M.RAKIB JL. CIPTAKARYA PEKANBARU RIAU INDONESIA
Hati adalah tempat mangkalnya berbagai perasaan, tumbuh kembang antara kebaikan dan keburukan. Hati juga menjadi sumber ilham dan permasalahan, tempat lahirnya cinta dan kebencian, serta muara bagi keimanan dan kekufuran.
Hati juga sumber kebahagiaan jika sang pemiliknya mampu membersihkan berbagai kotorannya yang berserakan, namun sebaliknya ia merupakan sumber bencana jika sang
empunya gemar mengotorinya.
Hati yang kotor hanya akan menyebabkan kapasitas ruangnya menjadi pengap, sumpek, gelap, dan bahkan mati. Jika sudah mati seluruh komponen juga akan turut mati. Dalam makna yang sama, Abu Hurairah RA berkata, “Hati ibarat panglima, sedangkan anggota badan adalah tentara. Jika panglima itu baik maka akan baik pulalah tentaranya. Jika raja itu buruk maka akan buruk pula tentaranya.”
Pada akhirnya kita bisa mengenali dalam keadaan apa hati seseorang itu mati. Di antaranya adalah pertama, taarikush shalah, meninggalkan shalat dengan tanpa uzur atau tidak dengan alasan yang dibenarkan oleh syar’i. (QS Maryam [19]: 59).
Imbas dari seringnya meninggalkan shalat adalah kebiasaan memperturutkan hawa nafsu. Dan, kalau sudah demikian, dia akan menabung banyak kemaksiatan dan dosa. Ibnu Mas’ud menafsirkan kata ‘ghoyya’ dalam ayat tersebut dengan sebuah aliran sungai di Jahanam (neraka) yang makanannya sangat menjijikkan. Bahkan, tempatnya sangat dalam dan diperuntukkan bagi mereka yang membiarkan dirinya larut dalam kemaksiatan.
Kedua, adz-dzanbu bil farhi, melakukan kemaksiatan dan dosa dengan bangga. Alih-alih merasa berdosa dan menyesal, justru si pemilik hati yang mati, ia teramat menikmati kemaksiatan dan dosanya. (QS al-A’raf [7]: 3).
Ketiga, karhul Qur'an, benci pada Alquran. Seorang Muslim, jelas memiliki pedoman yang menyelamatkan, yaitu Alquran. Tapi, justru ia enggan berpedoman dan mencari selamat dengan kitab yang menjadi mukjizat penuntun sepanjang zaman ini. Bahkan, ia membencinya dan tidak senang terhadap orang atau sekelompok orang yang berkhidmat dan bercita-cita luhur dengan Alquran.
Keempat, hubbul ma'asyi, gemar bermaksiat dan mencintai kemaksiatan. Nafsu yang diperturutkan akan mengantarkan mata hatinya tertutup, sehingga susah mengakses cahaya Ilahi. Sehingga, ia lebih senang maksiat daripada ibadah.
Ada catatan yang mengerikan dari KOLAKA, KOMPAS.com - Dua remaja, MA (15) dan AI (16), dikurung di ruang tahanan Polres Kolaka, Sulawesi Tenggara. Keduanya terlibat dalam kasus perampokan disertai kekerasan yang menewaskan korbannya.
Perampokan itu ternyata dilatarbelakangi sesuatu yang sepele. MA mengaku merampok karena ingin membeli nasi kuning.
"Yang saya rencana mau ambil itu uang Pak, untuk beli nasi kuning. Tidak ada maksud yang lain," kata MA yang ditemui Kompas.com di Polres Kolaka, Minggu (15/3/2015).
Dia juga mengakui sedang mabuk ketika beraksi. "Memang mabuk, jadi yang masuk ke rumah itu hanya saya saja. Temanku cuma menunggu diluar," tambah dia.
MA mengaku tidak berniat membunuh korbannya. "Dia mau berteriak terpaksa saya tikam pakai taji ayam. Memang taji itu saya bawa tapi tidak ada niat untuk membunuh," tegasnya.
Seperti diberitakan sebelumnya, MA dan AI merampok sebuah rumah di Kelurahan Dawi-dawi, Kecamatan Pomalaa, Kabupaten Kolaka. Akibat serangan remaja 15 tahun itu, pemilik rumah Muliana tewas sementara suaminya, Abdul Malik, terluka parah. [Baca: Dua Remaja di Kolaka Merampok dan Membunuh
-.
Vonis Pidana DYS
Vonis pidana kurungan 2 bulan 6 hari
terhadap DYS yang masih berusia 11
tahun
menuai banyak reaksi dan kecaman.
Yayasan
Lembaga Bantuan Hukum Indonesia
(YLBHI)
mengecam sikap aparat penegak hukum
yang
telah membawa dan mengadili seorang
anak
yang belum berusia 12 tahun ke
pengadilan.
Menurut Ketua YLBHI, Alvon Kurnia
Palma,
berdasarkan putusan Mahkamah
Konstitusi
24 Februari 2011, anak yang bisa
dimintai
pertanggungjawaban secara pidana
hanya
yang sudah berumur 12 tahun.
Seharusnya
anak itu dikembalikan kepada
keluarganya
atau diserahkan ke Kementerian
Sosial atau
balai pemasyarakatan. YLBHI bersama
KPAI
mengajukan banding atas vonis
tersebut, agar
status DYS dibatalkan. YLBHI juga
meminta
agar hakim yang menanganinya
diberikan
sanksi.
Komisi Perlindungan Anak Indonesia
(KPAI) mengecam putusan hakim
tersebut.
Menurut Sekretaris KPAI, Muhammad
Ichsan,
vonis yang dijatuhkan hakim
Roziyanti telah
bertentangan dengan putusan Mahkamah
Konstitusi. Vonis itu keliru dan
menggunakan
ketentuan dalam UU Pengadilan Anak
yang
lama, yang mencantumkan batas usia
anak
yang bisa dipidana adalah 8 tahun.
Aparat
penegak hukum yang mengadili perkara
ini
tidak memahami aturan perlindungan
anak.
Bukan hanya hakim, mulai polisi dan
jaksa
juga tidak memahaminya. Seharusnya
aparat
kepolisian setempat tidak meneruskan
kasus
ini, karena pelakunya masih anak di
bawah usia
12 tahun.
Menu
Penulis belum mendalami, baru hanya membuat catatan bahwa Kaidah Fiqih bukan dalil, tetapi sarana untuk mempermudah menentukan hukum pada masalah-masalah yang kita jumpai di masyarakat. Maka para ulama’ telah memberikan investasi besar kepada kita agar kita dapat memahami hukum Islam ini dengan mudah.
Oleh karena itu, bahwa proses
pembentukan kaidah Fiqih adalah sebagai berikut :
1. Sumber hukum Islam: Al-Quran dan
Hadits;
2. Kemudian muncul ushul fiqih
sebagai metodologi di dalam penarikan hukum (istibath al-ahkam). Dengan
metodologi ushul fiqih yang menggunakan pola pikir deduktif menghasilkan Fiqih;
3. Fiqih ini banyak materinya. Dari
materi Fiqih yang banyak itu kemudian oleh ulama-ulama yang mendalami ilmu di
bidang Fiqih, diteliti persamaannya dengan menggunakan pola piker deduktif
kemudian dikelompokkan, dan tiap-tiap kelompok merupakan kumpulan dari
masalah-masalah yang serupa, akhirnya disimpulkan menjadi kaidah-kaidah Fiqih;
4. Selanjutnya kaidah-kaidah tadi
dikritisi kembali dengan menggunakan banyak ayat dan banyak hadits, terutama
untuk dinilai kesesuaiannya dengan substansi ayat-ayat Al-Quran dan hadits
nabi;
5. Apabila sudah dianggap sesuai
dengan ayat Al-Quran dan banyak hadits Nabi, baru kemudian kaidah fiqih
tersebut menjadi kaidah yang mapan;
6. Apabila sudah menjadi kaidah yang
mapan/akurat, maka ulama-ulama Fiqih menggunakan kaidah tadi untuk menjawab
permasalahan masyarakat, baik di bidang sosial, ekonomi, politik, dan budaya,
akhirnya memunculkan hukum-hukum Fiqih baru;
7. Oleh karena itu tidaklah
mengherankan apabila ulama memberikan fatwa, terutama di dalam hal-hal baru
yang praktis selalu menggunakan kaidah-kaidah Fiqih, bahkan kekhalifahan Turki
Utsmani di dalam Majalah al-Ahkam al-Adliyah, menggunakan 99 kaidah di dalam
membuat undang-undang tentang akad-akad muamalah dengan 185 pasal;
8. Seperti telah disinggung di muka.
Ibnu Qayyim al-Jauzaiyah (w.751 H)
murid Ibnu Taimiyah dalam kitab Fiqihnya "I'lam al-Muwaqi'in Rabb
al-Alamin", memunculkan kaidah :
تغيُّرُ الْفتْوى واخْتِلافُها
بِحسْبِ تغيُّرِ اْلأزْمِنةِ واْلأمْكِنةِ واْلأحْوالِ والنِّيّاتِ والْعوائِدِ
"Fatwa berubah dan berbeda
sesuai dengan perubahan zaman, tempat keadaan, niat, dan adat kebisaaan"
No comments:
Post a Comment