendiri
dahulunya, tapi setelah orang Barat banyak masuk Islam, cderitanya lain. Oleh karena itu, tidak henti-hentinya beberapa
kelompok ekstrim dari umat ini mencela kebobrokan masyarakat barat,
mencari-cari aibnya dan tidak lupa mencerca segala apapun yang berasal dari
barat seperti HAM yang berstandar ganda, demokrasi yang pincang, sistem hukum
modern , dan nasionalisme para penjajah.
Disini saya ingin sedikit menjelaskan perbedaan pandangan
antara Hukum Islam dengan hukum modern atau sistem hukum barat. Yang mana
keduanya melahirkan perbedaan yang besar pula didalam masyarakat yang
menerapkannya, tapi kedua diizinkan Allah untuk membela kebaikan, sesuai dengan
naluri yang murni.
Pertama,
Teori hukum modern memiliki karakter tersendiri. Sifat dari hukum modern adalah
fleksibel mirip dengan Hukum Islam, berarti mengarah ke Islam, dan mampu
mengalami perubahan sesuai dengan perkembangan zaman. Walaupun Barat tidak
mengenal sakralitas apapun, hukum modern bisa dibuat dan dirubah sesuai dengan Islam
dan keperluan yang halal. Hal ini lah yang sering menjadi tuduhan kaum ”fanatik
islam” dahulunya bahwa hukum modern (”hukum buatan manusia” dalam
terminologi mereka, sebagai lawan dari hukum buatan Allah yang mereka anggap
lebih unggul) selalu berubah sesuai dengan kehendak nafsu manusia.
Akan tetapi, meski hukum positif mengalami banyak perubahan
menuju Hukum Islam, perubahan tersebut tidak bisa dibuat seenak perutnya.
Pembuatan atau perubahan Undang-undang selalu harus melibatkan partisipasi
warga masyarakat melalui para wakilnya di parlemen orang yang beriman. Proses
inilah yang kemudian akan melahirkan check and balance, yang akan
menjadi penilai apakah undang-undang tersebut sesuai dengan maslahat rakyat
banyak atau tidak. Oleh karena itu, pembuatan atau perubahan suatu
undang-undang sering berjalan a lot dan kadang menimbulkan banyak kekisruhan.
Namun dibalik itu semua, akan timbul kepuasan, karena undang-undang yang lahir
merupakan hasil konsesus. Bila tidak ada kepuasan dikemudian hari, kita bisa
mengajukan untuk diadakannya suatu judicial review atau uji materi. Hal
itu semua bisa dilakukan tanpa harus merasa khawatir kita telah melanggar
batas-batas ketentuan tuhan. Karena sekali lagi hukum positif atau hukum modern
tidak memiliki keskaralan apapun.
Karakter lain yang membedakan hukum modern dengan hukum
agama adalah, dilihat dari isi atau materi yang dikandungnya. Hukum modern
dibuat atas dasar kepentingan dan maslahat bersama di antara sesama penjajah Barat.
Apa yang menjadi kebaikan bagi rakyat banyak maka hal itulah yang diundangkan.
Hukum modern tidak memandang dirinya mengetahui segala hal. Ada batas-batas
dimana hukum tidak bisa menjawab semua persoalan yang ada dan diperlukan
ketentuan baru untuk mengaturnya. Sedangkan, kelompok-kelompok islam yang
memaksa ingin menerapkan hukum islam, memandang bahwa hukum tersebut tahu akan
semua kebutuhan manusia, dan tahu apa yang baik dan tidak baik bagi manusia.
Dalam pandangan yang lebih ekstrim, penerapan hukum tuhan secara kaafah
dipandang sebagai jalan|(satu-satunya) untuk mencapai kemajuan dunia islam.
Para fundamentalis ini memandang hukum islam sebagai bagian sistem islam yang
tidak bisa ditawar-tawar lagi. Oleh karena itu, tidak mengherankan jika para
penganut pemahaman seperti ini biasanya sangat keras dengan mereka yang tidak
sepaham. Apa yang membedakan diantara kelompok-kelompok seperti: salafi,
hizbut tahrir atau ikhwanul muslimin hanyalah manhaj atau
metodenya saja. Namun, pandangan mereka terhadap hukum islam nyaris sama.
Yang terakhir apa yang membedakan hukum islam dengan hukum
modern adalah, hukum islam mengatur semua aspek kehidupan dari mulai urusan pribadi
(private) sampai dengan urusan publik (namun saya ragu apa benar hukum islam
mengatur semua hal, kenyataannya banyak hal yang hukum islam masih absen
didalamnya seperti teknologi informasi, perdagangan bebas, aplikasi teknologi
dalam kehidupan manusia, paling banter fatwa yang keluar hanya seputar ini
boleh ini haram tanpa ada penjelasan mendetail yang bisa mencerdaskan).
Gonjang-ganjing perubahan Undang-undang penanaman modal bisa kita ambil sebagai
contoh yang menarik. Undang-undang investasi atau penanamn modal ini sangatlah
penting karena menyangkut kehidupan perekonomian rakyat banyak. Namun,
kebanyakan para penyeru syariat islam speechless dengan isu yang satu
ini . Kalaupun ada (seperti hizbut-tahrir misalnya) mereka umumnya hanya
meneriakan argumen dan slogan-slogan lama kalau undang-undang penanaman modal
tersebut hanya merugikan rakyat dan hanya berpihak kepada pemodal atau
kapitalis. Slogan-slogan demikian hanyalah repetisi dari jargon-jargon kaum
kiri, yang kalau mau jujur saya masih bisa mengapresiasi kritik kaum kiri
karena argumen yang mereka lontarkan jauh lebih baik ketimbang kelompok
islamis. Kelompok-kelompok islam hanya latah ikut menentang undang-undang
penanaman modal tanpa tahu persis duduk perkaranya.
Lebih jauh lagi, ada dalam pandangan , apa yang dianggap
sebagai fardhu ‘ain atau yang tidak sekedar menyangkut halal-haram, maka hal
tersebut boleh di interfensi. Kalau perlu dengan menggunakan aparatus negara
seperti polisi. Meskipun hal tersebut menyangkut urusan yang sifatnya pribadi atau
private. Contohnya, jika anda tidak sholat, maka anda akan dihukum karena
menelantarkan kewajiban agama yang telah diatur oleh negara. Didalam hukum
modern agama atau keyakinan seseorang dimasukan kedalam wilayah private yang
negara tidak berhak ikut campur mengurusnya dahulunya. Begitu juga masalah
pakaian, pergaulan dan masih banyak lagi. Ada kesan bahwa Hukum Islam yang ingin diterapkan kelompok islamis menghendaki
keseragaman, baik bagi pemeluknya maupun warga negaranya.
Sedangkan, hukum modern lebih menekankan pada pengaturan
hukum publik. Hanya hukum publik saja yang diatur dan dapat di intervensi oleh
pemerintah. Adapun yang menjadi kepentingan pribadi diatur oleh masing-masing
individu (pembagian hukum publik dan private merupakan ciri khas dari sistem hukum
Eropa Kontinental. Namun demikian,
sistem hukum anglo saxon atau common law memiliki karakter yang
sama meski tidak menyebutkan hukum private secara eksplisit). Kalaupun diatur
dalam peraturan tertentu, maka penyelesaiannya kembali pada individu masing-masing.
Dalam hal ini negara hanya memfasilitasi saja. Hukum modern tidak mengatur
secara detail apa yang termasuk kedalam wilayah pribadi seperti keyakinan
beragama, masalah pakaian, etika pergaulan atau keluarga. Hal-hal tersebut
cukup dikembalikan pada pada individu dan masyarakat masing-masing.
Saya rasa, faktor ketiga inilah yang
paling penting. ketika negara tidak mengintervensi kehidupan pribadi warganya,
maka warga memiliki kebebasan untuk berbuat banyak hal tanpa harus merasa
diawasi. Kebebasan individu merupakan pra-syarat utama kemakmuran suatu bangsa.
Kemajuan negara-negara industri modern adalah karena negara disana tidak
mengintervensi kehidupan pribadi warganya secara mendetail.
Sistem
hukum barat ini termasuk salah satu lembaga yang penting dalam kehidupan
modern. Hal ini dikarenakan, sistem hukum barat memiliki keluwesan yang tidak
dimiliki oleh hukum agama atau hukum islam. Yang lebih penting lagi, perdebatan
yang terjadi didalam proses pembuatan atau perubahan hukum modern yang sekuler ini
tidak membawa pada efek yang serius seperti pengkafiran atau label sesat
lainnya. Perdebatan seputar hukum modern dianggap sebagai suatu yang wajar
sehingga dapat merangsang ide-ide cemerlang dalam merumuskan kemaslahatan
bersama.
Saya rasa, Dunia Islam dahulunya
kurang menyadari bagaimana sesunggulnya sistem hukum yang modern dalam hal yang
satu ini, tapi kini para ahli hukum Barat sudah mencintai Hukum Islam, setelah
melalui penelitan yang sangat-sangat panjang. Keinginan beberapa negara Arab
Yang Kaya (seperi saudi), yang ingin memajukan dunia islam dengan memberikan
beasiswa untuk belajar agama dan teknologi Barat; kemungkinan akan tercapai,
karena boleh didasari oleh pemikiran
kritis yang ada dalam ilmu-ilmu sosial termasuk sistem hukum modern didalamnya.
Pada hakekatnya pemikiran Barat dapat ilham dari seizin Allah juga.
Sumber:
cispos.blogspot.com
leksibilitas Hukum Islam dalam Perkembangan Zaman
Categories: Tulisan
Anda
Oleh: Chamim Thoha M.Sy, M.Phil.*
ABSTRACT
The development of the era and the
differences of the socio cultural geography should be seen as one factor in
formulate Islamic Law into the new one. Islamic Law is as dynamic law has high
flexibility to adapt with any period. Islamic law formulation is a primary need
in contemporary Islamic society. It is because there are many problems which
have never been appeared during Prophet, khalifah and tabi’in time. When these
problems appear, there is no other way except do ijtihad to solve it. Ijtihad,
even though has potential controversy aspect but it have been there since early
development of Islam. It means we should keep searching the spirit of Ijtihad
till present.
Kata kunci :
Fleksibelitas hukum Islam,
formulasi, ijtihad
PENDAHULUAN
Suatu hari, usai shalat Jum’at,
seseorang datang menemui saya. Saya tidak tahu persis apa tujuannya. Terlebih
saya belum mengenal orang ini sebelumnya. Niatnya baru terungkap setelah kami
terlibat dalam diskusi kecil beberapa saat lamanya. Rupanya, maksud kedatangannya
adalah untuk menawarkan asuransi syari’ah. Dengan beragam penjelasan syar’i,
dia hendak meyakinkan saya bahwa asuransi syari’ah adalah yang paling aman;
dari asuransi pendidikan anak hingga asuransi kendaraan. Untuk semakin
meyakinkan saya, tak lupa dia juga menampilkan fakta-fakta (atau tepatnya
asumsi) tentang keharaman asuransi non-syari’ah. Melengkapi kejadian ini, di
waktu-waktu yang lain, saya juga sering menyaksikan kegairahan yang luar biasa
dari kalangan tertentu umat Islam terhadap menjamurnya sistem ekonomi syari’ah,
seperti perbankan syari’ah, multilevel marketing syari’ah dan sejenisnya,
sembari tak lupa memberi label haram kepada sistem sejenis yang bukan syari’ah,
atau yang sering dikenal dengan konvensional.
Fakta lainnya. Pada tahun 2004,
sekelompok kiai Nahdhatul Ulama’ (NU) mengeluarkan fatwa tentang keharaman
presiden perempuan. Fatwa itu dikeluarkan menyusul keseriusan Megawati
Soekarnoputri maju sebagai kandidat presiden berpasangan dengan Hasyim Muzadi,
pada pemilu 2004. Alasan yang diajukan oleh para kiai itu adalah bahwa Islam
melarang pemimpin perempuan. Keharaman perempuan menjadi pemimpin dianalogikan
dengan keharaman perempuan menjadi imam dalam shalat bagi jamaah laki-laki. Di
samping itu, kesan bahwa perempuan lebih mengedepankan perasaan ketimbang
akalnya, juga menjadi faktor pertimbangan lain ketidakbolehan perempuan menjadi
pemimpin.
Pada pertengahan 2007, Hizbut Tahrir
Indonesia (HTI) menyelenggarakan konferensi internasional tentang khilafah.
Dalam konferensi tersebut, Hizbut Tahrir Indonesia menyerukan pentingnya
mengadopsi khilafah Islam sebagai satu-satunya jalan menyelesaikan persoalan
yang dihadapi oleh bangsa Indonesia. “Selamatkan Indonesia dengan syari’ah,”
adalah jargon yang secara ketat dianut dan diyakini oleh Hizbut Tahrir.
Khilafahlah –dan bukan kerajaan, republik atau bentuk pemerintahan lain– yang
mampu menghadirkan kemakmuran bagi masyarakat, baik di Indonesia maupun di
dunia, klaim Hizbut Tahrir. Sehingga khilafah adalah sistem pemerintahan yang
wajib dianut oleh umat Islam.
Cerita lain berasal dari daratan
Australia. Sewaktu menempuh studi pascasarjana di Canberra, ada banyak
teman-teman muslim Indonesia lainnya yang juga sama-sama belajar. Karena
berasal dari latar belakang yang berbeda, mahasiswa muslim asal Indonesia ini
menunjukkan perilaku dan orientasi keberagamaan yang berbeda-beda pula. Salah
satu hal yang menjadi perdebatan cukup serius adalah menyangkut makanan halal,
utamanya daging. Sebagian mahasiswa berkeyakinan bahwa sebagai muslim, kita tidak
boleh beli daging di sembarang tempat. Meskipun itu daging sapi, kambing dan
ayam yang dihalalkan oleh Islam, jika disembelih tidak dengan menyebut nama
Allah, tetap haram. Karena itu, mahasiswa kelompok ini hanya mau makan daging
yang dijual oleh halal butchery (jagal halal yang dikelola
oleh muslim). Kelompok lainnya tidak seketat kelompok ini. Mereka berpendapat
bahwa sepanjang dzat yang dikonsumsi adalah halal, maka tidak ada persoalan, di
manapun kita membelinya. Persoalan baru muncul kalau yang dikonsumsi adalah
barang yang jelas-jelas haram, seperti babi. Argumennya, di sebuah negara di
mana Islam minoritas, mencari daging sembelihan halal tentu sangat sulit.
Sehingga sebagai muslim kita tidak harus merepotkan diri. Ada lagi sebagian
mahasiswa yang berpendapat unik: sepanjang kita baca basmallah,
tidak ada persoalan di manapun kita beli daging itu, tentu asal barangnya tidak
dilarang oleh agama, begitu sebagian lainnya berargumen.
PEMBAHASAN
Fiqih dan Fleksibilitas Zaman
Fakta-fakta ini hanyalah sebagian
kecil contoh yang bisa ditampilkan untuk menyatakan bagaimana
persoalan-persoalan hukum Islam muncul dalam bentuknya yang baru.
Persoalan-persoalan baru itu, dengan sendirinya membutuhkan hukum baru untuk
menyelesai-kannya. Pada kasus pertama, masalah-masalah mu’âmalah merupakan
salah satu bidang yang banyak memunculkan kontroversi. Masalah-masalah yang
muncul misalnya tentang status hukum melakukan transaksi dengan bank
konvensional, bagaimana pula status syar’i menjalankan transaksi ekonomi dengan
non-Muslim. Sementara contoh fakta kedua dan ketiga merupakan contoh dari
masalah-masalah di bidang siyâsah yang juga tidak kalah
kontroversialnya. Di antara masalah-masalah itu adalah pemimpin perempuan,
tentang sistem dan bentuk pemerintahan, demokrasi dan status mengangkat
pemimpin dari kalangan non Muslim.
Kecenderungan sebagian umat Islam
untuk memilih transaksi ekonomi yang berlabel syari’ah bukan sesuatu yang
mengejutkan. Bahkan bagi sebagian kalangan, itu merupakan keharusan.
Motivasinya bisa bermacam-macam. Tetapi yang paling mendasar adalah ikhtiyâth (kehati-hatian)
dalam menentukan preferensi transaksi ekonomi. Jika tidak berhati-hati, dalam
pandangan sebagian orang, umat Islam bisa terjebak pada hal-hal yang diharamkan
agama. Dalam kerangka ikhtiyâth inilah, maka kehalalan
dan keharaman sesuatu menjadi sangat sentral posisinya. Memang benar, bagi umat
Islam halal dan haram menjadi hal yang sangat sensitif dan mesti mendapat
perhatian utama. Hanya saja, jika diskusi tentang berbagai persoalan
menempatkan kehalalan dan keharaman ini pada posisi yang tidak tepat, maka
hukum Islam justru kelihatan sangat kaku. Inilah yang kadang-kadang tidak
difahami, sehingga kehalalan dan keharaman seolah-olah menjadi sesuatu yang
mutlak. Padahal, dalam konteks tertentu, hal yang haram bisa menjadi halal dan
sebaliknya. Sekadar contoh, nikah adalah tindakan yang halal. Tetapi nikah bisa
menjadi haram dalam kondisi tertentu. Maka, sama sekali bukan hal yang
mengejutkan ketika satu ibadah atau perbuatan bisa memiliki empat atau lima
hukum sekaligus. Apa yang mendasari hal ini? Di sinilah pentingnya menempatkan
konteks pada posisi yang benar. Bahwa sebuah perbuatan atau benda haram menjadi
halal atau halal menjadi haram sangat bergantung kepada konteksnya.
Hal ini juga akan berlaku pada
masalah-masalah baru yang tidak pernah ditemukan presedennya pada masa
Rasulullah, khalifah atau tabi’in. Tidak bisa disangkal, persoalan-persoalan
baru yang lahir dalam kehidupan masyarakat Islam membutuhkan hukum-hukum baru.
Tentang menciptakan hukum baru atas masalah baru, bukanlah sesuatu yang asing
dalam diskursus pemikiran hukum Islam. Dikisahkan, suatu hari Rasulullah
Muhammad terlibat dialog dengan Mu’adz bin Jabbal yang baru saja diangkat
menjadi gubernur di Kufah. “Mu’adz, apa yang akan kamu lakukan jika menemukan
masalah-masalah dalam hukum Islam?”, tanya Rasulullah. Mu’adz menjawab: “Saya
akan mencarinya dalam Kitab Suci al-qurân .” Rasul melanjutkan pertanyaannya:
“Jika kamu tidak menemukannya dalam al-qurân ?” “Saya akan mencarinya dalam
sunnah Nabi,” jawab Mu’adz. “Jika dalam sunnah Nabi pun kamu tidak menemukan?”
tanya Nabi lagi. “Ajtahidu bi ra’yi (saya akan berijtihad dengan
akal fikiran saya)”, jawab Mu’adz. Terhadap jawaban Mu’adz, Rasul terlihat
seperti sangat puas dan bahkan memberikan pujian atas jawaban itu.
Respons Mu’adz tidaklah berlebihan,
karena tidak semua persoalan dijelaskan dalam al-qurân dan Sunnah.
Al-qurân dan Sunnah sudah berhenti, dan tidak akan pernah ada ayat-ayat
atau sunnah baru, sementara masalah-masalah baru terus bermunculan (al-qadhâya
al-fiqhiyyah mutajaddidah wa mutazâyidah wa al-nushûsh tsâbitah wa mutanâhiyah).
Sehingga, ketika berhadapan dengan masalah-masalah baru tersebut,
al-qurân dan sunnah sering menunjukkan keterbatasan. Keterbatasan cakupan
al-qurân dan Sunnah itu bukan karena keduanya tidak sempurna, karena
keterbatasan itu hanya terjadi pada soal-soal yang terlampau rinci dan terikat
ruang dan waktu. Al-qurân dan Sunnah bersifat sempurna ketika difahami
bahwa keduanya memuat hal-hal yang bersifat syumûli dan ijmâli, sehingga
membuka ruang bagi penafsiran pada masa-masa yang jauh dari al-qurân . Kedua
sumber hukum ini juga memiliki derajat kerincian yang berbeda. Lazim diketahui,
al-qurân lebih ijmâl dibandingkan al-Hadits dan dengan
sendirinya al-Hadits lebih bersifat tafshîli dibandingkan
dengan al-qurân . Tambahan, tidak semua perbuatan Nabi Muhammad bisa dianggap
sebagai Sunnah yang berdimensi hukum. Para ahli hukum Islam, umumnya membagi
perbuatan Rasulullah ke dalam al-af’âl al-tasyrî’iyah (perbuatan
yang berdimensi hukum) dan al-af’âl al-jibiliyah (perbuatan
yang tidak bermuatan hukum) (Khaled, 2001).
Di samping cerita tentang Zaid bin
Tsabit, sejarah juga mencatat tentang Umar ibn Khattab yang sering berselisih
pendapat dengan Nabi Muhammad tentang beberapa persoalan. Misalnya tentang
tawanan perang Badar. Nabi menginginkan agar para tawanan tersebut dibebaskan,
tetapi Umar mengusulkan agar mereka dibunuh. Dalam banyak kasus perbedaan
pendapat antara Nabi dan ‘Umar, tidak jarang wahyu turun untuk membenarkan
ijtihad ‘Umar. Sebuah riwayat menceritakan bahwa suatu ketika Nabi Muhammad
yang ditemani Abu Bakar menangis terisak-isak karena menyesali ijtihadnya yang
keliru. Melihat kejadian itu, Umar lalu bertanya: “Apa yang menyebabkan Anda
dan sahabat Anda menangis, wahai Rasul Allah? Kalau ada sesuatu yang patut aku
tangisi, aku akan ikut menangis pula. Jika tidak ada tangisan, aku akan
berupaya menangis seperti tangisan kalian berdua.” Lalu Nabi menceritakan wahyu
yang membenarkan pendapat Umar dan menyalahkan pendapat Nabi. Hingga Nabi
berkata: “Seandainya azab turun, tidak akan ada yang selamat darinya kecuali
Umar ibn Khattab.” (Rahmat, 2007:213).
Semua ini menyatakan satu hal: bahwa
sebagai seperangkat pedoman bagi umat Islam dalam menjalani kehidupan di dunia,
hukum Islam memiliki sifat dasar yang fleksibel. Fleksibilitas hukum Islam itu
mewujudkan diri dalam kebolehan menciptakan hukum terhadap masalah-masalah yang
tidak atau belum pernah muncul pada masa Nabi. Mekanisme menemukan hukum-hukum
baru itulah yang belakangan diformulasikan oleh ‘ulama atau fuqaha sebagai
ijtihad. Mengapa ijtihad menjadi begitu penting? Kita akan membahas hal
tersebut pada bagian-bagian berikut. Tetapi sebelum pembahasan tentang ijtihad,
ada baiknya, ditampilkan suatu ulasan singkat tentang fleksibitas hukum Islam.
Salah satu adagium yang paling
terkenal dalam hukum Islam adalah Islamu shâlihun li kulli zamân wa
makân (Islam senantiasa sesuai dengan perkembangan zaman tempat). Ini
adalah salah satu bukti yang sering ditampilkan untuk menjelaskan tentang
flesibilitas hukum Islam. Fleksibilitas hukum Islam, bisa dimaknai dalam dua
konteks: 1) bahwa hukum Islam senantiasa relevan pada setiap zaman dan setiap
tempat; dan 2) bahwa dalam satu perbuatan, Islam bisa menentukan tiga atau
empat hukum sekaligus, sebagaimana disinggung terdahulu. Sementara tidak ada
perselisihan di antara umat Islam dalam menerima fleksibilitas hukum Islam ini,
terdapat perbedaan, dan tidak jarang perbedaan itu sangat tajam, berkaitan
dengan bagaimana fleksibilitas itu mesti diwujudkan. Pertentangan itu,
misalnya, berkaitan dengan hubungan antara teks dan konteks. Tegasnya, jika
terjadi pertentangan antara teks dan konteks, manakah yang harus dimenangkan.
Kelompok Muslim skripturalis –atau
seringkali diistilahkan dengan puritan, fundamentalis dan radikal– akan
cenderung menempatkan teks sebagai pemenang. Karena bagi kelompok Muslim
seperti ini, keislaman yang benar adalah keislaman seperti yang termaktub dalam
al-qurân dan Sunnah. Itu bermakna bahwa penuturan-penuturan tekstual
al-qurân harus dipatuhi. Konteks, dengan sendirinya, harus menyesuaikan
dengan teks. Karena bagi kelompok ini, jika teks harus disesuaikan dengan konteks,
maka itu bermakna Qur’an dan Sunnah adalah dasar hukum yang tidak konsisten.
Sementara kelompok kontekstualis melihat konteks sebagai faktor determinan
dalam menentukan hukum. Mereka berargumen bahwa al-qurân dan Sunnah tidak
turun di ruang kosong. Keduanya turun di tengah masyarakat atau komunitas yang
telah memiliki sistem nilai, sistem budaya dan sistem sosial yang mapan.
Sehingga turunnya sebuah ayat atau hadits, misalnya, selalu memperhatikan
unsur-unsur ini. Maka, istilah asbâb al-nuzûl (sebab-sebab
turunnya al-qurân ) dan asbâb al-wurûd (sebab-sebab lahirnya
hadits) menunjukkan tidak pernah terpisahnya sebuah teks dari konteks yang ada
di sekitarnya.
Dalam sejarah pemikiran hukum Islam,
kelenturan hukum Islam ini bisa dibuktikan dengan mengambil perubahan
fatwa-fatwa Imam Syafi’i sebagai contoh. Ketika berada di Iraq, Imam Syafi’i
pernah memproduksi fatwa-fatwa atau ketetapan hukum yang disesuaikan dengan
konteks masyarakat di sekelilingnya. Tetapi, ketika Syafi’i pindah ke Mesir,
dan dia menemukan persoalan-persoalan yang timbul di kalangan masyarakat Mesir
berbeda dengan apa yang dia dapati di Iraq, maka dia harus melakukan
penyesuaian hukum. Konsekwensi-nya, fatwa-fatwa yang dihasilkan oleh Imam
Syafi’i di Iraq berbeda dengan apa yang dia hasilkan di Mesir. Karenanya,
fatwa-fatwa di Iraq dinyatakan tidak lagi berlaku di Mesir, dan dinamakan
sebagai Qaul Qadîm (fatwa-fatwa lama), sementara fatwa-fatwa
barunya di Mesir dinamakan dengan Qaul Jadîd. Sebagian ulama’,
menghubungkan perubahan pendapat yang dilakukan oleh Syafi’i ini dengan
pergaulan yang dia alami. Di Iraq, yang beraliran hukum ahl al-ra’y,
memberikan pengaruh tidak sedikit kepada Imam Syafi’i dalam memberikan
fatwa-fatwa. Sementara, situasi itu berbeda dengan Mesir, di mana sebagian
besar ulama’ yang hidup di sini adalah penganut ahl al-hadîts. Atas
dasar ini, Sya’ban Muhammad Ismail menyebut bahwa qawl qadîm adalah
pendapat Imam Syafi’i yang bercorak ra’y, sementara qawl
jadîd adalah fatwa-fatwanya yang bercorak hadits (Ismail, 1985:337).
Kelenturan hukum Islam ini menjadi
dasar bagi para fuqaha untuk menentukan hukum bagi sebuah perbuatan.
Dalam Syifa’ al-Ghalîl fî Bayân al-Syabbab wa al-Mukhayyal wa
al-Masâlik al-Ta’lîl karya Abi Hamid Muhammad Ibn Muhammad al-Ghazali
diceritakan tentang bagaimana Ibn Yahya al-Laitsi, seorang qadhi di Andalusia
memberikan hukuman yang berbeda terhadap sebuah persoalan. Diceritakan, salah
seorang gubernur Andalusia berhubungan seksual dengan salah satu isterinya pada
siang hari di bulan ramadhan. Belakangan dia menyadari bahwa perbuatannya itu
tidak dibenarkan oleh hukum Islam. Kesadaran itulah yang membawanya untuk
mengumpulkan sejmlah ulama’ untuk dimintai pendapatnya tentang pelanggaran yang
baru saja dilakukannya. Ibn Yahya al-Laitsi berfatwa bahwa hukuman bagi
gubernur adalah puasa selama dua bulan berturut-turut. Fatwa itu mengejutkan
ulama’ lainnya yang melihat bahwa gubernur sebenarnya bisa diberikan hukuman
berupa memerdekakan hamba atau memberi makan 60 orang miskin. Al-Laitsi
berargumen bahwa bagi seorang gubernur yang memiliki kekuasaan dan kemampuan
finansial sangat memadai, memerdekakan hamba atau memberi makan 60 orang miskin
bukanlah hal yang berat, sehingga jika dihadapkan pada pilihan antara puasa dua
bulan berturut-turut atau memerdekakan hamba dan memberi makan orang miskin,
tentu gubernur akan memilih yang kedua (Al-Ghazali, 1971:219).
Fleksibilitas hukum Islam ini
berkaitan erat dengan tujuan diturunkannya hukum Islam. Sa’id Ramadhan al-Buti
menyebut tujuan disyari’atkannya hukum Islam adalah untuk kepentingan
masyarakat umum (Said, 1977:12). Prinsip inilah yang sering diistilahkan
dengan maqâshid al-tasyri’ atau maqâshid
al-syari’ah. Dalam diskursus hukum Islam, al-Juwaini dianggap sebagai orang
pertama yang memformulasikan konsep maqâshid al-syari’ah ini
secara sistematis. Di samping itu, konsep maqâshid al-syari’ah juga
dikembangkan oleh al-Ghazali, Fakhruddin al-Razi, dan al-Qarafi (Felicit,
2005:182-223). Pada masa-masa berikutnya, konsep maqâshid al-syari’ah dikembangkan
oleh ulama’ seperti Abu Ishaq al-Syatibi dalam magnum opus-nya al-Muwâfaqat fi
Ushûl al-Syari’ah, Najamuddin al-Thufi, al-Qasimi, Rasyid Ridha, Mahmasani,
Allal al-Fasi dan Abdul Wahhab Khallaf. Para fuqaha’ menegaskan bahwa salah
satu tujuan yang hendak dicapai melalui maqâshid al-syari’ah adalah maslahah.
Dalam pandangan sebagian sarjana, konsep maslahah ini bisa
difungsikan sebagai sarana perubahan hukum. Karena konsep masalahah ini
memberikan seperangkat kerangka teoretik yang bisa dirujuk ketika berhadapan
dengan persoalan, yang inheren dalam sistem hukum berdasarkan teks yang pasti,
bagaimana membawa landasan material hukum yang terbatas dalam situasi sosial
yang senantiasa berubah-ubah.
Pengakuan bahwa hukum Islam bersifat
fleksibel juga bisa dibuktikan melalui sejumlah kaidah yang menekankan
pentingnya hukum disesuaikan dengan situasi. Misalnya, yadûru
al-hukmu ma’a illati wujudan wa adaman (ada dan tidak adanya hukum
sangat bergantung kepada ‘illat-nya), la yunkaru taghayyaru
al-ahkami bi taghayyari al-zaman (tidak diragukan lagi, hukum berubah
mengikuti perubahan zaman), dan taghayyaru al-fatawa bi hasbi
taghayyari al-azminati wa al-amakinati wa al-ahwali wa al-niyati al-awaidi (perubahan
fatwa tidak boleh mengesampingkan perubahan zaman, tempat, keadaan, niat dan
kebiasaan. Tegasnya, sangat tidak mungkin akan muncul hukum-hukum baru ketika
maksud di balik diundangkannya hukum tidak tercapai. Fleksibilitas hukum Islam
juga bisa dibuktikan dengan melihat beragam hukum Islam yang berkembang di
berbagai negara. Sama-sama mengadopsi hukum Islam, Indonesia dan Malaysia
memiliki ketentuan yang berbeda. Demikian juga dengan Afghanistan, Maroko,
Mesir, Sudan, Kuwait dan Irak, misalnya (Marshall, 2005). Perbedaan itu sangat
erat kaitannya dengan situasi lokal yang dihadapi oleh umat Islam. Di
Afghanistan, seperti yang ditulis Joseph Schacht (2003), gerakan purifikasi
Islam mengalami hambatan oleh hukum adat. Cerita yang sama juga terjadi di
Indonesia, misalnya pertentangan antara Kaum Adat dan Kaum Paderi di Sumatera.
Meskipun demikian, masih ada ruang
perdebatan menyangkut hukum apakah yang bisa berubah itu. Sebagian ulama’
meyakini perubahan itu bisa berlangsung pada hukum yang qath’iy maupun
yang dzanny. Sementara ulama’ lainnya berpendapat hanya hukum zhanny-lah
yang bisa berubah. Itu bisa dilihat, misalnya, dari pernyataan Ali Ahmad
an-Nadawimembatasi hukum yang dinamis itu hanya pada hukum yang berdimensi
maslahat dan adat (Ali, 1994:158). Pendapat yang sama juga dianut oleh
Subhi Mahmasani (Subhi, 1961:198). Hanya saja selain adat, dia juga menambahkan
hukum yang bersumber dari negara.
Ijtihad dan Penerapannya dalam
Dinamika Zaman
Islam pernah menyaksikan satu masa
fanatisme hukum Islam yang luar biasa. Fanatisme itu berlangsung karena sikap
para penganut imam-imam mazhab melakukan kultisme individu yang berlebihan,
sehingga pendapat-pendapat mereka seolah-olah yang paling benar. Sayyid Sabiq
menggambarkan sikap fanatik yang berlebihan dari kalangan penganut imam mazhab
itu dengan mencontohkan apa yang terjadi pada al-Karkhi. Karena terlalu kagum
pada imam mazhab yang dianutnya, al-Kharki menganggap imam-imam lain salah.
Ungkapan dia yang terkenal adalah: kullu ayatin aw haditsin yukhalifu
wa ‘alaihi ashabuna fahuwa wuawwalun aw mansukhun (setiap ayat atau
hadits yang tidak sesuai dengan pendapat imam kami, maka harus ditakwilkan atau
mansukh) (Sabiq, 1968:21).
Situasi ini kemudian melahirkan apa
yang sering disebut sebagai tertutupnya pintu ijtihad. Karena pintu ijtihad
tertutup, umat Islam mengalami kemandegan pemikiran. Lalu lahirlah
pembaharu-pembaharu Islam seperti Jamaluddin al-Afghani, Muhammad Abduh dan
Rasyid Ridha yang menyerukan umat Islam akan pentingnya melakukan ijtihad. Pada
masa pemikir-pemikir muslim inilah pintu ijtihad kemudian dibuka kembali.
Ijtihad menjadi instrumen penting yang menghubungkan antara ajaran-ajaran Islam
yang termuat dalam al-qurân dan Hadits dengan situasi masyarakat yang
selalu berkembang. Terlebih di zaman sekarang, di mana masyarakat dunia mengalami
revolusi teknologi dan informasi yang begitu dahsyat, pemberlakuakn ijtihad
sebagai mekanisme penyelarasan hukum Islam dengan zaman, menjadi sangat urgen.
Dalam menghadapi globalisasi ini,
Amir Syarifuddin (Amir, 2005:15) memberikan gambaran tentang bagaimana hukum
Islam menghadapi globalisasi. Pertama, merumuskan pendekatan baru
dalam memahami hukum-hukum Allah sesuai dengan kondisi kontemporer zaman.
Pendekatan baru ini penting dihadirkan karena pada dasarnya, para imam
terdahulu telah meletakkan dasar-dasar hukum Islam berkaitan dengan persoalan
tertentu. Tetapi konsekwensi logis perkembangan zaman adalah munculnya
masalah-masalah baru dalam bentuk yang berbeda, ketika para imam mazhab itu
merumuskan formula-formula hukum tadi itu. Amir Syarifuddin memberikan contoh
tentang hukum pengalihan hak milik barang dari satu subjek hukum kepada subjek
hukum lainnya. Imam Syafi’i merumuskan pemindahan hak milik dari satu individu
kepada individu lainnya bisa dilakukan secara sah melalui transaksi yang
menggunakan ijab dan qabul. Sementara tidak ada perdebatan tentang keharusan
ijab dan qabul sebagai syarat sah pemindahan hak milik, bagaimana ijab qabul
itu dilangsungkan, bisa menimbulkan perbedaan pendapat. Misalnya, bagaimana
dalam era globalisasi ini, perdagangan bisa dilakukan secara maya, tanpa
mengharuskan para pihak bertemu secara fisik. Jika formulasi fikih lama yang
dipegangi, maka hukum Islam justru menimbulkan kesulitan bagi umat.
Kedua, menetapkan hukum-hukum baru
dengan cara memahami secara mendalam cara dan tujuan Allah dalam menetapkan
hukum. Karena bentuk hukum selalu menyesuaikan perkembangan zaman, maka ketika
penetapan hukum baru didasarkan pada bentuk-bentuk hukum yang pernah
berlangsung, di satu sisi, dengan mengesampingkan maksud atau tujuan hukum, di
sisi lain, maka yang akan lestari bukanlah tujuan hukum, melainkan bentuk hukum
dan peristiwa. Jika ini yang berlangsung, maka sebagian dari tujuan hukum Islam
akan tidak tercapai.
KESIMPULAN
Hukum Islam adalah hukum yang
dinamis dan memiliki kemampuan yang sangat tinggi dalam menyesuaikan dengan
perkembangan zaman. Formulasi hukum Islam dalam bentuk-bentuk yang baru
merupakan kebutuhan mendesak masyarakat Islam kontemporer, karena pada masa
inilah sejumlah persoalan baru yang tidak pernah ada presedennya pada masa
Nabi, khalifah maupun tabi’in muncul. Ketika masalah-masalah yang demikian itu
timbul, tidak ada jalan lain yang perlu dilakukan kecuali dengan melakukan
ijtihad untuk menyelesaikan masalah-masalah tersebut. Ijtihad, meskipun
memiliki potensi kontroversi, tetapi ia sudah ada dalam tradisi awal
perkembangan Islam. Bahkan Nabi Muhammad sebagai peletak dasar hukum Islam juga
memberikan indikasi bolehnya melakukan ijtihad ketika terdapat masalah-masalah
baru yang tidak ditemukan jawaban eksplisitnya dalam al-qurân .
Prinsip-prinsip inilah yang
menjadikan hukum Islam sangat fleksibel dan memiliki kemampuan adaptif yang
luar biasa. Karena itu, menjadi tidak mengherankan ketika di banyak tempat
hukum Islam dipraktikkan secara beragam. Keragaman itu bukanlah persoalan,
ketika tujuan atau maksud hukum terpenuhi. Sebaliknya, memelihara keseragaman
dengan meninggalkan tercapainya maksud atau tujuan hukum, justru menyisakan
persoalan bagi fleksibilitas hukum Islam dan kemampuannya beradaptasi dengan progresivitas
zaman.
DAFTAR PUSTAKA
Abou el-Fadhl, Khaled.
(2001). And God Knows The Soldiers: The Authoritative and
Authoritarian in Islamic Discourse. Maryland: University Press of America.
al-Buti, Said Ramadhan.
(1977). Dlawabit al-Maslahah fi al-Syari’ah al-Islamiyah. Beirut:
Muassasah al-Risalah.
al-Ghazali, Abi Hamid Muhammad Ibn
Muhammad. (1971). Syifa’ al-Ghalil fi Bayan al-Syabbab wa al-Mukhayyal
wa al-Masalik al-Ta’lil. Baghdad: al-Irsyad.
an-Nadawi, Ali Ahmad. (1994). al-Qawaid
al-Fiqhiyyah: Mafhumuha, Nasy’atuha, Tathawwuruha, Dirasat Mu’alifatiha,
Adillatuha, Muhimmatuha. Damaskus: Dar al-Qalam.
Ismail, Muhammad Sya’ban.
(1985). al-Tasyri’ al-Islami: Masadiruhu wa Athwaruhu. Kairo:
Maktabah Nahdhah al-Mishriyyah.
Marshal, Paul (ed). (2005). Radical Islam’s
Rule:The Worldwide Spread of Extreme Shari’ah Law. Noew York, Toronto,
Oxford: Rowman and Littlefield Publisher.
Mahmasani, Subhi. (1961). Falsafah
al-Tasyri’ al-Islami. Beirut: Dar al-Miliyin.
Opwis, Felicit. (2005). “Maslaha in
the Contemporary Islamic Legal Theory”, Islamic Law and Society (12:
2).
Rakhmat, Jalaluddin. (2007). Dahulukan
Akhlak di Atas Fikih. Bandung: Mizan.
Sabiq, Sayyid. 1968. Fiqh
Sunnah Jilid I. Kuwait: Dar al-Bayan.
Schact, Joseph. (2003). Pengantar
Hukum Islam. Yogyakarta: Islamika.
Syaifuddin, Amir. (2005). Meretas
Kebekuan Ijtihad. Jakarta: Ciputat Press.
*
Pengajar Fakultas Syari’ah Universitas Muhammadiyah Malang. Sedang menempuh
TOMER Ankara University, Samsun Subesi
No comments:
Post a Comment