SIFAT JAMILAH DAN JALILAH
M.RAKIB Jl.Ciptakarya
Panam Pekanbaru Riau Indonesia 2015
0823 9038 1888
Sebelum alam tercipta,
Yang ada cuma cahaya
Jamilah dan jalilah
namanya
Cahaya Allah yang
tiada tara
Cahaya
itu, saling melilit
Benturan
indah, tiada rumit
Membentuk
gas awal, tidak sedikit,
Milyaran
tahun, saling melilit.
Awan gas bergerak
tanpa aturan
Sehingga terjadi, sebuah benturan
Bahkan disusul oleh ledakan
Itulah Bigbang,
orang namakan.
Wujud
Allah, menampakkan diri
Makhluk
mengenal, siapa Ilahi,
Karena
manusiapun, hadir di bumi
Tujuan
hanya, untuk mengabdi.
Ajaran Sufi dan sains moderen, bisa
bertemu di sini. Asal usul alam semesta, dari dua cahaya yang dahsyat.
Maha suci Allah dari segala macam perumpamaan. Walaupun demikian di dalam Al
Qur’an, keberadaan wujud Allah merupakan keberadaan wujud yang paling
dimanifestasikan. Setiap yang berwujud akan mempunyai nama dan sifat.
Tuhan adalah Cahaya langit dan
bumi. Perumpamaan Cahaya Allah adalah seperti rongga dalam dinding. Dalam
rongga itu ada pelita. pelita itu dalam bola kaca. Kaca itu laksana
bintang berkilau. Dinyalakan dengan minyak zaitun yang diberkati, yang
tumbuhnya bukan di timur dan bukan di barat, yang minyaknya saja hampir-hampir
berkilau dengan sendirinya, walaupun api tidak menyentuhnya. Cahaya di
atas Cahaya. Allah menuntun dengan Cahayanya kepada Cahayanya bagi siapa saja
yang dia kehendaki dan Allah membuat perumpamaan bagi manusia. Allah Maha
Mengetahui segalanya ( AN NUR 24 : 35 ).
( Cahaya itu menerangi ) rumah-rumah
di dalamnya Allah berkenan untuk dihormati dan disebut Namanya dan bertasbih di
waktu pagi dan petang ( AN NUR 24 : 36 ).
Keberadaan (eksistensi, kehadiran)
Dzat yang dimanifestasikan disebut wujud idhopi, dinamakan juga
bayangan. Sesuai firman Allah :
Apakah kamu tidak memperhatikan
Tuhan memanjangkan bayang-bayang-Nya ( AL FURQAAN 25 : 45 ).
Agar DIA bisa merefleksikan bayangan
Dirinya Sendiri, maka Dia telah membuat cermin-cermin yang beraneka ragam dari
Dirinya Sendiri. Segala sesuatu yang ada di alam semesta ini adalah merupakan
cermin-cermin tersebut. Cermin yang baik adalah cermin yang mempunyai dua sisi,
yaitu sisi terang dan sisi gelap (sifat Jamal dan sifat Jalal). Dalam hal ini
ternyata manusia mempunyai sifat seperti cermin tersebut, karena manusiapun
mempunyai dua sisi, yaitu qolbu sebagai sisi terang dan jasmani sebagai sisi
gelap. Semakin terang qolbu, semakin jelas pula qolbu merefleksikan
Tuhan, sesuai dengan Hadits Qudsi :
Aku tidak bisa berada di bumi
ataupun di langit, tapi aku bisa berada dalam hati seorang mukmin yang benar (
HADITS ).
Di dalam setiap rongga anak Adam,
Aku ciptakan suatu mahligai yang disebut dada, di dalam dada ada kolbu, di
dalam kolbu ada fuad, di dalam fuad ada syagofa, di dalam syagofa ada sir, di
dalam sir ada Aku tempat Aku menyimpan rahasia … ( HADITS )
Setiap cermin tidak ambil bagian
dalam pengamatan, cahaya yang terang benderang dan kegelapan cermin merupakan
alat pengamatan. Walaupun cerminnya beraneka ragam, namun Wajah Sang
Pengamat Tetap Satu. Bila kemudian cerminnya hancur luluh, Wajah Sang
Pengamat Tetap Abadi ….
SIFAT-SIFAT DZAT
Sifat Dzat adalah merupakan
manifestasi dari Asma dan Asma merupakan manifestasi daripada Dzat. Berarti
Sifat juga merupakan manifestasi daripada Dzat. Di dalam setiap Sifat Dzat
terkandung suatu potensi untuk bertindak dan berbuat yang akan menimbulkan
akibat-akibat. Sebagai akibat penciptaan maka muncul kehidupan. Adanya
kehidupan mengakibatkan munculnya kesadaran akan adanya Dzat. Bila tak
ada kehidupan maka tidak akan ada yang menyebut Asma Allah.
Yang pertama kali mengajukan konsep
sifat dua puluh dari Dzat adalah Abu Hasan Al Ashary, ulama besar pendiri
mahzab Ahlussunnah Wal Jamaah yang ahli dalam Ilmu Kalam (ilmu Usuluddin).
Konsep sifat dua puluh tersebut sampai saat ini telah dikenal dan diyakini oleh
masyarakat Islam secara luas.
Pada waktu itu konsep Al Ahsary ini
banyak mendapat tantangan dari para ulama lainya, diantaranya adalah Hambali
dan Al Ghazali yang berpendapat bahwa masalah Ketuhanan tidak bisa dijangkau
hanya atas dasar konsepsi akal manusia, Ilmu Kalam ajaran Al Ashary dianggap
sebagai penyebab timbulnya silang pendapat diantara sesama Umat Islam.
Adanya perselisihan pendapat
diantara para ahli Ilmu Kalam, para ahli filsafat Islam dan para ahli Ilmu
Fiqih mengakibatkan umat Islam terpecah belah menjadi bermacam-macam aliran
(mazhab), antara lain adalah Mazhab Hanafi, Mazhab Hambali, Mazhab Maliki dan
Mazhab Safi’i.
Al Ghazali berhasil mempersatukan
pola fikir para ahli syari’at Ilmu Kalam dan pola pikir ahli syari’at Ilmu
Fiqih dan juga pola pikir mereka dengan para sufi ahli Tasawwuf. Menurut
Al Ghazali : Pendekatan diri dan ma’rifat kepada Allah tidak bisa dilakukan
melalui Ilmu Kalam maupun melalui Ilmu Fiqih, akan tetapi harus melalui jalan
yang ditempuh oleh para sufi ahli tasawwuf yaitu : Bersihkan hati,
istirahatkan pikiran melalui dzikrullah untuk mencapai fana dan
kasyaf.
Jalan tersebut penuh dengan
bermacam-macam tantangan dan ujian dari Allah yang harus diatasi dengan tetap
berpegang pada Tali Allah, bersih hati, rasa kasih-sayang, ketawakalan,
kesabaran dan keihklasan serta dzikrullah, mengingat Allah. Oleh karena dengan
dzikrullah itulah hati akan menjadi tenang dan tentram, tidak akan ada perselisihan
lagi, karena sadar bahwa Allah-lah Yang Maha Benar. Akhirnya mi’raj
melalui proses fana dan kasyaf.
Kesempurnaan keberagamaan seorang
adalah bila dia telah mencapai tahapan iman, islam dan ihsan. Iman
bisa dipelajari melalui ilmu Usuluddin. Islam dipelajari melalui
ilmu Fiqih. Ihsan hanya bisa dicapai melalui tasawwuf.
Al Kisah : Ada seorang yang bertanya
kepada Rosulullah : Ya Rosulullah apakah Ihsan itu? Kemudian Rosulullah
menjawab : Ihsan ialah keadaan ketika engkau menyembah Allah, seakan-akan
engkau melihat NYA, bila sekiranya engkau tidak melihat NYA, maka Allah akan
melihat engkau.
Para ulama Tasawuf mengatakan bahwa
Syare’at tanpa Haqekat adalah hampa, sedangkan Haqekat tanpa Syare’at adalah
batal…
Junaed Al Bagdady mengatakan : Syare’at tanpa Haqeqat adalah fasik,
sedangkan haqekat tanpa Syare’at adalah zindik, bila seseorang melakukan
keduanya maka sempurnalah kebenaran orang itu. Seorang sufi, dia fana
dalam dirinya dan baqa dalam Tuhannya. Menurut beliau tasawuf adalah
mengambil setiap sifat mulia dan meninggalkan setiap sifat tercela.
Menurut Asy-Syadzili tasawuf
adalah praktik dan latihan diri melalui cinta yang dalam dan ibadah untuk
mengembalikan diri kepada jalan Tuhan.
Ada juga yang mengatakan bahwa
tasawuf adalah membina kebiasaan baik serta menjaga hati dari berbagai
keinginan dan hasrat hawa nafsu. Tasawuf adalah ilmu untuk memperbaiki hati dan
menjadikannya memasrahkan diri semata-mata kepada Allah. Jalan tasawuf
dimulai sebagai ilmu, ditengahnya adalah amal dan pada akhirnya adalah karunia
Allah.
Abu Bakar Aceh mengatakan bahwa Al
Qur’an adalah sumber pokok, Hadits-Sunnah Rosul petunjuk pelaksanaan yang
penting, sedangkan Tassawuf adalah urat nadi pelaksanaan ajaran tersebut.
Tasawuf adalah suatu seni perjalanan spiritual yang
transendental, bukan merupakan pekerjaan intelektual melalui kajian ilmiah,
bahkan menurut para sufi ilmu pengetahuan merupakan tabir yang sangat pekat.
Mengenai masalah mistik atau tasawuf
ini Simuh cenderung memilih definisi dari kamus Inggris yang disusun oleh
Hornby dkk yaitu :
Ajaran atau kepercayaan tentang
haqekat (kebenaran sejati) atau Tuhan bisa didapatkan melalui meditasi atau
tanggapan kejiwaan yang bebas dari tanggapan akal pikiran dan
pancaindera. Ciri khusus tassawuf adalah proses fana dan kasyaf.
Tasawwuf sesuai dengan ajaran Al
Ghazali secara garis besarnya adalah pelajaran tentang tata cara memurnikan
atau mensucikan jasmani dan ruhani, mensucikan lahir dan batin agar bisa
menjadi insan kamil yang mendapatkan keridhoan Allah… disertai dzikrullaah
sehingga mencapai proses fana dalam dirinya, baqa dalam Tuhannya, musnah
ke-aku-annya, tenggelam dalam Tuhannya. Akhirnya kasyaf terbukanya
hijab. Dari tulisan-tulisan tentang tasawuf ini, jelas bahwa basis dari
tasawuf adalah kesucian hati serta cara menjaganya dari segala hal yang bisa
mengotorinya kemudian hasil akhirnya adalah hubungan yang benar-benar harmonis
antara manusia dengan Penciptanya.
Dzat Allah merupakan sumber
kehidupan. Akibat adanya sifat-sifat kehidupan muncul kesadaran akan adanya
(keberadaan) Dzat. Bila tidak ada kehidupan (insan) maka tidak akan ada
yang menyebut Asma Dzat (Allah), tak ada yang bersyahadat :
Laa ilaaha ilallaah
Muhammadarosulullaah…
Pernyataan pertama Laa ilaaha ilallaah memberi nafas kehidupan kepada
pernyataan kedua Muhammadarosulullah sedangkan pernyataan kedua menyatakan
adanya Dzat Allah. Dengan demikian pernyataan pertama dan kedua
sangat erat kaitannya, kedua-duanya tidak bisa dipisahkan satu sama lain,
merupakan suatu kesatuan dua kalimah Syahadat.
Artinya kurang lebih adalah : dua
dalam kemanunggalan, manunggal dalam keEsaan Dzat Yang Maha Kuasa.
Dalam KeEsaanNya Dzat mempunyai
bermacam-macam Asma dan bermacam-macam Sifat. Keberagaman Asma dan Sifat tidak
menyebabkan Dzat bertambah menjadi lebih dari satu. Dalam ke Esaan Nya,
Dzat tidak menjadi berjenis-jenis.
Sifat yang beragam, pasangan dan
juga kebalikkannya adalah satu didalam aspek keEsaan Dzat. Misalnya Sifat
Jamal-Terang dan Jalal-Gelap, Asma Hadi ( Yang Memberikan Petunjuk ) dan Asma
Mudzil ( Yang Menyesatkan ), dimana Asma yang satu tidak mengganggu Asma yang
lain. Dengan demikian :
Siapapun yang telah diberi petunjuk
Allah, maka tak ada sesuatu apapun yang bisa menyesatkannya, dan siapapun yang
telah disesatkan Allah, Rosulullahpun tidak bisa meluruskannya.
Barang siapa yang diberi petunjuk
oleh Allah, maka dialah yang dapat petunjuk dan barang siapa yang
disesatkan-Nya, maka kamu tidak akan mendapat seorang pemimpinpun yang dapat
memberi petunjuk kepada-Nya ( AL KAHFI 18 : 17 )
Siapa-siapa yang dikehendaki Allah
dibiarkan-Nya sesat, siapa-siapa yang dikehendaki Allah ditempatkan-Nya di
jalan yang lurus ( AL AN’AM 6 : 39 ).
Sesungguhnya Dzat tidak mempunyai
manifestasi apapun tanpa manifestasi dari Asma dan Sifat. Apapun yang ada,
sifat baik maupun sifat jahat adalah merupakan akibat dari manifestasi Asma dan
Sifat, bukan manifestasi dari Dzat.
Dalam hal ini harus kita ingat bahwa
semua kebaikan berasal dari Allah. Dibalik ujian dari Tuhan yang terjadi
pada diri kita itulah yang terbaik, karena selalu ada hikmah. Semua
keburukan yang terjadi pada diri kita, itu karena ulah kita sendiri yang
melenceng dari sunnatullah.
Apapun kebaikan yang kamu terima,
datangnya dari Allah. Apapun bencana yang menimpa dirimu, karena kesalahanmu (
AN-NISAA 4 : 79 )
Bersabarlah menunggu keputusan
Tuhan-mu, sesungguhnya engkau berada dalam pengawasan Kami dan bertasbihlah
dengan memuji Tuhan-mu sewaktu kau bangkit berdiri dan bertasbihlah kepada-Nya
pada waktu malam dan tatkala bintang-bintang tenggelam saat fajar ( ATH-THUR 52
: 48-49 ).
Setelah kita menggali dan
mempelajari kerangka teoritis atau hipotesa tentang Dzat serta penurunan
martabat Dzat sampai kepada rincian Wahidiyyah maka secara garis besarnya akan
tampak empat kerangka dasar dari hipotesa tersebut :
- WUJUD (KEBERADAAN, ESENSI, EKSISTENSI).
Adalah merupakan manifestasi dari
sesuatu yang sebelumnya tidak ada, menjadi ada. Dari bentuk imaginer
(a’yan-I-tsabiita) dalam pengetahuan Tuhan, kemudian Tuhan yang menjadikan
mereka wujud. Dari esensi Dzat, muncul eksistensi Dzat kemudian muncul
kehidupan dalam tahapan Wahidiiyyah.
- ILMU (PENGETAHUAN).
Adalah suatu konsepsi (ide) serta
aktualisasi atau pembuktian dan perwujudan dari objek-objek yang diketahui.
Hanya Tuhan yang memiliki semua ilmu. Dia Yang maha mengetahui segala sesuatu.
Dari pengetahuan diri, menjadi pengetahuan akan kemampuan diri yang maha
mendengar, maha melihat … kemudian terealisir menjadi panca indera.
- NUR ( CAHAYA, KEPRIBADIAN, EGO ).
Adalah manifesatasi Diri Nya sendiri
sehingga Dia tampak sebagai yang lain. Dia membimbing dengan Cahaya Nya kepada
siapa yang Dia kehendaki. Dia adalah Cahaya langit dan bumi. Dia sebagai Nurul
Ilman, Nurul Iman, Nurul Islam dan Nurul Ihsan.
- SYUHUUD ( KETAATAN, KEKUASAAN, KEHENDAK ).
Kesadaran akan potensi diri akan
menimbulkan ketaatan, kekuasaan dan kehendak. Dia sendiri yang maha taat akan
janji Nya. Dia yang ditaati dan Dia adalah ketaatan itu sendiri. Dia
membuktikan Ketaatan Dirinya sendiri melalui proses-proses Tanuzzulaat secara
bertahap, merupakan suatu proses keluarnya yang ghoib (yang tidak tampak) dan
internal (bathin) menjadi tampak (eksternal), merupakan proses penyaksian dari
Dirinya Sendiri melalui Cerminnya sendiri.
HAQIQAT MUHAMMAD
Dzat (Allah) memanifestasikan
(menyatakan) Dirinya sebagai Nur, Utusan-Nya sebagai Nur, Kitabnya (Al Quran)
sebagai Nur, Agama-Nya (Islam) sebagai Nur, Ilmu-Nya sebagai Nur, Iman dan
Ihsan sebagai Nur. Oleh karena itu adalah wajar bila Al Hallaj
mengajukan konsep tentang Nur Muhammad sebagai penciptaan awal dari segala
macam ciptaan Allah, jauh sebelum teori Big bang muncul.
Seperti halnya Al Ashary, maka Al
Hallaj pun mendapat banyak tantangan dari para ulama lainnya, sehingga Al
Hallaj mengalami nasib yang sangat tragis.
Sebaiknya kita tidak terlalu terpaku
untuk memperdebatkan kedua konsepsi tersebut, masalah keyakinan tidak bisa
dipaksakan, tergantung kepada diri kita masing-masing. Kedua konsep
tersebut hanyalah sekedar kerangka teoritis untuk memudahkan pemahaman kita
akan keberadaan Dzat laesa kamitslihi syai’un, tidak serupa dengan
apapun. Sesungguhnya Maha Suci Allah dari segala macam perumpamaan… Nur
Muhammad dianggap sebagai kesadaran kosmik (SIR)… Di dalam SIR ada AKU..
merupakan sumber asli dari semua pernyataan Diri dalam rinciannya mulai dari
Wahdah sampai ke Wahidiiyyah, Haqiiqati Insani, Insan Kamil sampai menjadi
debu.
Hadits Rosulullah :
- Aku berasal dari Cahaya Allah dan seluruh alam semesta berasal dari cahayaku
- Aku adalah bapak dari segala Ruh dan Adam adalah bapak dari segala jasad
Sebagai Berkah Suci yang memberi Rahmat
kepada seluruh alam semesta, maka Haqiiqat Muhammad adalah lebih berhak untuk
mendapat gelar Juru Selamat dari pada Nabi-Nabi lainnya yang hanya
sekadar diutus untuk satu Kaum saja, yaitu Bani Israil, bukan untuk Bangsa
Indonesia ataupun untuk bangsa-bangsa lain.
Setiap firman Allah yang disampaikan
oleh Rosulullah tidak ditujukan hanya untuk satu kaum namun berlaku umum
dengan seruan sebagai berikut :
Hai Manusia atau Hai orang-orang yang beriman atau Hai
Bani Adam, Hai orang-orang kafir, Hai ahlul kitab ….
Berarti Wahyu Islami atau Firman
Allah yang disampaikan oleh Rosulullah tidak hanya bagi yang muslim saja, namun
sesungguhnya ditujukan untuk seluruh umat manusia di dunia.
Kemudian Wahyu Islami juga tidak pernah mengajarkan masalah dosa
waris dan tidak pernah mengajarkan bahwa dosa seseorang bisa ditanggung orang lain.
Setiap orang hanya menanggung dosanya masing-masing.
Katakanlah : Bagiku amalku dan
bagimu amalmu. Kamu tiada bertanggung jawab atas apa yang aku lakukan dan aku
tiada bertanggung jawab atas apa yang kamu lakukan ( YUNUS 10 : 41 )
Barang siapa mengerjakan kebaikan
sebesar debu, niscaya akan dilihatnya balasan dari kebaikan itu dan barang
siapa mengerjakan kejahatan niscaya akan dilihatnya balasan dari kejahatan itu
( AZ-ZILZAL 99 : 7-8 )
Sebagai berkah suci maka Haqiiqat
Muhammad mencakup semua Asma Dzat, kecuali Asma Hadi ( Yang Memberi Petunjuk ),
sedangkan Asma kebalikan dan pertentangannya dicakup oleh Iblis kecuali Asma
Mudzil ( Yang menyesatkan ).
Semua mahluk sangat tergantung
kepada Allah Yang Maha Meliputi segala sesuatu.
Qur’an kedalam dua kategori, yaitu Sifat-sifat
Jamilah dan Sifat-sifat Jalilah. Kedua sifat itu selalu disebutkan secara
beriringan dan berdampingan. Tidak disebut sifat-sifat Jamilah Allah, melainkan
akan disebut setelahnya sifat-sifat JalilahNya. Begitupula sebaliknya. Dan
memang begitulah Sunnatul Qur’an selalu menyebutkan segala sesuatu secara
berlawanan; antara surga dan neraka, kelompok yang dzalim dan kelompok yang
baik, kebenaran dan kebathilan dan lain sebagainya.
Semuanya merupakan sebuah pilihan
yang berada di tangan manusia, karena manusia telah dianugerahi oleh Allah
kemampuan untuk memilih, tentu dengan konsekuensi dan pertanggung jawaban
masing-masing. “Bukankah Kami telah memberikan kepada (manusia) dua buah mata,.
lidah dan dua buah bibir. Dan Kami telah menunjukkan kepadanya dua jalan;
petunjuk dan kesesatan”. (QS. Al-Balad: 8-10)
Sifat Jalilah yang dimaksudkan oleh
beliau adalah sifat-sifat yang menunjukkan kekuasaan, kehebatan, cepatnya perhitungan
Allah dan kerasnya ancaman serta adzab Allah swt yang akan melahirkan sifat
Al-Khauf (rasa takut, khawatir) pada diri hamba-hambaNya. Manakala Sifat
Jamilah adalah sifat-sifat yang menampilkan Allah sebagai Tuhan Yang Maha
Pengasih, Penyayang, Pengampun, Pemberi Rizki dan sifat-sifat lainnya yang
memang sangat dinanti-nantikan kehadirannya oleh setiap hamba Allah swt tanpa
terkecuali. Dan jika dibuat perbandingan antara kedua sifat tersebut, maka
sifat jamilah Allah jelas lebih banyak dan dominan dibanding sifat jalilahNya.
Pada tataran Implementasinya,
pemahaman yang benar terhadap kedua sifat Allah tersebut bisa ditemukan dalam
sebuah hadits Rasulullah saw yang diriwayatkan oleh Anas bin Malik r.a. Anas
menceritakan bahwa suatu hari Rasulullah bertakziah kepada seseorang yang akan
meninggal dunia. Ketika Rasulullah bertanya kepada orang itu, “Bagaimana kamu
mendapatkan dirimu sekarang?”, ia menjawab, “Aku dalam keadaan harap dan
cemas”. Mendengar jawaban laki-laki itu, Rasulullah bersabda, ‘Tidaklah
berkumpul dalam diri seseorang dua perasaan ini, melainkan Allah akan
memberikan apa yang dia harapkan dan menenangkannya dari apa yang ia cemaskan”.
(HR. At Tirmidzi dan Nasa’i).
Sahabat Abdullah bin Umar ra seperti
dinukil oleh Ibnu Katsir memberikan kesaksian bahwa orang yang dimaksud oleh
ayat-ayat di atas adalah Utsman bin Affan ra. Kesaksian Ibnu Umar tersebut
terbukti dari pribadi Utsman bahwa ia termasuk sahabat yang paling banyak
bacaan Al Qur’an dan sholat malamnya. Sampai Abu Ubaidah meriwayatkan bahwa
Utsman terkadang mengkhatamkan bacaan Al Qur’an dalam satu rakaat dari sholat
malamnya. Sungguh satu tingkat kewaspadaan hamba Allah yang tertinggi bahwa ia
senantiasa khawatir dan cemas akan murka dan ancaman adzab Allah swt dengan
terus meningkatkan kualitas dan kuantitas pengabdian kepadaNya. Disamping tetap
mengharapkan rahmat Allah melalui amal sholehnya.
Betapa peringatan dan cobaan Allah
justru datang saat kita lalai, saat kita terpesona dengan tarikan dunia dan
saat kita tidak menghiraukan ajaran-ajaranNya, agar kita semakin menyadari akan
keberadaan sifat-sifat Allah yang Jalillah maupun yang Jamilah untuk
selanjutnya perasaan harap dan cemas itu terimplementasi dalam kehidupan
sehari-hari. Boleh jadi saat ini Allah masih berkenan hadir dengan sifat
JamilahNya dalam kehidupan kita karena kasih sayangNya yang besar, namun tidak
tertutup kemungkinan karena dosa dan kemaksiatan yang selalu mendominasi
perilaku kita maka yang akan hadir justru sifat JalilahNya. Na’udzu biLlah.
Memang hanya orang-orang yang selalu waspada yang mampu mengambil hikmah dan
pelajaran dari setiap peristiwa yang terjadi. Saatnya kita lebih mawas diri dan
meningkatkan kewaspadaan dalam segala bentuknya agar terhindar dari sifat
Jalilah Allah swt dan senatiasa meraih sifat jamilahNya. Dan itulah tipologi
manusia yang dipuji oleh Allah dalam firmanNya yang bermaksud, “(Apakah kamu
hai orang musyrik yang lebih beruntung) ataukah orang yang beribadat di
waktu-waktu malam dengan sujud dan berdiri, sedang ia senantiasa cemas dan
khawatir akan (azab) akhirat dan mengharapkan rahmat Tuhannya? Katakanlah:
“Adakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak
mengetahui?” Sesungguhnya orang yang berakallah yang dapat menerima pelajaran”.
(QS. Az-Zumar [39]: 9)
Semoga kasih sayang Allah yang
merupakan cermin dari sifat JamilahNya senantiasa mewarnai kehidupan ini dan
menjadikannya sarat dengan kebahagiaan, ketentraman dan kesejahteraan lahir dan
bathin. Dan pada masa yang sama, Allah berkenan menjauhkan bangsa ini dari
sifat JalilahNya yang tidak mungkin dapat dibendung dengan kekuatan apapun
karena memang mayoritas umat ini mampu merealisasikan nilai iman dan takwa
dalam kehidupan sehari-hari mereka.
No comments:
Post a Comment