Tuesday, January 20, 2015

SUARA RAKYAT ADALAH SUARA TUHAN yang Islami



SUARA RAKYAT ADALAH SUARA TUHAN

M.RAKIB   LPMP  RIAU  INDONESIA


Salah Satu Metode Ushl Fiqh untuk meng-Istimbath setiap permasalahan dalam kehidupan ini. pengambilan kaidah ini berdasarkan sabda Nabi SAW :
ما رآه المسلمون حسنا فهو عند الله امر حسن
Artinya : ”Apa yang dipandang baik menurut kaum muslimin, maka menurut Allah pun digolongkan sebagai perkara yang baik”
Atau secara umum dalam rangka memelihara mashlahah mursalah
             Suara Tuhan?..Awalnya, ungkapan itu populer pada masa pencerahan (renaesance) di Eropa, sebagai bentuk perlawanan rakyat terhadap kekuasaan yang absolut, penguasa yang merasa dirinya sama dengan Tuhan. Rakyat bangkit dengan slogan yang tak kalah dahsyatnya tersebut.
Keberhasilan gerakan rakyat itu menginspirasi para pejuang hak-hak rakyat. Slogan itu menjadi pupuk perangsang tumbuhnya ide demokratisasi di mana-mana bahwa rakyatlah sesungguhnya pemegang sebuah kedaulatan berbangsa dan bernegara. Siapa pun akan “ngeri-ngeri sedap” kalau dihadapkan pada pernyataan “atas kehendak rakyat”.
Sampai di titik itu, tidak ada masalah. Kenapa? Karena, rakyat merupakan kumpulan manusia. Sedangkan manusia adalah makhluk mulia atas ciptaan-Nya, pengemban amanat Tuhan di muka bumi.
Tetapi, tentu ada syaratnya. Apa? Syaratnya, pernyataan “suara rakyat suara Tuhan” tidak bisa hanya dijadikan sebagai retorika belaka. Esensinya harus kena bahwa suara rakyat harus benar-benar lahir dari hati nurani rakyat. Bagaimana kalau suara rakyat itu terlahir dari “transaksi kepentingan” melalui politik uang, misalnya? Bukankah sudah bukan rahasia lagi bahwa suara rakyat bisa dibeli hanya dengan Rp20-50 ribu? Atau, setidaknya, suara rakyat bisa “dibeli” dengan sekadar janji-janji saat kampanye.
“Suara rakyat suara Tuhan” adalah suara mereka yang tidak goyah oleh iming-iming apa pun, tak juga peduli dengan intimidasi dam tekanan. Ketika rakyat sudah mudah tergiur dengan iming-iming uang dan janji yang belum tentu terpenuhi, masihkan bisa disebut suara rakyat adalah suara Tuhan?
Siapa pun bisa membantah, tetapi siapa pun juga tidak bisa mengelak bahwa politik di Indonesia sesungguhnya adalah politik “transaksional”, politik yang bergelimang perselingkuhan uang dan kebohongan atas dorongan nafsu “politikus satu memangsa politikus yang lain”. Sehingga, cara apa pun dilakukan, termasuk mempengaruhi rakyat dengan berbagai cara, demi menangguk suara mereka.
Dalam situasi seperti itu, suara rakyat belumlah tentu lahir dari hati nurani dan dari akal sehat rakyat yang bisa dipertanggungjawabkan kepada-Nya. Jadi? Suara rakyat belumlah tentu suara Tuhan.


           Konsep bahwa Islam sebagai agama wahyu yang mempunyai doktrin-doktrin ajaran tertentu yang harus diimani, juga tidak melepaskan perhatiannya terhadap kondisi masyarakat tertentu. Kearifan lokal (hukum) Islam tersebut ditunjukkan dengan beberapa ketentuan hukum dalam al-Qur’an yang merupakan pelestarian terhadap tradisi masyarakat pra-Islam.
S. Waqar Ahmed Husaini mengemukakan, Islam sangat memperhatikan tradisi dan konvensi masyarakat untuk dijadikan sumber bagi jurisprudensi hukum Islam dengan penyempurnaan dan batasan-batasan tertentu. Prinsip demikian terus dijalankan oleh Nabi Muhammad saw. Kebijakan-kebijakan beliau yang berkaitan dengan hukum yang tertuang dalam sunnahnya banyak mencerminkan kearifan beliau terhadap tradisi-tradisi para sahabat atau masyarakat.
Sehingga sangatlah penting bagi umat muslim untuk mengetahui serta mengamalkan salah satu metode Ushl Fiqh untuk meng-Istimbath setiap permasalahan dalam kehidupan ini. pengambilan kaidah ini berdasarkan sabda Nabi SAW :

ما رآه المسلمون حسنا فهو عند الله امر حسن

Artinya : ”Apa yang dipandang baik menurut kaum muslimin, maka menurut Allah pun digolongkan sebagai perkara yang baik”
Atau secara umum dalam rangka memelihara mashlahah mursalah
PENGERTIAN

العرف هو ما تعارفه الناس وساروا عليه من قول أو فعل أو ترك ويسمى العادة

” Urf adalah sesuatu yang dianggap umum oleh manusia dan terus diberlakukan, baik itu berupa ucapan, ucapan atau gerakan dan kemudian disebut adat” .
Dari sini kita ketahui bahwa urf adalah sesuatu yang tidak asing lagi bagi suatu masyarakat karena telah menjadi kebiasaan dan menyatu dengan kehidupan mereka baik berupa perbuatan atau perkataan bahkan gerakan. Namun yang perlu kiranya diperhatikan adalah bahwa seolah-olah urf dengan ‘adah itu disamakan, mengenai hal ini kita bisa lihat pada poin berikut.
Menarik tulisan Muhammad Ghozali, S.Pd.I, tentang perbedaan antara Al-‘Adah dengan Al-‘Urf
Kata ‘urf dalam bahasa Indonesia sering disinonimkan dengan ‘adat kebiasaan namun para ulama membahas kedua kata ini dengan panjang lebar, ringkasnya: AI-’Urf adalah sesuatu yang diterima oleh tabiat dan akal sehat manusia.
Meskipun arti kedua kata ini agak berbeda namun kalau kita lihat dengan jeli, sebenarnya keduanya adalah dua kalimat yang apabila bergabung akan berbeda arti namun bila berpisah maka artinya sama.
Dari keterangan di atas dapat disimpulkan bahwa makna kaidah ini menurut istilah para ulama adalah bahwa sebuah adat kebiasaan dan urf itu bisa dijadikan sebuah sandaran untuk menetapkan hukum syar’i apabila tidak terdapat nash syar’i atau lafadh shorih (tegas) yang bertentangan dengannya.
’Urf ’Adah
Adat memiliki makna yang lebih sempit Adat memiliki cakupan makna yang lebih luas
Terdiri dari ‘urf shahih dan fasid Adat tanpa melihat apakah baik atau buruk
‘Urf merupakan kebiasaan orang banyak Adat mencakup kebiasaan pribadi
Adat juga muncul dari sebab alami
Adat juga bisa muncul dari hawa nafsu dan kerusakan akhlak
DALIL KAIDAH
Lafadl al-‘adah tidak terdapat dalam al-Qur’an dan as-Sunnah, namun yang terdapat pada keduanya adalah lafadh al-‘urf dan al-ma’ruf. Ayat dan hadits inilah yang dijadikan dasar oleh para ulama kita untuk kaidah ini. Diantaranya ialah:
Dalil aI-Qur’an, Firman Allah Ta’ala :
خذ العفو وأمر بالعرف واعرض عن الجاهلين (الاعراف : 199)
(QS Al-Araaf[7]:199). Jadilah Engkau Pema’af dan suruhlah orang mengerjakan yang ma’ruf, serta berpalinglah dari pada orang-orang yang bodoh.
Juga firman-Nya:
كتب عليكم إذا حضر احدكم الموت إن ترك خيرا الوصية للوالدين والأقربين بالمعروف حقا على المتقين (البقرة : 180)
(QS.Al-Baqarah[2]: 180). diwajibkan atas kamu, apabila seorang di antara kamu kedatangan (tanda-tanda) maut, jika ia meninggalkan harta yang banyak, Berwasiat untuk ibu-bapak dan karib kerabatnya secara ma’ruf
Dan beberapa ayat lain yang menyebut lafadh ’urf atau ma’ruf yang mencapai 37 ayat. Maksud dan ma’ruf di semua ayat ini adalah dengan cara baik yang diterima oleh akal sehat dan kebiasaan manusia yang berlaku.
SYARAT-SYARAT ‘URF
Tidak semua ‘urf bisa dijadikan sandaran hukum. Akan tetapi, harus memenuhi beberapa syarat, yaitu:
1. ’Urf itu berlaku umum. Artinya, ‘urf itu dipahami oleh semua lapisan masyarakat, baik di semua daerah maupun pada daerah tertentu. Oleh karena itu, kalau hanya merupakan ‘urf orang-orang tententu saja, tidak bisa dijadikan sebagai sebuah sandaran hukum.
2. Tidak bertentangan dengan nash syar’i. Yaitu ‘Urf yang selaras dengan nash syar’i. ‘Urf ini harus dikerjakan, namun bukan karena dia itu ’urf, akan tetapi karena dalil tersebut.
Misalnya:
‘Urf di masyarakat bahwa seorang suami harus memberikan tempat tinggal untuk istrinya. ‘Urf semacam ini berlaku dan harus dikerjakan.
3.‘Urf itu sudah berlaku sejak lama, bukan sebuah ‘urf baru yang barusan terjadi.
Misalnya:
Maknanya kalau ada seseorang yang mengatakan demi Allah, saya tidak akan makan daging selamanya. Dan saat dia mengucapkan kata tersebut yang dimaksud dengan daging adalah daging kambing dan sapi; lalu lima tahun kemudian ‘urf masyarakat berubah bahwa maksud daging adalah semua daging termasuk daging ikan. Lalu orang tersebut makan daging ikan, maka orang tersebut tidak dihukumi melanggar sumpahnya karena sebuah lafadh tidak didasarkan pada ‘urf yang muncul belakangan.
4. Tidak berbenturan dengan tashrih. Jika sebuah ‘urf berbenturan dengan tashrih (ketegasan seseorang dalam sebuah masalah), maka ‘urf itu tidak berlaku.
Misalnya:
Kalau seseorang bekerja di sebuah kantor dengan gaji bulanan Rp. 500.000,- tapi pemilik kantor tersebut mengatakan bahwa gaji ini kalau masuk setiap hari termasuk hari Ahad dan hari libur, maka wajib bagi pekerja tersebut untuk masuk Setiap hari maskipun ‘urf masyarakat memberlakukan hari Ahad libur.
5.‘Urf tidak berlaku atas sesuatu yang telah disepakati
Hal ini sangatlah penting karena bila ada ’urf yang bertentangan dengan apa yang telah disepakati oleh para ulama (dalam hal ini ’Ijma) maka ’urf menjadi tidak berlaku, terlebih bila ’urf nya bertentangan dengan dalil syar’i.
PERBANDINGAN DENGAN METODE LAIN
’Urf lebih kuat dari qiyas karena ’urf adalah dalil yang berlaku umum dan bukti bahwa sesuatu memang dibutuhkan (Ibn Abidin). Contoh: sucinya kotoran merpati sesuai ’urf yang terjadi pada mesjid2 bahkan masjid al-haram. Ini tidak bisa diqiyaskan pada korotan ayam.
Perbedaan ’Urf dengan ’Ijma
’Ijma ’Urf
Dasarnya adalah kesepakatan para mujtahid atas suatu hukum syar’i setelah Nabi SAW wafat Tindakan mayoritas individu baik ’awam maupun ulama dan tidak harus dalam bentuk kesepakatan
Harus berdasarkan dalil Syara Tidak harus berdasarkan dalil Syara
’Ijma ada yang sampai kepada kita dan ada yang tidak Relatif sama dengan sejarah
Merupakan hujjah yang mesti dilakukan Tidak menjadi hujjah yang harus dilakukan karena ’urf ada yang shahih dan ada yang bathil
PANDANGAN ULAMA
Berikut adalah praktek-praktek ’Urf dalam masing-masing mahzab:
Para ulama telah sepakat bahwa seorang mujtahid dan seorang hakim harus memelihara ’urf shahih yang ada di masyarakat dan menetapkannya sebagai hukum. Para ulama juga menyepakati bahwa ’urf fasid harus dijauhkan dari kaidah-kaidah pengambilan dan penetapan hukum. ’Urf fasid dalam keadaan darurat pada lapangan muamalah tidaklah otomatis membolehkannya. Keadaan darurat tersebut dapat ditoleransi hanya apabila benar-benar darurat dan dalam keadaan sangat dibutuhkan.
Imam Syafi’i terkenal dengan qaul qadim dan qaul jadidnya. Ada suatu kejadian tetapi beliau menetapkan hukum yang berbeda pada waktu beliau masih berada di Mekkah (qaul qadim) dengan setelah beliau berada di Mesir (qaul jadid). Hal ini menunjukkan bahwa ketiga madzhab itu berhujjah dengan ‘urf. Tentu saja ‘urf fasid tidak mereka jadikan sebagai dasar hujjah.
Abdul Wahab Khalaf (2004 : 90) berpandangan bahwa suatu hukum yang bersandar pada ’Urf akan fleksibel terhadap waktu dan tempat, karena Islam memberikan prinsip sebagai berikut:
“Suatu ketetapan hukum (fatwa) dapat berubah disebabkan berubahnya waktu, tempat, dan siatuasi (kondisi)”.
Dengan demikian, memperhatikan waktu dan tempat masyarakat yang akan diberi beban hukum sangat penting. Prinsip yang sama dikemukakan dalam kaidah sebagai berikut:
“Tidak dapat diingkari adanya perubahan karena berubahnya waktu (zaman)”.
Dari prinsip ini, seseorang dapat menetapkan hukum atau melakukan perubahan sesuai dengan perubahan waktu (zaman). Ibnu Qayyim mengemukakan bahwa suatu ketentuan hukum yang ditetapkan oleh seorang mujtahid mungkin saja mengalami perubahan karena perubahan waktu, tempat keadaan, dan adat.
Jumhur ulama tidak membolehkan ’Urf Khosh. Sedangkan sebagian ulama Hanafiyyah dan Syafi’iyyah membolehkannya, dan inilah pendapat yang shohih karena kalau dalam sebuah negeri terdapat ‘urf tertentu maka akad dan mu’amalah yang terjadi padanya akan mengikuti ‘urf tersebut.
KESIMPULAN

Karakteristik hukum Islam adalah syumul (universal) dan waqiyah (kontekstual) karena dalam sejarah perkembangan (penetapan)nya sangat memperhatikan tradisi, kondisi (sosiokultural), dan tempat masyarakat sebagai objek (khitab), dan sekaligus subjek (pelaku, pelaksana) hukum. Perjalanan selanjutnya, para Imam Mujtahid dalam menerapkan atau menetapkan suatu ketentuan hukum (fiqh) juga tidak mengesampingkan perhatiannya terhadap tradisi, kondisi, dan kultural setempat.

Tradisi, kondisi (kultur sosial), dan tempat merupakan faktor-faktor yang tidak dapat dipisahkan dari manusia (masyarakat). Oleh karenanya, perhatian dan respon terhadap tiga unsur tersebut merupakan keniscayaan.

Tujuan utama syari’at Islam (termasuk didalamnya aspek hukum) untuk kemaslahatan manusia – sebagaimana di kemukakan as-Syatibi– akan teralisir dengan konsep tersebut. Pada gilirannya syari’at (hukum) Islam dapat akrab, membumi, dan diterima di tengah-tengah kehidupan masyarakat yang plural, tanpa harus meninggalkan prinsip-prinsip dasarnya.
Sehingga dengan metode al-’urf ini, sangat diharapkan berbagai macam problematika kehidupan dapat dipecahkan dengan metode ushl fiqh salah satunya al-’urf, yang mana ’urf dapat memberikan penjelasan lebih rinci tanpa melanggar al-Quran dan as-Sunnah


No comments:

Post a Comment

Komentar Facebook