Friday, April 24, 2015

The Best Interests of The Child. Yang dimaksud dengan prinsip Kepentingan Terbaik bagi Anak







Muballigh  Pekanbaru IKMI  Riau Indonesia
M.RAKIB LPMP  RIAU




respect for the views of the child (penghargaan terhadap pendapat anak).
Pertama, Non-Discrimination. Yang dimaksud non diskriminasi adalah penyelenggaraan pendidikan anak yang bebas dari diskriminasi dalam bentuk apapun, tanpa memandang etnis, agama, jenis kelamin, ekonomi, keluarga, bahasa dan kelahiran serta kedudukan anak dalam status keluarga. Untuk mengimplementasikan prinsip ini pemerintah memiliki kewajiban untuk mengambil langkah-langkah yang layak.[4]
Kedua, The Best Interests of The Child. Yang dimaksud dengan prinsip Kepentingan Terbaik bagi Anak adalah dalam semua tindakan yang menyangkut anak yang dilakukan oleh lembaga-lembaga pendidikan, kesejahteraan sosial pemerintah maupun swasta, lembaga peradilan, badan legislatif, dan badan yudikatif, maka kepentingan yang terbaik bagi anak harus menjadi pertimbangan utama.[5]
Ketiga, The Right to Life, Survival and Development.Yang dimaksud dengan prinsip hak hidup, kelangsungan hidup dan perkembangan adalah hak asasi yang paling mendasar bagi anak yang harus dilindungi oleh negara, pemerintah, masyarakat, keluarga dan orangtua.[6] Karena itulah KHA memandang pentingnya pengakuan serta jaminan dari negara bagi kelangsungan hidup dan perkembangan anak, seperti dinyatakan dalam pasal 6 ayat 1, bahwa negara-negara peserta mengakui bahwa setiap anak memilki hak yang melekat atas kehidupan (inherent right to life)”, serta ayat 2 “ negara-negara peserta secara maksimal mungkin akan menjamin kelangsungan hidup dan perkembangan anak (survival and development of child)”.[7]
Keempat, Respect for The Views of The Child. Yang dimaksud dengan penghargaan terhadap pendapat anak adalah penghormatan atas hak-hak anak untuk berpartisipasi dan menyatakan pendapatnya dalam pengambilan keputusan terutama jika menyangkut hal-hal yang mempengaruhi kehidupannya.[8]
Pembelajaran Berbasis Pemenuhan Hak Anak

a. Menciptakan suasana kondusif
Suasana yang kondusif akan meningkatkan minat dan motivasi belajar anak. Oleh karenanya, suasana yang kondusif perlu terus dijaga ketika proses pembelajaran dan latihan dilakukan. Sebab dengan suasana tersebut internalisasi nilai dan sikap menjadi efektif. Bila dijumpai perusak suasana hendaklah segera diatasi agar tidak merusak keseluruhan proses. Dari sebuah penelitian menunjukkan bahwa lingkungan sosial atau suasana kelas merupakan penentu utama psikologis yang mempengaruhi belajar akademis. Di samping itu, guru akan mencapai hasil lebih tinggi jika mereka mampu menyingkirkan segala amcam ancaman, melibatkan emosi siswa dan membangun hubungan yang humanistik.[9]
Bobbi dePorter menyarankan terpenuhinya enam suasana agar dapat membangkitkan minat, motivasi, dan keriangan anak mengikuti proses belajar. Pertama, menumbuhkan niat belajar. Keyakinan seseorang mengenai kemampuan dirinya amat berpengaruh pada kemampuan itu sendiri. Dalam proses belajar-mengajar, baik guru maupun siswa hendaknya dapat membangkitkan niat tersebut dari dalam dirinya sendiri. Bila dijumpai siswa yang kurang bersemangat, maka mentalitas guru terhadap iklim belajar akan menjadi teladan dan berpengaruh bagi keseluruhan proses belajar. Memperhatikan emosi siswa juga dapat membantu percepatan pembelajaran mereka. Bila niat tidak mudah tumbuh dari dalam diri sendiri, dorongan orang lan, dalam hal ini terutama guru, amat diperlukan, agar tidak mempengaruhi semangat belajar yang lain.
Kedua, menjalin rasa simpati dan saling pengertian untuk menumbuhkan kepedulian sosial, sikap toleransi dan saling menghargai di antara siswa. Ada beberapa langkah yang bisa ditempuh, seperti:
  • Memperlakukan siswa sebagai manusia sederajat
  • Mengetahui apa yang disukai siswa, cara pikir mereka, dan perasaan mereka mengenai hal-hal yang terjadi dalam kehidupan mereka
  • Membayangkan apa yang siswa lakukan
  • Mengetahui hal yang menghambat para siswa dalam memperoleh hal yang benar-benar mereka inginkan. Jika guru memang tidak mengetahui hal yang diinginkan siswa, maka sebaiknya ditanyakan kepada siswa. Hindari sejauh mungkin sikap sok tahu.
  • Berbicara dengan jujur kepada para siswa dengan cara yang membuat mereka mendengarkan dengan jelas dan halus.
  • Melakukan kegiatan yang menyenangkan bersama para siswa.
Ketiga, menciptakan suasana riang. Kegembiraan membuat siswa lebih mudah untuk belajar dan bahkan dapat mengubah sikap negatif. Belajar dalam iklim menyenangkan, tanpa ada paksaan dan tekanan, akan menimbulkan kesadaran untuk menemukan sendiri jawaban atas persoalan yang dihadapi. Sebaliknya suasana tegang dan tertekan mengakibatkan siswa belajar dengan terpaksa. Menciptakan suasana riang dapat dilakukan dengan membiasakan membuat selingan. Misalkan, bertepuk tangan, berteriakan ‘hore’ menghentikkan jari, menulis poter, membuat catatan pribadi, membuat kejutan, pengakuan atas prestasi siswa, pujian maupun penguatan. Hal terpenting dar langkah ini adalah menjaga suasana riang agar tidak berubah menjadi senda gurau.
Keempat, mengambil risiko. Sebagai gambaran, kita bisa mengingat saat-saat belajar naik sepeda di masa kecil? Pada mulanya susah,…namun terus dicoba. Kadang kala jatuh, tapi masih tetap mau bangun. Tidak jarang terluka karena kurang hati-hati. Memang berisiko, tetapi tetap menyenangkan. Keberanian mengambil risiko yang menantang itulah terletak keasyikan belajar. Hal-hal itulah yang hendaknya diwujudkan dalam suasana belajar di ruang kelas: tidak mudah menyerah, terus berpikir untuk memecahkan masalah. Belajar dengan tantangan bisa mengurangi kejenuhan dan rasa bosan.
Kelima, menciptakan rasa saling memiliki. Sebab, rasa saling memiliki membentuk kebersamaan, kesatuan, kesepakatan dan dukungan dalam belajar. Rasa saling memiliki juga memeprcepat proses mengajar dan meningkatkan kepemilikan. Kebanyakan konflik kekerasan yang muncul adalah akibat ketiadaan rasa saling memiliki. Pendidikan damai amat mementingkan kebersamaan, kesatuan dan kesepakatan bersama untuk saling menghargai perbedaan dan menyelesaikan konflik tanpa keerasa.
Keenam, menunjukkan teladan yang baik. Perilaku nyata akan lebih berarti daripada seribu kata. Hal-hal yang diperbuat oleh guru akan menjadi cermin bagi para murid. Untuk itu, sebaiknya mendahulukan bukti-bukti berupa sikap, sikap damai, kasih sayang, empati, disiplin dna lain sebagainya, sebelum mengajarkan dengan kata kepada orang lain tentang damai, kasih sayang dan seterusnya.
Langkah ini bisa dilakukan dengan beberapa cara berikut.
  • Memberikan teladan dalam wujud komunikasi yang jelas
  • Mengakui setiap usaha siswa
  • Murah senyum
  • Menggunakan energi untuk menciptakan lebih banyak energi
  • Menjadi pendengar yang baik
  • Mengungkapkan pikiran para siswa melalui kata-kata Anda sendiri.
    • Menyatakan kembali situasi negatif untuk menemukan hal-hal yang positif di dalamnya.
b. Meningkatkan kualitas emosi positif
Contoh-contoh kualitas emosi positif adalah sikap jujur, toleransi, saling menghargai, empati terhadap sesama, rasa percaya diri, sabar, dan sebagainya. Emosi positif ini umumnya dimiliki oleh siswa atau remaja dari interaksi sosialnya, seperti keluarga, sekolah dan pergaulan mereka di tengah masyarakat. Pendidikan keluarga yang baik akan mendukung keberhasilan anak atau remaja di sekolah. Begitu pula halnya dengan masyarakat. Ketiganya berinteraksi secara sinergis, saling mempengaruhi. Anak yang pembohong umumnya berasal dari keluarga yang suka bohong. Sebaliknya, keluarga yang hidup membiasakan kejujuran, rasa tolerasi, saling menghargai, percaya diri sabar dan lain-lain. Menyebabkan anak atau remaja akan terpola dengan kualitas emosional tersebut. Kualitas emosional yang demikian sepatutnya ditingkatkan melalui pendidikan formal di sekolah.
Pendidikan berfungsi menanamkan kualitas emosi positif kepada peserta didiknya. Proses internalisasi nilai positif bukanlah pengetahuan tentangnya, seperti memperkenalkan apa itu jujur, bagaimana konsep toleransi, atau menjelaskan apa itu empati. Sama sekali bukan pengetahuan tentangnya. Proses internalisasi nilai positif adalah penciptaan suasana, teladan, penerapan strategi belajar dan interaksi sosial dalam komunitas pendidikan. Penanaman kualitas emosi positif berguna bagi pembentukan watak (character building)
Membangun watak tergolong dalam hidden curriculum  yang pencapaiannya bergantung pada proses pendidikan ketimbang pada substansinya. Watak tidak dapat diajarkan, melainkan diperoleh melalui pengalaman anak yang perlu dilatih. Model pembiasaan akan menghasilkan pengalaman yang dapat membangun watak. Karenanya, yang perlu dikontrol adalah kondisi yang memberikan pengalaman belajar mereka.
Pembangunan watak dan model lebih efektif diperoleh melalui cara dialogis, dengan jalan mendiskusikan kasus nyata. Menurut Paulo Freire, untuk menjadikan pendidikan itu bermakna, maka paradigma  yang digunakan harus diarahkan kepada pendidikan dialogis dan transformatif. Pendidikan dengan nilai transformatif menghasilkan sumber daya dengan kinerja yang mandiri, tidak perlu dikontrol, produktif, dapat mengendalikan diri (dalam mengawali dan mengakhiri pekerjaan, dalam menciptakan dan melaksanakan pekerjaan, dan dalam menyelesaikan pekerjaan).
Berikut ini akan diuraikan beberapa kualitas emosi positif dan imbangnya. Tatkala seseorang tidak memiliki emosi positif tersebut maka yang berkembang kemudian adalah karakter negatif.
Pertama, jujur dan hukuman. Apabalia seorang anak mau mengakui secara jujur atas perbuatannya yang salah, sebaiknya ia diperlakukan secara arif, bukan dibalas dengan kemarahan. Misalnya, santi, seorang siswi kelas IV SD, tidak mengerjakan PR. Guru akan bertanya kepadanya mengapa ia tidak mengerjakan PR. Jika santi dengan jujur mengatakan bahwa ia lupa, maka sang guru hendaknya dengan arif mengingatkan agar tidak mengulangi kealpaannya, misalnya dengan membiasakan menyelesaikan tugas ketika ada kesempatan dan tidak menunda-nundanya. Bukan dengan memarahi, apalagi menghukum secara fisik. Sifat lupa adalah alamiah, dan karenanya tidak sepatutnya seseorang mendapat hukuman tidak mendidik atas kealpaannya. Meskipun demikian, tugas adalah sebuah amanat yang harus dikerjakan. Santi bisa dibimbing untuk mengerjakan PR dengan cara damai, tanpa kekerasan.
Jika cara kekerasan ditempuh, misalnya menghukum santi karena tidak mengerjakan PR, maka suatu saat apabila santi terlupa lagi mengerjakan PR, ia bisa berbohong, mencari alasan lain sehingga sang guru tidak memberi hukuman. Jika alasan berbuat sesuatu disampaikan secara jujur oleh seorang anak dan ia harus mendapatkan kecaman dan hukuman, maka anak tersebut akan mencari jalan untuk menutupi kesalahannya agar tidak dikecam atau dihukum. Bila santi pamit kepada orang tuanya bahwa ia keluar rumah untuk bermain kerumah temannya akan dimarahi, maka bisa saja santi berbohong dengan mengatakan keluar rumah untuk belajar bersama dengan temannya. Akibatnya, watak bohong akan melekat dalam dirinya karena orang tuanya sudah tidak menghormati terhadap kejujurannya. Lagi pula perlakuan hukum-menghukum ini akan dipahami sebagai jalan pintas untuk mengatasi masalah. Bisa dibayangkan bagaimana jadinya jika santi di kemudian hari menjadi guru, dan muridnya melakukan kesalahan? Tentulah terbayang di benak kita bahwa Santi akan menempuh cara hukuman ini untuk mengatasi masalahnya. Penerapan hukuman bagaimanapun berpotensi menimbulkan kekerasan.
HUKUMAN DITEMPUH SEBAGAI ALTERNATIF YANG PALING AKHIR,
Apakah ini berarti bahwa hukuman itu tidak perlu diberikan? Tentu tidak demikian maksudnya. Hukuman ditempuh sebagai alternatif yang paling akhir, setelah proses bimbingan, sindiran, teguran, peringatan lisan dan tertulis, dan skorsing sudah tidak efektif lagi, sementara kesalahan yang dilakukan tergolong berat dan bila dibiarkan dapat menular kepada  yang lain. Jika demikian halnya, maka sekolah dalam hal ini guru, bisa menempuh cara hukuman untuk menjadikan kualitas emosional anak tidak terus-menerus dalam karakter negatif. Hukuman yang diberikan pun harus bersifat edukatif, bukan semata-mata bersifat fisik, apalagi dilakukan dengan rasa dendam dan kebencian. Lagi pula tidak semua kesalahan harus berakhir dengan hukuman.
Kedua,  bersikap toleran, tidak memaksakan untuk terjadinya bentrokan. Sikap toleran amat mudah diucapkan tetapi sulit untuk dilakukan. Toleransi berarti mendiamkan, atau membiarkan suatu perbuatan, sikap atau pendapat orang lain yang berbeda dengan perbuatan, sikap atau pendapat diri sendiri, meski ada perbedaan secara diametral sekalipun. Dalam bahasa Jawa toleransi disebut sebagai tepa selira, yakni menjaga perasaan orang lain agar ia tidak tersinggung.
Perilaku mendiamkan atau membiarkan tersebut dilakukan dengan kesadaran bahwa seseorang perlu menempatkan perbuatan, sikap dan pendapat orang lain sebagai hal yang berbeda dengan perbuatan, sikap dan pendapat orang tersebut. Dengan kesadaran toleransi atau tepa selira tadi, bila suatu saat nanti terjadi suatu konflik antar sesama, maka win-win solution akan lebih mudah dicapai, karena masing-masing pihak dapat memahami perbuatan, sikap atau pendapat orang lain. Inti dari toleransi adalah menghargai perbedaan, dan membiarkan kondisi berbeda tersebut seperti apa adanya. Jadi, toleransi adalah agree in disagreement. Perdamaian diperoleh melalui sikap saling mengerti dan toleransi ini. Sebaliknya, bila orang sudah tidak lagi menyadari arti perbedaan, maka potensi konflik dapat berubah sewaktu-waktu menjadi bentuk-bentuk kekerasan.
Menghargai perbedaan berarti sikap untuk menerima kehadiran orang lain di tengah kehidupan kita secara kolektif, learning to live together. Sekedar contoh, salah satu SMU di Virginia, Amerika Serikat, menghimpun para siswa yang berasal dari 85 negara di dunia yang berbeda agama, bangsa, bahasa, budaya, ras dan lain-lain. Contoh lainnya, International Islamic University malaysia  yang berdiri sejak 1983 setelah gagasan Islamisasi Ilmu diterima dan diaplikasikan oleh beberapa negara Islam. Universitas ini menerima perwakilan dari 32 negara dan 30% di antaranya berasal dari luar negeri.
Dalam proses belajar-mengajar, sikap toleransi dapat ditumbuhkan melalui berbagai metode pembelajaran. Jika Pak Fuad di tengah-tengah mengajarnya, memberi waktu luang untuk tukar pendapat, diskusi, atau tanya jawab untuk bertanya, membahas, usul, mengkritik atau bahkan menolak pendapatnya mengenai suatu masalah, dan itu dliakukan secara rasional dengan menghargai perbedaan pendapat di antara peserta didik, maka dengan demikian Pak Fuad telah berupaya menanamkan sikap toleransi di antara para muridnya. Lebih dari sekedar pengetahuan tentang apa itu toleransi, untuk apa toleransi dan bagaimana cara bertoleransi, Pak Fuad telah memberi teladan melalui metode mengajarnya tadi, memberi contoh konkrit bersikap toleransi. Bila setiap kali mengajar Pak Fuad bersikap demikian, …bila semua guru bersikap demikian, …bila semua sekolah bersikap demikian, …dan bila semua orang bersikap demikian, …toleransi  menjadi bagian dari kehidupan, maka budaya damai (culture of peace) akan mudah dicapai.
Ketiga,  empati antipati. Dalam Emotional Intellegence, Daniel Goleman menyebut empati sebagai “keterampilan dasar manusia” . Orang yang memiliki empati, kata Goleman, “adalah pemimpin alamiah yang dapat mengekspresikan dan mengartikulasikan sentimen kolektif yang tidak terucapkan, untuk membimbing suatu kelompok menuju cita-citanya”. Hasil pengujian terhadap lebih dari 7000 orang di Amerika Serikat dan 18 negara lain menunjukkan bahwa manfaat empati antara lain adalah orang menjadi lebih stabil secara emosional, lebih populer, lebih ramah dan lebih berhasil dalam percintaan.[10]  Menurut Thomas Hatch dan Howard Gardner, empati adalah bagian penting untuk pesona, sukses sosial bahkan kharisma. Empati mewujud pada perasaan maupun pemahaman pemikiran seseorang dengan cara menempatkan diri atau ikut merasakan perasaan orang lain tanpa merasakan yang sebenarnya. Seorang yang berempati cenderung merasakan sesuatu  yang dilakukan orang lain andai ia berada dalam situasi yang dialami oleh orang lain tersebut. Melalui empati, orang menggunakan perasaannya secara efektif di dalam situasi orang lain, didorong oleh emosinya seolah-olah ia ikut ambil bagian dalam gerakan-gerakan yang dilakukan orang lain, feeling into a person or thing.
 Untuk lebih jelasnya, berikut sebuah contoh tentang empati. Bila anda penggemar sepak bola, anda akan bersedia bangun pukul 1 malam, saat orang lain lagi tidur nyenyak, untuk menyaksikan kompetisi sepak bola. Seolah tidak ingin ketinggalan, tiap langkah pemain dan gerakan bolanya anda ikuti dengan seksama. Terlebih bila anda menjagokan salah satu regu atau klub bintang anda, pastilah anda amat berharap terjadi tendangan gol ke kubu lawan. Setelah lama waktu pertandingan berlangsung, anda tidak malah bosan, melainkan makin antusias, penasaran dan berharap-cemas agar idola anda menang. Jika pada detik-detik terakhir klub pilihan anda mencetak gol, dengan penuh semangat anda beranjak dari tempat duduk seraya melompat dan bersorak gembira. Saat pertandingan usai, dan keadaan pun tenang kembali, ketahuilah bahwa gerakan emosional anda itu termasuk empati. Anda merasakan kemenangan dan kegembiraan yang sama sebagaimana dirasakan oleh pencekatk gol, bahkan bisa lebih, padahal anda bukan pencetak gol. Anda sekedar penggemar sepak bola, dan bisa jadi anda berada ribuan mil dan stadion sepak bola tersebut.
Empati, jika diberikan kepada semakin banyak orang maka ia akan berubah menjadi welas asih yang membangun. Dengan empati, anda menjadi seorang warga dunia. Apakah Anda memiliki rasa empati? Untuk membantu mengetahuinya, Jeanne Seagal membuat daftar pertanyaan di bawah ini guna mengukut empati. Caranya, ambil sikap sesantai mungkin beberapa saat, kemudian jawablah pertanyaan berikut dengan cepat, jujur, dan tanpa membuat penilaian.
1.      Apakah pada umumnya Anda merasa nyaman di rumah dan aman bersama orang lain?
2.      Apakah Anda senang memelihara binatang (atau Anda ingin memelihara jika belum punya)?
3.      Apakah Anda merasa segar dan damai dengan berjalan-jalan di hutan, pantai atau padang rumput?
4.      Pernahkah Anda memperhatikan perasaan yang berlawanan dengan perkataan seseorang-kemarahan di balik raut wajah yang tenang. Kesedihan di balik suara yang teratur, kegembiraan di balik kata-kata yang tersusun?
5.      Apakah Anda selalu langsung tahu ketika perbuatan yang Anda lakukan tanpa sengaja membuat orang lain merasa tidak senang?
6.      Dapatkah anda membiarkan diri mengalami perasaan orang lain yang terluka, akibat perbuatan yang Anda sengaja dan mungkin akan anda lakukan lagi?
7.      Dapatkah Anda terus mendengarkan meskipun orang lain meminta lebih dahulu dari yang rela Anda berikan?
8.      Apakah Anda menjadi defensif ketika seseorang yang Anda sayangi mengatakan bahwa Anda telah menyakiti atau mengecewakannya?
9.      Dapatkah Anda  mendengarkan tanpa haraus setuju atau tidak setuju dengan seseorang?
10.  Apakah anda berhenti mendengarkan orang ketika anda menjadi takut?
11.  Ingatkah Anda keluhan pihak lawan saat terakhir kali Anda berselisih dengannya?
12.  Ketika anak Anda mengalami kekecewaan besar, haruskah Anda segera melakukan sesuatu untuk menghilangkan rasa sakitnya?
13.  Apakah Anda meyakini bahwa berkata tidak berarti menolak kebutuhan orang lain?
Jawaban “YA” yang diberikan pada pertanyaan nomor, 1,2,3,4,5,6,7,8, dan 11, dan jawaban “TIDAK” yang diberikan pada pertanyaan 9, 10, 12, dan 13, akan menunjukkan kemampuan empati dalam situasi berbeda-beda. Jika Anda mengisi jawaban seperti itu, maka Anda dapat memahami perasaan, kebutuhan, keinginan, dan harapan orang lain sambil tetap sepenuhnya sadar akan pengalaman emosional Anda yang terpisah. Anda dapat merasakan sakit orang lain tanpa mengorbankan diri atau harus mengendalikan situasi. Anda memperoleh kekuatan inid ari sumber-sumber daya fisik, emosional, dan mental yang sama dengan yang Anda kerahkan dalam kesadaran aktif. Di tengah pertengkaran yang sengit sekalipun, misalnya, Anda tahu pasti kapan harus bertahan dan kapan harus menyerah karena Anda sangat menyadari perasaan Anda dan perasaan orang lain tentang hal yang dipertengkarkan.[11]
Empati berbeda dengan simpati. Simpati merupakan kecenderungan untuk ikut merasakan segala sesuatu yang dirasakan orang lain karena kesamaan cita-cita, penderitaan, daerah atau lainnya. Simpati adalah feeling with another person, sedangkan empati lebih dalam dari itu. Empati tidak harus terjadi akibat persamaan kondisi antara satu dengan yang lain, atau didahului dengan saling kenal. Saya di sini dengan Anda di sana mungkin saja tidak saling kenal atau tidak memiliki kesamaan, akan tetapi kalau saya mmapu merasakan apa yang Anda rasakan ketika Anda berbuat atau mengalami peristiwa tertentu, itu artinya saya berempati terhadap Anda

No comments:

Post a Comment

Komentar Facebook