ORIENTASI KULIAH UNTUK
JADI PNS
Pantun Kritik
Ringan Dr.H.M.Rakib Jamari,S.H.,M.Ag
PUCUKLAH
PISANG, WARNANYA HIJAU
DITIUP ANGIN, JATUHLAH KE BUMI
HATIKU
BIMBANG, BERCAMPUR GALAU
KULIAH
BERORIENTASI, PEGAWAI NEGERI
BUKAN SALAH, BUNGAN LEMBAYUNG,
SALAHNYA PANDAN, MENJELITA
BUKAN SALAH, IBU MENGANDUNG
SALAHNYA MENTAL, TIDAK TERTATA
Perlu diadakan revolusi mental, seperti yang dilakukan Cina,
Jepang, Korea, mahasiswanya kuliah berorientasi kepada
keterampilan yang diperlukan dalam perusahaan, atau keterampilan mandiri, Bung
Karno menyatakan, mahasiswa harus dilatih mandiri..bukan untuk menjadi pegawai
negeri, tapi bukan berarti tidak boleh sama sekali…Pada tahun 1983, MAW Brouwer pernah menulis catatan kecil
mengenai pegawai. “Kalau dulu Prusia dianggap sebagai negara militer, Tiongkok
Maois sebagai negara buruh, Amerika negara wiraswasta, dan Iran sebagai negara
ulama, maka Indonesia bisa dianggap sebagai negara pegawai,” tulisnya. Brouwer
yang merilis pendapatnya itu dalam buku Indonesia Negara Pegawai mengatakan
keadaanlah yang menyebabkan hal itu terjadi, yaitu adanya warisan dari kolonial
penjajahan.
Pada saat itu memang penduduk
pribumi diarahkan untuk menjadi pegawai, sementara kaum pendatang menjadi
pedagang. Jadi jika banyak orang bercita-cita menjadi pegawai negeri saat ini,
itu adalah impian dan cita-cita nenek moyang. Namun dalam perkembangannya,
seorang pegawai yang dibayar oleh rakyat dan harus melayani rakyat, banyak
terjadi penyimpangan. Menurut Brouwer, seorang menteri tidak boleh lupa bahwa
ia minister, artinya orang yang lebih rendah dari entitas utamanya, yakni
rakyat. Seorang pegawai harus menciptakan rasa aman terhadap rakyatnya. Namun
yang terjadi sekarang banyak pegawai yang lupa tugasnya. Brouwer--pastor yang
juga psikolog (saat ini sudah almarhum)--mencatat bahwa banyak pegawai negeri
yang tidak menciptakan rasa aman bagi rakyatnya, pemalas, tidak inovatif, gila
hormat, konsumtif, sering melakukan pungli, dan suka korupsi waktu. Ia juga
mengatakan bahwa gaya hidup pegawai mendominasi kebudayaan Indonesia dan
birokrasi negara kita.
Meski sinyalemen Brower tersebut tidak berlandaskan suatu penelitian dengan memakai metodologi ilmiah, dan hanya berdasarkan pengamatannya terhadap berbagai peristiwa yang terjadi di lingkungan sosialnya, namun sepertinya apa yang disebutkannya itu banyak mengandung kebenaran. Sampai saat ini, meski sudah 23 tahun dari dilansirnya pendapat Brouwer, tidak dapat dipungkiri masih banyak kita jumpai pegawai (baca: PNS) yang datang ke kantor tidak bekerja apa pun, hanya duduk-duduk merokok, ngopi, atau bahkan ada yang main game. Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara Taufiq Effendi, tak menampik ketika dikonfirmasi hal ini. “Itu adalah warisan sejarah yang harus saya terima,” katanya. Taufiq juga mengakui mentalitas pegawai yang sedemikian itu berakibat pada buruknya pelayanan publik di tanah air.
REVOLUSI MENTAL
BUKAN SALAH, BUNGAN LEMBAYUNG,
SALAHNYA PANDAN, MENJELITA
BUKAN SALAH, IBU MENGANDUNG
SALAHNYA MENTAL, TIDAK TERTATA
Mentalitas pengelola pendidikan yang bersaing tidak sehat, menganggap teman sebagai musuh, adalah mentalitas yang harus diromabk total, harus direvolusi. Beberapa penelitian yang membahas mentalitas pembangunan pernah dilakukan di beberapa negara yang sedang berkembang oleh para ahli sosiologi dan antropologi. Namun yang secara khusus mendalami dan menganalisa mentalitas pegawai hanya dilakukan ahli pendidikan J.F.Guyot. Dalam bukunya The Clerk Mentality in Burmese Education, ia mencatat ada dua golongan pegawai, yaitu pegawai yang pekerjaannya bersifat umum administratif dan pegawai birokrasi yang pekerjaannya memerlukan keahlian khusus. Nah, pada golongan pegawai yang pertama menurut Guyot memiliki ciri-ciri yang hampir sama dengan apa yang disinyalir Brouwer yaitu “...formalism, petty, arrogance, routine, insecurity...”. Yang dimaksud Guyot formalism adalah pegawai tersebut tidak hanya berimplikasi bertindak tepat seperti yang tercantum dalam buku pedoman dan aturan, tetapi juga berarti suka pada peresmian melalui upacara, suka pada seragam dan kesegaraman. Petty arrogance yang dia maksud adalah sok tahu, sombong, suka dihormati, dan gila hormat. Sementara routine adalah bertindak menurut kebiasaan, dan takut mengambil inisiatif.
Terakhir insecurity, kata Guyot, adalah pegawai yang takut mengambil
inisiatif, takut menghadapi resiko, dan suka memuaskan atasan. Hebatnya, hasil
penelitian dan analisa Guyot tersebut, ternyata tak jauh berbeda dengan hasil
pengamatan Brouwer.Lantas bagaimana dampak mentalitas PNS ini terhadap
penyerapan Teknologi Informasi di tanah air? Apakah sikap dan mental PNS kita
yang sedemikian yang menyebabkan perkembangan e-government kita
tersendat-sendat. Tentu saja tidak sepenuhnya benar. Faktor lain seperti
keberadaan infrastruktur, dan yang lebih penting adalah faktor leadership, juga
sangat menunjang dalam keberhasilan pembangunan e-government kita. Oleh sebab
itu, PNS tentu saja tidak harus diperbaiki dulu sebagai prasyarat sebelum TI
disebarluaskan. Sosialisasi keberadaan TI itu sendiri tentu saja akan ikut
memperbaiki kinerja mereka. Lihat saja hasil kecil yang sudah dicapai Kabupaten
Jembrana misalnya.
Di daerah tersebut, TI telah mengubah sikap
PNS dari ingin dilayani menjadi melayani. Ini tentu berkat leader-nya yang
memang tahu betul bagaimana memanfaatkan TI untuk kemaslahatan
masyarakatnya.Meski dilontarkan dua puluh tiga tahun yang lalu, Brouwer
setidaknya telah mengingatkan kita kembali agar dalam membangun e-government
kita juga memberi perhatian terhadap “pembangunan” pelaksananya, dalam hal ini
PNS, mulai dari pola perekrutan, sistem pendidikan, hingga kesejahteraannya.