MENGAPA MENUNTUT ILMU
Oleh
HM.Rakib Jamary, S.H.,M.Ag. JL.Ciptakarya Pekanbaru Riau Muballigh
IKMI Pekanbaru
Assalamu’alaikum
WW.
Sesungguhnya
wajib bagi kita bersyukur kepada Allah dengan cara menuntut ilmu dan melaksanakan
kewajiban terhadap-Nya. Merupakan kewajiban karena nikmat yang telah diberikan
Allah kepada kita. Kemudian shalawat dan salam kepada Nabi Muhammad SAW.
KEMUMU DI DALAM SEMAK
JATUH TERPENTAL SELARANYA
SEKALIPUN ILMU SETINGGI TEGAK
TIDAK BERMORAL APA GUNANYA
Salah satu fenomena yang cukup memprihatinkan
pada zaman kita saat ini adalah rendahnya semangat menuntut ilmu agama. Ilmu agama seakan
menjadi suatu hal yang terpinggirkan bagi mayoritas bangsa kita. Berbeda halnya
dengan semangat untuk mencari ilmu dunia. Seseorang bisa jadi mengorbankan apa
saja untuk meraihnya. Kita begitu sabar menempuh pendidikan mulai dari awal di
sekolah dasar hingga puncaknya di perguruan tinggi demi mencari pekerjaan dan
penghidupan yang layak.
Mayoritas umur, waktu dan harta kita, dihabiskan
untuk menuntut ilmu dunia di bangku sekolah. Bagi yang menuntut ilmu sampai ke
luar negeri, mereka mengorbankan segala-galanya demi meraih ilmu kebanggaan duniawi:
jauh dari keluarga, jauh dari kampung halaman, dan sebagainya. Lalu, bagaimana
dengan ilmu agama? Terlintas dalam benak kita untuk serius mempelajarinya pun
mungkin tidak. Apalagi sampai mengorbankan waktu, harta dan tenaga untuk
meraihnya. Tulisan ini kami maksudkan untuk mengingatkan diri kami pribadi dan
para pembaca bahwa menuntut ilmu agama adalah kewajiban yang melekat atas
setiap diri kita, apa pun latar belakang profesi dan pekerjaan kita.
Kewajiban Menuntut Ilmu Agama
PERNAH KUCOBA BERTANI PADI
LIMA TAHUN MENGORBANKAN DIRI
SAMBIL SEKOLAH MENCARI REZEKI
DI KAMPAR RIAU PERGI MENGAJI
KUCOBA PULA, BELAJAR MENJAHIT
SETIAP HARI MESIN DIGOHEAD
BANYAKNYA HALANGAN BERDERET-DERET
DI DALAM HATI PEDIH DAN SAKIT
Kaum muslimin yang berbahagia
Sebagian di antara kita mungkin menganggap bahwa
hukum menuntut ilmu agama sekedar sunnah saja, yang diberi pahala bagi
yang melakukannya dan tidak berdosa bagi siapa saja yang meninggalkannya.
Padahal, terdapat beberapa kondisi di mana hukum menuntut ilmu agama adalah
wajib atas setiap muslim (fardhu ‘ain) sehingga berdosalah setiap orang
yang meninggalkannya. Sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam,
طَلَبُ الْعِلْمِ فَرِيضَةٌ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ
”Menuntut ilmu itu wajib atas setiap
muslim”. (HR. Ibnu Majah. Dinilai shahih oleh Syaikh Albani dalam Shahih
wa Dha’if Sunan Ibnu Majah no. 224)
Dalam hadits ini, Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam dengan tegas menyatakan bahwa menuntut ilmu itu hukumnya wajib
atas setiap muslim, bukan bagi sebagian orang muslim saja. Lalu, “ilmu”
apakah yang dimaksud dalam hadits ini? Penting untuk diketahui bahwa ketika
Allah Ta’ala atau Rasul-Nya Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebutkan
kata “ilmu” saja dalam Al Qur’an atau As-Sunnah, maka ilmu yang dimaksud adalah
ilmu syar’i (ilmu agama), termasuk kata “ilmu” yang terdapat dalam hadits di
atas.
Sebagai contoh, berkaitan dengan firman Allah Ta’ala,
وَقُلْ
رَبِّ زِدْنِي عِلْمًا
“Dan katakanlah,‘Wahai Rabb-ku, tambahkanlah
kepadaku ilmu’“. (QS. Thaaha [20] : 114)
maka Ibnu Hajar Al-Asqalani rahimahullah berkata,
( وَقَوْله عَزَّ
وَجَلَّ : رَبّ زِدْنِي عِلْمًا ) وَاضِح الدَّلَالَة فِي فَضْل الْعِلْم ؛
لِأَنَّ اللَّه تَعَالَى لَمْ يَأْمُر نَبِيّه صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
بِطَلَبِ الِازْدِيَاد مِنْ شَيْء إِلَّا مِنْ الْعِلْم ، وَالْمُرَاد بِالْعِلْمِ
الْعِلْم الشَّرْعِيّ الَّذِي يُفِيد مَعْرِفَة مَا يَجِب عَلَى الْمُكَلَّف مِنْ
أَمْر عِبَادَاته وَمُعَامَلَاته ، وَالْعِلْم بِاَللَّهِ وَصِفَاته ، وَمَا يَجِب
لَهُ مِنْ الْقِيَام بِأَمْرِهِ ، وَتَنْزِيهه عَنْ النَّقَائِض
“Firman Allah Ta’ala (yang artinya),’Wahai
Rabb-ku, tambahkanlah kepadaku ilmu’ mengandung dalil yang tegas tentang
keutamaan ilmu. Karena sesungguhnya Allah Ta’ala tidaklah memerintahkan
Nabi-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk meminta tambahan sesuatu kecuali
(tambahan) ilmu. Adapun yang dimaksud dengan (kata) ilmu di sini adalah ilmu
syar’i. Yaitu ilmu yang akan menjadikan seorang mukallaf mengetahui
kewajibannya berupa masalah-masalah ibadah dan muamalah, juga ilmu tentang
Allah dan sifat-sifatNya, hak apa saja yang harus dia tunaikan dalam beribadah
kepada-Nya, dan mensucikan-Nya dari berbagai kekurangan”. (Fathul Baari,
1/92)
Dari penjelasan Ibnu Hajar rahimahullah di
atas, jelaslah bawa ketika hanya disebutkan kata “ilmu” saja, maka yang
dimaksud adalah ilmu syar’i. Oleh karena itu, merupakan sebuah kesalahan
sebagian orang yang membawakan dalil-dalil tentang kewajiban dan keutamaan
menuntut ilmu dari Al Qur’an dan As-Sunnah, namun yang mereka maksud adalah
untuk memotivasi belajar ilmu duniawi. Meskipun demikian, bukan berarti kita
mengingkari manfaat belajar ilmu duniawi. Karena hukum mempelajari ilmu duniawi
itu tergantung pada tujuannya. Apabila digunakan dalam kebaikan, maka baik. Dan
apabila digunakan dalam kejelekan, maka jelek. (Lihat Kitaabul ‘Ilmi, hal.
14)
Ilmu Apa Saja yang
Wajib Kita Pelajari?
Setelah kita mengetahui bahwa hukum menuntut ilmu
agama adalah wajib, maka apakah kita wajib mempelajari semua cabang ilmu dalam
agama? Tidaklah demikian. Kita tidak diwajibkan untuk mempelajari semua cabang
dalam ilmu agama, seperti ilmu jarh wa ta’dil sehingga kita mengetahui
mana riwayat hadits yang bisa diterima dan mana yang tidak. Demikian pula, kita
tidak diwajibkan untuk mempelajari rincian setiap pendapat dan perselisihan
ulama di bidang ilmu fiqh. Meskipun bisa jadi ilmu semacam itu wajib dipelajari
sebagian orang (fardhu kifayah), yaitu para ulama yang Allah Ta’ala berikan
kemampuan dan kecerdasan untuk mempelajarinya demi menjaga kemurnian agama.
Sebagaimana yang diisyaratkan oleh Ibnu Hajar rahimahullah
di atas, kita “hanya” wajib mempelajari sebagian dari ilmu agama, yaitu
ilmu yang berkaitan dengan ibadah dan muamalah, sehingga kita dapat beribadah
kepada Allah Ta’ala dengan benar. Kita juga wajib mempelajari ilmu
tentang aqidah dan tauhid, sehingga kita menjadi seorang muslim yang beraqidah
dan mentauhidkan Allah Ta’ala dengan benar dan selamat dari hal-hal yang
merusak aqidah kita atau bahkan membatalkan keislaman kita.
Kaum muslimin yang dirahmati Allah
Ibnul Qoyyim menjelaskan ilmu apa saja yang wajib
dipelajari?
Pertama, tentang pokok-pokok keimanan
Ke dua, ilmu tentang syariat-syariat
Islam. Di antara yang wajib adalah ilmu tentang hal-hal yang khusus dilakukan
sebagai seorang hamba seperti ilmu tentang wudhu, shalat, puasa, haji, zakat. Kita wajib untuk
mempelajari hal-hal yang berkaitan dengan ibadah-ibadah tersebut, misalnya
tentang syarat, rukun dan pembatalnya.
Ke tiga, ilmu tentang lima hal yang
diharamkan yang disepakati oleh para Rasul dan syariat sebelumnya. Kelima hal
ini disebutkan dalam firman Allah Ta’ala,
ö قُلْ إِنَّمَا حَرَّمَ رَبِّيَ الْفَوَاحِشَ مَا ظَهَرَ مِنْهَا
وَمَا بَطَنَ وَالْإِثْمَ وَالْبَغْيَ بِغَيْرِ الْحَقِّ وَأَنْ تُشْرِكُوا
بِاللَّهِ مَا لَمْ يُنَزِّلْ بِهِ سُلْطَانًا وَأَنْ تَقُولُوا عَلَى اللَّهِ مَا
لَا تَعْلَمُونَ
“Katakanlah,’Tuhanku hanya mengharamkan
perbuatan yang keji, baik yang tampak maupun yang tersembunyi, dan perbuatan
dosa, melanggar hak manusia tanpa alasan yang benar, (mengharamkan)
mempersekutukan Allah dengan sesuatu yang Allah tidak menurunkan hujjah untuk
itu dan (mengharamkan) mengada-adakan terhadap Allah apa yang tidak kamu
ketahui’”. (QS. Al-A’raf [7]: 33)
Kelima hal ini adalah haram atas setiap orang
pada setiap keadaan. Maka wajib bagi kita untuk mempelajari larangan-larangan
Allah Ta’ala, seperti haramnya zina, riba, minum khamr, dan sebagainya,
sehingga kita tidak melanggar larangan-larangan tersebut karena kebodohan
kita.
Ke empat, ilmu yang berkaitan dengan
interaksi yang terjadi antara seseorang dengan orang lain secara khusus
(misalnya istri, anak, dan keluarga dekatnya) atau dengan orang lain secara
umum. Ilmu yang wajib menurut jenis yang ke empat ini berbeda-beda sesuai
dengan perbedaan keadaan dan kedudukan seseorang. Misalnya, seorang pedagang wajib
mempelajari hukum-hukum yang berkaitan dengan perdagangan atau transaksi
jual-beli. Ilmu yang ke empat ini berbeda-beda sesuai dengan kondisi dan
kebutuhan masing-masing. (Lihat Miftaah Daaris Sa’aadah, 1/156)
Dari penjelasan Ibnul Qoyyim, bahwa apa pun latar belakang pekerjaan dan
profesi kita, wajib mempelajari ilmu-ilmu tersebut. Menuntut ilmu agama tidak
hanya diwajibkan kepada ustadz. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
فَوَاللَّهِ لأَنْ يَهْدِىَ اللَّهُ بِكَ رَجُلاً خَيْرٌ لَكَ مِنْ أَنْ
يَكُونَ لَكَ حُمْرُ النَّعَمِ
“Demi Allah, jika Allah memberikan petunjuk
kepada satu orang saja melalui perantaraanmu, itu lebih baik bagimu
dibandingkan dengan unta merah (yaitu unta yang paling bagus dan paling mahal, pen.)”.
(HR. Bukhari dan Muslim)
Saudara kita yang terbaring di rumah sakit, meninggalkan
shalat? Di sinilah peran penting tenaga kesehatan, baik itu dokter, perawat,
atau ahli gizi yang merawat mereka, untuk menasihati dan mengajarkan cara
bersuci dan shalat ketika sakit. Demikian pula seseorang yang berprofesi
sebagai sopir, hendaknya mengingatkan penumpangnya misalnya untuk tetap
menunaikan shalat meskipun di perjalanan. Tentu saja, semua itu membutuhkan
bekal ilmu agama yang memadai. Orang tua-tua dahulu mengingatkan kita dalam bentuk
pantun, yang sampai hari ini tetap populer:
Kemumu, terinjak tumit,
Harus
dikerat, selaranya
Sekalipun
teknologi, setinggi langit
Tidak sholat, apa gunanya.
Terahir, jangan
sampai kita menjadi orang yang sangat pandai tentang seluk-beluk ilmu dunia dengan
segala permasalahannya, namun lalai terhadap ilmu agama. Hendaknya kita
merenungkan firman Allah Ta’ala,
يَعْلَمُونَ
ظَاهِرًا مِنَ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَهُمْ عَنِ الْآَخِرَةِ هُمْ غَافِلُونَ
“Mereka hanya mengetahui yang lahir (saja)
dari kehidupan dunia, sedangkan mereka lalai tentang (kehidupan) akhirat”.
(QS. Ar-Ruum [30]: 7)
Sebagai
penutup majelis mari kita berdoa:
سُبْحَانَكَ
اللَّهُمَّ وَبِحَمْدِكَ أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ أَنْتَ أَسْتَغْفِرُكَ
وَأَتُوبُ إِلَيْكَ
"Mahasuci
Engkau Ya Allah dan segala puji bagi-Mu, Aku bersaksi tiada tuhan (yang berhak
diibadahi) kecuali Engkau, aku mohon ampun dan bertaubat kepada-Mu."
Wabillahit taufiq wal hidayah, wassaalamu’alaikum WW.
No comments:
Post a Comment