.
Muballigh Pekanbaru IKMI Riau Indonesia
M.RAKIB LPMP RIAU
Your children are not your children.They are the sons and daughters of Life's longing for itself.
They come through you but not from you,
And though they are with you yet they belong not to you.
Kekerasan yang diungkapkan
dengan kata al-'unf dan terorisme dengan al-irhab tidak ditemukan
penggunaannya dengan pengertian modern dalam al-Quran. Bahkan, 8 kali
penyebutan kata al-irhab dan derivasinya; 5 kali dalam surah-surah makkiyah
dan 3 kali dalam surah-surah madaniyah, selalu bermakna positif.
Anakmu bukanlah milikmu.
Mereka putra-putri kehidupan yang rindu pada dirinya.
Lewat kau mereka lahir, namun bukan dari engkau.
Meski mereka bersamamu, mereka bukan hakmu.
Kahlil
GibranMereka putra-putri kehidupan yang rindu pada dirinya.
Lewat kau mereka lahir, namun bukan dari engkau.
Meski mereka bersamamu, mereka bukan hakmu.
You may give them your love but not your thoughts,
For they have their own thoughts.
You may house their bodies but not their souls,
For their souls dwell in the house of tomorrow,
which you cannot visit, not even in your dreams.
You may strive to be like them,
but seek not to make them like you.
For life goes not backward nor tarries with yesterday.
You are the bows from which your children
as living arrows are sent forth.
The archer sees the mark upon the path of the infinite,
and He bends you with His might
that His arrows may go swift and far.
Let your bending in the archer's hand be for gladness;
For even as He loves the arrow that flies,
so He loves also the bow that is stable.
Membaca
penggalan Puisi dari Kahlil Gibran menyadarkan saya pribadi betapa tidak mudah
menjadi orang tua. Maraknya kasus pelecehan seksual pada anak anak yang terblow
up media membuat miris bagi kita orang tua. Kejahatan seksual tak mengenal
kasta dan strata, baik di sebuah sekolah bertaraf internasional, di bilik rumah
seorang guru ngaji, bahkan di pekarangan sekolahpun dijadikan obyek pelampiasan
nafsu bejat pelakunya. Sedih, marah, mengelus dada dan prihatin bercampur baur
mengaduk emosi. Jaman yang sudah sedemikian maju ternyata dibarengi dengan
maraknya tidakan asusila. Siapa yang salah?
Di
sisi lain masa lalu para pelaku adalah korban pelecehan seksual juga, lalu
bagaimana memutuskan mata rantai ini agar anak anak korban kekerasan seksual
saat ini tak “balas dendam” suatu saat kelak?
Orang Tua Adalah Sekolah Pertama
Pendidikan
agama memegang peranan sebagai pembentuk karakter, orang tua masa kini berlomba
mencari sekolah dengan nama berbau agama tersebar di mana mana. Tetapi yang
musti lebih dalam direnungkan adalah dalam sehari berapa lama anak berada di
sekolah dan berapa lama waktu di luar sekolah (rumah dan lingkungan luar
sekolah). Ilmu yang didapatkan disekolah haruslah berkesinambngan dengan
praktek yang ada di luar sekolah.
Peran
orang tua sangatlah besar pada point ini, ayah dan bunda adalah teladan utama
bagi anak anaknya. Ketika di sekolah anak diberi asupan ilmu tentang ibadah
yang baik dan tata karma serta perkataan yang bermanfaat, akan menjadi sinkron
apabila anak melihat praktek ilmu itu pada perilaku sehari hari orang
terdekatnya yaitu ayah dan bundanya.
Dalam pandangan al-Qur'an tidak semua aksi
yang menimbulkan ketakutan dan kengerian terlarang, tentunya yang dibarengi
dengan kemampuan dan kekuatan yang memadai sehingga dapat menampilkan misi
risalah tanpa mencederai dan melukai sasaran. Sebab, dalam pandangan Islam,
menyebarkan risalah Islam adalah sebuah keharusan, demikian pula memelihara
simbol-simbol keagamaan. Itu tidak dapat terlaksana tanpa kekuatan dan kemajuan
yang menggentarkan lawan/musuh sehingga tidak menyerang. Dengan pengertian ini,
memiliki kekuatan untuk 'menggentarkan' lawan demi tersebarnya risalah
kedamaian adalah sebuah keharusan, tentunya dengan cara-cara yang konstruktif.
Sebaliknya, aksi teror yang menimbulkan kengerian dengan menggunakan cara-cara
destruktif; merusak fasilitas umum, mengancam jiwa manusia tak berdosa,
mengganggu stabilitas negara dan lainnya tertolak dalam pandangan Islam.
Al-Qur'an dengan tegas
menyebut beberapa tindakan kekerasan yang mengarah pada hal-hal yang
negatif/destruktif aan mengecam serta mengancamnya dengan balasan yang
setimpal, antara lain melalui kata:
1.
Al-Baghy seperti tersebut pada QS. al-Nahl [16]: 90. Melalui ayat ini,
al-Qur'an melarang umat Islam untuk melakukan permusuhan dengan tindakan yang
melampaui batas, sebab menurut al-Ashfahani, al-baghy berarti melampaui
batas kewajaran.[1]
2.
Thughyan seperti pada QS. Hud [11]: 112. Allah berfirman:
"Maka tetaplah kamu pada jalan yang benar, sebagaimana
diperintahkan kepadamu dan (juga) orang yang telah taubat beserta kamu dan
janganlah kamu melampaui batas. Sesungguhnya Dia Maha Melihat apa yang kamu
kerjakan."
Kata thughyan pada
mulanya digunakan untuk menggambarkan ketinggian puncak gunung, tetapi dalam
perkembangannya ia digunakan untuk segala sesuatu yang melampaui batas
ketinggian seperti ungkapan thaghdl ntd'u yang berarti air meluap.[2] Demikian
pula orang yang sombong, angkuh, dan zalim diungkapkan dengan thdghiyah atau
thaghut. Sikap ini sangat dikecam oleh al-Qur'an seperti pada QS.
an-Naba' [78]: 22 yang menjanjikan balasan keras berupa neraka jahannam bagi
orang-orang yang melampaui batas (thaghin).
Pakar tafsir asal Tunisia,
Ibnu 'Asyur, menjelaskan, ungkapan Id tathghaw pada QS. Hud [11]: 112 di
atas mencakup larangan untuk melakukan segala bentuk kerusakan (ushul
al-mafdsid). Dengan demikian, ayat tersebut menghimpun upaya mencapai
kemaslahatan melalui sikap istiqdmah, konsisten pada prinsip-prinsip
agama, dan menghindari berbagai kerusakan yang tergambar dalam kata thughyan.[3]
3. Azh-Zhulm (kezaliman)
Kata ini dan derivasinya
disebut dalam al-Qur'an sebanyak 315 kali. Pengertiannya yang populer seperti
dikeinukan para penyusun Mu'jam Alfdzh al-Qur'an al-Karim adalah
meletakkan atau melakukan sesuatu tidak pada tempatnya, baik berupa kelebihan
atau kekurangan. Karena itu melampaui atau menyeleweng dari kebenaran juga
disebut zhulm, dan dapat terjadi dalam hubungan manusia dengan Tuhan
dalam bentuk kekafiran atau syirik (QS. Luqman [31]: 17) dan kemunafikan, dalam
hubungan antara manusia dan manusia dalam bentuk penganiayaan atau lainnya (Q5.
asy-Syura [42]: 42), dan dalam hubungan antara manusia dan dirinya (QS. Fathir
[35]: 32).
Dalam banyak ayat disebutkan ancaman bagi para pelaku kezaliman
yaitu siksa dan balasan yang menistakan (lihat: QS. al-Furqan [25]: 19; QS.
asy-Syu'ara' [26]: 227; QS. az-Zukhruf [43]:
65). Dalam sebuah Hadits qudsi, Allah dengan tegas melarang
kezaliman. Allah berfirman, "Wahai hamba-hamba-Ku, Aku telah mengharamkan
kezaliman untuk diri-Ku, dan Aku tetapkan kezaliman bagi kalian sebagai sesuatu
yang haram/terlarang dilakukan, maka janganlah kalian saling menzalimi."[4]
4. Al-'Udwan (Permusuhan)
Kata 'udwdn dan
derivasinya berasal dari akar kata yang terdiri atas huruf 'ain-ddl-waw yang
makna asalnya 'lari'. Sebab, dengan berlari orang dapat melampaui sesuatu,
sehingga segala tindakan melampaui batas dan kebenaran juga disebut dengan 'udwdn
atau 'addwah. Dengan demikian, ia juga dapat bermakna kezaliman yang
juga sangat terlarang (lihat: QS. al-Baqarah [2]: 19; QS. al-Ma'idah [5]: 87).
5. Al-Qatl (Pembunuhan)
Di atas telah disinggung,
aksi kekerasan pertama yang terjadi dalam sejarah kemanusiaan adalah pembunuhan
atau penganiayaan terhadap jiwa manusia tak bersalah. Membunuh satu jiwa tak
berdosa dipersamakan dengan membunuh umat manusia (QS. al-Ma'idah [5]: 32).
Balasan yang disadiakan bagi orang yang dengan sengaja melakukan pembunuhan
sangatlah berat. Dalam QS. an-Nisa' [4]: 93 disebutkan, siapa saja yang dengan
sengaja membunuh saudaranya yang "Mukmin akan disediakan neraka jahannam
untuk ditempati selaina-lamanya, akan dimurkai dan dilaknat oleh Allah dan akan
mendapatkan siksa yang pedih dan menistakan.
6. Al-Hirdbah
Sebuah term dalam al-Qur'an
yang paling dekat dengan pengertian terorisme dalam pengertian modern adalah al-kirdbah.
Dalam kitab Hdsyiyat Qalyubi wa 'Umayrah, kata al-hirdbah didefinisikan
dengan, "aksi perampokan, atau pembunuhan, atau menimbulkan kecemasan dan
kekacauan".[5] Sayyid
Sabiq dalam Fiqh as-Sunnah mendefinisikannya dengan, "Aksi
kekerasan dan bersenjata yang dilakukan oleh sekelompok orang dalam sebuah
negara dengan tujuan menciptakan kekacauan dan ketidak-stabilan dalam negeri,
pertumpahan darah, perampasan harta, perenggutan harga diri dan perusakan
terhadap lingkungan dan kelangsungan hidup manusia".[6] Termasuk
dalam kategori al-hirabah, masih menurut Sayyid Sabiq, mafia pembunuhan,
penculikan anak, perampokan bank dan rumah, penculikan wanita untuk prostitusi,
pembunuhan tokoh politik dengan tujuan mengganggu stabilitas keamanan,
pembalakan hutan dan perusakan lingkungan yang mengganggu flora dan fauna.
Al-Qur'an mengecam keras
aksi al-hirdbah, dan menganggapnya sebagai tindakan memusuhi atau
memerangi Allah dan Rasul-Nya. Atau dengan kata lain, terorisme dengan
pengertian negatif dan destruktif yang membawa kerusakan di muka bumi
dipersamakan dengan perlawanan terhadap Allah dan rasul-Nya. Karena itu, sanksi
yang disediakannya pun sangat berat, sesuai dengan tingkat beratnya perbuatan.
Dalam QS. al-Ma'idah [5]: 33 dijelaskan beberapa bentuk sanksi yang disediakan
sesuai dengan tingkat kriminalitas yang dilakukannya, yaitu:
a.
Hukuman mati bagi yang membegal dan membunuh nyawa manusia;
b.
Hukuman mati dengan penyaliban bagi yang membunuh dan merampas harta;
c.
Potong tangan atau kaki bagi yang merampas harta tetapi tidak membunuh;
d.
Pengasingan (al-nafy) bagi pembegal yang menimbulkan kengerian dan
kecemasan bagi orang lain tetapi tidak merampok dan membunuh.
Dari beberapa term di atas
dapat disimpulkan, Islam menentang segala bentuk kekerasan, kecuali jika berada
dalam tekanan kezaliman pihak lain. Dalarn kondisi itu pun Allah memerintahkan
umat Islam menahan diri untuk menggunakan kekuatan dan kekerasan, dan hanya
diperkenankan untuk membalas perbuatan dengan setimpal dan untuk mengembalikan
situasi kepada keadaan yang normal atau kembali seimbang. Allah berfirman dalam
QS. an-Nahl [16]: 126:
"Dan jika kamu memberikan balasan, maka balaslah dengan
balasan yang sama dengan siksaan yang ditimpakan kepadamu. Akan tetapi, jika
kamu bersabar, sesungguhnya itulah yang lebih baik bagi orang-orang yang
sabar".
Dengan melihat sebab
pewahyuan (sabab al-nuzul) ayat di atas, akan tampak jelas metode
al-Qur'an agar menahan diri dan tidak menggunakan kekuatan dalam menyikapi aksi
kekerasan kecuali dalam keadaan terpaksa. Menurut sebuah riwayat, Rasulullah
saw. sangat marah atas terbunuhnya Hamzah, paman beliau dalam perang Uhud
secara tidak wajar menurut ukuran kemanusiaan. Dengan rasa sedih dan murka
Rasulullah berkata, "Dengan nama Allah, kematian Hamzah akan kubalas
dengan membunuh 70 orang dari pasukan musuh". Janji itu tidak dilaksanakan
oleh Rasulullah, dan Allah pun tidak membiarkannya melakukan itu, tetapi
melalui wahyu seperti pada ayat di atas Allah menetapkan metode pengendalian
diri dalam peperangan. Setelah ayat di atas turun, Rasulullah lalu mengatakan,
"Kami memilih bersabar ya Allah".[7]
Melalui ayat ini, al-Qur'an
menjelaskan, hanya ada dua cara menghadapi kekerasan; membalas dengan yang
setimpal tanpa melampaui batas dan bersabar, tetapi jalan yang kedua, yaitu
sabar, yang sangat dianjurkan.
Jika dalam keadaan terpaksa
al-Qur'an masih memberikan aturan, apalagi dalam kondisi tidak memerlukan
kekerasan atau kekuatan. Islam melarang keras penggunaan segala bentuk
kekerasan, termasuk intimidasi atau upaya menimbulkan kengerian dan kecemasan;
baik terorganisir maupun tidak; terang-terangan dalam bentuk pembunuhan,
penyiksaan dan lainnya maupun tersebunyi seperti tekanan ekonomi atau sosial;
dari penguasa maupun dari rakyat jelata. Semuanya terlarang. Bahkan,
menimbulkan kecemasan dan rasa tidak nyaman pada orang lain, walaupun sekadar
bercanda juga terlarang. Dalam sebuah riwayat Amir bin Rabi'ah, suatu ketika
ada seseorang yang mengambil sandal orang lain dengan maksud bercanda. Setelah
peristiwa itu dilaporkan kepada Rasulullah, beliau bersabda: "Jangan
membuat seorang Muslim cemas, sebab membuat seorang Muslim cemas adalah sebuah kezaliman
yang luar biasa".[8]
Islam melarang menimbulkan kengerian (teror) pada orang lain
dengan hanya sekadar mengangkat dan mengacungkan senjata/pedang. Rasulullah
saw. bersabda:
"Seseorang tidak boleh mengacungkan/'mengangkat senjata ke
hadapan orang lain. Karena boleh jadi dia tidak tahu setan akan mengendalikan
tangannya yang dengannya ia dapat membunuh sehingga terjerumus ke neraka”.[9]
Bahkan sekadar melihat
orang lain dengan pandangan yang menakutkan juga dilarang dalam Islam. Dalam
kesempatan lain Rasulullah bersabda:
"Barangsiapa memandang orang lain dengan pandangan menakutkan
tanpa alasan yang benar, maka dia akan diperlakukan yang sama berupa pandangan
yang menakutkan dari Tuhan di hari kiamat".[10]
Karena itu, salah satu
bentuk sedekah kepada orang lain adalah pandangan dan senyuman manis kita di
hadapan orang lain, demikian sabda Rasul.
Dalam pandangan al-Qur'an
semua manusia yang hidup telah diberi kemuliaan (takrim) oleh Allah swt.
berupa hak-hak yang harus dihormati, terlepas dari perbedaan agama, jenis
kelamin, ras, dan suku (QS. al-Isra' [17]: 70)
[5] Hasyiyat Qalyubj wa 'Umayrah 'ala
Syarh Jalaluddtn al-Mahalli 'ala Minhaj at-Thalibm li an-Nawawi, (Kairo: Dar
Ihya' al-Kutub al-'Arabiyyah, Isa al-Babiy al-Halabi), 4/198.
[9] Diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam
Shahib-nya, Kitab al-Birr wa at-Shilah, Bab an-Nahyi 'an al-lsyarah bi
asb-Shilah, 13/42.
Oleh
: Dr. Eni Purwati
Pendahuluan
Tak seorangpun menginginkan terjadinya tindak kekerasan,
apalagi di lembaga pendidikan yang sepatutnya menyelesaikan masalah secara
damai dan edukatif. Namun kenyataannya masih banyak, bahkan hampir semua
sekolah/madrasah belum dapat memberikan hak anak, bahkan melakukan kekerasan
terhadap anak. Tanpa disadari hal tersebut merupakan pelanggaran terhadap
Undang-undang Republik Indonesia nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak
dan Deklarasi PBB tentang hak-hak anak
Hukuman secara fisik dan emosional dari guru terhadap murid
merupakan hal yang lumrah terjadi di dalam sistem pendidikan di Indonesia.
Banyak guru biasa mencubit, memukul anak-anak bahkan menghina mereka, baik di
sekolah-sekolah negeri maupun sekolah yang berbasis keagamaan. Kadang guru tidak
menyadari bahwa hal ini sebetulnya terlarang dalam hukum Indonesia.
Undang-undang Perlindungan Anak No. 23, bab 54 secara tegas menyatakan bahwa
guru dan siapapun lainnya di sekolah dilarang untuk memberikan hukuman fisik
kepada anak-anak. Terlebih lagi Indonesia merupakan salah satu penanda tanganan
dari konversi PBB untuk Hak-hak Anak, disebutkan dalam artikel 37 yang
mengharuskan negara menjamin bahwa: ”Tak seorang anakpun boleh mendapatkan
siksaan atau kekejaman lainnya, tindakan tidak manusiawi ataupun perlakuan yang
merendahkan atau hukuman”. Meski demikian, tampaknya undang-undang tersebut
belum dipahami oleh kebanyakan pelaku pendidikan, hal ini sebagaimana laporan
penelitian Ibu Nur Hidayati, dkk, dari penelitian lapangan terhadap 8 Madrasah
Ibtidaiyah di propinsi Riau ditemukan bahwa hukuman jasmani lumrah terjadi di
semua madrasah yang dituju, dengan kisaran antara 50% - 80%, anak-anak
melaporkan bahwa mereka pernah mengalami hal ini dari guru-guru mereka secara
rutin.[1]
Ibarat gunung es, kasus di atas baru di permukaan. Masih
banyak tindak kekerasan dalam pendidikan yang tidak tampak. Demikian rapuhnya
dunia pendidikan kita, hingga aksi kekerasan dan pelanggaran HAM para pelajar,
para remaja, para penerus generasi bangsa terus meningkat.
Hak
Anak dalam Pendidikan
Dalam Deklarasi Universal HAM (Universal Declaration of
Human Rights) Pasal 1 disebutkan bahwa setiap orang berhak
mendapatkan pendidikan. Pendidikan hendaknya diselenggarakan secara bebas
(biaya), sekurang-kurangnya pada tingkat dasar. Di samping itu, pendidikan
dasar haruslah bersifat wajib; pendidikan keahlian dan teknik hendaknya dibuat
secara umum dapat diikuti oleh peminatnya; dan pendidikan tinggi hendaknya
dapat diakses secara sama bagi semua orang atas dasar kelayakan.
Dalam
Pasal 2 Deklarasi HAM juga dinyatakan bahwa pendidikan hendaknya diarahkan
untuk mengembangkan secara utuh kepribadian manusia dan memperkokoh
penghormatan terhadap HAM dan kebebasan asasi. Pendidikan hendaknya mendorong
saling pengertian, toleransi, dan persahabatan antar berbagai bangsa tanpa
memandang perbedaan ras dan agama, dan hendaknya meningkatkan kegiatan PBB
untuk memelihara perdamaian.
Sedangkan pada Pasal 3 disebutkan bahwa orang tua memiliki
hak utama untuk menentukan jenis pendidikan yang semestinya diberikan kepada
anak-anak mereka. PBB menindaklanjuti pasal-pasal ini melalui berbagai kegiatan
untuk memelihara perdamaian dunia. Dengan kata lain, pendidikan damai adalah
upaya menyeluruh PBB melalui proses belajar mengajar yang humanis, dan para pendidik
damai yang memfasilitasi perkembangan manusia. Mereka berjuang melawan proses
dehumanisasi yang ditimbulkan akibat kemiskinan, prasangka diskriminasi,
perkosaan, kekerasan, dan perang.
Dalam upaya global, para pendidik berupaya memajukan
pengajaran nilai, standar dan prinsip yang terwujud dalam instrumen sebagaimana
Pemusnahan Semua Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan (Convention on
Elimination of all Form of Discrimination Against Women, CEDAW),[2]Descrimination Based on Religion or Belief).[3] Konvensi Hak Anak (Convention on the
Rights of the Child, CRC), dan Deklarasi Sedunia tentang Pendidikan untuk
semua (Education for all).
Secara khusus dalam CRC terdapat empat prinsip dasar dalam
menyelenggarakan pendidikan yang dapat memenuhi hak anak, yaitu: non-discrimination
(non diskriminasi), the best interests of the child (kepentingan
terbaik bagi anak), the right to life, survival and development (hak
hidup, kelangsungan hidup dan perkembangan), dan respect for the views of
the child (penghargaan terhadap pendapat anak).
Pertama, Non-Discrimination. Yang dimaksud non diskriminasi
adalah penyelenggaraan pendidikan anak yang bebas dari diskriminasi dalam
bentuk apapun, tanpa memandang etnis, agama, jenis kelamin, ekonomi, keluarga,
bahasa dan kelahiran serta kedudukan anak dalam status keluarga. Untuk
mengimplementasikan prinsip ini pemerintah memiliki kewajiban untuk mengambil
langkah-langkah yang layak.[4]
Kedua, The Best Interests of The Child. Yang dimaksud dengan prinsip Kepentingan Terbaik bagi Anak
adalah dalam semua tindakan yang menyangkut anak yang dilakukan oleh
lembaga-lembaga pendidikan, kesejahteraan sosial pemerintah maupun swasta,
lembaga peradilan, badan legislatif, dan badan yudikatif, maka kepentingan yang
terbaik bagi anak harus menjadi pertimbangan utama.[5]
Ketiga, The Right to Life, Survival and Development.Yang dimaksud dengan prinsip hak hidup, kelangsungan hidup
dan perkembangan adalah hak asasi yang paling mendasar bagi anak yang harus
dilindungi oleh negara, pemerintah, masyarakat, keluarga dan orangtua.[6] Karena itulah KHA memandang pentingnya pengakuan serta
jaminan dari negara bagi kelangsungan hidup dan perkembangan anak, seperti
dinyatakan dalam pasal 6 ayat 1, bahwa negara-negara peserta mengakui bahwa
setiap anak memilki hak yang melekat atas kehidupan (inherent right to life)”,
serta ayat 2 “ negara-negara peserta secara maksimal mungkin akan menjamin
kelangsungan hidup dan perkembangan anak (survival and development of
child)”.[7]
Keempat, Respect for The Views of The Child. Yang dimaksud dengan penghargaan terhadap pendapat anak
adalah penghormatan atas hak-hak anak untuk berpartisipasi dan menyatakan
pendapatnya dalam pengambilan keputusan terutama jika menyangkut hal-hal yang
mempengaruhi kehidupannya.[8]
Pembelajaran
Berbasis Pemenuhan Hak Anak
a.
Menciptakan suasana kondusif
Suasana yang kondusif akan meningkatkan minat dan motivasi
belajar anak. Oleh karenanya, suasana yang kondusif perlu terus dijaga ketika
proses pembelajaran dan latihan dilakukan. Sebab dengan suasana tersebut
internalisasi nilai dan sikap menjadi efektif. Bila dijumpai perusak suasana
hendaklah segera diatasi agar tidak merusak keseluruhan proses. Dari sebuah
penelitian menunjukkan bahwa lingkungan sosial atau suasana kelas merupakan penentu
utama psikologis yang mempengaruhi belajar akademis. Di samping itu, guru akan
mencapai hasil lebih tinggi jika mereka mampu menyingkirkan segala amcam
ancaman, melibatkan emosi siswa dan membangun hubungan yang humanistik.[9]
Bobbi dePorter menyarankan terpenuhinya enam suasana agar
dapat membangkitkan minat, motivasi, dan keriangan anak mengikuti proses
belajar. Pertama, menumbuhkan niat belajar. Keyakinan seseorang mengenai
kemampuan dirinya amat berpengaruh pada kemampuan itu sendiri. Dalam proses belajar-mengajar,
baik guru maupun siswa hendaknya dapat membangkitkan niat tersebut dari dalam
dirinya sendiri. Bila dijumpai siswa yang kurang bersemangat, maka mentalitas
guru terhadap iklim belajar akan menjadi teladan dan berpengaruh bagi
keseluruhan proses belajar. Memperhatikan emosi siswa juga dapat membantu
percepatan pembelajaran mereka. Bila niat tidak mudah tumbuh dari dalam diri
sendiri, dorongan orang lan, dalam hal ini terutama guru, amat diperlukan, agar
tidak mempengaruhi semangat belajar yang lain.
Kedua, menjalin
rasa simpati dan saling pengertian untuk menumbuhkan kepedulian sosial, sikap
toleransi dan saling menghargai di antara siswa. Ada beberapa langkah yang bisa
ditempuh, seperti:
- Memperlakukan siswa sebagai manusia sederajat
- Mengetahui apa yang disukai siswa, cara pikir mereka, dan perasaan mereka mengenai hal-hal yang terjadi dalam kehidupan mereka
- Membayangkan apa yang siswa lakukan
- Mengetahui hal yang menghambat para siswa dalam memperoleh hal yang benar-benar mereka inginkan. Jika guru memang tidak mengetahui hal yang diinginkan siswa, maka sebaiknya ditanyakan kepada siswa. Hindari sejauh mungkin sikap sok tahu.
- Berbicara dengan jujur kepada para siswa dengan cara yang membuat mereka mendengarkan dengan jelas dan halus.
- Melakukan kegiatan yang menyenangkan bersama para siswa.
Ketiga,
menciptakan suasana riang. Kegembiraan membuat siswa lebih mudah untuk belajar
dan bahkan dapat mengubah sikap negatif. Belajar dalam iklim menyenangkan,
tanpa ada paksaan dan tekanan, akan menimbulkan kesadaran untuk menemukan
sendiri jawaban atas persoalan yang dihadapi. Sebaliknya suasana tegang dan
tertekan mengakibatkan siswa belajar dengan terpaksa. Menciptakan suasana riang
dapat dilakukan dengan membiasakan membuat selingan. Misalkan, bertepuk tangan,
berteriakan ‘hore’ menghentikkan jari, menulis poter, membuat catatan pribadi,
membuat kejutan, pengakuan atas prestasi siswa, pujian maupun penguatan. Hal
terpenting dar langkah ini adalah menjaga suasana riang agar tidak berubah
menjadi senda gurau.
Keempat, mengambil
risiko. Sebagai gambaran, kita bisa mengingat saat-saat belajar naik sepeda di
masa kecil? Pada mulanya susah,…namun terus dicoba. Kadang kala jatuh, tapi
masih tetap mau bangun. Tidak jarang terluka karena kurang hati-hati. Memang berisiko,
tetapi tetap menyenangkan. Keberanian mengambil risiko yang menantang itulah
terletak keasyikan belajar. Hal-hal itulah yang hendaknya diwujudkan dalam
suasana belajar di ruang kelas: tidak mudah menyerah, terus berpikir untuk
memecahkan masalah. Belajar dengan tantangan bisa mengurangi kejenuhan dan rasa
bosan.
Kelima,
menciptakan rasa saling memiliki. Sebab, rasa saling memiliki membentuk
kebersamaan, kesatuan, kesepakatan dan dukungan dalam belajar. Rasa saling
memiliki juga memeprcepat proses mengajar dan meningkatkan kepemilikan.
Kebanyakan konflik kekerasan yang muncul adalah akibat ketiadaan rasa saling
memiliki. Pendidikan damai amat mementingkan kebersamaan, kesatuan dan
kesepakatan bersama untuk saling menghargai perbedaan dan menyelesaikan konflik
tanpa keerasa.
Keenam,
menunjukkan teladan yang baik. Perilaku nyata akan lebih berarti daripada
seribu kata. Hal-hal yang diperbuat oleh guru akan menjadi cermin bagi para
murid. Untuk itu, sebaiknya mendahulukan bukti-bukti berupa sikap, sikap damai,
kasih sayang, empati, disiplin dna lain sebagainya, sebelum mengajarkan dengan
kata kepada orang lain tentang damai, kasih sayang dan seterusnya.
Langkah ini bisa dilakukan dengan beberapa cara berikut.
- Memberikan teladan dalam wujud komunikasi yang jelas
- Mengakui setiap usaha siswa
- Murah senyum
- Menggunakan energi untuk menciptakan lebih banyak energi
- Menjadi pendengar yang baik
- Mengungkapkan pikiran para siswa melalui kata-kata Anda sendiri.
- Menyatakan kembali situasi negatif untuk menemukan hal-hal yang positif di dalamnya.
b.
Meningkatkan kualitas emosi positif
Contoh-contoh kualitas emosi positif adalah sikap jujur,
toleransi, saling menghargai, empati terhadap sesama, rasa percaya diri, sabar,
dan sebagainya. Emosi positif ini umumnya dimiliki oleh siswa atau remaja dari
interaksi sosialnya, seperti keluarga, sekolah dan pergaulan mereka di tengah
masyarakat. Pendidikan keluarga yang baik akan mendukung keberhasilan anak atau
remaja di sekolah. Begitu pula halnya dengan masyarakat. Ketiganya berinteraksi
secara sinergis, saling mempengaruhi. Anak yang pembohong umumnya berasal dari
keluarga yang suka bohong. Sebaliknya, keluarga yang hidup membiasakan
kejujuran, rasa tolerasi, saling menghargai, percaya diri sabar dan lain-lain.
Menyebabkan anak atau remaja akan terpola dengan kualitas emosional tersebut.
Kualitas emosional yang demikian sepatutnya ditingkatkan melalui pendidikan
formal di sekolah.
Pendidikan berfungsi menanamkan kualitas emosi positif
kepada peserta didiknya. Proses internalisasi nilai positif bukanlah
pengetahuan tentangnya, seperti memperkenalkan apa itu jujur, bagaimana konsep
toleransi, atau menjelaskan apa itu empati. Sama sekali bukan pengetahuan
tentangnya. Proses internalisasi nilai positif adalah penciptaan suasana, teladan,
penerapan strategi belajar dan interaksi sosial dalam komunitas pendidikan.
Penanaman kualitas emosi positif berguna bagi pembentukan watak (character
building)
Membangun watak tergolong dalam hidden curriculum yang
pencapaiannya bergantung pada proses pendidikan ketimbang pada substansinya.
Watak tidak dapat diajarkan, melainkan diperoleh melalui pengalaman anak yang
perlu dilatih. Model pembiasaan akan menghasilkan pengalaman yang dapat
membangun watak. Karenanya, yang perlu dikontrol adalah kondisi yang memberikan
pengalaman belajar mereka.
Pembangunan watak dan model lebih efektif diperoleh melalui
cara dialogis, dengan jalan mendiskusikan kasus nyata. Menurut Paulo Freire,
untuk menjadikan pendidikan itu bermakna, maka paradigma yang digunakan
harus diarahkan kepada pendidikan dialogis dan transformatif. Pendidikan dengan
nilai transformatif menghasilkan sumber daya dengan kinerja yang mandiri, tidak
perlu dikontrol, produktif, dapat mengendalikan diri (dalam mengawali dan
mengakhiri pekerjaan, dalam menciptakan dan melaksanakan pekerjaan, dan dalam
menyelesaikan pekerjaan).
Berikut ini akan diuraikan beberapa kualitas emosi positif
dan imbangnya. Tatkala seseorang tidak memiliki emosi positif tersebut maka
yang berkembang kemudian adalah karakter negatif.
Pertama, jujur
dan hukuman. Apabalia seorang anak mau mengakui secara jujur atas perbuatannya
yang salah, sebaiknya ia diperlakukan secara arif, bukan dibalas dengan
kemarahan. Misalnya, santi, seorang siswi kelas IV SD, tidak mengerjakan PR. Guru
akan bertanya kepadanya mengapa ia tidak mengerjakan PR. Jika santi dengan
jujur mengatakan bahwa ia lupa, maka sang guru hendaknya dengan arif
mengingatkan agar tidak mengulangi kealpaannya, misalnya dengan membiasakan
menyelesaikan tugas ketika ada kesempatan dan tidak menunda-nundanya. Bukan
dengan memarahi, apalagi menghukum secara fisik. Sifat lupa adalah alamiah, dan
karenanya tidak sepatutnya seseorang mendapat hukuman tidak mendidik atas
kealpaannya. Meskipun demikian, tugas adalah sebuah amanat yang harus
dikerjakan. Santi bisa dibimbing untuk mengerjakan PR dengan cara damai, tanpa
kekerasan.
Jika cara kekerasan ditempuh, misalnya menghukum santi
karena tidak mengerjakan PR, maka suatu saat apabila santi terlupa lagi
mengerjakan PR, ia bisa berbohong, mencari alasan lain sehingga sang guru tidak
memberi hukuman. Jika alasan berbuat sesuatu disampaikan secara jujur oleh
seorang anak dan ia harus mendapatkan kecaman dan hukuman, maka anak tersebut
akan mencari jalan untuk menutupi kesalahannya agar tidak dikecam atau dihukum.
Bila santi pamit kepada orang tuanya bahwa ia keluar rumah untuk bermain
kerumah temannya akan dimarahi, maka bisa saja santi berbohong dengan
mengatakan keluar rumah untuk belajar bersama dengan temannya. Akibatnya, watak
bohong akan melekat dalam dirinya karena orang tuanya sudah tidak menghormati
terhadap kejujurannya. Lagi pula perlakuan hukum-menghukum ini akan dipahami
sebagai jalan pintas untuk mengatasi masalah. Bisa dibayangkan bagaimana
jadinya jika santi di kemudian hari menjadi guru, dan muridnya melakukan
kesalahan? Tentulah terbayang di benak kita bahwa Santi akan menempuh cara
hukuman ini untuk mengatasi masalahnya. Penerapan hukuman bagaimanapun
berpotensi menimbulkan kekerasan.
HUKUMAN
DITEMPUH SEBAGAI ALTERNATIF YANG PALING AKHIR,
Apakah ini berarti bahwa hukuman itu tidak perlu diberikan?
Tentu tidak demikian maksudnya. Hukuman ditempuh sebagai alternatif yang paling
akhir, setelah proses bimbingan, sindiran, teguran, peringatan lisan dan
tertulis, dan skorsing sudah tidak efektif lagi, sementara kesalahan yang
dilakukan tergolong berat dan bila dibiarkan dapat menular kepada yang
lain. Jika demikian halnya, maka sekolah dalam hal ini guru, bisa menempuh cara
hukuman untuk menjadikan kualitas emosional anak tidak terus-menerus dalam
karakter negatif. Hukuman yang diberikan pun harus bersifat edukatif, bukan
semata-mata bersifat fisik, apalagi dilakukan dengan rasa dendam dan kebencian.
Lagi pula tidak semua kesalahan harus berakhir dengan hukuman.
Kedua, bersikap
toleran, tidak memaksakan untuk terjadinya bentrokan. Sikap toleran amat mudah
diucapkan tetapi sulit untuk dilakukan. Toleransi berarti mendiamkan, atau
membiarkan suatu perbuatan, sikap atau pendapat orang lain yang berbeda dengan
perbuatan, sikap atau pendapat diri sendiri, meski ada perbedaan secara
diametral sekalipun. Dalam bahasa Jawa toleransi disebut sebagai tepa selira,
yakni menjaga perasaan orang lain agar ia tidak tersinggung.
Perilaku mendiamkan atau membiarkan tersebut dilakukan dengan
kesadaran bahwa seseorang perlu menempatkan perbuatan, sikap dan pendapat orang
lain sebagai hal yang berbeda dengan perbuatan, sikap dan pendapat orang
tersebut. Dengan kesadaran toleransi atau tepa selira tadi, bila suatu
saat nanti terjadi suatu konflik antar sesama, maka win-win solution
akan lebih mudah dicapai, karena masing-masing pihak dapat memahami perbuatan,
sikap atau pendapat orang lain. Inti dari toleransi adalah menghargai
perbedaan, dan membiarkan kondisi berbeda tersebut seperti apa adanya. Jadi,
toleransi adalah agree in disagreement. Perdamaian diperoleh melalui
sikap saling mengerti dan toleransi ini. Sebaliknya, bila orang sudah tidak
lagi menyadari arti perbedaan, maka potensi konflik dapat berubah sewaktu-waktu
menjadi bentuk-bentuk kekerasan.
Menghargai perbedaan berarti sikap untuk menerima kehadiran
orang lain di tengah kehidupan kita secara kolektif, learning to live
together. Sekedar contoh, salah satu SMU di Virginia, Amerika Serikat,
menghimpun para siswa yang berasal dari 85 negara di dunia yang berbeda agama,
bangsa, bahasa, budaya, ras dan lain-lain. Contoh lainnya, International
Islamic University malaysia yang berdiri sejak 1983 setelah gagasan
Islamisasi Ilmu diterima dan diaplikasikan oleh beberapa negara Islam. Universitas
ini menerima perwakilan dari 32 negara dan 30% di antaranya berasal dari luar
negeri.
Dalam proses belajar-mengajar, sikap toleransi dapat
ditumbuhkan melalui berbagai metode pembelajaran. Jika Pak Fuad di
tengah-tengah mengajarnya, memberi waktu luang untuk tukar pendapat, diskusi,
atau tanya jawab untuk bertanya, membahas, usul, mengkritik atau bahkan menolak
pendapatnya mengenai suatu masalah, dan itu dliakukan secara rasional dengan
menghargai perbedaan pendapat di antara peserta didik, maka dengan demikian Pak
Fuad telah berupaya menanamkan sikap toleransi di antara para muridnya. Lebih
dari sekedar pengetahuan tentang apa itu toleransi, untuk apa toleransi dan
bagaimana cara bertoleransi, Pak Fuad telah memberi teladan melalui metode
mengajarnya tadi, memberi contoh konkrit bersikap toleransi. Bila setiap kali
mengajar Pak Fuad bersikap demikian, …bila semua guru bersikap demikian, …bila
semua sekolah bersikap demikian, …dan bila semua orang bersikap demikian,
…toleransi menjadi bagian dari kehidupan, maka budaya damai (culture
of peace) akan mudah dicapai.
Ketiga, empati
antipati. Dalam Emotional Intellegence, Daniel Goleman menyebut empati
sebagai “keterampilan dasar manusia” . Orang yang memiliki empati, kata
Goleman, “adalah pemimpin alamiah yang dapat mengekspresikan dan
mengartikulasikan sentimen kolektif yang tidak terucapkan, untuk membimbing
suatu kelompok menuju cita-citanya”. Hasil pengujian terhadap lebih dari 7000
orang di Amerika Serikat dan 18 negara lain menunjukkan bahwa manfaat empati
antara lain adalah orang menjadi lebih stabil secara emosional, lebih populer,
lebih ramah dan lebih berhasil dalam percintaan.[10]
Menurut Thomas Hatch dan Howard Gardner, empati adalah bagian penting untuk
pesona, sukses sosial bahkan kharisma. Empati mewujud pada perasaan maupun
pemahaman pemikiran seseorang dengan cara menempatkan diri atau ikut merasakan
perasaan orang lain tanpa merasakan yang sebenarnya. Seorang yang berempati
cenderung merasakan sesuatu yang dilakukan orang lain andai ia berada
dalam situasi yang dialami oleh orang lain tersebut. Melalui empati, orang
menggunakan perasaannya secara efektif di dalam situasi orang lain, didorong
oleh emosinya seolah-olah ia ikut ambil bagian dalam gerakan-gerakan yang
dilakukan orang lain, feeling into a person or thing.
Untuk lebih jelasnya, berikut sebuah contoh tentang
empati. Bila anda penggemar sepak bola, anda akan bersedia bangun pukul 1
malam, saat orang lain lagi tidur nyenyak, untuk menyaksikan kompetisi sepak
bola. Seolah tidak ingin ketinggalan, tiap langkah pemain dan gerakan bolanya
anda ikuti dengan seksama. Terlebih bila anda menjagokan salah satu regu atau
klub bintang anda, pastilah anda amat berharap terjadi tendangan gol ke kubu
lawan. Setelah lama waktu pertandingan berlangsung, anda tidak malah bosan,
melainkan makin antusias, penasaran dan berharap-cemas agar idola anda menang.
Jika pada detik-detik terakhir klub pilihan anda mencetak gol, dengan penuh
semangat anda beranjak dari tempat duduk seraya melompat dan bersorak gembira.
Saat pertandingan usai, dan keadaan pun tenang kembali, ketahuilah bahwa
gerakan emosional anda itu termasuk empati. Anda merasakan kemenangan dan
kegembiraan yang sama sebagaimana dirasakan oleh pencekatk gol, bahkan bisa
lebih, padahal anda bukan pencetak gol. Anda sekedar penggemar sepak bola, dan
bisa jadi anda berada ribuan mil dan stadion sepak bola tersebut.
Empati, jika diberikan kepada semakin banyak orang maka ia
akan berubah menjadi welas asih yang membangun. Dengan empati, anda
menjadi seorang warga dunia. Apakah Anda memiliki rasa empati? Untuk membantu
mengetahuinya, Jeanne Seagal membuat daftar pertanyaan di bawah ini guna
mengukut empati. Caranya, ambil sikap sesantai mungkin beberapa saat, kemudian
jawablah pertanyaan berikut dengan cepat, jujur, dan tanpa membuat penilaian.
1.
Apakah pada umumnya Anda merasa nyaman di rumah dan aman bersama orang lain?
2.
Apakah Anda senang memelihara binatang (atau Anda ingin memelihara jika belum
punya)?
3.
Apakah Anda merasa segar dan damai dengan berjalan-jalan di hutan, pantai atau
padang rumput?
4.
Pernahkah Anda memperhatikan perasaan yang berlawanan dengan perkataan
seseorang-kemarahan di balik raut wajah yang tenang. Kesedihan di balik suara
yang teratur, kegembiraan di balik kata-kata yang tersusun?
5.
Apakah Anda selalu langsung tahu ketika perbuatan yang Anda lakukan tanpa
sengaja membuat orang lain merasa tidak senang?
6.
Dapatkah anda membiarkan diri mengalami perasaan orang lain yang terluka,
akibat perbuatan yang Anda sengaja dan mungkin akan anda lakukan lagi?
7.
Dapatkah Anda terus mendengarkan meskipun orang lain meminta lebih dahulu dari
yang rela Anda berikan?
8.
Apakah Anda menjadi defensif ketika seseorang yang Anda sayangi mengatakan
bahwa Anda telah menyakiti atau mengecewakannya?
9.
Dapatkah Anda mendengarkan tanpa haraus setuju atau tidak setuju dengan
seseorang?
10.
Apakah anda berhenti mendengarkan orang ketika anda menjadi takut?
11.
Ingatkah Anda keluhan pihak lawan saat terakhir kali Anda berselisih dengannya?
12.
Ketika anak Anda mengalami kekecewaan besar, haruskah Anda segera melakukan
sesuatu untuk menghilangkan rasa sakitnya?
13.
Apakah Anda meyakini bahwa berkata tidak berarti menolak kebutuhan orang lain?
Jawaban “YA” yang diberikan pada pertanyaan nomor,
1,2,3,4,5,6,7,8, dan 11, dan jawaban “TIDAK” yang diberikan pada pertanyaan 9,
10, 12, dan 13, akan menunjukkan kemampuan empati dalam situasi berbeda-beda.
Jika Anda mengisi jawaban seperti itu, maka Anda dapat memahami perasaan,
kebutuhan, keinginan, dan harapan orang lain sambil tetap sepenuhnya sadar akan
pengalaman emosional Anda yang terpisah. Anda dapat merasakan sakit orang lain
tanpa mengorbankan diri atau harus mengendalikan situasi. Anda memperoleh
kekuatan inid ari sumber-sumber daya fisik, emosional, dan mental yang sama
dengan yang Anda kerahkan dalam kesadaran aktif. Di tengah pertengkaran yang
sengit sekalipun, misalnya, Anda tahu pasti kapan harus bertahan dan kapan
harus menyerah karena Anda sangat menyadari perasaan Anda dan perasaan orang
lain tentang hal yang dipertengkarkan.[11]
Empati berbeda dengan simpati. Simpati merupakan
kecenderungan untuk ikut merasakan segala sesuatu yang dirasakan orang lain
karena kesamaan cita-cita, penderitaan, daerah atau lainnya. Simpati adalah feeling
with another person, sedangkan empati lebih dalam dari itu. Empati tidak
harus terjadi akibat persamaan kondisi antara satu dengan yang lain, atau
didahului dengan saling kenal. Saya di sini dengan Anda di sana mungkin saja
tidak saling kenal atau tidak memiliki kesamaan, akan tetapi kalau saya mmapu
merasakan apa yang Anda rasakan ketika Anda berbuat atau mengalami peristiwa
tertentu, itu artinya saya berempati terhadap Anda
Lawan dari simpati adalah antipati, yakni perasaan
ketidaksenangan terhadap orang lain yang dapat berujud kebencian. Padahal
kebencian memicu permusuhan. Permusuhan memicu kekerasan. Untuk mencegah
kekerasan, yang perlu dibangun adalah sikap empati, dan bukan antipati.
Keempat, optimis
dan apatis. Hidup ini penuh tantangan, dan tidak semua orang mampu bertahan
dengan tantangan tersebut. Ada orang yang menyerah sebelum berjuang. Orang
seperti ini diliputi dengan sikap pesimis dan apatis dalam memandang sesuatu.
Sebaliknya, ada pula orang yang over-estimate dalam menghadapi suatu masalah.
Orang ini selalu merasa yakin dapat mengatasi masalah, meskipun tanpa bantuan
orang lain. Orang seperti ini dikatakan optimistik dalam memandang sesuatu.
Sebagai contoh, Mala, seorang gadis kelas VI Madrasah
Ibtidaiyah di salah satu desa, misalnya merasa ragu apakah ia akan lulus ujian
atau tidak, meski ia sudah mengikuti les privat, rajin belajar di rumah serta
tidak pernah absen sekolah. Saat ia ragu, mala dihinggapi oleh rasa over-pessimistic
tentang prestasinya dalam ujian nanti. Langsung atau tidak, sikap Mala tersebut
akan mempengaruhi prestasinya.
Contoh sebaliknya, Jakfar, misalnya, seorang siswa kelas V
di Madrasah Ibtidaiyah yang sama. Tanpa les atau rajin belajar di rumah dan
sekolah, ia merasa yakin akan naik kelas. Dalam hal ini, Jakfar dihinggapi rasa
over-optimistic terhadap ujian yang akan ditempuh. Baik over-pessimistic
maupun over-optimistic keduanya berisiko. Over-pessimistic
menimbulkan orang menyerah sebelum bertanding dan bersikap apatis, sedang over-optimistic
akan mengakibatkan frustasi apabila kalkulasi keberhasialannya ternyata
tidak tercapai dan bisa jadi mengalami trauma bila ia menghadapi persoalan
serupa.
Over-pessimistic
dan over-optimistic merupakan gangguan jiwa yang dapat diatasi dengan
bimbingan dan pembiasan. Orang tua di rumah atau guru di sekolah perlu memberi
motivasi kepada anak yang over-pessimistic, agar anak itu bisa
berpandangan bahwa upaya yang telah dilakukannya bukanlah hal yang sia-sia.
Begitu pula halnya dengan orang yang over-optimistic bisa dibimbing
untuk bersikap realistis dalam menghadapi sesuatu.
Pada dasarnya tujuan mengatasi sesuatu itu adalah untuk
mencapai keberhasilan. Orang yang over-pessimistic bila berhasil meraih
sesuatu, besar kemungkinan ia akan berlebihan dalam merayakan keberhasilannya.
Sebaliknya orang yang over-optimistic, bila berhasil terhadap sesuatu,
akan bersikap biasa-biasa saja. Tatkala orang yang sama-sama berhasil tadi
berkumpul di satu tempat untuk merayakan kesuksesannya, maka luapan emosi kegembiraannya
sulit dibendung. Ini misalnya dapat dilihat pada segerombolan pelajar SMU yang
berarak-arakan mengelilingi kota sambil mencorat-coret seragam putih abu-abunya
dengan spidol atau spray paint setelah pengumuman kelulusannya.
Peristiwa kelulusan adalah hal lumrah dalam sebuah ujian. Akan tetapi bila
orang yang overjoy tersebut berkumpul dan menimbulkan gerakan massal,
dan ada faktor pemicu, maka perilaku ini dapat berpotensi menggerakkan massa
tersebut mengarah kepada perilaku kekerasan kolektif.
Kelima, bahasa
cinta. Pendidikan damai dapat menanamkan rasa saling kasih dan cinta antar
sesama, tidak peduli apakah ia berkulit hitam atau putih, kaya atau miskin,
penduduk atau pendatang, warga negara lokal atau asing. Dengan sentuhan bahasa
cinta antar sesama, semuanya bisa duduk bersebelahan dalam satu ruang kelas.
Dalam hal ini, guru tidak sekedar mengajar namun juga sebagai orang tua kedua
ketika anak-anak berada di sekolah. Begitu pula orang tua di rumah, menjadi
guru yang kedua bagi putra-putrinya. Yang berlangsung kemudian adalah sentuhan
cinta dibarengi dengan semangat mendidik, atau mendidik dilakukan dengan penuh
kasih sayang.
Pendidikan damai menumbuhkan cinta pada sesama, cinta
lingkungan, dan cinta alam semesta. Cinta pada sesama menghindarkan konflik dan
permusuhan, mencegah kekerasan dan perang. Cinta lingkungan menumbuhkan sikap
melestarikan dan merawat lingkungan agar tetap bersih dan asri. Cinta pada alam
semesta menjadikan anak tidak merusak alam bahkan menjaganya dari kepunahan.
Itulah sebabnya pendidikan damai memberikan materi kesadaran pribadi,
toleransi, kepedulian dengan sesama dan cinta ini untuk memupuk budaya damai
dalam sikap dan perilaku.
Keenam, bersikap
adil. Ketidakadilan merupakan bentuk kekerasan institusional (intitutional
violence), seperti halnya kemiskinan, rasialis, pelecehan seksual, serta
bentuk repressive lainnya. Kekerasan institusional muncul sebagai akibat
kebijakan pihak-pihak tertentu (biasanya lembaga yang berwenang) dalam
memutuskan perkara. Kebijakan tidak adil yang dirasakan oleh seorang korban
dapat diluapkan dengan kekesalan, kekecewaan atau ketidakpuasan. Bila
ketidakadilan dirasakan oleh banyak orang, hal ini akan memicu gerakan massa
untuk menuntut keadilan, seperti unjuk rasa, protes dan aksi demonstrasi. Unjuk
rasa buruh pabrik menuntut kenaikan gaju atau tunjangan, protes mahasiswa
menolak kenaikan biaya kuliah, atau akasi demonstrasi para aktivis penentang
perang, bermula dari kebijakan yang kurang transparan dan kurang adil ini. Aksi
massal menuntut keadilan atas kebijakan tertentu sewaktu-waktu bisa berubah
menjadi overt violence atau kekerasan terbuka bila ada faktor pemicu
yang mendorong massa menjadi bringas dan anarki. Misalnya suara tembakan atau
pukulan yang mengenai salah satu peserta aksi. Hal ini dapat memanaskan situasi
dan menggiring massa pada kekerasan kolektif.
Mencegah kekerasan kolektif bukanlah hal mudah mengingat
pihak yang bertikai belum tentu sepakat dengan tuntutan yang diajukan.
Pengusaha yang memiliki pabrik tidak serta merta menerima tuntutan pegawainya
untuk kenaikan gaji karena alasan yang masuk akal. Demikian pula pihak rektorat
bisa bertahan tetap menaikkan biaya kuliah mahasiswa dengan alasan yang
profesionalitas. Begitu pula dengan kebijakan pemerintah untuk perang melawan
para teroris atau separatis, dilakukan demi rust and order atau
mencegah kerusuhan dan menjaga ketertiban. Dalm hal ini, yang perlu dilakukan
adalah barganing position antara kedua belah pihak, sehingga keputusan
yang diambil merupakan kompromi kedua belah pihak yang dapat mencegah aksi-aksi
kekerasan.
Ketidakadilan sebagai kekerasan institusional dapat
mengakibatkan munculnya kekerasan tandingan (counter-violence), seperti
aksi teror, sabotase, mogok massal, bahkan tindakan anarkis lainnya. Kebijakan
yang tidak adil berpotensi menimbulkan kekerasan (violence as
potensial). Sepanjang tidak ada perubahan kebijakan, ketidakadilan akan
memicu kekerasan demi kekerasan. Di sinilah letak mahalnya perdamaian, karena
perdamaian mensyaratkan kebijakan yang adil.
c.
Demokratisasi pendidikan
Inti dari demokrasi adalah kebebasan, persamaan hak,
keadilan musyawarah dan tanggung jawab. Pada mulanya demokrasi merupakan term
politik. Perlawanan terhadap kolonialisme, misalnya merupakan perjuangan
mewujudkan demokrasi. Demos artinya rakyat, sedang kratos
berarti kekuasaan. Jadi demokrasi berarti kekuasaan rakyat, kedaulatan rakyat
atau, dalam term politik berarti pemerintahan yang dijalankan dari, oleh, dan
untuk rakyat. Bentuk pemerintahan demokratis tercermin dari proses pemerintahannya
yang dilakukan melalui pemilihan umum dengan karakter demokrasi di atas yakni
kebebasan, persamaan hak, keadilan, musyawarah, dan tanggungjawab.
Akan tetapi demokrasi tidak hanya berada pada wilayah
politik, melainkan juga sosial, budaya, ekonomi, pendidikan, bahkan agama.
Demokratisasi pendidikan merupakan proses pembelajaran seluruh civitas
akademika untuk memajukan pendidikan. Kalau dalam politik ada rakyat, maka
dalam pendidikan ada peserta didik. Pendidikan yang demokratis berarti melibatkan
murid secara aktif dalam seluruh proses pendidikannya (student-centered-student
active learning). Bukan sebaliknya, berpola top-down, yakni berpusat
pada guru teacher-centered) sehingga murid berperan sebagai objek didik,
atau sebagaimana dikatakan oleh Paulo Freire dengan istilah banking system
education atau pendidikan gaya bank, dimana murid diibaratkan seperti
celengan yang siap diberi koin.
Pendidikan yang demokratis menerapkan sistem andragogi.
Sistem ini menuntut keaktifan siswa untuk berbuat (learning by doing).
Di sini murid diberi umpan dan kail, kemudian dibimbing untuk mencari ikan
sendiri. Jadi bukan langsung diberi ikan tanpa proses pemancingan. Proses
pendidikan yang menekankan pentingnya nilai-nilai kebebasan dan demokrasi
inilah yang menjadikan pendidikan bernuansa humanis. Perlakuannya menggunakan
pendekatan humanistik.
Kebebasan menimbulkan kreativitas. Kreativitas merupakan
proses mental dan kemampuan tertentu untuk “mencipta”. Kreativitas adalah
proses pemikiran terhadap sesuatu masalah yang darinya dapat dihasilkan gagasan
baru yang sebelumnya tak terpikirkan. Kreativitas juga berarti sebagai proses
interaktif antara individu dengan lingkungannya. Seseorang yang kreatif dapat
terlihat dari kemampuannya mengatasi masalah (problem sensitivity),
mampu menciptakan ide alternatif untuk memecahkan masalah (idea fluency),
mampu memindahkan ide dari satu pola pikir ke pola pikir yang lain (idea
flexibility). Orang yang kreatif pun dapat dilihat dari kemampuannya untuk
menciptakan ide yang asli (idea originality). Seluruh kemampuan
pengembangan ide dan sensitivitas terhadap persoalan yang merupakan ciri
kreatif tersebut tak dapat terbentuk bilamana dalam diri seseorang terjadi
tekanan dan pembatasan atas kebebasannya.
Ilustrasi berikut ini dapat memberikan gambaran kebebasan
sedang berproses dalam pendidikan. Ina yang duduk di bangku TK memasuki kelas,
kemudian oleh Ibu guru, ia diberi secarik kertas bergambar bunga tanpa warna.
Kemudian sang Ibu guru memberi tugas seraya membiarkan Ina dan teman-temannya
untuk mewarnai dan memberi motif pada gambar bunga tadi. Ibu guru sesungguhnya
telah menerapkan kebebasan dalam proses belajar. Ina mungkin lebih senang
dengan warna pink, berbeda dengan temannya, Icha yang menyukai warna
kuning. Kebebasan dalam pendidikan menyebabkan anak belajar untuk menjadi
dirinya sendiri, learning to be. Bila dalam satu bunga, Ina memberi
bermacam warna, itu bukan salah Ina melainkan itulah wujud kreativitas, memberi
berbagai alternatif ide dan imajinasi dalam mewarnai bunga.
Akan tetapi, harus dikatakan pula bahwa kebebasan itu bukan
tanpa aturan. Kebebasan seseorang dibatasi oleh kebebasan orang lain. Biarkan
Ina mewarnai gambar bunga menurut kreativitasnya sendiri, asalkan yang
diwarnainya adalah kertas dan gambar miliknya, bukan kertas dan gambar milik
orang lain. Kalau Ina mengambil kertas dan gambar anak lain itu berarti Ina
telah membatasi hak orang lain untuk bebas mewarnai gambar pada kertasnya
sendiri. Perilaku Ina tersebut tentulah tidak identik dengan kebebasan. Maka,
dalam kebebasan terdapat pengakuan atas hak diri sendiri dan hak orang lain,
sama seperti dirinya. Dalam kebebasan terdapat keseimbangan antara hak dan
kewajiban. Di titik inilah berlangsung keterpautan antara kebebasan dengan
demokrasi.
Hak Anak dalam pendidikan Islam
Dalam filosofi pendidikan Islam dikenal dua hal. Pertama adalah
bashira wa nadlira, bahwa mendidik anak seharusnya tidak hanya dilakukan
melalui interaksi secara langsung tetapi juga harus dilihat secara
batin, hal tersebut mempunyai makna bahwa usaha untuk mendidik anak tidak hanya
dapat dilakukan secara lahiriyah seperti menyekolahkan anak dan memenuhi
kebutuhannya, tetapi juga dilakukan secara bathin misalnya melalui doa bagi
mereka.
Kedua adalah
konsep fa alhamaha fujuraha wa taqwaha. Falsafah ini
mempunyai implikasi dalam pendidikan bahwa manusia pada dasarnya disamping
memiliki fitrah yang baik juga mempunyai fitrah yang buruk. Agar fitrah yang
buruk tersebut tidak berkembang, maka dibutuhkan proses pendidikan agar fitrah yang
baik berkembang dengan baik. Dengan demikian proses pendidikan tersebut harus
benar-benar berlandaskan pada tujuan pendidikan yang paling mendasar yaitu
pendidikan untuk memanusiakan manusia.
Ketiga adalah
konsep rahmah atau kasih sayang, Al-jurajani menyatakan bahwa al
rahma hiya iradatu isholu al-khair, artinya kasih sayang adalah segala
sesuatu perbuatan yang akan mendatangkan kebaikan. Dengan memberikan kasih
sayang maka pada dasarnya seseorang telah mengadakan pendekatan psikologis
dalam mendidik anak, karena dengan pendekatan ini anak akan merasa terlindungi
dan tenang, dengan demikian anak akan berada pada sebuah kehidupan yang nyaman
tanpa ada intimadasi, kekerasan dan lain sebagainya. Sebagai hasilnya anak
dapat hidup dan tumbuh kembang di tengah masyarakatnya dengan karakter
anak yang kreatif, dan mempunyai sikap self convidance yang tinggi.
Lantas bagaimana pandangan Islam dalam penyelenggaraan
pendidikan sesuai dengan empat prinsip sebagaimana dalam CRC yang telah disebut
di atas?.
Hak
Hidup, Keberlangsungan Tumbuh Kembang
Dalam pandangan Islam, bahwa hidup
adalah pemberian Allah, sebagaimana dikatakan dalam firmannya: Dan
sesungguhnya benar-benar Kamilah yang menghidupkan dan mematikan dan Kamilah
(pulalah) yang mewarisi (QS. Al-Hijr:23). Ini berarti, bahwa hak hidup,
keberlangsungan dan hak perkembangan melekat pada setiap diri anak,
dan mutlak adanya sebagai dasar untuk memberikan pemenuhan dan
perlindungan atas kehidupan mereka. Tidaklah mengherankan apabila Allah SWT
mengecam keras orang-orang yang tidak menghargai hak asasi manusia, misalnya
melakukan pembunuhan lebih-lebih pada anak seperti sampai sekarang masih
banyak terjadi diberbagai belahan dunia dimana Islam telah menentangnya sejak
zaman jahiliyyah. Allah berfirman:
Barang siapa yang membunuh jiwa
seorang manusia bukan karena pembunuhan dan bukan pula kerana membuat kerusakan
di bumi, maka ia seakan membunuh manusia seluruhnya, dan barang siapa
menyelamatkan jiwa seorang manusia sekan ia menyelamatkan manusia seluruhnya (QS.
Al-Maidah:32).
Anak adalah anugerah dan amanah Allah SWT sebagaimana telah
dijelaskan di muka. Anak merupakan kekayaan bagi keluarga dan bangsa, yang
memiliki fungsi strategis sebagai pemilik dan penerus generasi di masa yang
akan datang. Sebagai pengejawantahan rasa syukur pada Allah SWT, maka hak-hak
anak untuk kelangsungan dan perkembangan hidupnya baik secara fisik maupun
mental harus di penuhi. Hak kelangsungan hidup anak dapat diwujudkan dalam
bentuk memberikan kasih sayang pada anak, memenuhi kebutuhan hak dasar anak.
Kebutuhan alami seorang anak adalah mendapatkan kasih sayang
terutama dari orangtuanya sendiri khususnya ibu. Seorang ibu yang
muslimah harus menyadari bahwa tidak ada suatu apapun yang menghalanginya untuk
memberikan kasih sayang dan perlindungan kepada anaknya. Rasulullah SAW
bersabda: Tidaklah termasuk golongan kami, orang-orang yang tidak mengasihi
anak kecil di antara kami dan tidak mengetahui hak orang besar di antara
kami (HR Abu Daud dan Tirmidzi).
Selain yang tersebut diatas, memenuhi kebutuhan dasar anak
demi keberlangsungan dan perkembangan anak, diantaranya adalah kebutuhan
sandang, papan dan pangan. Hal ini sebagaimana dijelaskan Allah SWT dalam
Al-Qur’an: Dan kewajiban ayah adalah memberi makan dan pakaian kepada para
ibu (dan anaknya) dengan cara yang ma’ruf (QS.Al-baqarah:233).
Menjamin
Perkembangan Anak dapat dilakukan dengan cara mendidik anak.Dengan pendidikan
anak dapat berkembang secara sempurna baik pemikiran, maupun sikap dan
perilakunya. Pendidikan yang diberikan kepada anak merupakan pendidikan yang
bersifat komprehensif, yaitu pendidikan yang diarahkan untuk pengembangan
kemampuan intelektual, mental dan spritual. Nabi memerintahkan para
orangtua untuk mendidik anak-anaknya sebagaimana disebutkan dalam Hadist: Ajarkanlah kebaikan kepada anak-anak kamu dan keluarga
kamu dan didiklah mereka (HR.Abdur Razzaq dan Sa’id bin Mansur).
Non-Diskriminasi
Prinsip non-diskriminasi (non-discrimination) dalam pendidikan
anak adalah perlakuan yang tidak membeda-bedakan dalam
penyelenggaraan pendidikan anak atas dasar perbedaan asal-usul, suku,
agama, ras, jenis kelamin dan status sosial lainnya. Prinsip ini didasarkan
pada pandangan kefitrahan anak, bahwa pada hakekatnya anak
dilahirkan sama hak asasinya sebagai makhluk ciptaan Allah. Perbedaan tersebut
terjadi semata-mata karena konstruk sosial masyarakat yang mewarnai perjalanan
dan perkembangan anak.
Misalnya, pada zaman jahiliyah, anak perempuan tidak diterima sepenuh hati oleh
masyarakat secara umum. Al-Qur’an merekam pandangan dan praktek jahiliyah mulai
dari yang paling ringan yaitu bermuka masam jika disampaikan berita kelahiran
anak perempuan,2 sampai kepada yang paling parah yaitu
membunuh bayi-bayi perempuan.3 Terhadap hal ini
Al-Qur’an mengecam keras. Kecaman-kecaman itu antara lain dimaksudkan untuk
mengantar mereka agar menyadari bahwa kedua jenis kelamin anak masing-masing
memiliki keistimewaan4 dan tidaklah yang satu lebih
utama dari yang lain.5
Islam sangat tegas dan konsisten dalam menerapkan prinsip
non-diskriminasi dalam penyelenggaraan pendidikan anak yang ditandai
dengan seruan untuk berlaku adil pada anak. Banyak ayat-ayat Al-Qur’an yang
memerintahkan umat manusia untuk berbuat adil terhadap anak-anak: Berlaku
adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa…(Qs. Al-Maidah:8).Di
dalam ayat yang lain Allah berfirman:“…..Dan (Allah menyuruh kamu) supaya
kamu mengurus anak-anak yatim secara adil…. (QS. An-Nisa’:127).
Perintah untuk berlaku adil dan tidak membeda-bedakan anak
atas jenis kelaminnya juga di jelaskan dalam beberapa hadist, diantaranya:”Berbuat
adillah diantara anak-anakmu, berbuat adillah diantara anak-anakmu, berbuat
adillah diantara anak-anakmu” (HR. Ashabus Sunan, Imam Ahmad dan Ibnu
Hibban). Perintah Rasulullah SAW kepada para orangtua untuk berbuat adil
terhadap anak-anaknya dilakukan dalam semua pemberian, baik berupa pemberian
harta (materi) maupun kasih sayang (immateri). Berikut perintah Nabi Muhammad
SAW agar orangtua berbuat adil dalam hal pemberian (materi) terhadap
anak-anaknya. Rasulullah SAW bersabda: Samakanlah
diantara anak-anak kalian di dalam pemberian (HR.Thabrani).
Dalam hal pemberian kasih sayang (immateri), Nabi Muhammad
SAW juga sangat menganjurkan kepada orangtua agar berlaku adil
sebagaimana diriwayatkan oleh Anas, bahwa seorang laki-laki berada disisi
Rasulullah SAW kemudian datanglah seorang anak laki-lakinya, lalu ia mencium
dan mendudukkannya diatas pangkuannya. Setelah itu datanglah puterinya, tidak
dipangku sebagaimana anak laki-lakinya, hanya didudukkan di depan
Rasulullah SAW. Atas peristiwa itu Rasulullah SAW bersabda: Mengapa
engkau tidak menyamakan keduanya?
Hadist ini menunjukkan bahwa perbuatan non-diskriminatif
yang harus ditunjukkan oleh orang tua terhadap anak adalah adil secara
keseluruhan. Perbuatan adil harus ditunjukkan dalam bentuk pemberian yang dapat
dilihat oleh mata atau pemberian yang tidak dapat dilihat oleh mata seperti
perwujudan kasih sayang. Apabila di dalam masyarakat muslim masih terdapat
orangtua yang memandang anak wanita lebih rendah daripada anak laki, maka
hal ini tentu disebabkan oleh lemahnya iman dan rapuhnya keyakinan. Disamping
itu juga disebabkan oleh lingkungan sosial yang rusak yang diserap dari
kebiasaan jahiliyah atau tradisi sosial tercela. Dalam hubungan ini
Allah SWT berfirman:
Dan apabila seseorang dari mereka diberi kabar dengan
(kelahiran) anak perempuan, hitamlah (merah padamlah) mukanya, dan dia sangat
marah. Ia menyembunyikan dirinya dari orang banyak, disebabkan buruknya berita
yang disampaikan kepadanya. Apakah dia akan memeliharanya dengan menanggung
kehianaan ataukah akan menguburkannya ke dalam tanah (hidup-hidup)? Ketauhilah,
alangkah buruknya apa yang mereka tetapkan itu (QS. AN-Nahl: 58-59).
Perlakuan diskriminatif terhadap anak dapat
menimbulkan dampak negatif bagi perkembangan kejiwaannya, yaitu munculnya
penyakit kejiwaan seperti rendah diri dan hasud. Jika perlakuan tersebut
berlangsung terus menerus membuat anak agresif, misalnya suka bertengkar,
melukai, bahkan membunuh. Peristiwa pembunuhan Yusuf oleh saudaranya
sendiri dapat dijadikan contoh itu. Dalam peristiwa ini disebutkan
bahwa Bunyamin dan saudara-saudara yang lainnya makar pada Yusuf, yaitu
memasukkan Yusuf ke dalam Sumur semata-mata karena saudara -saudaranya
mengalami perlakuan diskriminatif dari ayahnya, Nabi Ya’kub sebagaimana
diabadikan dalam al-Qur’an: (Yaitu) ketika mereka berkata: “sesungguhnya
Yusuf dan saudara kandungnya (Bunyamin) lebih dicintai oleh ayah kita daripada
kita sendiri, padahal kita (ini) adalah satu golongan (yang kuat). Sesungguhnya
ayah kita adalah dalam kekeliruan yang nyata (QS. Yusuf:8).
Belajar dari pengalaman tersebut dapatlah dikatakan
bahwa para orang tua, wali atau siapa saja yang diberi mandat untuk
memelihara dan mendidik anak wajib menerapkan prinsip non-diskriminasi dan
persamaan didalam pemberian, kecintaan, perlakuan kasih sayang kepada anak-anak,
tanpa membeda-bedakan antara yang satu dengan lainnya, antara pria dan wanita.
Oleh karena itu dalam pandangan legislasi ditandaskan bahwa
perilaku diskriminatif terhadap anak merupakan tindakan tidak saja bertentangan
dengan ajaran Islam, tetapi merupakan pelanggaran terhadap hak
asasi manusia. Tentu pasti, bahwa orang tua, masyarakat, pemerintah dan negara
sebagai penyelenggara perlindungan anak memiliki tanggungjawab dan
kewajiban untuk tidak berlaku diskriminatif dalam bentuk apapun.
Kepentingan
Terbaik Bagi Anak (the Best Interests of the Child)
Prinsip kepentingan terbaik bagi anak berarti semua
tindakan yang menyangkut anak yang dilakukan oleh orangtua, keluarga,
masyarakat pemerintah, dan negara, maka kepentingan yang terbaik bagi anak
harus menjadi pertimbangan utama. Dalam sejarah Islam, baik pada masa
Rasulullah maupun Khulafaurrasyidin terdapat banyak peristiwa yang
menggambarkan kepemihakan Islam terhadap kepentingan terbaik anak, baik dalam
keadaan ibadah maupun dalam hukum dan kegiatan sosial kemasyarakatan
termasuk dalam pendidikan.
Prinsip kepentingan terbaik bagi anak dalam Islam
dapat dilihat dalam ibadah dan hukum. Prinsip tersebut dalam ibadadapat
digambarkan ketika Nabi membiarkan cucunya menunggangi dirinya saat menjadi
imam shalat, dan ketika menolong cucunya yang jatuh saat ia menjadi
khatib Jum’at, sebagaimana diabdikan dh alam Hadits yang diriwayatkan
oleh Tirmidzi dari Abdullah bin Buraidah. Dalam Hadist lainnya, Nasa’i
dan Hakim meriwayatkan, “Ketika Rasulullah SAW Shalat mengimami para makmum,
tiba-tiba datanglah Husain, dan langsung menunggangi pundak Rasulullah SAW
ketika beliau sujud sehingga beliau memperpanjang sujudnya, sampai-sampai para
makmum mengira terjadi sesuatu. Setelah shalat selesai berkatalah mereka,
“Engkau telah
memanjangkan sujud, wahai Rasulullah, hingga kami mengira telah terjadi sesuatu.”
Rasululllah SAW menjawab, “Anakku (cucuku) telah menjadikan aku sebagai
tunggangan, maka aku tidak suka mengganggu kesenangannya hingga ia puas,”. Dalam
Shahibain, dari Anas r.a. Rasulullah SAW bersabda: Sesungguhnya, ketika aku
melakukan shalat (menjadi imam) dan aku bermaksud untuk memanjangkan bacaannya,
tiba-tiba aku mendengar tangisan anak kecil. Maka aku segera memperpendek
(bacaan) shalatku. Karena aku memahami perasaan ibunya (yang menjadi makmum)
yang tentu terganggu oleh tangisannya.
Prinsip kepentingan terbaik bagi anak dalam peristiwa
hukum dapat digambarkan dalam kasus wanita Al-Ghamidiyah. Ia datang pada Nabi
bahwa dirinya hamil dari hasil zina. Nabi berkata “pulanglah sampai engkau
melahirkan”. Ketika ia telah melahirkan, ia datang lagi kepada Nabi dengan
membawa bayinya. Nabi berkata” Pergilah, kemudian susuilah anakmu itu sampai
engkau menyapihnya”. Setelah selesai disapih, ia datang lagi kepada Nabi
bersama bayi, maka Nabi menyerahkan bayi itu kepada laki-laki muslim. Setelah
itu wanita tersebut dirajam (HR. Muslim).
Contoh tersebut menunjukkan bahwa betapa Nabi
mengutamakan kepentingan yang terbaik bagi anak. Pada contoh yang pertama dapat
dipahami bahwa perbuatan ibadah sekalipun tidak boleh mengalahkan kepentingan
terbaik bagi anak. Pada contoh kedua memberi gambaran penegakan hukum harus
tetap dilaksanakan dengan tidak menafikan kepentingan terbaik bagi anak dengan
cara memberi kesempatan pada si ibu memberikan hak yang layak bagi si anak,
yaitu hak untuk hidup, tumbuh dan berkembang secara wajar didalam kandungan,
hak dilahirkan dan hak mendapatkan ASI (Air Susu Ibu). Meskipun si ibu
melakukan perbuatan yang melanggar hukum, anak yang sedang dikandungnya
tidak boleh dirugikan karena perbuatan salah sang ibu.
Dalam Hadist Rasulullah lainnya berbunyi: "Sesungguhnya
Allah memberikan keringanan dalam melaksanakan shalat bagi orang yang
bepergian, dan puasa bagi orang yang bepergian, wanita menyusui dan wanita
hamil." (Hadits riwayat Abu Dawud, At Tirmidzi dan An Nasa'i).
Pemberian keringanan puasa terhadap ibu yang sedang hamil dan menyusui tidak
lain dimaksudkan untuk menjaga anak yang sedang dikandungnya. Namun
demikian, si ibu berkewajiban menggantikan puasa wajib yang sudah
ditinggalkannya di lain hari setelah anaknya lahir. Kebijakan agama Islam ini
menunjukkan bahwa betapa Allah sangat memperhatikan kepentingan terbaik bagi
anak.
Penerapan prinsip mendahulukan kepentingan terbaik bagi anak
juga terlihat dalam pemecahan kasus harta anak pada masa Khalifah Abu bakar.
Dalam riwayat Baihaqi dari Abu Hurairah berkata: bahwa pada suatu ketika ada
seorang laki-laki menemui Abu Bakar dan berkata bahwa “ Ayahku mengambil
seluruh hartaku untuk keperluannya dan tidak menyisakan sedikitpun”. Abu
Bakar berkata, bahwa “ bahwa harta anakmu itu tidak boleh digunakan
seluruhnya” Ayah laki-laki berargumen, bahwa Rasulullah bersabda, bahwa “ kamu
dan hartamu adalah milik orang tuamu” Abu bakar menjawab,”ya betul, akan
tetapi yang dimaksud adalah nafkah yang wajib.” (HR. Ibnu Majah).
Hadits tersebut di atas menunjukkan bahwa meskipun ketaatan
dan pengabdian seorang anak adalah sentral dan kunci yang harus dipegang oleh
seorang Muslim, akan tetapi kewajiban pengabdian tersebut tidak boleh sampai
merugikan hak-hak anak itu sendiri. Hal ini membuktikan kalau Islam tetap
mempertimbangkan azaz kepentingan terbaik bagi anak dalam setiap kesempatan.
Seperti disebutkan dalam Mu’jam Al-Mughni tulisan Ibn Qudamah, bahwa
pemanfaatan harta anak oleh orang tua harus memenuhi kriteria sebagai berikut:
tidak memberatkan dan tidak membahayakan si anak dan tidak mengambil sesuatu
yang sangat dibutuhkan oleh si anak tersebut; dan harta dimaksud tidak
diberikan pada orang lain (Saqr, 2002).
Penghargaan
Terhadap Pendapat Anak
Penghargaan terhadap pendapat anak
(respect for the views of the child), bahwa dalam setiap pengambilan keputusan
yang menyangkut hal-hal yang mempengaruhi kehidupan anak maka pendapat anak
wajib dihormati dan dikembangkan.[12] Prinsip ini harus diperhatikan betul oleh segenap
penyelenggara perlindungan anak baik oleh orangtua, keluarga, masyarakat, dan
pemerintah. Hal ini tidak lain karena anak merupakan pelaksana dari keputusan
yang akan diambil dan orang pertama yang akan merasakan dampak dari setiap
pengambilan keputusan. Asumsinya anak lebih mengerti akan kebutuhan dan
kemampuan dirinya. Muncul pertanyaan, bagaimana dengan anak yang belum
mampu untuk mengambil keputusan sendiri?. Dalam hal ini orang tua mempunyai
kewajiban untuk memberikan pemahaman dan penjelasan kepada anak akan keputusan
yang diambilnya dengan bahasa yang dimengerti oleh anak, dengan semua dampaknya
baik negatif dan positif. Setelah itu keputusan terakhir berada di tangan anak.
Dalam Islam, sikap menghargai pendapat anak telah diajarkan
dan bahkan telah dipraktekkan pula oleh Rasulullah SAW sebagaimana terlihat
dalam sebuah Hadist yang diriwayatkan oleh Sahal bin Sa’ad r.a.:
أَنَّ
رَسُوْلَ اللهِ صَلَّ اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ أُتِيَ بِشَرَابٍ فَشَرَبَ
مِنْهُ، وَ عَنْ يَمْنِهِ عَلاَمٌ،
وَ عَنْ يَسَارِهِ أَشْيَاخٌ فَقَالَ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّ
اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ لِلْغُلاَمِ، أَتَأْذُلِيْ أَنْ أُعْطِيَ هَؤُلآءِ
“Rasulullah SAW diberi minuman, dan beliau minum sebagian.
Di sebelah kanannya duduk seorang anak, dan di sebelah kirinya beberapa
orangtua. Rasulullah SAW bersabda kepada anak itu,”Apakah engkau mengizinkanku
untuk memberi kepada mereka?.Maka anak itu menjawab,”Tidak, demi Allah.
Bagianku yang diberikan oleh engkau tidak akan saya berikan kepada siapa pun.”
Maka Rasulullah SAW meletakkan minuman ditangan anak itu. Dan dia adalah
Abdullah bin Abbas”(Bukhari dan Muslim).
Apa yang digambarkan dalam riwayat tersebut menunjukkan
bahwa dalam ajaran Islam, pendapat anak sangat dihormati dan dihargai. Dan
bahkan anak selalu dimotivasi untuk berani untuk mengemukakan pendapat. Hal ini
sebagaimana dilakukan oleh Khalifah Umar bin Khattab dalam suatu majelis
pertemuan. Umar bertanya pada mereka: “Apa yang saudara ketahui tentang sebab
turunnya surat Al-Baqarah ayat 266” Mereka menjawab “Allah yang lebih tahu”,
Lalu Umar marah dan terus mendorong agar diantara mereka ada yang
menjawabnya secara logis. Lalu, salah satu dari sekian anak-anak, yaitu
Ibn Abbas menjawab bahwa ayat itu menggambarkan seorang kaya yang beramal namun
tidak memperoleh pahala dari Allah karena setelah itu mereka berbuat maksiat (HR. Bukhari Muslim).
Dalam Hadist yang lain, Al-Bukhari meriwayatkan dari Ibnu
Abbas r.a. bahwa: Umar r.a. pada masa kekhalifahannya mengundang aku -yang
ketika itu belum mencapai usia dewasa- bersama pembesar-pembesar perang
Badar ke forum musyawarah. Dalam pertemuan itu terjadi diskusi mengenai makna
firman Allah tentang ”kemenangan” yang tercantun dalam Surat Al-Nashr.
Sebagian mereka berpendapat bahwa itu mengandung maksud perintah untuk memuji
dan meminta ampunan Allah. Sedangkan yang lain diam, kemudian Ibnu Abbas
menyampaikan pendapatnya bahwa itu adalah tanda ajal Rasulullah. Lantas, Umar
berkomentar bahwa pendapat Abbas adalah baru dan ia belum pernah mendengar
sebelumnya. Dalam diskusi yang lain, yaitu soal kurma, Abdullah bin Umar
yang ketika itu belum dewasa dan tidak menyampaikan pendapat
padahal pikirannya sama dengan pendapat Rasulullah. Untuk itu Umar
berkata Abdullah:
تَكُوْنُ قُلْتَهَا أَجَرَّ إِلَيَّ
مِنْ أَنْ يَكُوْنُ لِى حُمُرٌ التَّعَمِ
... seandainya kamu
berkata akan lebih aku sukai daripada aku mempunyai beberapa unta hamil (Saqr, 2002).
Ini menunjukkan bagi kita bahwa Islam sangat menghargai
pendapat anak, walaupun dalam forum orang dewasa. Hadist dan beberapa
riwayat diatas memberikan teladan bagaimana orang-orang shaleh dulu mendidik
anak-anak untuk bersikap berani mengemukakan pendapat, tidak penakut dan
bergantung kepada orang lain. Untuk itu perlu membiasakan anak untuk bersikap
berani, ikut menemani orangtuanya menghadiri majelis umum, di dorong
untuk berani berbicara di depan orang-orang besar, kalau perlu diajak
bermusyawarah untuk memecahkan problema umum dan masalah ilmiah di berbagai
forum.
Latihan keberanian menyampaikan pendapatnya dalam satu
forum amat penting artinya agar anak kelak tidak minder dan penakut.
Seluruh sikap berani untuk mengemukakan pendapat dapat menanamkan dan
menumbuhkan pemahaman dan kesadaran yang sangat teruji di dalam jiwa anak-anak,
serta mendorong mereka untuk mencapai kesempurnaan dan membentuk kepribadian,
kematangan berpikir dan solidaritas sosial. Oleh karena itu, para orangtua
sangat dianjurkan untuk menerapkan prinsip ini, supaya anak tumbuh dan terdidik
diatas keterbukaan yang sempurna, keberanian dengan batas-batas kesopanan,
kehormatan, toleransi, dan mandiri.[13]
Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa prinsip-prinsip
dasar penyelenggaraan perlindungan anak dalam Islam, mempunyai titik singgung
dan kesamaan dengan penyelenggaraan perlindungan anak yang terdapat dalam
Konvensi Hak Anak (KHA) dan Undang Undang Nomor 23 tahun 2002 tentang
Perlindungan Anak. Bahkan prinsip-prinsip penyelenggaraan anak dalam Islam
cukup komprehensif karena prinsip-prinsip penyelenggaraan perlindungan anak
dalam Islam bukan hanya memberikan konsep belaka akan tetapi juga berupa contoh
konkrit dalam kehidupan Rasulullah, para Khalifah serta para penerusnya yaitu
orang-orang shaleh sesudahnya.
Penutup
Ketika keadilan, kejujuran, transparansi, demokrasi dan
pembinaan kualitas emosi positif disepelekan, maka konsekuensi terjadinya
kekerasan dan pelanggaran Hak Anak dalam pendidikan sulit dihindari. Sekarang,
seorang guru tidak lagi patut mengajar sambil membawa rotan untuk menenangkan
suasana kelas. Atau menghukum murid dengan hukuman fisik di luar kapasitas
fisik anak hanya karena tidak mengerjakan PR.. Sebab hal itu berarti
melanggengkan bentuk-bentuk kekerasan, yang suatu saat bila si murid menjadi
guru, akan meniru perlakuan si guru tadi. Seimbang dengan itu, seorang murid
dilarang melecehkan martabat dan nama baik guru atau lembaga pendidikan, hanya
karena alasan kebijakan tertentu. Yang perlu dilakukan oleh kedua belah pihak,
guru-murid, adalah komunikasi dialogis dan interaksi humanistik. Maka, agar
tidak terjadi prilaku kekerasan harus dilakukan berbagai langkah kongkrit.
Konsepsi pendidikan tanpa kekerasan dan tanpa pelanggaran
Hak Anak, kiranya tidak berhenti sebatas wawasan, melainkan perlu diteruskan
dengan gerakan pembaharuan pendidikan nasional, institusionalisasi, bahkan imperative
action, yang dimotori oleh para pelaku pendidikan, lembaga
pendidikan, guru-murid, komite pendidikan, dewan sekolah, pemerintah (policy
makers) serta para stakeholders lain yang terkait dengan
keseluruhan proses pendidikan. Langkah kongkrit menerapkan pendidikan
tanpa kekerasan ini mendesak untuk dilakukan, agar bangsa yang multi-etnis,
multi agama, bahasa, ras, jenis kelamin, keturunan, status sosial dan
bentuk-bentuk kemajemukan lainnya ini, dapat menerapkan learning to live
together, dan duduk berdampingan saling menghargai perbedaan, rukun,
serta saling bergandengan tangan menuju perdamaian dan kemakmuran bersama.
[1] Nur Hidayati, dkk. 2007. Memperkecil
Kekerasan Terhadap anak-anak di Madrasah Ibtidaiyah. Jakarta: Departemen
Agama. 24.
[2] Lihat Office of the High
Commisioner for Human Rights, Convention on the Eliminationof all Forms of
Discrmination againts Women, (Geneva: OHCHR, 1979), h. 1-12. Hasil konvensi
ini ditandatangani dan diratifikasi oleh resolusi Sidang Umum PBB No. 34 /180
tertanggal 18 Desember 1979, dan diberlakukan sejak 3 September 1981. Hasil
konvensi ini memuat 30 pasal yang sebagian besar berisikan perlindungan bagi
hak-hak kaum perempuan.
[3] Lihat Office of The High
Commissioner for Human Rights. Declaration on the Elimination or All Form of
Intolerance and of Discrmination Based on Religion or Belief, (Geneva:
OHCHR)
[5] KHA pasal 3 ayat 1. Pasal-pasal lain dari KHA yang memuat
tentang adanya prinsip kepentingan terbaik bagi anak dalam penyelenggaraan
perlindungan anak adalah : Pasal 9 (1) dan (3) mengenai pemisahan anak terhadap
orang tuanya; Pasal 18 mengenai tanggung jawab orang tua; Pasal 20 mengenai
anak yang kehilangan lingkungan keluarganya, baik secara tetap maupun
sementara; Pasal 21 mengenai adopsi; Pasal 37 ( c ) mengenai pembatasan dan
kebebasan; Pasal 40 (2) mengenai jaminan terhadap anak yang dituduh melanggar
hukum pidana.
[7] KHA pasal 6. Pasal-pasal lain dari KHA yang memuat tentang
Hak Hidup, Kelangsungan Hidup dan Perkembangan adalah pasal 27 tentang
Perkembangan fisik; Pasal 28 dan 29 tentang pendidikan; Pasal 23 tentang
Pendidikan bagi anak-anak cacat; Pasal 14 tentang Perkembangan moral dan
spiritual anak; Pasal 17 tentang hak memperoleh informasi; Pasal 30 dan 31
tentang perkembangan anak secara budaya.
[9] Bobbi DePorter, dkk., Quantum
Teaching: Mempraktikkan Quantum Learning di Ruang-ruang Kelas, (Bandung :
Kaifa, 1999), h. 19 dan 25
[10] Daniel Goleman, Emotional
Intelligence, (New York Bantam, 1995), h 97. lihat juga Jeanne. Seagai,
“Raising Your Emotional Intelligence” dalam Ary Nilandari (terj.), Melejitkan
Kepekaan Emosional, (Bandung: Kaifa, 1997), h. 138
5
QS. Al-Imron : 21 tentang asal kejadian laki-laki dan perempuan; QS. An-Nisa’ :
21 dalam konteks hubungan suami isteri; QS. At-Taubah : 71 dalam konteks
kegiatan sosial; QS. Al-Baqarah : 187 tentang hubungan timbal balik / kemitraan
antara suami isteri.
[12] Lihat KHA pasal 12 (1) dan penjelasan pasal 2 Undang
Undang Nomor 23 Tahun 2002. tentang Perlindungan Anak.
RELIGIOUS ANTHROPOCENTRISM The Discourse of
Islamic Psychology among Indonesian Muslim Intellectuals
Written by NUR HAMIM
Published: 15 March 2013
Hits: 1076
by
DR. H. Nur Hamim, M.Ag
Abstract:
Ideas in psychology are often
criticized as being dominated by the spirit and the model of secular and
liberal Western thinking. They are frequently deemed to bring bias when applied
to analyze the psychological problems of human beings in the context of
other cultures, especially in the context of Islamic culture. This paper
investigates Indonesian Muslim scientists’ offer of an alternative of grand
theory in psychology formulated from a more balanced paradigm called religious
anthropocentric psychology. Indonesian Muslim scientists develop this paradigm
as an attempt to construct spiritual-religious psychology or Islamic
psychology. The paper describes an increasing awareness among those Muslim
scientists to develop theories of humanistic psychology with spiritual and
religious values. This kind of psychological theory seems to be the basis for
so-called Islamic psychology. Furthermore, in addition to its reference toward
the anthropocentric paradigm, this kind of psychology also refers to the
religious-Islamic values, theo-centric or God-centric.
Keywords: Islamic psychology, Indonesian Muslim intellectuals,
religious anthropocentrism, Western psychology.
baca selengkapnnya disini
Lihat juga Joan Durant yang
merupakan kepala peneliti dan rekannya Ron Ensom dari Children's Hospital of
Eastern Ontario di Ottawa, mengatakan bahwa hukuman fisik akan membuat anak
menjadi agresif dan anti sosial, selain itu juga menyebabkan gangguan kognitif
dan gangguan pertumbuhan. Penelitian terbaru juga memperlihatkan bahwa hukuman
fisik akan mengurangi materi abu-abu pada otak, yang berkaitan dengan intelijen
atau IQ. "Hukuman fisik pada anak tidak hanya akan mengakibatkan sikap
agresif pada anak, hal ini juga bisa membuat anak mengalami banyak kesulitan,
misalnya saja depresi dan penggunaan narkoba," ujar Durant. "Tidak
ada penelitian yang menunjukkan hasil positif jangka panjang dari hukuman
fisik," diterapkan di 32 negara.