Wednesday, January 14, 2015

Penelitian Ilmiah SALAH PENGERTIAN TENTANG MAKNA KEKERASAN



Penelitian Ilmiah

SALAH PENGERTIAN TENTANG MAKNA KEKERASAN PADA HUKUMAN FISIK TERHADAP SISWA
DI SEKOLAH
(Analisis Undang-Undang RI Nomor 23 Tahun 2002 Dan Hukum Islam)

Untuk Memenuhi Bacaan Dunia Pendidikan Dan Memenuhi Tuntutan Penilaian Kinerja Pegawai (SKP)
LPMP Provinsi  Riau Bagian Widyaiswara

Oleh
Drs.Mhd.Rakib,S.H.,M.Ag
NIP  1959 0831 1986 011 001

ABSTRAK

            Kegelisahan orang guru-guru di Indonesia antara lain, tidak dapat menghukum muridnya  dengan sanksi hukuman fisik. Siapa  yang melakukannya, tidak akan mendapatkan pelindungan hukum dari negara. Akibatnya anak-anak  cenderung menjadi semena-mena terhadap teman-temannya, bahkan guru-gurunya. Sedangkan menurut Hukum Islam, anak-anak boleh dikenakan sanksi fisik, terutama yang melalaikan  shalat dan puasa, atau melanggar aturan disiplin,  dengan  ukuran-ukuran yang telah  ditetapkan syari’at, tapi bukan berarti bertentangan dengan Hukum Perlidungan Anak RI secara diametra.

             Untuk menjawab persolan ini, penulis membuat penelitian melalui studi pustaka dengan menggunakan metode analisis, yang merupakan pengembangan  dari metode deskriptif. Fokus kajiannya  mendeskripsikan, membahas, mengkritisi dari sisi formal dan material terhadap Undang-Undang RI, Nomor 23 tahun 2002  yang dibandingkan dengan hukum Islam, sehingga mendapatkan temuan baru berupa hukuman fisik yang tidak dikategorikan kekerasan.  Dianalisis pula dengan kaedah fiqhiyah, ushul al-fiqhi  dan beberapa teori yang relevan.  Penulis temukan  teori Gunnoe dari Barat yang  memboleh anak-anak diberi sanksi pu                                                                                kulan ringan. Sejalan dengan  Hukum Islam, bahwa  anak tidak shalat, boleh dipukul  ringan  pada umur sepuluh tahun. Teori Marjorie Gunneo ini, secara tidak lansung, terkait dengan teori maslahah mursalah, dan teori Al-siyasah al-Syar’iyah.
            Orang tua dan guru, dapat dikenakan hukuman penjara, jika memberikan hukuman fisik terhadap anak-anak. Tapi kebiasaan memukul itu tetap berlangsung sampai hari ini, bahkan terus menerus menjadi masalah. Karena itu, disertasi ini  mengungkapkan permasalahan yang ditimbulkannya, serta sebab-sebab masih bertahannya berbagai model  hukuman ini. Sipatnya mendesak untuk ditelti, karena korbannya terus berjatuhan. Masalah pokoknya adalah  bagaimana konsep hukuman fisik, yang dilarang oleh undang-undang, yang diperkuat oleh konvensi PBB untuk hak-hak anak.
          
Kata kunci: Hukuman fisik dan Hukum Islam










ABSTRACT


           Anxiety of teachers in Indonesia, among others, can not punish students with physical punishment. Who did it, will not get legal protection from the state. As a result, children tend to become abusive towards her friends, even her teachers. Meanwhile, according to Islamic law, children should be penalized physical, especially the neglect of prayer and fasting, or breaking the rules of discipline, with the measures that have been established Shari'ah, but it does not mean that conflict with the Indonesian Child Protection Law diametra.

             To answer this issue, the authors make the research through library by using the method of analysis, which is the development of a descriptive method. Describe the focus of this study, discuss, criticize in terms of formal and material to the RI Act, No. 23 of 2002 as compared to Islamic law, so getting the new findings in the form of physical punishment is not considered violent. Also analyzed with kaedah fiqhiyah, usul al-Fiqhi and some relevant theories. I have found the theory Gunnoe of West memboleh kids sanctioned mild stroke. In line with Islamic law, that child does not pray, be struck lightly at the age of ten years. Marjorie Gunneo this theory, if only indirectly, related to the theory maslahah mursalah, maqashid al-Shari'ah, and the theory of Al-siyasah al-Syar'iyah.

            Parents and teachers, may be imprisoned, if the physical punishment of children. But the habit of hitting it persists to this day, and even continues to be a problem. Therefore, this dissertation reveals the problems it caused, and still causes the persistence of the various models of this sentence. Sipatnya urged to ditelti, as victims continue to fall. The underlying problem is physical punishment, which is forbidden by the law, which is reinforced by the UN convention for the rights of children.
           
Keywords: Physical punishment and Islamic Law


Konsep Anti Kekerasan Terhadap Anak Di Hukum Islam
Untuk mengenal konsep anti kekerasan terhadap anak menurut Hukum Islam, terlebih dahulu penulis jelaskan beberapa istilah dan kata yang sudah diperkenalkan oleh Al-Qur’an, setelah melalui terjemahan dan tafsirannya, yang dapat diartikan sebagai kekerasan dalam kajian hukum di Indonesia:
  1. Istilah kekerasan
 Istilah kekerasan yang diungkapkan dengan kata al-'unf dan dengan al-irhab tidak ditemukan penggunaannya dengan pengertian modern dalam al-Quran. Bahkan, 8 kali penyebutan kata al-irhab dan derivasinya. Ditemukan 5 kali dalam surah-surah Makkiyah dan 3 kali dalam surah-surah Madaniyah, selalu bermakna positif. Dalam pandangan al-Qur'an tidak semua kekerasan yang menimbulkan ketakutan dan kengerian terlarang, tentunya yang dibarengiU dengan kebaikan dan kekuatan yang memadai sehingga dapat menampilkan Islam yang adil, tanpa mencederai dan melukai orang. Dalam pandangan Islam, ada kewajiban memelihara simbol-simbol kesucian agama.
Kekuatan yang menggentarkan  sewaktu-waktu diperlukan,  dalam pengertian berwibawa, memiliki kekuatan untuk 'menggentarkan',demi tersebarnya kedamaian adalah sebuah keharusan, tentunya dengan cara-cara yang konstruktif. Sebaliknya, tindakan  yang menimbulkan kengerian dengan menggunakan cara-cara destruktif; merusak, mengancam jiwa manusia,  mengganggu, tentulah harus ditolak dalam pandangan Islam.
Al-Qur'an dengan tegas menyebut beberapa tindakan kekerasan yang mengarah kepada hal-hal yang negatif/destruktif dan mengecam serta mengancamnya dengan balasan yang setimpal, antara lain melalui kata:
              a..Al-Baghy
                   Kata  al-baghy,  terdapat pada Qur’an Surat(QS) al-Nahl [16]: 90.
إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ وَالإحْسَانِ وَإِيتَاءِ ذِي الْقُرْبَى
وَيَنْهَى عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ وَالْبَغْيِ يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُونَ –

         Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil  dan berbuat ihsan memberi bantuan kepada kerabat dan Dia melarang melakukan perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan. Dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran.[1]
                   Melalui ayat ini, al-Qur'an melarang melakukan tindakan yang melampaui batas, sebab menurut al-Ashfahani, al-baghy berarti melampaui batas kewajaran.[2]

                bThughyan 
                    Kata tughyan, terdapat dalam Qur’an Surat (QS). Hud [11]: 112.
                                                  … وَلا تَطْغَوْا إِنَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ بَصِيرٌ…   

          “…Janganlah kamu melampaui batas. Sesungguhnya Dia Maha Melihat apa     yang  kamu kerjakan."[3]
  Kata thughyan pada mulanya digunakan untuk menggambarkan ketinggian puncak gunung, tetapi dalam perkembangannya, digunakan untuk segala sesuatu yang melampaui batas ketinggian seperti ungkapan thaghdl ntd'u yang berarti air meluap.[4] Demikian pula orang yang sombong, angkuh, dan zalim diungkapkan dengan thdghiyah atau thaghut. Sikap ini sangat dikecam oleh al-Qur'an seperti pada QS. an-Naba' [78]: 22 yang menjanjikan balasan keras berupa neraka jahannam bagi orang-orang yang melampaui batas (thaghin).
  Pakar tafsir asal Tunisia, Ibnu 'Asyur, menjelaskan, ungkapan Id tathghaw pada QS. Hud [11]: 112 di atas mencakup larangan untuk melakukan segala bentuk kerusakan (ushul al-mafdsid). Dengan demikian, ayat tersebut menghimpun upaya mencapai kemaslahatan melalui sikap istiqdmah, konsisten pada prinsip-prinsip agama, dan menghindari berbagai kerusakan yang tergambar dalam kata thughyan.[5]
           c. Al-Zhulm                                                           
Kata Al-Zhulm dan derivasinya disebut dalam al-Qur'an sebanyak 315 kali. Pengertiannya yang populer seperti dikeinukan para penyusun Mu'jam Alfdzh al-Qur'an al-Karim adalah meletakkan atau melakukan sesuatu tidak pada tempatnya, baik berupa kelebihan atau kekurangan. Karena itu melampaui atau menyeleweng dari kebenaran juga disebut zhulm, dan dapat terjadi dalam hubungan manusia dengan Tuhan dalam bentuk kekafiran atau syirik (QS. Luqman [31]: 17) dan kemunafikan, dalam hubungan antara manusia dan manusia dalam bentuk penganiayaan atau lainnya (Q5. al-Syura [42]: 42), dan dalam hubungan antara manusia dan dirinya (QS.Al- Fathir [35]: 32).

Analisis Terhadap Hukuman Fisik Yang Sesuai Dengan Syari’ah
    a. Memukul anak
              Penulis merasa berkewajiban memberikan catatan bahwa, ada perbedaan  yang sangat prinsipil, antara memukul biasa, dengan memukul  yang diatur oleh  syari’at.[6] Memukul menurut kebiasaan sebagian orang tua atau pendidik yang mudah emosi dan suka memukul. Suka memukul adalah akhlaq tercela. Perhatikan nasehat Rasulullah SAW., kepada Fatimah binti Qais, ketika mengabarkan kepada beliau bahwa dirinya dilamar oleh dua orang sahabat, salah satunya adalah Abu Jahm. Karenanya Rasulullah bersabda,”Adapun Abu Jahm, sebenarnya suka memukul wanita (maksudnya selalu memberikan hukuman fisik, akhlaqnya tidak baik).”[7]
             Nilai filosofis  dari memukul anak secara ringan, hanyalah agar anak takut, sehingga tunduk kepada perintah Allah bukan agar si anak takut kepada bapaknya semata, sehingga makin berwibawa. Maksud memukul adalah agar anak mengamalkan perintah Allah dengan ikhlas karena-Nya. Sesungguhnya tidak ada manfaatnya bila seorang anak nampak taat kepada Allah di hadapan orang tuanya sementara di balik itu ia tidak bertaqwa kepada-Nya.
           b. Memukul Yang Melampaui Batas
             Orang-orang yang  memukul anak-anak hendaknya takut kepada Allah. Jangan sampai  termasuk golongan orang-orang yang tidak masuk surga bahkan tidak mencium baunya. Di antaranya  sekelompok manusia yang memiliki cambuk seperti ekor sapi untuk memukul manusia.[8] Ada ulama fiqih yang menyatakan bahwa yang dimaksud orang yang boleh memukul, bisa saja guru, para polisi, satpam, mandor-mandor pada jaman sekarang ini.[9] Mereka berkeliling dengan tongkat lalu memukuli dan menendang siapa saja, hanya karena mengatur dan megamankan. Lalu bagaimana caranya  mereka dapat  mengamankan dan mengatur tanpa berbuat aniaya? Jawabnya, dengan anjuran taqwa kepada Allah, nasihat dan pengarahan dengan lisan, dengan cara yang baik atau dengan tangan tanpa menyakiti karena kezhaliman adalah kegelapan di akhirat! Aturan yang paling populer selama ini adalah anak-anak harus berhati-hati dengan ‘kekeramatan’ orang tua. Tapi patut diingat, secara religi ada lima,[10] kejahatan orang tua yang wajib dihindarkan. Pertama, apabila suka memaki. Kedua menghina anak sendiri. Ketiga melebihkan anak dari yang lain. Keempat mendoakan keburukan anak. Kelima tidak memberi pendidikan anak. Merupakan kemuliaan bangsa, jika orang tua dan guru, mampu menjadikan generasi muda, cerdas lahir batin, bermoral mulia dan berbhakti kepada orang tua, sesama, bangsa dan semesta.

              Hukuman itu untuk menyadarkan bukan untuk melakukan pembalasan. Hukuman itu agar anak-anak menyadari kekeliruan mereka dan agar tidak mengulangi perbuatan jeleknya, bukan untuk melakukan balas dendam. Hukuman dalam pendidikan jangan dikelirukan dengan balas dendam. Jean Soto menulis, "Semua penderitaan manusia, ketidakadilan, dan sebagainya berakar dari hukuman dan kekerasan-kekerasan yang diterima oleh anak-anak dari orangtua mereka. Karena itu hukuman-hukuman itu harus dihapus sama sekali agar penderitaan umat manusia ini bisa sirna."
           Tetapi argumentasi beliau ini bisa dijawab dengan; pertama-tama , itu hanyalah klaim dan belum tentu bisa dibuktikan secara ilmiah. Yang kedua , seandainya kita terima pernyataan seperti itu bahwa penderitaan manusia itu berakar dari hukuman-hukuman keras yang diterima dari orangtuanya, maka akarnya adalah terlalu kerasnya hukuman tersebut dan bukan hukuman biasa. Hukuman ekstrim itulah yang menjadi sumber penderitaan umat manusia.
              Russel menambahkan, "Hukuman fisik ringan, yang tidak  berbahaya, tapi tetap  tidak ada gunanya dalam pendidikan. Hukuman seperti itu baru efektif kalau bisa menyadarkan si anak. Sementara hukuman fisik seperti itu biasanya tidak bisa membuat jera. Hukuman fisik itu membuat si anak merasa terpaksa memperbaiki diri dan bukan atas niatnya sendiri." Tujuannya anak-anak akan menyadari kekeliruannya melalui hukuman itu dan lebih mengerti bahwa perbuatannya tidak disenangi orang lain. Jika ingin diterima oleh orang lain, ia akan berusaha menyesuaikan keinginannya dengan keinginan orang lain, supaya bisa mendapatkan bantuan atau memperoleh apa yang diinginkannya dari orang lain. Dengan demikian, menurut penulis, hukuman fisik yang ringan pun masih ada gunanya jika diberikan dengan kadar dan waktu yang tepat.[11]Argumen lain yang disodorkan kelompok penentang adalah  pendidikan yang dijalankan dengan menanamkan rasa takut kepada si anak, akan membuat si anak seperti robot yang harus mengikuti suatu perintah. Proses pendidikan seperti itu sangat membahayakan perkembangan jiwa si anak, karena akan melahirkan anak-anak yang bermental budak yang harus tunduk terhadap segala perintah.
               Penulis membantah pendapat tersebut,  dengan alasan, memang anak-anak tidak boleh dididik dengan sistem perbudakan, tapi tidak semua hukuman fisik, akan melahirkan kondisi demikian. Kalau hukuman itu dijalankan dengan benar dan dengan memperhatikan seluruh syarat-syaratnya,  tidak akan lahir anak-anak seperti itu. Seorang anak yang terus-menerus melakukan perbuatan yang buruk padahal sudah sering kali diperingatkan,  agar tidak melakukan perbuatan tersebut  harus dihentikan dengan hukuman. Kalau kebiasaan buruknya tidak segera dihentikan,  anak akan semakin berani melawan. Tentunya hukuman  harus ringan dan tepat sasaran.
             Alasan lain menurut kelompok  penantang, bahwa hukuman fisik sama sekali tidak mendidik, sebab hukuman itu tidak menghilangkan motivasi buruknya. Memang  akan mengurungkan niatnya, karena perasaan takut, tapi di dalam batinnya keinginan itu tetap ada. Ketika rasa takut itu, hilang, si anak akan kembali mengulangi perbuatan buruknya. Pukulan itu mungkin dihadapi oleh si anak dengan pura-pura berjanji akan menghentikan kebiasaan buruknya. Karena itu patut diingat statmen mereka bahwa hukuman juga akan melahirkan anak-anak yang asosial, penakut serta pasif.
              Pernyataan  bahwa hukuman itu tidak menghentikan apa yang bergetar di dalam batin. Untuk menghentikan kenakalan-kenakalannya, hal ini  menurut penulis, harus dipelajari apa sebetulnya yang menjadi latar belakang kenakalan-kenakalannya dan dicari solusinya sehingga anak-anak itu tidak mengulangi perbuatan buruknya.[12] Tetapi jika si anak tetap saja mengulangi perilaku jeleknya, maka tidak ada cara lain selain memberinya hukuman. Rasa takut akan hukuman itu dapat menghentikan keinginan atau minimal mengurangi minatnya untuk berbuat buruk. Kalau hukuman itu diberikan secara proporsional, tidak akan melahirkan hal-hal yang tidak diharapkan. Memang benar seorang anak harus tumbuh dalam keceriaan dan kebebasan tapi pada saat yang sama anak-anak juga harus diajari bahwa di dunia ini tidak semua orang bisa hidup dengan kebebasan mutlak, lebih-lebih lagi kalau kebebasan itu dapat merugikan orang lain.
           c. Memukul anak Sebagai Instrumen
            Hukuman pukulan bagi anak-anak adalah Instrumen sekunder . Sebagian pakar menerima hukuman sebagai bagian yang tak terpisahkan dari pendidikan, tapi tidak secara mutlak. Hukuman adalah instrumen sekunder dan diberikan dalam kondisi serta syarat tertentu. Jadi, menurut penulis, kalau guru atau orang tua masih bisa menangani anak didiknya dengan nasihat-nasihat atau dengan penjelasan rasional, tidak perlu  memberikan hukuman. Hukuman  boleh diberikan setelah nasihat-nasihat verbal atau apa saja tidak lagi dapat mengusik kesadarannya. [13]
            Dalam kaitan ini, Russel menulis, "Saya sendiri secara pribadi ingin mengatakan bahwa hukuman fisik dalam proses pendidikan sangat tidak berarti, bahkan mungkin hanya masuk sebagai alternatif kedua."  John Locke menulis, "Benar bahwa hukuman fisik kadang-kadang diperlukan. Tetapi harus disadari bahwa tujuan sebuah hukuman adalah mendidik moral. Yang harus dilakukan adalah membuat anak  merasa malu berbuat nakal dan bukan karena  takut akan sanksi hukuman. Hukuman yang terlalu keras melatih anak-anak menjadi patuh secara lahiriahnya saja."[14]
             A.L Gary Gore  menulis, "Ada kalanya orang dewasa harus memberikan hukuman fisik kepada anak-anak. Misalnya jika anak-anak usia sekolah atau sudah agak dewasa mengganggu ayah dan ibu atau adik mereka. Sebelumnya sudah diperingatkan tapi tetap  meneruskan kenakalannya, anak-anak itu harus diberi hukuman.." Sebaliknya orangtua selayaknya menggunakan hukuman dengan  strategi yang tepat. Kalau  dilaksanakan ketika  dalam puncak kemarahan dan tanpa pertimbangan terhadap kondisi dan psikologi anak-anak, bisa-bisa merusak hubungan orangtua dan anak. Anak akan kehilangan kepercayaan dan juga bisa dendam. Hukuman yang tidak tepat, akibatnya anak tidak mematuhi keinginan orang  tua, karena melukai hatinya. Timbul dalam diri  anak keinginan  membalas rasa sakit hatinya. Sebelum menjatuhkan hukuman terhadap anak-anak dipertimbangkan secara baik dan  manfaat dan mudaratnya. Hukuman apa dan dalam kondisi bagaimana hukuman itu patut diberikan dan tidak patut diberikan terhadap anak-anak.
            Hukuman memang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dalam membina anak-anak, malahan dalam situasi tertentu mutlak diperlukan. Tetapi pada saat yang sama ia sama sekali tidak setuju secara mutlak dengan hukuman fisik. Ia tidak keberatan dengan hukuman-hukuman non-fisik tapi bukan hukuman non-fisik yang berat. Ia menambahkan, "Perlu diingat bahwa jangan sekali-kali memberikan hukuman yang akan merendahkan harga diri anak, seperti hukuman badan, ancaman dengan siksaan atau apa saja demi menghancurkan keinginan buruknya. Hindarilah hukuman-hukuman seperti memukul, atau menyekap anak di ruangan yang gelap dan sempit."[15]
             Secara yuridis, Undang-undang tentang perlindungan guru telah termuat dalam UU No.14/2005 tentang Guru dan Dosen. Hal ini terlihat jelas pada Bab VII pasal 39 yang menyebutkan bahwa pemerintah, masyarakat, organisasi profesi, dan atau satuan pendidikan, wajib memberikan perlindungan terhadap guru dalam pelaksanaan tugas. Hal ini terlihat bahwa eksistensi UU No.14/2005 telah memuat perlindungan,[16] terhadap guru atas profesinya. Namun implementasi terhadap undang-undang tersebut masih belum terlaksana. Islam menerima hukuman sebagai bagian dari sistem pendidikan. Ada beberapa kategori hukuman dalam Islam: Hukuman non-fisik seperti ancaman, peringatan atas orang-orang yang berdosa dengan siksaan di hari akhirat, denda, dan diat. Ayat-ayat al-Quran mengilustrasikan dalam berbagai kesempatan tentang kabar gembira untuk orang-orang yang beriman dan ancaman akhirat untuk orang-orang yang berdosa. Bahkan nabi sendiri diperkenalkan sebagai pembawa kabar gembira dan pembawa peringatan.  Hukuman jenis kedua yaitu hukuman fisik yang bersyarat,[17] seperti hukuman penjara, pengasingan, kisas, pukulan, hukuman  aturannya telah ditetapkan oleh syariat.
            Dalam pembunuhan yang disengaja wali yang dibunuh bisa meminta hukuman qishas terhadap hakim. Dalam pembunuhan yang tidak disengaja si pembunuh wajib menyerahkan denda (diat) kepada wali yang dibunuh. Perempuan dan laki-laki yang berzina akan mendapatkan hukuman cambuk sebanyak seratus kali deraan. Perilaku homo seksualitas (liwâth) yang disengaja dalam kondisi tertentu akan mendapatkan hukuman mati. Peminum khamar dalam kondisi tertentu akan mendapatkan hukuman cambuk seratus kali, mencuri dalam kondisi tertentu akan mendapatkan hukuman potong tangan.
         
             Siapa saja yang dengan sengaja mengakibatkan anggota badan orang lain terpotong akan dikisas oleh hakim syar'i, yaitu dipotong anggota badan yang sama, tapi kalau secara tidak sengaja maka ia harus membayar denda dalam jumlah tertentu. Untuk mengetahui lebih lengkap tentang aturan-aturan hukuman Islam, Anda bisa merujuk kitab-kitab fikih. Hukuman jenis ketiga yaitu ta'zîr. Ta'zîr adalah hukuman fisik yang ketentuannya diatur oleh seorang hakim tetapi tentunya lebih ringan dari had.  Dalam kasus pelanggaran yang hukumannya tidak ditentukan oleh syariat, sang hakim tidak bisa memberikan hukuman yang sesuai dengan pelanggaran itu hanya demi kemaslahatan umum, tapi ia bisa memberikan hukuman yang kurang dari had. Contohnya kalau seorang laki-laki mencium anak atau perempuan yang bukan istrinya dengan penuh nafsu, sang hakim syar'i dapat menjatuhkan hukuman ta'zîr .
           Laki-laki dan perempuan (bukan muhrim) yang tidur terlentang di atas ranjang. Secara umum siapa saja yang melakukan dosa besar maka ia bisa dijatuhi hukuman ta'zîr dari sang hakim. “Islam memberi tempat bagi hukuman fisik”,[18] dan non-fisik sebagai bagian dari pendidikan yang penting dan demi memelihara keadilan dan ketenteraman masyarakat. Islam melegalkan hukuman-hukuman itu bukan sebagai bentuk balas dendam kepada orang-orang yang berdosa, namun untuk menjaga stabilitas sosial dan hak-hak manusia. Hukuman dalam jarimah ta’zir tidak ditentukan ukurannnya oleh Al-quran dan hadits, artinya untuk menentukan batas terendah dan tertinggi diserahkan sepenuhnya kepada hakim (penguasa). Dengan demikian, syari’ah mendelegasikan kepada hakim untuk menentukan bentuk-bentuk dan hukuman kepada pelaku jarimah. Abd al- Qadir Awdah membagi jarimah ta’zir menjadi tiga, yaitu :

             1)  Jarimah hudud dan qishash diyat yang mengandung unsur shubhat atau tidak memenuhi syarat, namun hal itu sudah dianggap sebagai perbuatan maksiat, seperti pencurian harta (syirkah), pembunuhan ayah terhadap anaknya, dan percurian yang bukan harta benda.
               2)   Jarimah ta’zir yang jenis jarimahnya ditentukan oleh nas, tetapi sanksinya oleh syari’ah diserahkan kepada penguasa, seperti sumpah palsu, saksi palsu, mengurangi timbangan, menipu, mengingkari janji, menghianati amanah, dan menghina agama.
            3)   Jarimah ta’zir dimana jenis jarimah dan sanksinya secara penuh menjadi wewenang penguasa demi terealisasinya kemaslahatan umat. Dalam hal ini unsur akhlak menjadi perimbangan yang paling utama. Misalnya pelanggaran terhadap peraturan lingkungan hidup, lalu lintas, dan pelanggaran terhadap pemerintah lainnya.[19]
  Setelah penulis analisis tentang  menetapan jarimah ta’zir, ta’zir, ternyata prinsip utama yang menjadi acuan adalah menjaga kepentingan umum dan melindungi setiap anggota masyarakat dari kemudharatan (bahaya). Di samping itu, penegakkan jarimah ta’zir harus sesuai dengan prinsip syar’i.[20]Hukuman-hukuman ta’zir banyak jumlahnya, yang dimulai dari hukuman paling ringan sampai hukuman yang terberat. Hakim diberi wewenang untuk memilih diantara hukuman-hukuman tersebut, yaitu hukuman yang sesuai dengan keadaan jarimah serta diri pembuatnya. Bentuk-bentuk Hukuman ta’zir antara lain:
1)      Hukuman mati
Pada prinsipnya menurut syari’ah Islam, hukuman ta’zir adalah memberikan pengajaran (ta’dib) dan tidak sampai membinasakan. Dalam hukuman ta’zir tidak boleh ada pemotongan anggota badan atau penghilangan nyawa. Akan tetapi beberapa fuqaha memberikan pengecualian dari aturan umum tersebut, yaitu kebolehan dijatuhkan hukuman mati jika kepentingan umum menghendaki demikian, atau kalau pemberantasan tidak bisa terlaksana kecuali dengan jalan membunuhnya, seperti mata-mata, pembuat fitnah, residivis yang membahayakan. Namun menurut sebagian fuqaha yang lain dalam jarimah ta’zir tidak ada hukuman mati.[21]
2)      Hukuman cambuk
Di kalangan fuqaha terjadi perbedaan tentang batas tertinggi hukuman jilid dalam ta’zir. Menurut pendapat yang terkenal di kalangan ulama’ Maliki, batas tertinggi diserahkan kepada penguasa karena hukuman ta’zir didasarkan atas kemaslahatan masyarakat dan atas dasar berat ringannya jarimah. Imama Abu Hanifah dan Muhammad berpendapat bahwa batas tertinggi hukuman jilid dalam ta’zir adalah 39 kali, dan menurut Abu Yusuf adalah 75 kali. Sedangkan di kalangan  madzhab Syafi’i ada tiga pendapat. Pendapat pertama sama dengan pendapat Imam Abu Hanifah dan Muhammad. Pendapat kedua sama dengan pendapat Abu Yusuf. Sedangkan pendapat yang ketiga, hukuman jilid pada ta’zir boleh lebih dari 75 kali, tetapi tidak sampai seratus kali, dengan syarat lain bahwa jarimah ta’zir yang dilakukan hampir sejenis dengan jarimah hudud.
Dalam mazhab Hanbali ada lima pendapat. Tiga di antaranya sama dengan pendapat madzhab Imam Syafi’i. Pendapat keempat mengatakan bahwa jilid yang diancam atas sesuatu perbuatan jarimah tidak boleh menyamai hukuman yang dijatuhkan terhadap jarimah lain yang sejenis, tetapi tidak boleh melebihi hukuman jarimah lain yang tidak sejenisnya. Pendapat kelima mengatakan bahwa hukuman ta’zir tidak boleh melebihi 10 kali. Alasannya adalah hadits dari Abu Darda’ sebagai berikut : “Seseorang tidak boleh dijilid lebih dari sepuluh kali, kecuali dalam salah satu hukuman hudud[22]
3)      Hukuman Kurungan
Ada dua macam hukuman  dalam hukum Islam. Pembagian ini didasarkan pada lama waktu hukuman. Pertama, hukuman tahanan terbatas. Batas terendah dari hukuman ini adalah satu hari, sedangkan tentang batas tertinggi, ulama’ berbeda pendapat. Ulama Syafi’iyyah menetapkan batas tertingginya satu tahun, karena mereka mempersamakannya dengan pengasingan dalam jarimah zina. Sementara ulama-ulama lain menyerahkan semuanya kepada penguasa berdasarkan maslahat.[23]Kedua, hukuman tahanan tidak terbatas. Sudah disepakati bahwa hukuman tahanan ini tidak ditentukan terlebih dahulu, melainkan berlangsung terus sampai terhukum mati atau taubat dan baik pribadinya. Orang yang dikenakan hukuman ini adalah penjahat yang berbahaya, atau orang yang berulang-ulang melakukan jarimah yang berbahaya.
              Perbedaan yang menonjol antara jarimah hudud, qishas, dan jarimah ta’zir:
             (a)  Dalam jarimah hudud tidak ada pemaafan, baik oleh perseorangan maupun oleh ulul amri. Sedangkan jarimah ta’zir kemungkinan pemaafan itu ada, baik oleh perorangan maupun oleh ulul amri, bila hal itu lebih maslahat.
                (b) Dalam jarimah ta’zir hakim dapat memilih hukuman yang lebih tepat bagi si pelaku sesuai dengan kondisi pelaku, situasi, dan tempat kejahatan. Sedangkan dalam jarimah hudud yang diperhatikan oleh hakim hanyalah kejahatan material.
                (c) Pembuktian jarimah hudud dan qishas harus dengan saksi atau pengakuan,  sedangkan pembuktian jarimah ta’zir sangat luas kemungkinannya.
                 (d) Hukuman Had maupun qishas tidak dapat dikenakan kepada anak kecil, karena syarat menjatuhkan had si pelaku harus sudah baligh sedangkan ta’zir itu bersifat pendidikan dan mendidik anak kecil boleh.  
 Sebagai perbandingan, antara hukuman bagi  anak sebagai pelaku tindak pidana “Anak Nakal”[24] dengan ancaman pidana mati, menurut hukum positif, tidak akan dikenai pidana mati maupun pidana penjara seumur hidup. Hal ini didasarkan pada Pasal 26 ayat (2) UU No. 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak  yang menyatakan: “Apabila anak nakal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 2 huruf a, melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup, maka pidana penjara yang dapat dijatuhkan kepada anak tersebut paling lama 10 (sepuluh) tahun.” Bagaimana sanksi hukum bagi anak berumur 14 tahun yang melakukan pembunuhan,[25] pencurian? Apakah dibebaskan dengan syarat? Apakah bebas tanpa syarat jika pihak korban menarik kembali tuntutannnya.


Melalui penelitian ini penulis dapat membuat ramalan ilmiah atau prediksi sebagai berikut:
          Mengingat begitu kuatnya desakan pemenuhan hak asasi(HAM) liberal di seluruh dunia, di masa  yang akan datang di negara yang mayoritas penduduknya muslim, penulis memprediksi sebagai berikut:
          Pertama, akan muncul peraturan bahwa anak boleh memilih untuk ”tidak beragama,” atau pindah  agama(murtad), berdasarkan prinsip hak asasi anak,  kebebasan beragama dan berkeyakinan, karena dalam dokumen hak asasi manusia (HAM) internasional, secara jelas disebutkan dalam Pasal 18, bahwa setiap orang berhak atas kemerdekaan berfikir, berkeyakinan dan beragama.  Hak ini mencakup kebebasan untuk „berganti agama“ atau kepercayaan, dan kebebasan untuk menjalankan agama atau kepercayaannya dalam kegiatan pengajaran, peribadatan, pemujaan dan ketaatan, baik sendiri maupun bersama-sama dengan orang lain, di muka umum atau secara pribadi.“
              Hak anak untuk murtad, bersamaan dengan hak anak dalam keluarga,  memiliki keyakinan berbeda dengan orangtua. Di beberapa media masa, ditemukan ungkapan bagini “Saya remaja,15 tahun, berniat untuk memiliki keyakinan, agama yang berbeda dengan garis keturunan saya. Untuk merealisasikannya, saya harus keluar dari rumah karena tidak disetujui oleh orangtua. Orangtua memaksa untuk tetap memiliki keyakinan yang sama. Apa keputusan saya untuk keluar dari rumah demi mempertahankan keyakinan dapat dilindungi oleh hukum? Apa yang masih menjadi wewenang orang tua saya?”, demikian keluhan sebahagian anak.
            Untuk dapat pindah keyakinan dan dinyatakan sah secara hukum, ternyata tidak diperlukan syarat – syarat tertentu. Selama anak telah meyakini keputusan tersebut, maka dia  dapat melakukannya. Hak setiap orang untuk memeluk agama dan beribadat menurut agamanya dijamin oleh konstitusi dan undang-undang.
           Pasal 28 E Undang-Undang Dasar(UUD) 1945 menyatakan bahwa setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya. Selanjutnya, dalam Pasal 28 I UUD 1945 dinyatakan bahwa hak beragama merupakan hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun (non derogable human rights). Jadi, kebebasan anak untuk beragama adalah hak asasi Anda, termasuk untuk murtad, memilih agama baru, yang anak yakini.
            Kebebasan beragama juga ditegaskan dalam Pasal 22 ayat (1) Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (“Undang-Undang 39/1999”) yang menyatakan, bahwa setiap orang, bebas memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu. Menurut penjelasan pasal 22 ayat (1) Undang-Undang 39/1999, yang dimaksud dengan ”hak untuk bebas memeluk agamanya dan kepercayaannya” adalah hak setiap orang untuk beragama menurut keyakinannya sendiri, tanpa adanya paksaan dari siapapun juga.
           Mengenai wewenang orangtua, memang benar bahwa seorang anak berada di bawah kekuasaan orang tuanya. Akan tetapi dalam konteks kekuasaan orang tua, perlu diingat bahwa UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (UU Perkawinan) membatasi usia anak dalam Pasal 47 ayat (1), yaitu anak yang belum mencapai umur 18 tahun atau belum pernah melangsungkan perkawinan. Anak yang demikian berada di bawah kekuasaan orang tuanya, dan orang tua mewakili anak tersebut mengenai perbuatan hukum di dalam dan di luar Pengadilan, sesuai dengan Pasal 47 ayat [2] UU Perkawinan.
            Dalam kasus ini, untuk saat sekarang ini, anak  yang  sudah berusia 18 tahun, artinya, sudah tidak lagi berada dalam kekuasaan orangtua. Dengan demikian secara hukum  sudah dianggap dewasa dan karena itu sudah cakap untuk melakukan perbuatan hukum sendiri tanpa perlu izin dari orang tua, kecuali untuk melangsungkan perkawinan.
           Dalam Pasal  6 ayat (2) UU Perkawinan diatur bahwa untuk melangsungkan perkawinan seorang yang belum mencapai umur 21 tahun, harus mendapat izin kedua orang tua. Jika orang tua tidak menyetujui  perkawinan tersebut, maka anak dapat meminta izin dari Pengadilan dalam daerah tempat tinggal Anda. Pengadilan dapat memberikan izin menikah setelah mendengar pendapat dari orang tua, sesuai dengan Pasal 6 ayat [2] UU Perkawinan.Harus juga diperhatikan kewajiban anak. Dalam UU Perlindungan Anak, khususnya soal hak dan kewajiban anak dan pasal lain yang berkaitan dengan hak anak (18 pasal), sementara kewajiban hanya satu pasal saja (pasal 19). bunyi pasal 19 UU Perlindungan Anak ini, bahwa setiap anak berkewajiban untuk :
1. menghormati orang tua, wali, dan guru;
2. mencintai keluarga, masyarakat, dan menyayangi teman;
3. mencintai tanah air, bangsa, dan negara;
4. menunaikan ibadah sesuai dengan ajaran agamanya; dan
5. melaksanakan etika dan akhlak yang mulia.

          Kedua, akan terjadi legalisasi anak durhaka. Jika anak tidak melaksanakan kewajibannya dan menghina guru, sanksi apa yang dapat diberikan UU RI No.23 Th 2002? Tidak ada pasal yang mengatur hal ini. Orang hanya  melihat hak anak, mengabaikan hak guru. Itulah sebabnya kasus ini punya daya tarik bagi polisi dan pengacara? Tidak tentang  bagaimana hukuman terhadap anak? Apakah anak berbuat nakal, bahkan tidak melakukan kewajibannya, seperti yang tertera dalam UU Perlindungan Anak, juga dapat ditindak? Kasus anak SD mengganggu temannya yang sedang latihan, berarti tidak melakukan kewajiban no. 2 dalam pasal (19) UU Perlindungan Anak. Kasus Sekolah Menengah Kejuruan(SMK), siswa tidak melaksanakan kewajiban no. 3 dan 5. Guru punya wewenang melaporkan siswa  ke polisi? Dan apa sanksi buat anak tersebut? Hak dan kewajiban mesti seimbang. Orang tidak bisa menuntut hak tanpa melaksanakan kewajibannya, karena  berkaitan dengan UU Perlindungan Anak.


                     [1] Hasbi Ash-Siddieqi (Editor) op.cit, Qur’an Surat(QS) al-Nahl [16]: 90.
                 [2] Fath al-Rahman, Al-Qur’an al-Mufradat,  hlm. 55.
              [3]Op.Cit, QS  Hud : 112
                  [4] Mu'jam, Alfazh al-Qur'an at-Karim, hlm 327

             [5] Fath  al-Rahman, Li –Thalib alAyati al- Qur’an.(Jakarta: CV. Diponegoro,), hlm 231
             [6]Suruhlah anak-anakmu untuk melaksanakan shalat pada usia tujuh tahun, dan pukullah mereka jika tidak mau melaksanakannya pada usia sepuluh tahun, serta pisahkanlah tempat tidur mereka.”[Hadits shahih, diriwayatkan oleh Ahmad (II/ 180, 187), Abu Dawud (no. 495), Al-Hakim (I/197), Al-Baihaqi (III/84), Ibnu Abi Syaibah (no. 3482), Ad-Daruquthni (I/230), Al-Khathib (II/278), dan Al-‘Uqaili (II/167), dari ‘Abdullah bin ‘Amr radhiyallahu’anhuma. Lihat juga Shahihul Jami’ (no. 5868)] Ada beberapa syarat yang harus dipenuhi berkaitan dengan pukulan kepada anak ini, yaitu:
a. Anak mengerti atas alasan apa dia dipukul. b. Orang yang memukulnya adalah walinya, misalkan ayahnya. c. Tidak boleh memukul anak secara berlebihan. d. Kesalahan yang dilakukan oleh sang anak memang patut untuk mendapatkan hukuman. e. Pukulan dimaksudkan untuk mendidik anak, bukan untuk melampiaskan kemarahan.[Lihat Al-Qaulul Mufid (II/473-474) dan Bekal Menanti Si Buah Hati tt, hlm. 55-56.
                 [7] Muhammad Isa bin Saurah bin Musa bin ad-Dhahak At-Tarmizi, Sunan Turmuzi,  Juz 2, h. 210.
               [8]HR. Muslim : 2128
               [9]Lihat  Jurnal al Mawaddah Edisi 4 tahun ke-3, November 2009
                [10] Tribun Pontianak.Co.id - Peristiwa kaburnya model cilik, Ruvita Sari Siahaan, 9 Januari 2012. Ada pelajaran bagi orangtua di tengah kehidupan global yang "lebih" mendewakan materi daripada nilai-nilai religi dan budaya.  Vita, sapaan akrab Ruvita Sari, nekat kabur ke Sorong, Papua Barat bukan tanpa sebab. Kenekatan model iklan berusia 13 tahun ini, berlatar tekanan psikis hebat dari ibunya, Ny Lily.Setelah ditemukan polisi di rumah orangtua angkatnya, Bunda Maya di Sorong, Kamis (26/1/2012) sore, Vita mengaku sering dipukul ibunya kalau menolak syuting.Tidak sampai di situ, sang ibunda "terlalu" mengatur selera dan kehidupan anak. Mulai urusan busana hingga rileks (jalan-jalan), Vita perlu menangis. Vita pun mengalami memar akibat pukulan sang ibu, manakala model iklan cokelat pasta itu pulang pukul 21.00 WIB. Sang Ibu tak mengelak, mengakui pernah juga menarik rambut Vita dan menjepret kaki putrinya menggunakan karet. Benarkah cara orangtua pada buah hatinya ini? Prinsipnya, tak seorang orangtua pun di muka bumi, ingin menzalimi anak kandungnya.Harimau yang paling buas sekalipun, tak pernah memakan anak-anaknya, meski kelaparan. Kaum sufi psikologi maupun agama, justru meyakini cinta orangtua kepada anak, lebih besar dibanding cinta anak kepada orangtuanya. Editor Tribun Pontianak.Co.id - Peristiwa kaburnya model cilik, Ruvita Sari Siahaan, 9 Januari 2012.
             [11]Apabila manusia telah meninggal, maka terputuslah amalnya, kecuali tiga perkara: sedekah jariyah, ilmu yang bermanfaat, dan anak shalih yang mendo’akan kebaikan baginya.[Hadits  shahih, diriwayatkan oleh Muslim (no. 1631), Ahmad (II/372), Bukhari dalam Al-Adabul Mufrad (no. 38), Abu Dawud (no. 2880), An-Nasa’i (VI/251), Tirmidzi (no. 1376), dan Al-Baihaqi (VI/278) dari Abu Hurairah.
            [12]Sudah tidak asing lagi di beberapa pondok,pengurus atau pihak pondok menetapkan aturan dengan cara menta'zir yang salah satunya dng menarik uang(denda) bagi santri yang melanggar aturan yang telah ditetapkan pihak pondok. Contoh pada pesantren di Jawa, karena , mereka  para kiyai tahu hukum menta'zir dengan uang, sehingga  timbul pertanyaan: 1. bagaimanakah hukum menta'zir dengan meng-gunakan uang(mendenda).....2. jika tidak boleh,apakah ada cara lain yang membolehkanya,mungkin dengan hilah(mreka daya hukum)? 3. hukum helah yang diperbolehkan seperti apa kriteria yang diperbolehkan menurut syar'i? Ternyata di dalam madzhab Syafi'i menghukum dengan denda uang itu tidak boleh,tapi menurut pendapat imam malik boleh menghukum dengan denda uang.....Batas pukulan mendidik yaitu dari pantat ke bawah,kalau pun organ atas yaitu hanya kuping dengan cara dijewer. Ibnu Qayyim Al Jauziyah –rahimahullah- mengatakan, ”Kaum muslimin bersepakat bahwa meninggalkan shalat lima waktu dengan sengaja adalah dosa besar yang paling besar dan dosanya lebih besar dari dosa membunuh, merampas harta orang lain, berzina, mencuri, dan minum minuman keras. Orang yang meninggalkannya akan mendapat hukuman dan kemurkaan Allah serta mendapatkan kehinaan di dunia dan akhirat.” Ash Sholah wa Hukmu Tarikiha, Ibnul Qayyim,.
              [13] Muhibbin Syah. Psikologi Belajar, (Raja Grafindo Persada, Jakarta: 2006) , hlm. 167-168.
Anak yang menjadi dambaan setiap keluarga adalah rizki sekaligus ujian dari Allah Ta’ala kepada hamba-hamba-Nya. Bahkan Allah Ta’ala menyebutkan dalam firman-Nya bahwa anak adalah salah satu kesenangan dan perhiasan dunia, Artinya: Harta dan anak-anak adalah perhiasan kehidupan dunia.Qs. Al-Kahfi: 46 Kehadiran anak di tengah-tengah keluarga merupakan amanah yang sangat besar bagi kedua orang tuanya. Oleh karenanya, para orang tua dituntut untuk senantiasa memperhatikan perkembangan jasmani dan rohani sang buah hati. Namun, belakangan sering ditemui peristiwa-peristiwa memilukan yang menimpa anak-anak akibat perbuatan orang tuanya.
               [14] Lihat Mahjuddin, Masa’il al-Fiqhi , Kasus-Kasus Aktual Dalam Hukum Islam, (Kalam Mulia Jakarta: 2012), hlm. 71.Hukuman dalam kasus  melatih anak-anak memiliki kepekaan terhadap lingkungan, memiliki rasa tanggung jawab dan kemampuan mengendalikan diri. Kemudian penyakit belajar adalah lupa dan kejenuhan.
               [15]Menurut data Komisi Nasional (Komnas) Perlindungan Anak, pada 2011 telah terjadi 1.851 pengaduan ABH yang diajukan ke pengadilan. Hampir 89,8 persen kasus ABH berakhir pada pe¬mi¬danaan atau diputus pidana. Data lain yang dirilis Ke¬men¬terian Hukum dan HAM 2010 menunjukkan bahwa di 16 Lapas di Indonesia ditemukan 6.505 ABH yang diajukan ke pengadilan dan 4.622 ABH di antaranya mendekam dipenjara. Jumlah ini mungkin jauh lebih besar karena angka ini hanya bersumber dari laporan 29 Balai Pemasyarakatan (Bapas), sementara di Indonesia terdapat 62 Bapas, Rakyat Merdeka, 19 Januari 2012.
              [16]Secara yuridis, Undang-undang tentang perlindungan guru telah termuat dalam UU No.14/2005 tentang Guru dan Dosen. Hal ini terlihat jelas pada Bab VII pasal 39 yang menyebutkan bahwa pemerintah, masyarakat, organisasi profesi, dan atau satuan pendidikan wajib memberikan perlindungan terhadap guru.
              [17] Lihat Bunadi Hidayat, Pemidanaan Aanak Di Bawah Umur,(Bandung, PT.Alumni : 2010), hlm. 115.Secara yuridis, Undang-undang tentang perlindungan Guru telah termuat dalam UU No.14/2005 tentang Guru dan Dosen. Hal ini terlihat jelas pada Bab VII pasal 39 yang menyebutkan bahwa pemerintah, masyarakat, organisasi profesi, dan atau satuan pendidikan wajib memberikan perlindungan terhadap guru dalam pelaksanaan tugas. Hal ini terlihat bahwa eksistensi UU No.14/2005 telah memuat perlindungan terhadap guru atas profesinya. Namun implementasi terhadap undang-undang tersebut masih belum terlaksana.
            [18]Secara tidak sadar orangtua menghukum anaknya dengan emosi dan cara yang kasar, seperti langsung memukulnya. Tindakan seperti ini kurang dibenarkan, karena bagaimana pun didikan orangtua turut menciptakan kondisi anak pada masa mendatang.Rasulullah SAW mengajarkan tanggapan bagaimana seharusnya orangtua menghukum anak, yakni orangtua menunjukan kesalahan dengan pengarahan secara langsung, menunjukan kesalahan dengan isyarat, hardikan dan pukulan. Hukumsn pukulan adalah jalan terakhir untuk menghukum anak agar jera, namun pukulan tersebut harus didasari rasa kasih sayang. Bunadi Hidayat, op.cit, hlm. 183.
              [19]Menurut  madzhab Hanafi boleh menta'zir dengan pakai uang tapi bila sudah taubat, harus dikembalikan uangnya.fiqh ala al madzhab al-arba'ah 5/ 401.Yang tidak memperbolehkan silahkan dicek di kitab tanwir al quluub,hasyiyah al jamal ala al manhaj dan gyoyah talkhis a-lmurod hamisyi bughyah. “Dan tidak boleh menta’zir (menghukum) dengan mencukur jenggot atau dengan mengambil harta”.(Tanwiir al-Quluub , 2001), hlm. 392.
             [20]Ta’zir tidak boleh dengan mengambil harta”. Hasyiyah al-Jamal V/164 “Dan haram menta’zir dengan mencukur janggut, memotong anggauta dan melukainya, Ta’zir diharamkan juga dengan mengambil atau merusak harta benda karena tidak terdapati ketetapan syara’ yang demikian dari prilaku yang dapat diikuti dan karena tujuan diperlakukan menta’zir demi mengajari tatakrama yang tidak ada ketentuan dengan merusak harta benda berbeda menurut Imam Taqiyuddin yang memperkenankan ta’zir dengan mengambil atau merusak harta benda”. Mathaalib Uli al-Nuhaa, Jilid VI, hlm. 224.
               [21]Seorang sahaya menganiaya sahaya lainnya, maka bagi sahaya yang menganiaya diperlakukan ta’zir dari sayyidnya sesuai petunjuk hakim atau yang ditempatkan pada posisinya dengan dipenjara, dipukul, atau dinaikkan keledai dengan berbalik dan semacamnya.Janganlah memberikan balasannya pada sahaya yang dianiaya, dan tidak diperbolehkan menta’zir dengan mengambil harta benda menurut kami (Syafi’iyyah). Bughyah al-Mustarsyidiin ,tt, hlm. 532.

          [22] Sayid Sabiq, Fiq-hus Sunnah, (terj), Jilid 2 (Toha Putra : Semarang, 1989),302.Jarâimu al-hudûd (delik hukuman kejahatan), yang meliputi kasus; perzinahan, tuduhan berzina tanpa bukti yang akurat, pencurian, mabuk-mabukan, muhârabah (pemberontakan dalam negara Islam dan pengacau keamanan), murtad, dan perbuatan melampui batas lainnya.
         [23]Nihâyah al-Muhtâj, Jilid  VIII, hlm. 21. Bentuk Ta’zir bisa dengan berupa dipenjarakan atau pukulan yang tidak menyakitkan, menampar, atau mencelanya dengan ucapan atau diasingkan dalam kurun kurang setahun didaerah yang panas atau kurang dari kurun separoh tahun didaerah yang dingin atau diberdirikan dalam satu majlis atau dibuka penutup kepalanya atau dicoreng hitam mukanya atau dicukur rambutnya bagi orang yang tidak suka potong rambut tapi tidak dicukur jenggotnya meskipun menurut kami hal demikian adalah makruh menurut pendapat yang paling shahih, atau dinaikkan pada keledai dengan berbalik dan diarak berkeliling ditengah-tengah orang banyak dan mengancamnya dengan aneka siksaan-siksaan lainnya

           [24] Yusti Probowati Rahayu. Dibalik Putusan Hakim. Sidoarjo: Citra Media, 2000),hlm 311. Mengenai berapa lama pidana penjara dijatuhkan kepada anak nakal, Pasal 26 ayat (1) UU 3/1997 menentukan bahwa pidana penjara yang dapat dijatuhkan kepada anak nakal adalah paling lama 1/2 (satu per dua) dari maksimum ancaman pidana penjara bagi orang dewasa.Jadi, harus dilihat kembali pada ketentuan pidananya. Misalnya, jika anak tersebut dijerat dengan Pasal 359 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (“KUHP”) yang berbunyi: “Barang siapa karena kesalahannya (kealpaannya) menyebabkan orang lain mati, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau pidana kurungan paling lama satu tahun.” Sehingga, pidana untuk anak nakal yang melakukan pembunuhan dan dijerat dengan Pasal 359 KUHP adalah paling lama dua setengah tahun.
                           [25] Faturochman.. Keadilan Perspektif Psikologi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, . 2002),  hlm 66.
Pengadilan anak-anak mencatut demi hukuman mati?Pada tahun 1995, seorang bocah di Lumajang dijerat pasal dengan ancaman hukuman mati. Hidup-mati anak yang bernama Ma’ruf  yang masih berusia 14 tahun, sepenuhnya berada ditangan majelis hakim. Sebab, Jaksa Imam Sudarmadji menuduh Ma’ruf telah melakukan pembunuhan berencana terhadap Buyar, teman sekampungnya. Artinya, anak ke empat pasangan Sariman-Sarmi ini  diancam hukuman mati atau pidana penjara seumur hidup. Untuk perbuatan itu, ancaman hukuman paling ringan adalah penjara 20 tahun. Menurut dakwaan jaksa, perbuatan itu terjadi pada tanggal 9 April silam, di persawahan desa Mlawang, Kecamatan Klakah, Lumajang. Pembunuhan itu terjadi akibat perkelahian di antara mereka dengan menggunakan clurit. Hunjaman clurit tersangka menjadi penyebab kematian korban. 

No comments:

Post a Comment

Komentar Facebook