Muballigh Pekanbaru IKMI Riau Indonesia
M.RAKIB LPMP RIAU
respect for the views of the child (penghargaan terhadap pendapat anak).
Pertama, Non-Discrimination. Yang dimaksud non diskriminasi
adalah penyelenggaraan pendidikan anak yang bebas dari diskriminasi dalam
bentuk apapun, tanpa memandang etnis, agama, jenis kelamin, ekonomi, keluarga,
bahasa dan kelahiran serta kedudukan anak dalam status keluarga. Untuk
mengimplementasikan prinsip ini pemerintah memiliki kewajiban untuk mengambil
langkah-langkah yang layak.[4]
Kedua, The Best Interests of The Child. Yang dimaksud dengan prinsip Kepentingan Terbaik bagi Anak
adalah dalam semua tindakan yang menyangkut anak yang dilakukan oleh
lembaga-lembaga pendidikan, kesejahteraan sosial pemerintah maupun swasta,
lembaga peradilan, badan legislatif, dan badan yudikatif, maka kepentingan yang
terbaik bagi anak harus menjadi pertimbangan utama.[5]
Ketiga, The Right to Life, Survival and Development.Yang dimaksud dengan prinsip hak hidup, kelangsungan hidup
dan perkembangan adalah hak asasi yang paling mendasar bagi anak yang harus
dilindungi oleh negara, pemerintah, masyarakat, keluarga dan orangtua.[6] Karena itulah KHA memandang pentingnya pengakuan serta
jaminan dari negara bagi kelangsungan hidup dan perkembangan anak, seperti
dinyatakan dalam pasal 6 ayat 1, bahwa negara-negara peserta mengakui bahwa
setiap anak memilki hak yang melekat atas kehidupan (inherent right to life)”,
serta ayat 2 “ negara-negara peserta secara maksimal mungkin akan menjamin
kelangsungan hidup dan perkembangan anak (survival and development of
child)”.[7]
Keempat, Respect for The Views of The Child. Yang dimaksud dengan penghargaan terhadap pendapat anak
adalah penghormatan atas hak-hak anak untuk berpartisipasi dan menyatakan
pendapatnya dalam pengambilan keputusan terutama jika menyangkut hal-hal yang
mempengaruhi kehidupannya.[8]
Pembelajaran
Berbasis Pemenuhan Hak Anak
a.
Menciptakan suasana kondusif
Suasana yang kondusif akan meningkatkan minat dan motivasi
belajar anak. Oleh karenanya, suasana yang kondusif perlu terus dijaga ketika
proses pembelajaran dan latihan dilakukan. Sebab dengan suasana tersebut
internalisasi nilai dan sikap menjadi efektif. Bila dijumpai perusak suasana
hendaklah segera diatasi agar tidak merusak keseluruhan proses. Dari sebuah
penelitian menunjukkan bahwa lingkungan sosial atau suasana kelas merupakan penentu
utama psikologis yang mempengaruhi belajar akademis. Di samping itu, guru akan
mencapai hasil lebih tinggi jika mereka mampu menyingkirkan segala amcam
ancaman, melibatkan emosi siswa dan membangun hubungan yang humanistik.[9]
Bobbi dePorter menyarankan terpenuhinya enam suasana agar
dapat membangkitkan minat, motivasi, dan keriangan anak mengikuti proses
belajar. Pertama, menumbuhkan niat belajar. Keyakinan seseorang mengenai
kemampuan dirinya amat berpengaruh pada kemampuan itu sendiri. Dalam proses belajar-mengajar,
baik guru maupun siswa hendaknya dapat membangkitkan niat tersebut dari dalam
dirinya sendiri. Bila dijumpai siswa yang kurang bersemangat, maka mentalitas
guru terhadap iklim belajar akan menjadi teladan dan berpengaruh bagi
keseluruhan proses belajar. Memperhatikan emosi siswa juga dapat membantu
percepatan pembelajaran mereka. Bila niat tidak mudah tumbuh dari dalam diri
sendiri, dorongan orang lan, dalam hal ini terutama guru, amat diperlukan, agar
tidak mempengaruhi semangat belajar yang lain.
Kedua, menjalin
rasa simpati dan saling pengertian untuk menumbuhkan kepedulian sosial, sikap
toleransi dan saling menghargai di antara siswa. Ada beberapa langkah yang bisa
ditempuh, seperti:
- Memperlakukan siswa sebagai manusia sederajat
- Mengetahui apa yang disukai siswa, cara pikir mereka, dan perasaan mereka mengenai hal-hal yang terjadi dalam kehidupan mereka
- Membayangkan apa yang siswa lakukan
- Mengetahui hal yang menghambat para siswa dalam memperoleh hal yang benar-benar mereka inginkan. Jika guru memang tidak mengetahui hal yang diinginkan siswa, maka sebaiknya ditanyakan kepada siswa. Hindari sejauh mungkin sikap sok tahu.
- Berbicara dengan jujur kepada para siswa dengan cara yang membuat mereka mendengarkan dengan jelas dan halus.
- Melakukan kegiatan yang menyenangkan bersama para siswa.
Ketiga,
menciptakan suasana riang. Kegembiraan membuat siswa lebih mudah untuk belajar
dan bahkan dapat mengubah sikap negatif. Belajar dalam iklim menyenangkan,
tanpa ada paksaan dan tekanan, akan menimbulkan kesadaran untuk menemukan
sendiri jawaban atas persoalan yang dihadapi. Sebaliknya suasana tegang dan
tertekan mengakibatkan siswa belajar dengan terpaksa. Menciptakan suasana riang
dapat dilakukan dengan membiasakan membuat selingan. Misalkan, bertepuk tangan,
berteriakan ‘hore’ menghentikkan jari, menulis poter, membuat catatan pribadi,
membuat kejutan, pengakuan atas prestasi siswa, pujian maupun penguatan. Hal
terpenting dar langkah ini adalah menjaga suasana riang agar tidak berubah
menjadi senda gurau.
Keempat, mengambil
risiko. Sebagai gambaran, kita bisa mengingat saat-saat belajar naik sepeda di
masa kecil? Pada mulanya susah,…namun terus dicoba. Kadang kala jatuh, tapi
masih tetap mau bangun. Tidak jarang terluka karena kurang hati-hati. Memang berisiko,
tetapi tetap menyenangkan. Keberanian mengambil risiko yang menantang itulah
terletak keasyikan belajar. Hal-hal itulah yang hendaknya diwujudkan dalam
suasana belajar di ruang kelas: tidak mudah menyerah, terus berpikir untuk
memecahkan masalah. Belajar dengan tantangan bisa mengurangi kejenuhan dan rasa
bosan.
Kelima,
menciptakan rasa saling memiliki. Sebab, rasa saling memiliki membentuk
kebersamaan, kesatuan, kesepakatan dan dukungan dalam belajar. Rasa saling
memiliki juga memeprcepat proses mengajar dan meningkatkan kepemilikan.
Kebanyakan konflik kekerasan yang muncul adalah akibat ketiadaan rasa saling
memiliki. Pendidikan damai amat mementingkan kebersamaan, kesatuan dan
kesepakatan bersama untuk saling menghargai perbedaan dan menyelesaikan konflik
tanpa keerasa.
Keenam,
menunjukkan teladan yang baik. Perilaku nyata akan lebih berarti daripada
seribu kata. Hal-hal yang diperbuat oleh guru akan menjadi cermin bagi para
murid. Untuk itu, sebaiknya mendahulukan bukti-bukti berupa sikap, sikap damai,
kasih sayang, empati, disiplin dna lain sebagainya, sebelum mengajarkan dengan
kata kepada orang lain tentang damai, kasih sayang dan seterusnya.
Langkah ini bisa dilakukan dengan beberapa cara berikut.
- Memberikan teladan dalam wujud komunikasi yang jelas
- Mengakui setiap usaha siswa
- Murah senyum
- Menggunakan energi untuk menciptakan lebih banyak energi
- Menjadi pendengar yang baik
- Mengungkapkan pikiran para siswa melalui kata-kata Anda sendiri.
- Menyatakan kembali situasi negatif untuk menemukan hal-hal yang positif di dalamnya.
b.
Meningkatkan kualitas emosi positif
Contoh-contoh kualitas emosi positif adalah sikap jujur,
toleransi, saling menghargai, empati terhadap sesama, rasa percaya diri, sabar,
dan sebagainya. Emosi positif ini umumnya dimiliki oleh siswa atau remaja dari
interaksi sosialnya, seperti keluarga, sekolah dan pergaulan mereka di tengah
masyarakat. Pendidikan keluarga yang baik akan mendukung keberhasilan anak atau
remaja di sekolah. Begitu pula halnya dengan masyarakat. Ketiganya berinteraksi
secara sinergis, saling mempengaruhi. Anak yang pembohong umumnya berasal dari
keluarga yang suka bohong. Sebaliknya, keluarga yang hidup membiasakan
kejujuran, rasa tolerasi, saling menghargai, percaya diri sabar dan lain-lain.
Menyebabkan anak atau remaja akan terpola dengan kualitas emosional tersebut.
Kualitas emosional yang demikian sepatutnya ditingkatkan melalui pendidikan
formal di sekolah.
Pendidikan berfungsi menanamkan kualitas emosi positif
kepada peserta didiknya. Proses internalisasi nilai positif bukanlah
pengetahuan tentangnya, seperti memperkenalkan apa itu jujur, bagaimana konsep
toleransi, atau menjelaskan apa itu empati. Sama sekali bukan pengetahuan
tentangnya. Proses internalisasi nilai positif adalah penciptaan suasana, teladan,
penerapan strategi belajar dan interaksi sosial dalam komunitas pendidikan.
Penanaman kualitas emosi positif berguna bagi pembentukan watak (character
building)
Membangun watak tergolong dalam hidden curriculum yang
pencapaiannya bergantung pada proses pendidikan ketimbang pada substansinya.
Watak tidak dapat diajarkan, melainkan diperoleh melalui pengalaman anak yang
perlu dilatih. Model pembiasaan akan menghasilkan pengalaman yang dapat
membangun watak. Karenanya, yang perlu dikontrol adalah kondisi yang memberikan
pengalaman belajar mereka.
Pembangunan watak dan model lebih efektif diperoleh melalui
cara dialogis, dengan jalan mendiskusikan kasus nyata. Menurut Paulo Freire,
untuk menjadikan pendidikan itu bermakna, maka paradigma yang digunakan
harus diarahkan kepada pendidikan dialogis dan transformatif. Pendidikan dengan
nilai transformatif menghasilkan sumber daya dengan kinerja yang mandiri, tidak
perlu dikontrol, produktif, dapat mengendalikan diri (dalam mengawali dan
mengakhiri pekerjaan, dalam menciptakan dan melaksanakan pekerjaan, dan dalam
menyelesaikan pekerjaan).
Berikut ini akan diuraikan beberapa kualitas emosi positif
dan imbangnya. Tatkala seseorang tidak memiliki emosi positif tersebut maka
yang berkembang kemudian adalah karakter negatif.
Pertama, jujur
dan hukuman. Apabalia seorang anak mau mengakui secara jujur atas perbuatannya
yang salah, sebaiknya ia diperlakukan secara arif, bukan dibalas dengan
kemarahan. Misalnya, santi, seorang siswi kelas IV SD, tidak mengerjakan PR. Guru
akan bertanya kepadanya mengapa ia tidak mengerjakan PR. Jika santi dengan
jujur mengatakan bahwa ia lupa, maka sang guru hendaknya dengan arif
mengingatkan agar tidak mengulangi kealpaannya, misalnya dengan membiasakan
menyelesaikan tugas ketika ada kesempatan dan tidak menunda-nundanya. Bukan
dengan memarahi, apalagi menghukum secara fisik. Sifat lupa adalah alamiah, dan
karenanya tidak sepatutnya seseorang mendapat hukuman tidak mendidik atas
kealpaannya. Meskipun demikian, tugas adalah sebuah amanat yang harus
dikerjakan. Santi bisa dibimbing untuk mengerjakan PR dengan cara damai, tanpa
kekerasan.
Jika cara kekerasan ditempuh, misalnya menghukum santi
karena tidak mengerjakan PR, maka suatu saat apabila santi terlupa lagi
mengerjakan PR, ia bisa berbohong, mencari alasan lain sehingga sang guru tidak
memberi hukuman. Jika alasan berbuat sesuatu disampaikan secara jujur oleh
seorang anak dan ia harus mendapatkan kecaman dan hukuman, maka anak tersebut
akan mencari jalan untuk menutupi kesalahannya agar tidak dikecam atau dihukum.
Bila santi pamit kepada orang tuanya bahwa ia keluar rumah untuk bermain
kerumah temannya akan dimarahi, maka bisa saja santi berbohong dengan
mengatakan keluar rumah untuk belajar bersama dengan temannya. Akibatnya, watak
bohong akan melekat dalam dirinya karena orang tuanya sudah tidak menghormati
terhadap kejujurannya. Lagi pula perlakuan hukum-menghukum ini akan dipahami
sebagai jalan pintas untuk mengatasi masalah. Bisa dibayangkan bagaimana
jadinya jika santi di kemudian hari menjadi guru, dan muridnya melakukan
kesalahan? Tentulah terbayang di benak kita bahwa Santi akan menempuh cara
hukuman ini untuk mengatasi masalahnya. Penerapan hukuman bagaimanapun
berpotensi menimbulkan kekerasan.
HUKUMAN
DITEMPUH SEBAGAI ALTERNATIF YANG PALING AKHIR,
Apakah ini berarti bahwa hukuman itu tidak perlu diberikan?
Tentu tidak demikian maksudnya. Hukuman ditempuh sebagai alternatif yang paling
akhir, setelah proses bimbingan, sindiran, teguran, peringatan lisan dan
tertulis, dan skorsing sudah tidak efektif lagi, sementara kesalahan yang
dilakukan tergolong berat dan bila dibiarkan dapat menular kepada yang
lain. Jika demikian halnya, maka sekolah dalam hal ini guru, bisa menempuh cara
hukuman untuk menjadikan kualitas emosional anak tidak terus-menerus dalam
karakter negatif. Hukuman yang diberikan pun harus bersifat edukatif, bukan
semata-mata bersifat fisik, apalagi dilakukan dengan rasa dendam dan kebencian.
Lagi pula tidak semua kesalahan harus berakhir dengan hukuman.
Kedua, bersikap
toleran, tidak memaksakan untuk terjadinya bentrokan. Sikap toleran amat mudah
diucapkan tetapi sulit untuk dilakukan. Toleransi berarti mendiamkan, atau
membiarkan suatu perbuatan, sikap atau pendapat orang lain yang berbeda dengan
perbuatan, sikap atau pendapat diri sendiri, meski ada perbedaan secara
diametral sekalipun. Dalam bahasa Jawa toleransi disebut sebagai tepa selira,
yakni menjaga perasaan orang lain agar ia tidak tersinggung.
Perilaku mendiamkan atau membiarkan tersebut dilakukan dengan
kesadaran bahwa seseorang perlu menempatkan perbuatan, sikap dan pendapat orang
lain sebagai hal yang berbeda dengan perbuatan, sikap dan pendapat orang
tersebut. Dengan kesadaran toleransi atau tepa selira tadi, bila suatu
saat nanti terjadi suatu konflik antar sesama, maka win-win solution
akan lebih mudah dicapai, karena masing-masing pihak dapat memahami perbuatan,
sikap atau pendapat orang lain. Inti dari toleransi adalah menghargai
perbedaan, dan membiarkan kondisi berbeda tersebut seperti apa adanya. Jadi,
toleransi adalah agree in disagreement. Perdamaian diperoleh melalui
sikap saling mengerti dan toleransi ini. Sebaliknya, bila orang sudah tidak
lagi menyadari arti perbedaan, maka potensi konflik dapat berubah sewaktu-waktu
menjadi bentuk-bentuk kekerasan.
Menghargai perbedaan berarti sikap untuk menerima kehadiran
orang lain di tengah kehidupan kita secara kolektif, learning to live
together. Sekedar contoh, salah satu SMU di Virginia, Amerika Serikat,
menghimpun para siswa yang berasal dari 85 negara di dunia yang berbeda agama,
bangsa, bahasa, budaya, ras dan lain-lain. Contoh lainnya, International
Islamic University malaysia yang berdiri sejak 1983 setelah gagasan
Islamisasi Ilmu diterima dan diaplikasikan oleh beberapa negara Islam. Universitas
ini menerima perwakilan dari 32 negara dan 30% di antaranya berasal dari luar
negeri.
Dalam proses belajar-mengajar, sikap toleransi dapat
ditumbuhkan melalui berbagai metode pembelajaran. Jika Pak Fuad di
tengah-tengah mengajarnya, memberi waktu luang untuk tukar pendapat, diskusi,
atau tanya jawab untuk bertanya, membahas, usul, mengkritik atau bahkan menolak
pendapatnya mengenai suatu masalah, dan itu dliakukan secara rasional dengan
menghargai perbedaan pendapat di antara peserta didik, maka dengan demikian Pak
Fuad telah berupaya menanamkan sikap toleransi di antara para muridnya. Lebih
dari sekedar pengetahuan tentang apa itu toleransi, untuk apa toleransi dan
bagaimana cara bertoleransi, Pak Fuad telah memberi teladan melalui metode
mengajarnya tadi, memberi contoh konkrit bersikap toleransi. Bila setiap kali
mengajar Pak Fuad bersikap demikian, …bila semua guru bersikap demikian, …bila
semua sekolah bersikap demikian, …dan bila semua orang bersikap demikian,
…toleransi menjadi bagian dari kehidupan, maka budaya damai (culture
of peace) akan mudah dicapai.
Ketiga, empati
antipati. Dalam Emotional Intellegence, Daniel Goleman menyebut empati
sebagai “keterampilan dasar manusia” . Orang yang memiliki empati, kata
Goleman, “adalah pemimpin alamiah yang dapat mengekspresikan dan
mengartikulasikan sentimen kolektif yang tidak terucapkan, untuk membimbing
suatu kelompok menuju cita-citanya”. Hasil pengujian terhadap lebih dari 7000
orang di Amerika Serikat dan 18 negara lain menunjukkan bahwa manfaat empati
antara lain adalah orang menjadi lebih stabil secara emosional, lebih populer,
lebih ramah dan lebih berhasil dalam percintaan.[10]
Menurut Thomas Hatch dan Howard Gardner, empati adalah bagian penting untuk
pesona, sukses sosial bahkan kharisma. Empati mewujud pada perasaan maupun
pemahaman pemikiran seseorang dengan cara menempatkan diri atau ikut merasakan
perasaan orang lain tanpa merasakan yang sebenarnya. Seorang yang berempati
cenderung merasakan sesuatu yang dilakukan orang lain andai ia berada
dalam situasi yang dialami oleh orang lain tersebut. Melalui empati, orang
menggunakan perasaannya secara efektif di dalam situasi orang lain, didorong
oleh emosinya seolah-olah ia ikut ambil bagian dalam gerakan-gerakan yang
dilakukan orang lain, feeling into a person or thing.
Untuk lebih jelasnya, berikut sebuah contoh tentang
empati. Bila anda penggemar sepak bola, anda akan bersedia bangun pukul 1
malam, saat orang lain lagi tidur nyenyak, untuk menyaksikan kompetisi sepak
bola. Seolah tidak ingin ketinggalan, tiap langkah pemain dan gerakan bolanya
anda ikuti dengan seksama. Terlebih bila anda menjagokan salah satu regu atau
klub bintang anda, pastilah anda amat berharap terjadi tendangan gol ke kubu
lawan. Setelah lama waktu pertandingan berlangsung, anda tidak malah bosan,
melainkan makin antusias, penasaran dan berharap-cemas agar idola anda menang.
Jika pada detik-detik terakhir klub pilihan anda mencetak gol, dengan penuh
semangat anda beranjak dari tempat duduk seraya melompat dan bersorak gembira.
Saat pertandingan usai, dan keadaan pun tenang kembali, ketahuilah bahwa
gerakan emosional anda itu termasuk empati. Anda merasakan kemenangan dan
kegembiraan yang sama sebagaimana dirasakan oleh pencekatk gol, bahkan bisa
lebih, padahal anda bukan pencetak gol. Anda sekedar penggemar sepak bola, dan
bisa jadi anda berada ribuan mil dan stadion sepak bola tersebut.
Empati, jika diberikan kepada semakin banyak orang maka ia
akan berubah menjadi welas asih yang membangun. Dengan empati, anda
menjadi seorang warga dunia. Apakah Anda memiliki rasa empati? Untuk membantu
mengetahuinya, Jeanne Seagal membuat daftar pertanyaan di bawah ini guna
mengukut empati. Caranya, ambil sikap sesantai mungkin beberapa saat, kemudian
jawablah pertanyaan berikut dengan cepat, jujur, dan tanpa membuat penilaian.
1.
Apakah pada umumnya Anda merasa nyaman di rumah dan aman bersama orang lain?
2.
Apakah Anda senang memelihara binatang (atau Anda ingin memelihara jika belum
punya)?
3.
Apakah Anda merasa segar dan damai dengan berjalan-jalan di hutan, pantai atau
padang rumput?
4.
Pernahkah Anda memperhatikan perasaan yang berlawanan dengan perkataan
seseorang-kemarahan di balik raut wajah yang tenang. Kesedihan di balik suara
yang teratur, kegembiraan di balik kata-kata yang tersusun?
5.
Apakah Anda selalu langsung tahu ketika perbuatan yang Anda lakukan tanpa
sengaja membuat orang lain merasa tidak senang?
6.
Dapatkah anda membiarkan diri mengalami perasaan orang lain yang terluka,
akibat perbuatan yang Anda sengaja dan mungkin akan anda lakukan lagi?
7.
Dapatkah Anda terus mendengarkan meskipun orang lain meminta lebih dahulu dari
yang rela Anda berikan?
8.
Apakah Anda menjadi defensif ketika seseorang yang Anda sayangi mengatakan
bahwa Anda telah menyakiti atau mengecewakannya?
9.
Dapatkah Anda mendengarkan tanpa haraus setuju atau tidak setuju dengan
seseorang?
10.
Apakah anda berhenti mendengarkan orang ketika anda menjadi takut?
11.
Ingatkah Anda keluhan pihak lawan saat terakhir kali Anda berselisih dengannya?
12.
Ketika anak Anda mengalami kekecewaan besar, haruskah Anda segera melakukan
sesuatu untuk menghilangkan rasa sakitnya?
13.
Apakah Anda meyakini bahwa berkata tidak berarti menolak kebutuhan orang lain?
Jawaban “YA” yang diberikan pada pertanyaan nomor,
1,2,3,4,5,6,7,8, dan 11, dan jawaban “TIDAK” yang diberikan pada pertanyaan 9,
10, 12, dan 13, akan menunjukkan kemampuan empati dalam situasi berbeda-beda.
Jika Anda mengisi jawaban seperti itu, maka Anda dapat memahami perasaan,
kebutuhan, keinginan, dan harapan orang lain sambil tetap sepenuhnya sadar akan
pengalaman emosional Anda yang terpisah. Anda dapat merasakan sakit orang lain
tanpa mengorbankan diri atau harus mengendalikan situasi. Anda memperoleh
kekuatan inid ari sumber-sumber daya fisik, emosional, dan mental yang sama
dengan yang Anda kerahkan dalam kesadaran aktif. Di tengah pertengkaran yang
sengit sekalipun, misalnya, Anda tahu pasti kapan harus bertahan dan kapan
harus menyerah karena Anda sangat menyadari perasaan Anda dan perasaan orang
lain tentang hal yang dipertengkarkan.[11]
Empati berbeda dengan simpati. Simpati merupakan
kecenderungan untuk ikut merasakan segala sesuatu yang dirasakan orang lain
karena kesamaan cita-cita, penderitaan, daerah atau lainnya. Simpati adalah feeling
with another person, sedangkan empati lebih dalam dari itu. Empati tidak
harus terjadi akibat persamaan kondisi antara satu dengan yang lain, atau
didahului dengan saling kenal. Saya di sini dengan Anda di sana mungkin saja
tidak saling kenal atau tidak memiliki kesamaan, akan tetapi kalau saya mmapu
merasakan apa yang Anda rasakan ketika Anda berbuat atau mengalami peristiwa
tertentu, itu artinya saya berempati terhadap Anda
No comments:
Post a Comment